BRASILIA
- Presiden Brazil Jair Bolsonaro mengatakan kepemimpinan Presiden
Nicolas Maduro di Venezuela dapat dipertanyakan karena perpecahan di
tentara Venezuela yang lebih mendukung pemimpin oposisi Juan Guaido.
"Saya
memuji dan mengakui semangat patriotik dan demokrasi yang (Guaido)
harus perjuangkan untuk kebebasan di partainya," kata Bolsonaro, yang
telah menjadi kritikus vokal presiden Venezuela Nicolas Maduro, seperti
dikutip dari Sputnik, Kamis (2/5/2019).
Ia menambahkan
bahwa dia telah menerima informasi bahwa keretakan di dalam pasukan
Venezuela masih dapat menyebabkan “keruntuhan” pemerintahan Nicolas
Maduro.
"Informasi
yang kami miliki adalah bahwa ada fraktur (perpecahan) yang semakin
dekat dan dekat dengan kepemimpinan angkatan bersenjata (Venezuela),"
kata Bolsonaro dalam sambutan yang disiarkan oleh saluran Globo News.
Presiden
Brazil menambahkan bahwa pemerintahnya tidak memiliki kontak dengan
Amerika Serikat (AS) mengenai penggunaan wilayah Brazil sebagai basis
untuk pontensi intervensi militer di Venezuela, dan jika ada permintaan
seperti itu, dewan pertahanan dan Kongres akan terlibat dalam
pengambilan keputusan.
Sebelumnya, pemimpin oposisi Venezuela
Juan Guaido dan para pendukungnya berkumpul di Caracas di depan
pangkalan militer La Carlota, mengumumkan dimulainya 'tahap akhir' dari
apa yang disebut kampanye "Operasi Kebebasan" untuk menggulingkan
pemerintah yang sah. Guaido pun meminta pada militer untuk bergabung
dengan aksi protes terhadap Maduro.
Krisis
politik di negara itu meningkat pada bulan Januari setelah Guaido
menyatakan dirinya sebagai presiden sementara yang menyerukan pemilu
baru. Deklarai itu hanya beberapa minggu setelah pelantikan Maduro untuk
masa jabatan kedua.
Guaido menerima dukungan langsung dari AS
dan sekutunya di Amerika Latin, serta Kanada, sementara Rusia, China,
dan puluhan negara lain menyuarakan dukungan untuk pemerintah yang sah
atau mendesak tidak campur tangan dalam urusan internal Venezuela.
WASHINGTON
- Rusia dituduh secara diam-diam telah memasang rudal berhulu ledak
nuklir di Venezuela. Tuduhan senasional ini muncul dari anggota Kongres
Amerika Serikat (AS) Mario Diaz-Balart.
Klaim politisi partai
Republik itu menggemakan kembali Krisis Rudal Kuba. Menurutnya, senjata
nuklir rezim Vladimir Putin sekarang menjadi ancaman langsung terhadap
keamanan nasional Amerika Serikat.
Dia membuat tuduhan tersebut
beberapa jam setelah Venezuela di ambang perang saudara ketika pemimpin
oposisi Juan Guaido menyerukan militer bergabung dengannya untuk
menggulingkan Presiden Nicolas Maduro.
Diaz-Balart mengatakan kepada Fox News
jika Maduro tetap berkuasa, itu bisa menjadi pintu terbuka bagi Rusia,
China dan pihak lain untuk meningkatkan aktivitas mereka terhadap
kepentingan keamanan nasional AS.
Jurnalis Fox News, Tucker Carlson, kemudian bertanya; "Apakah Anda bersugesti mereka akan menyerang?"
"Yang paling dekat dengan perang nuklir adalah karena Rusia menempatkan rudal, benar, rudal nuklir di Kuba," jawab Diaz-Balart.
"Apakah Anda mengatakan Rusia akan menempatkan rudal nuklir di Venezuela?," tanya Carlson lagi.
"Sugesti saya adalah mereka sudah ada di sana," jawab Diaz-Balart, tanpa menawarkan bukti untuk mendukung klaimnya.
Dukungan
Putin yang sangat terbuka kepada Presiden Maduro telah lama
dibandingkan dengan krisis tahun 1962 yang dipicu oleh pemasangan
rudal-rudal nuklir Soviet di Kuba.
Klaim Diaz-Balart juga muncul
setelah Rusia mendaratkan dua pesawat pembom nuklir di Venezuela sebagai
bentuk penolakan terhadap kebijakan Presiden AS Donald Trump terhadap
negara Amerika Selatan tersebut.
Dua
pesawat pembom Tu-160 Rusia mendarat di Caracas pada bulan Desember
ketika Putin secara terbuka mengumbar dukungannya kepada presiden
sosialis Venzuela. Kedatangan kedua pesawat pembom Rusia di tanah
Venezuela hanya berselang seminggu setelah Maduro yang hendak
digulingkan oposisi melakukan perjalanan ke Moskow untuk bertemu dengan
Putin.
Para pengamat internasional menduga hubungan Putin dan Maduro didasarkan pada keuangan ketimbang persahabatan. Mengutip laporan The Sun,
Kremlin memiliki dana senilai 13 miliar poundsterling yang dipinjamkan
untuk menopang kekuasaan Maduro. Uang Rusia itu bisa hilang jika Maduro
dilengserkan dari kekuasaan.
Pemerintah Rusia maupun Venezuela belum berkomentar atas tuduhan politisi AS tersebut.
CB, Washington – Menteri Pertahanan interim Amerika Serikat, Patrick Shanahan mengatakan negaranya membuat perencanaan menyeluruh mengenai Venezuela.
Pemerintah
AS telah menyiapkan berbagai rencana darurat untuk skenario berbeda.
Saat ini, fokus utama pemerintah adalah tekanan diplomatik dan ekonomi.
AS mendesak Presiden Venezuela, Nicolas Maduro, untuk mundur.
“Kami
mengerjakan ini sebagai pemerintahan menyeluruh dan ketika orang-orang
mengatakan ada semua opsi di meja, memang seperti itu. Tapi kami bekerja
untuk mengenakan tekanan diplomatik dan ekonomi,” kata Shnahan di DPR
AS seperti dilansir Reuters pada Rabu, 1 Mei 2019.
Shanahan
mengatakan pemerintah AS telah membuat perencanaan menyeluruh,”Sehingga
tidak ada situasi atau skenario yang tidak ada rencana daruratnya.”
Seperti dilansir Channel News Asia,
tokoh oposisi Venezuela, Juan Guaido, menyerukan aksi unjuk rasa ke
jalan pada peringatan Hari Buruh pada 1 Mei 2019 untuk menjatuhkan
Presiden Nicolas Maduro, yang dianggap curang pada pemilu 2018.
Guaido
telah menobatkan dirinya sebagai Presiden interim Venezuela pada
Januari 2018. Dia mendesak agar militer meninggalkan Maduro dan
bergabung dengan gerakannya.
Upaya Guaido menyerukan aksi massa untuk menekan Maduro
mundur pada 1 Mei 2019 dinilai kurang berhasil. Dia mengatakan akan
terus menggerakkan massa pada keesokan harinya untuk menekan Maduro
mundur. Maduro membantah ada kudeta militer dan menyebut Guaido bekerja
atas arahan AS.
MOSKOW
- Rusia memperingatkan Amerika Serikat (AS) bahwa langkah agresif
Washington terhadap Venezuela penuh dengan konsekuensi serius.
Peringatan itu disampaikan Menteri Luar Negeri Rusia Sergei Lavrov
kepada koleganya dari AS, Mike Pompeo. "Hanya rakyat Venezuela yang
memiliki hak untuk menentukan nasib mereka, yang diperlukan dialog
antara semua kekuatan politik di negara itu, dan pemerintah Venezuela
telah lama menyerukan hal itu," kata Lavrov, menurut pernyataan yang
dipublikasikan di situs Kementerian Luar Negeri Rusia.
"Tekanan
destruktif dari luar, terutama kekuatan, tidak ada hubungannya dengan
proses demokrasi," sambung pernyataan itu seperti dikutip dari Sputnik, Kamis (2/5/2019).
Lavrov
melakukan pembicaraan dengan Pompeo melalui telepon pada Rabu, sehari
setelah pemimpun oposisi Venezuela Juan Guaido mengumumkan awal dari
'fase terakhir' upaya oposisi untuk merebut kekuasaan dari tangan
Presiden Nicolas Maduro.
Sebelumnya,
Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo mengatakan sementara AS lebih suka
melihat transisi damai di Venezuela, Washington tidak akan mengambil
opsi militer.
"Tindakan militer adalah mungkin. Jika itu yang diperlukan, itulah yang akan dilakukan Amerika Serikat," kata Pompeo.
Sebelumnya,
kementerian luar negeri Rusia menolak klaim Pompeo bahwa Moskow
meyakinkan Presiden Nicolas Maduro untuk tidak melarikan diri dari
negaranya ke Kuba. Juru bicara Kementerian Luar Negeri Rusia Maria
Zakharova menyebut klaim itu 'palsu' yang hanya bagian dari perang
informasi AS yang ditujukan terhadap negara Amerika Latin itu.
Para
pejabat Venezuela juga menolak klaim Pompeo itu sebagai "berita palsu,"
dan menambahkan dengan menunjukkan gagalnya aksi demonstrasi sebagai
upaya kudeta yang didukung oleh AS.
Pada hari Selasa, oposisi
Venezuela berkumpul di Caracas, menyerukan militer untuk bergabung
dengan mereka untuk "tahap akhir" kampanye "Operasi Kebebasan" untuk
menggulingkan pemerintah Maduro. Bentrokan antara oposisi dan pasukan
keamanan menyebabkan setidaknya 69 orang terluka, dan mendorong Presiden
Maduro untuk mengumumkan di televisi bahwa ia telah menunjuk jaksa
penuntut untuk menyelidiki percobaan kudeta di negara itu.
Anggota
parlemen Majelis Nasional Juan Guaido menyatakan dirinya sebagai
presiden sementara Venezuela pada 23 Januari, dua minggu setelah
pelantikan Presiden Maduro untuk masa jabatan kedua setelah pemilihan
umum pada Mei 2018. Guaido segera diakui oleh AS dan sekutu-sekutu
Amerika Latin dan Eropa, serta Kanada. Sementara Rusia, China, dan
puluhan negara lain menyuarakan dukungan mereka untuk Maduro, atau
mendesak tidak campur tangan dalam urusan internal Venezuela.
Menlu Mike Pompeo menyatakan bahwa
pemerintahan Presiden Donald Trump siap untuk mengambil tindakan militer
demi mencegah krisis terjadi di Venezuela. (Reuters/Joshua Roberts)
Jakarta, CB -- Menteri Luar Negeri Amerika
Serikat Mike Pompeo menyatakan bahwa pemerintahan Presiden Donald Trump siap untuk mengambil tindakan militer demi mencegah krisis terjadi di Venezuela.
"Presiden
sangat jelas dan konsisten. Tindakan militer mungkin dilakukan. Jika
itu yang diperlukan, itulah yang akan dilakukan Amerika Serikat,"
katanya kepada Fox Business Network, Rabu (1/5).
Sementara,
menurut Penasihat Keamanan Nasional Gedung Putih John Bolton, Pompeo
sendiri telah dijadwalkan untuk berbicara dengan rekannya dari Rusia di
tengah ketegangan atas situasi politik di Venezuela.
Pompeo
sebelumnya menuduh Rusia melakukan intervensi ketika Presiden Venezuela
Nicolas Maduro siap untuk meninggalkan negara itu dalam menghadapi
seruan atas pemberontakan pemimpin oposisi Juan Guaido, pada Selasa
(30/4).
Bolton mengatakan kepada CNN dan Fox News bahwa Pompeo berencana untuk berbicara dengan Menteri Luar Negeri Rusia Sergei Lavrov.
Di
Venezuela sendiri, ribuan masyarakat turun ke jalan seperti yang
dikatakan Guaido sebagai demo terbesar dalam sejarah negara itu, sehari
setelah ia menyerukan agar militer menggulingkan Presiden Nicolas
Maduro.
Dalam upaya mendapatkan dukungan dari angkatan
bersenjata, Guaido muncul pada Selasa (30/4) pagi di luar pangkalan
angkatan udara Caracas dengan lusinan anggota Garda Nasional. Hal itu
sempat memicu protes keras selama satu hari dan menyebabkan lebih dari
100 orang terluka.
Namun menurut laporan AFP, tak ada tanda-tanda pembelotan nyata dari pimpinan angkatan bersenjata.
"Hari
ini kita lanjutkan," kata Guaido dalam sebuah unggahan di Twitter Rabu
pagi. "Kami akan terus berjalan dengan kekuatan lebih dari sebelumnya,
Venezuela."
Ketegangan di Venezuela yang dilanda krisis semakin memuncak dan
memasuki titik kritis pada tahun ini usai Guaido mengatakan pada Januari
lalu bahwa ia adalah presiden di bawah konstitusi. Sebelum pengumuman
itu, ia adalah ketua Majelis Nasional yang dikuasai oleh oposisi.
Guaido mengatakan Maduro kembali menjadi presiden dengan cara yang curang pada pemilu tahun lalu.
Kepemimpinan
Maduro menghasilkan krisis pada Venezuela dalam beberapa tahun terakhir
hingga kekacauan di penjuru negeri akibat kegagalan menyediakan pasokan
medis dan kebutuhan dasar sebagian besar penduduknya.
Seiring
dengan pernyataan Guaido yang menyebut angkatan bersenjata telah
merapatkan barisan kepadanya, pemerintah Venezuela bersumpah akan
membatalkan apa pun tindakan yang disebut sebagai upaya kudeta.
Posisi
Guaido sendiri diakui oleh Amerika Serikat dan sekitar 50 pemerintahan
negara lainnya. Namun Moskow, bersama China, berada di sisi Maduro.
Selain
menyebut Juan Guaido mengobarkan kekerasan dan meminta ada perundingan,
Rusia juga menyebut Amerika Serikat memiliki niat khusus berupa
pergantian rezim di Venezuela.
ANKARA
- Presiden Turki mengutuk pemberontakan di Venezuela yang dipimpin oleh
tokoh oposisi Juan Guaido. Erdogan pun membagikan pengalamannya dengan
mengatakan Turki telah mengalami konsekuensi negatif yang disebabkan
oleh kudeta.
Erdogan, sekutu dari Presiden Venezuela Nicolas
Maduro, mengungkapkan bagaimana Turki secara historis berjuang
menghadapi kudeta dan memperingatkan konsekuensi negatif dari
pemberontakan tersebut. Pernyataan itu muncul setelah video rekaman
kendaraan militer menghantam para demonstran.
"Seluruh dunia
harus menghormati pilihan demokratis rakyat di Venezuela," tulisnya di
Twitter, menambahkan bahwa Turki dengan tegas mengutuk kudeta seperti
dikutip dari Russia Today, Rabu (1/5/2019).
Maduro,
pemimpin dunia pertama yang menyatakan dukungan untuk Erdogan setelah
upaya kudeta Turki pada tahun 2016 gagal, terpilih kembali sebagai
presiden Venezuela pada tahun 2018. Namun beberapa bulan kemudian
pemimpin oposisi yang didukung Amerika Serikat (AS) Juan Guaido menyebut
kepresidenannya tidak sah, dan pada hari Selasa pagi menyatakan ia
memiliki dukungan militer dalam "tahap akhir" dari langkahnya untuk
menggulingkan pemimpin negara itu.
Sekitar 50 negara termasuk AS
dan Brazil, serta beberapa negara Eropa, mengakui Guaido sebagai
presiden sementara negara Amerika Latin itu. Di tengah adegan bentrokan
yang tersebar luas di Caracas pada hari Selasa, Presiden Bolivia Evo
Morales menegaskan kembali dukungannya untuk Maduro, sementara pemimpin
Kolombia Ivan Duque mendesak Venezuela untuk mendukung Guaido. Rusia,
China, dan Iran sebelumnya juga mendukung suksesor Hugo Chavez itu.
CARACAS
- Pemimpin oposisi Venezuela, Juan Guaido, merilis sebuah video yang
mendesak tentara untuk bergabung dengan aksi protes untuk menggulingkan
Presiden Nicolas Maduro.
Dalam rekaman itu, Guaido dikelilingi
oleh orang-orang berseragam militer. Sosok yang memproklamirkan diri
sebagai presiden sementara Venezuela itu mengklaim telah mendapatkan
dukungan dari militer Venezuela. Ia akan menyerukan "tahap akhir" dari
aksi protes.
Rekaman itu menunjukkan Guaido, dikelilingi oleh
orang-orang berseragam militer, mengklaim bahwa ia telah menerima
dukungan dari Tentara Venezuela, yang akan menyerukan "tahap akhir" dari
protes.
Guadio
menekankan bahwa rakyat Venezuela akan bertempur dalam perjuangan tanpa
kekerasan untuk mengasumsikan kompetensi pemerintah.
Menariknya,
Guaido mengaku merekam video itu di Pangkalan Udara La Carlota. Namun,
kantor berita Reuters melaporkan ia terlihat di jalan raya Caracas di
sebelah pangkalan militer seperti dikutip dari Sputnik, Rabu (1/5/2019).
Guaido
terakhir kali mengeluarkan seruan kepada rakyat Venezuela adalah tepat
sebelum pemadaman listrik besar-besaran terjadi di negara itu. Pihak
pemerintah Venezuela mengatakan pemadaman terjadi akibat sabotase
terhadap sebuah pembangkit listrik terbesar di negara itu.
Seperti
diwartakan sebelumnya, upaya kudeta oleh massa oposisi sedang
berlangsung di Venezuela, Selasa (30/4/2019) waktu setempat. Beberapa
kendaraan lapis baja bermunculan di jalan di Caracas dan salah satunya
menabrak para demonstran oposisi yang dianggap sebagai perusuh.
Belum
jelas apakah insiden tersebut mengakibatkan korban jiwa atau tidak.
Setidaknya satu orang terbaring di jalan setelah insiden tersebut. Tidak
jelas juga, siapa sebenarnya yang berada di belakang kemudi kendaraan
militer tersebut.
Insiden itu terjadi di tengah laporan adanya bentrok antar-kelompok yang berseteru di Garda Nasional Venezuela di Caracas.
Puluhan Mata-Mata CIA Telah Terbunuh Di China (Antara)
Washington (CB) - Seorang mantan perwira CIA mengaku bersalah
telah berkonspirasi untuk membocorkan rahasia intelijen dan pertahanan
Amerika Serikat kepada China, ungkap Departemen Kehakiman pada Rabu.
Kasus tersebut menjadi yang ketiga dalam kurun waktu kurang dari setahun.
Jerry Chun Shing Lee, pada 2010 dihubungi oleh dua agen intelijen China,
yang menawarkan pembayaran 100.000 dolar AS kepadanya. Ia juga akan
diberikan perlindungan "seumur hidup" sebagai imbalan atas informasi
yang ia berikan sebagai agen CIA, demikian pernyataan Departemen
Kehakiman.
Lee meninggalkan CIA pada 2017 dan pindah ke Hong Kong.
Ratusan ribu dolar AS pun mengalir ke rekening pribadi pria berusia 54 tahun tersebut sejak 2010 hingga 2013.
Pernyataan kementerian menyebutkan bahwa Lee telah menyimpan data
berisikan informasi rahasia tentang aktivitas, lokasi serta jadwal
operasi rahasia CIA di komputer miliknya.
Penggeledahan FBI pada 2012 di kamar hotel Honolulu, yang dipesan atas
nama Lee, juga menemukan catatan tangan milik Lee. Catatan tersebut
menjelaskan pekerjaannya sebagai agen CIA sebelum 2004.
"Catatan ini mencakup intelijen dari aset CIA, nama asli aset, lokasi
rapat operasional, nomor telepon serta informasi tentang fasilitas
rahasia," kata pernyataan itu.
Tentara Arab Saudi berjaga di pos perbatasan dengan Yaman, Senin (6/4).
Foto: Reuters/Faisal Al Nasser
Tahun lalu Jerman hentikan sementara ekspor senjata dan program pelatihan Arab Saudi.
Jerman
akan kembali melanjutkan kerja sama militer dengan Arab Saudi berupa
pelatihan militer di Jerman, kata kantor berita Jerman DPA. Lima tentara
Saudi menurut rencana akan memulai kursus pelatihan perwira bulan Juli
di Bundeswehr.
Sementara dua perwira lain akan
menerima pelatihan dengan angkatan udara Jerman. Tujuh prajurit Saudi
lainnya akan mendapat kursus bahasa Jerman untuk persiapan memulai
pelatihan perwira pada tahun 2020.
Pelatihan ini merupakan bagian dari perjanjian kerja sama yang
dibuat pada 2016 selama kunjungan resmi Menteri Pertahanan Jerman
Ursula von der Leyen ke Riyadh. Tahun lalu, Jerman menghentikan untuk
sementara ekspor senjata ke Arab Saudi dan program pelatihan.
Hal
ini menyusul pembunuhan terhadap jurnalis Saudi Jamal Khashoggi di
konsluat Arab Saudi di Turki. Namun Jerman baru-baru ini mencabut
embargo untuk komponen militer tertentu setelah tekanan Prancis dan
Inggris.
Memalukan
Jerman
empat tahun lalu juga pernah menghentikan ekspor senjata ke Arab Saudi.
Kala itu Arab Saudi dan Uni Emirat Arab melibatkan diri dalam perang
brutal di Yaman, yang berlangsung hingga saat ini. PBB menyebut perang
di Yaman sebagai "bencana kemanusiaan terbesar dunia saat ini."
Karena
itu, kalangan oposisi di parlemen menyebut kebijakan pemerintah Jerman
untuk melanjutkan kerja sama militer dengan Arab Saudi sebagai
"permainan yang memalukan".
Secara keseluruhan,
Jerman tahun 2018 mengekspor lebih sedikit senjata ke seluruh dunia
dibandingkan tahun sebelumnya. Tetapi ekspor senjata ke Arab Saudi dan
Turki meningkat, antara lain karena ada kesepakatan penjualan senjata ke
Arab Saudi yang telah ditandatangani tahun sebelumnya.
Jaksa Agung AS, Bill Barr, menolak bersaksi di
hadapan Dewan Perwakilan terkait laporan penyelidik khusus dugaan
intervensi Rusia dalam pemilihan umum 2016, Robert Mueller.
(Reuters/Aaron P. Bernstein)
Jakarta, CB -- Jaksa Agung Amerika Serikat, Bill Barr, menolak memberikan kesaksian di hadapan Dewan Perwakilan terkait laporan penyelidik khusus dugaan intervensi Rusia dalam pemilihan umum 2016, Robert Mueller.
Ketua
Komite Kehakiman Dewan Perwakilan AS, Jerry Nadler, mengatakan bahwa
Barr menolak bersaksi jika komite pimpinannya memasukkan sejumlah
pengacara ke dalam tim yang bakal mendengar keterangannya.
"Dia takut harus menghadapi jaksa yang berpengalaman," ujar Nadler sebagaimana dikutip AFP.
Kementerian
Kehakiman AS kemudian menyatakan bahwa Barr menolak hadir di hadapan
Dewan Perwakilan setelah Nadler mengizinkan para pengacara itu untuk
melontarkan pertanyaan.
"Sayangnya, setelah jaksa agung
bersedia memberikan kesaksian, Nadler memberikan sejumlah syarat dalam
sidang Komite Kehakiman yang tidak perlu," ujar juru bicara Kementerian
Kehakiman AS, Kerri Kupec.
Namun, Kupec kemudian menyatakan, "Jaksa agung masih mau terlibat
langsung dengan anggota [dewan] terkait pertanyaan mereka soal laporan
itu dan bersedia bekerja sama dengan komite untuk permintaan pemeriksaan
lebih lanjut."
Selain menolak bersaksi, Barr juga tak mau
merilis laporan penuh Mueller. Nadler pun mengancam bakal merilis
panggilan resmi atas Barr.
Barr diminta memberikan keterangan di
hadapan Dewan Perwakilan setelah ia bersaksi di Senat. Dalam sesi dengar
pendapat tersebut, Barr dituduh "mencuci" laporan Mueller dan berupaya
mengelabui para pembuat kebijakan.
Barr memang dikecam karena
hanya memberikan rangkuman hasil laporan penyelidikan Mueller. Dalam
ringkasan yang ia tulis sendiri itu, Barr menjelaskan bahwa Mueller tak
menemukan bukti kolusi antara Presiden Donald Trump dan Rusia.
Mueller juga tak memiliki bukti cukup untuk membuktikan Trump berupaya menghalangi proses investigasi.
Namun,
Mueller menekankan bahwa walau tak ada bukti cukup, bukan berarti Trump
terbebas dari segala tuduhan soal menghalangi upaya penyelidikan.
Sejumlah
pihak, terutama kubu Partai Demokrat, lantas meminta Barr merilis hasil
laporan penuh Mueller karena ringkasan saja tidak cukup.
Laporan lengkap itu kini sudah dirilis dan masih didalami oleh sejumlah pihak.
Petugas polisi berusaha mengamankan peserta aksi May Day 2019 di Paris, 1 Mei 2019. (REUTERS/Philippe Wojazer)
Jakarta, CB -- Peringatan Hari Buruh Internasional (May Day) di sejumlah negara diwarnai kerusuhan.
Salah
satunya di Rusia di mana sekitar dua ribuan demonstran di kota Saint
Petersburg dibubarkan dan puluhan di antaranya diamankan polisi setelah
meneriakkan slogan-slogan kritis terhadap Presiden Rusia Vladimir Putin.
Seperti dikutip dari AFP,
setidaknya sebanyak 60 orang demonstran di kota tersebut ditahan
polisi. Di antara dua ribuan demonstran May Day itu, salah satunya
adalah pendukung pemimpin oposisi Alexei Navalny.
Selama
pawai, demonstran anti-Kremlin ini mengangkat potret Putin dan
meneriakkan kata-kata seperti 'Putin pencuri!' serta 'Ini kota kami! di
tengah kehadiran polisi yang semakin ketat.
"Mereka melindungi si bandit Putin," kata Galina Onishchenko, 70 tahun, sambil menunjuk mobil tahanan.
Kerasnya slogan-slogan anti-Putin selama unjuk rasa, membuat beberapa dari mereka akhirnya ditahan polisi.
Peringatan
May Day pun terjadi di ibu kota Rusia, Moskow. Di mana para demonstran
menyuarakan ketidakpuasan atas berlangsungnya pemerintahan selama
beberapa tahun terakhir.
Tidak hanya di Rusia, kerusuhan selama
aksi May Day pun terjadi di Paris, Perancis. Berdasarkan laporan AFP,
Polisi anti huru-hara terlibat bentrok dengan pengunjuk rasa
antikapitalis dan menembakkan gas air mata untuk membubarkan ribuan
orang yang berkumpul demi pawai May Day di selatan kota.
Para
demonstran yang menggunakan hoodie dan rompi kuning membalas polisi
antihuru-hara itu dengan melempar puing atau benda apapun ke arah
petugas.
Bentrokan memuncak saat ratusan aktivis yang disebut
'blok hitam' mendorong ke depan kerumunan yang berkumpul di Montparnasse
Boulevard, sekitar 90 menit sebelum pawai May Day dimulai.
KRI Tjiptadi-318 saat diprovokasi oleh
kapal pengawas Vietnam yang terjadi pada Sabtu (27/4/2019) di Laut
Natuna Utara dalam wilayah ZEE Indonesia (ANTARA/dokumentasi video/aa)
Jakarta (CB) - Guru Besar Hukum Internasional Universitas
Indonesia (UI) Hikmahanto Juwana mengatakan pemerintah Indonesia dan
Vietnam harus membuat aturan-aturan bila otoritas saling berhadapan
atau rules of engagement untuk menghindari insiden yang mungkin terjadi di wilayah Laut Natuna Utara.
"Insiden yang terjadi di Wilayah Laut Natuna Utara karena adanya klaim
tumpang tindih antara Indonesia dengan Vietnam atas Zona Ekonomi
Eksklusif (ZEE)," ujar Hikmahanto melaui pesan singkat di Jakarta,
Senin.
Pendapat tersebut disampaikan terkait insiden yang terjadi di Laut
Natuna Utara antara kapal TNI AU KRI Tjiptadi 381 dan kapal otoritas
perikanan Vietnam pada Sabtu (27/4).
Hikmahanto berpendapat bahwa kejadian itu terjadi karena TNI AU merasa
berwenang melakukan penangkapan terhadap kapal nelayan Vietnam, namun di
sisi lain otoritas Vietnam dengan kapal penjaga pantainya merasa KRI
Tjiptadi 381 tidak berwenang melakukan penangkapan.
Dari klaim tumpang tindih itu kedua otoritas menyatakan diri berwenang
yang kemudian menyebabkan insiden penabrakan oleh kapal penjaga pantai
Vietnam yang ingin membebaskan kapal nelayannya dari penangkapan oleh
KRI Tjiptadi 381.
Untuk menghindari kejadian seperti ini berulang, pemerintah yang
memiliki klaim tumpang tindih harus membuat aturan-aturan bila otoritas
saling berhadapan.
"Sayangnya, aturan seperti demikian belum ada di antara negara ASEAN yang memiliki klaim tumpang tindih," ujar Hikmahanto.
Pakar Hukum Internasional Universitas Indonesia, Hikmahanto Juwana (ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay)
Ia mengatakan ZEE bukanlah laut teritorial dimana berada di bawah kedaulatan negara (state sovereignty). ZEE merupakan laut lepas dimana negara pantai mempunyai hak berdaulat (sovereign right) atas sumber daya alam yang ada di dalam kolom laut.
Hingga saat ini, kedua negara belum memiliki perjanjian batas ZEE.
Akibatnya, nelayan Vietnam bisa menangkap di wilayah tumpang tindih dan
akan dianggap sebagai penangkapan secara ilegal oleh otoritas Indonesia.
Demikian pula sebaliknya.
"Beruntung, awak KRI Tjiptadi 381 tidak terprovokasi untuk memuntahkan peluru," kata Hikmahanto.
Dalam hukum internasional terlepas dari siapa yang benar atau yang
salah, pihak yang memuntahkan peluru terlebih dahulu akan dianggap
melakukan tindakan agresi.
"Dalam insiden ini, pemerintah Indonesia melalui Kemlu dapat melakukan
protes dengan cara memanggil Duta Besar Vietnam. Protes bukan atas
pelanggaran masuknya kapal nelayan dan kapal otoritas Vietnam ke ZEE
Indonesia mengingat wilayah tersebut masih disengketakan. Protes
dilakukan atas cara kapal coast guard Vietnam yang hendak menghentikan KRI Tjiptadi 381 dengan cara penabrakan," ujar dia.
Hikmahanto mengungkapkan penyelesaian atas insiden ini harus dilakukan
melalui saluran diplomatik antara kedua negara dan tidak perlu dibawa ke
Lembaga Peradilan Internasional.
"Membawa ke Lembaga Peradilan Internasional memiliki kompleksitas.
Pertama akan sangat memakan biaya yang akan melebihi biaya yang diderita
oleh KRI Tjitadi 381, terlebih antarnegara ASEAN sudah seharusnya
menyelesaikan sengketa dengan mengedepankan cara-cara musyawarah untuk
mufakat," kata dia.
CB, Oxford – Seorang profesor dari Oxford University mengklaim mahluk luar angkasa atau alien
telah melakukan perkawinan silang dengan spesies manusia untuk
menghasilkan ras persilangan. Ras ini dianggap memiliki tingkat
kecerdasan yang tinggi sehingga mampu menyelesaikan masalah perubahan
iklim dunia.
Dr
Young-hae Chi, yang merupakan seorang instruktur Korea di Oxford’s
Oriental Institute, meyakini spesier baru hibrida hasil persilangan ini
bisa membantu ras manusia dari ancaman pemanasan global.
“Dr Chi
mengatakan ada korelasi kuat antara perubahan iklim dengan penculikan
oleh alien,” begitu dilansir media Oxford Student dan dikutip Mirror
pada Sabtu, 27 April 2019.
Dr
Chi menerbitkan sebuah buku berjudul “Alien Visitation and the End of
Humanity”. Buku ini berisi hipotesanya bahwa mahluk luar angkasa
berkembang biak di dalam sistem biologi yang dikembangkan sendiri dan
tidak bisa terlihat oleh manusia. Ini terjadi karena manusia memiliki
keterbatasan fungsi organ untuk mengetahui ini.
Dia menyebut alien
memiliki empat tipe berbeda yaitu kecil, tinggi dan pemberani, bersisik
dengan mata seperti ular, dan berbentuk serangga. Menurut Dr Chi, alien
dari jenis berbentuk seperti serangga kemungkinan bakal menjadi
pemimpin dan memberi instruksi kepada jenis lainnya.
Pada
2012, Chi berceramah dengan judul “Alien Abduction and the
Environmental Crisis”. Isinya bercerita mengenai adanya dunia yang
dihuni mahluk luar angkasa, yang tidak terdeteksi oleh kebanyakan
manusia. “Dia memulai pernyataannya dengan mengatakan,’Mungkin peradaban
manusia bakal segera berakhir’.”
Chi
mengutip pernyataan seorang peneliti mengenai alien di Amerika Serikat
yang mengklaim bahwa alien dan manusia kawin untuk menghasilkan spesies
hibrida, yang memiliki tingkat kecerdasan tinggi. Spesies ini mampu
menyelesaikan masalah besar di Planet Bumi.
“Jadi
mereka datang bukan untuk kebaikan kita tapi untuk kepentingan mereka,
upaya mereka untuk bertahan hidup. Namun, keberhasilan mereka bertahan
hidup merupakan keberhasilan kita juga – keberhasilan bertahan hidup
seluruh biosfer atau lingkungan hidup,” kata Chi. Dan alien ini hanya muncul jika ada masalah besar seperti ancaman perang nuklir.
WASHINGTON
- Pelaksana Tugas (Plt) Menteri Pertahanan Amerika Serikat (AS) Patrick
Shanahan memicu penyelidikan setelah menyebut program pesawat jet
tempur siluman F-35 Lockheed Martin kacau. Menurut laporan media Amerika
Serikat, bos Pentagon ini menjelek-jelekan Lockheed Martin dan
membanggakan Boeing, yang pernah menjadi majikannya.
Penyelidikan oleh Inspektur Jenderal Departemen Pertahanan dimulai setelah serangkaian laporan media, termasuk Politico, yang mengatakan Shanahan dalam sebuah pertemuan pribadi menyebut F-35 "fucked up" atau "kacau".
"Lockheed
Martin tidak tahu bagaimana menjalankan Program," tulis media tersebut
mengutip komentar Shanahan. Komentar negatif itu hampir bersamaan dengan
laporan Bloomberg bahwa keputusan awal Pentagon untuk membeli pesawat
Boeing F-15X berasal dari kepemimpinan puncak atas dorongan dari
Shanahan.
Tindakan bos Pentagon ini diduga melanggar perjanjian
etika, di mana dia mempromosikan Boeing dengan menjelek-jelekkan
Lokcheed Martin.
Departemen
Pertananan AS sudah merilis laporan awal penyelidikan tersebut. Menurut
laporan itu, yang dikritik Shanahan adalah program jet tempur siluman
F-35 bukan pesawat itu sendiri. Dia tetap mengaggumi jet tempur generasi
kelima Amerika tersebut.
Laporan tersebut pada akhirnya
membersihkan Shanahan dari tuduhan atau kesalahan terkait komentar
negatifnya. Komentarnya tentang program F-35 itu dinyatakan substantif,
yakni terkait dengan kinerja program, dan konsisten dengan komentar
tentang program F-35 yang dibuat oleh pejabat senior pemerintah lainnya.
"Shanahan
memberi tahu kami bahwa dia tidak mengatakan pesawat F-35 kacau. Dia
memberi tahu kami bahwa pesawat F-35 luar biasa," kata laporan
penyelidikan. "Shanahan mengatakan kepada kami bahwa dia mengatakan
program F-35 sudah selesai."
"Dia menambahkan bahwa
komentar-komentar itu selalu relatif terhadap tingkat kinerja, dan
jumlah kategori di mana Anda memiliki masalah mendasar," lanjut laporan
penyelidikan tersebut, seperti dikutip dari CNN, Minggu (28/4/2019).
"Kritik
keseluruhan Shanahan terhadap program F-35 didasarkan pada berbagai
masalah, termasuk suku cadang yang tidak mencukupi dalam inventaris dan
biaya per jam penerbangan tidak berkurang cukup cepat."
Namun
penilaiannya yang meresahkan terhadap keadaan program F-35, khususnya
tentang kurangnya suku cadang pesawat, telah diperkuat oleh laporan
terpisah yang dirilis Kamis dari Kantor Akuntabilitas Pemerintah (GAO)
AS.
Laporan GAO mengtakan hampir 30 persen dari jet tempur
siluman F-35 militer AS tidak dapat terbang selama periode beberapa
bulan pada tahun lalu karena kekurangan suku cadang.
"Pesawat
F-35 tidak dapat menerbangkan hampir 30 persen dari periode Mei-November
2018 karena kekurangan suku cadang," bunyi laporan GAO, yang mencatat
bahwa Departemen Pertahanan memperbaiki backlog sekitar 4.300 bagian F-35.
WASHINGTON
- Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump mengungkap reaksi
kemarahan Raja Arab Saudi Salman bin Abdulaziz al-Saud ketika dihubungi
via telepon. Pemicu kemarahan karena pemimpin Gedung Putih itu meminta
uang untuk Amerika sebagai imbalan dukungan keamanan Washington kepada
Riyadh.
Raja Salman marah ketika Trump mengeluh Amerika
kehilangan USD4,5 miliar per tahun untuk melindungi Arab Saudi. Pemimpin
Amerika itu mengungkapkan kemarahan Raja Salman dalam sebuah pertemuan
umum "Make America Great Again" (MAGA) dengan para pendukungnya di Green
Bay, Wisconsin, hari Sabtu waktu setempat.
"Kami kehilangan
USD4,5 miliar pada sebuah negara untuk membela mereka, dan mereka kaya,"
kata Trump di hadapan kerumunan pendukung.
"Jadi
saya bilang pada mereka. Saya bilang; dengarkan, tidak baik. Mereka
dalam keadaan terkejut karena mereka tidak pernah mendapat panggilan
seperti ini dalam 25 tahun, kan," katanya ketika kerumunan bersorak.
Trump
melanjutkan; "Saya katakan kami kehilangan USD4,5 miliar setiap tahun,
kami tidak bisa melakukan ini lagi. Ini gila. Dia (Raja Salman) menjadi
marah, sangat marah, mengatakan 'Ini tidak adil'. Saya katakan, tentu
saja Ini adil. Dia bilang 'Kami (Saudi) akan memberi Anda USD500 juta
lebih'...Saya bilang saya ingin lebih. Kami berdebat. Jadi mereka
membayar kami lebih dari USD500 juta untuk satu panggilan telepon, saya
mengambil satu panggilan telepon."
Trump mengatakan Raja Salman
kemudian bertanya kepadanya mengapa dia memanggil via telepon." Karena
tidak ada yang membuat panggilan seperti itu," kata Trump mengutip
keluhan Raja Salman.
"Itu karena mereka bodoh!," imbuh Trump yang disambut para pendukungnya.
Pemimpin
Amerika ini blakblakan tidak ingin kehilangan Arab Saudi karena negara
itu merupakan pembeli produk perusahaan-perusahaan AS. Dia menegaskan
dukungan keamanan Washington untuk Riyadh.
"Mereka tidak punya
apa-apa selain uang tunai, kan?" katanya. "Mereka membeli banyak dari
kita, USD450 miliar yang mereka beli," ujarnya.
"Anda memiliki orang-orang yang ingin memotong Arab Saudi...Saya tidak ingin kehilangan mereka," imbuh dia, seperti dikutip Al Jazeera, Senin (29/4/2019).
Tidak jelas dari mana Trump mengutip angka USD450 miliar itu. PolitiFact, sebuah situs web pengecekan fakta, menilai klaim tersebut sebagai "Pants on Fire".
Hubungan
AS-Saudi telah menghadapi cobaan sejak pembunuhan jurnalis Jamal
Khashoggi di Konsulat Saudi di Istanbul pada Oktober lalu.
Khashoggi,
orang dalam kerajaan yang telah berubah menjadi kritikus Putra Mahkota
Mohammed bin Salman (MBS), terbunuh dan tubuhnya dimutilasi oleh tim
Saudi.
Pembunuhan itu memicu protes global, di mana beberapa
negara memberlakukan embargo senjata terhadap kerajaan. Namun, Trump
berdiri membela kepemimpinan Saudi.
Pada saat pembunuhan
Khashoggi jadi pemberitaan media internasional, Trump berkata: "Jika
kita dengan bodohnya membatalkan kontrak-kontrak ini, Rusia dan China
akan menjadi penerima manfaat yang sangat besar, dan sangat senang
memperoleh semua bisnis yang baru ditemukan ini."
Yenagoa, Nigeria (CB) - Kelompok bersenjata menculik tiga
pekerja asal Kanada, Skotlandia dan Nigeria di wilayah Delta Nigeria
pada Sabtu, kata sejumlah pejabat, tindakan yang menjadi penculikan
kedua di daerah tersebut dalam waktu kurang dari sepekan.
Para penyerang menyerbu tempat pengeboran minyak milik Niger Delta
Petroleum Resources di Ogbele, Negara Bagian River sekitar pukul 8 pagi,
kata juru bicara operasi militer di daerah tersebut, Mayor Ibrahim
Abubakar.
Kelompok tersebut mencari rawa di sekelilingnya, kata dia. Polisi pun
langsung meningkatkan keamanan di jalan timur-barat, lokasi kelompok
bersenjata menyerang warga sipil dalam beberapa pekan terakhir.
Niger Delta memproduksi sebagian besar minyak mentah Nigeria. Namun,
aktivitas produksi dikacaukan oleh sejumlah geng kriminal dan kelompok
bersenjata, yang meminta "jatah" lebih besar dari hasil pendapatan
minyak daerah tersebut.
Pada Kamis, dua pekerja Royal Dutch Shell diculik dan polisi yang
mengawal mereka tewas di Negara Bagian River, saat kembali setelah
melakukan perjalanan.
Tentara mengawal aksi demonstrasi di Khartoum, Sudan, 11 April. (AFP PHOTO)
Jakarta, CB -- Dewan Militer dan sejumlah tokoh oposisi Sudan
menyatakan sepakat membentuk pemerintah gabungan sementara untuk
meredakan ketegangan di antara masyarakat. Mereka menyatakan hal itu
dilakukan untuk mempersiapkan masa peralihan, setelah tiga dasawarsa
berada dalam pemerintahan otokrasi Omar al-Bashir yang digulingkan dengan kudeta.
Kesepakatan
itu dibuat di depan para pengunjuk rasa yang berhari-hari berada di
depan gedung Kementerian Pertahanan di Ibu Kota Khartoum. Mereka
menuntut penyerahan kekuasaan kepada kalangan sipil, dan menolak rezim
militer kembali berkuasa, seperti dilansir The Guardian, Minggu (28/4).
"Kami sepakat membentuk dewan gabungan militer-sipil. Kami sedang
berunding berapa persentase keterwakilan sipil dan militer," kata
seorang tokoh pegiat sipil Sudan, Ahmed al-Rabie.
Akan
tetapi, kedua pihak ternyata belum menyetujui sebesar apa kewenangan
masing-masing kubu guna menghindari pertikaian di kemudian hari.
Dewan
Gabungan itu terdiri dari sejumlah tokoh sipil dan militer. Kelompok
oposisi mendesak lembaga itu berisi 15 orang, dan meminta jatah 8 kursi
bagi sipil. Namun, nampaknya militer Sudan belum sepakat dengan hal itu.
Mereka menyatakan akan menjadi lembaga yang berdaulat penuh, sebelum pemerintahan peralihan terbentuk.
Dalam perundingan dengan para tokoh politik dan sipil pada Rabu lalu,
tiga anggota Dewan Militer Sudan memilih mundur. Mereka adalah Letjen
Omar Zain al-Abdin, Letjen Jalaluddin Al-Sheikh dan Letjen Al-Tayieb
Babikir.
Salah satu tokoh gerakan sipil Sudan, Siddiq Farouk,
menyatakan akan menggelar aksi mogok nasional jika pemerintahan sipil
tak kunjung terbentuk. Dia juga menyatakan jutaan rakyat Sudan siap
turun ke jalan.
Unjuk rasa besar-besaran dimulai pada 19 Desember
2018, ketika Omar al-Bashir memutuskan menaikkan harga roti tiga kali
lipat. Gelombang unjuk rasa lantas menyebar ke penjuru Sudan dan
mendesaknya mundur setelah tiga dasawarsa berkuasa.
Mereka
khawatir bakal bernasib seperti Mesir, di mana revolusi untuk
menumbangkan rezim Husni Mubarak kini terlihat semu. Sebab, militer
kembali melakukan kudeta terhadap pemerintahan Muhammad Mursi, dan kini
mantan menterinya, Abdel Fattah Saeed Hussein Khalil El-Sisi,
dikhawatirkan meneruskan jejak Mubarak menjadi diktator.
CB, Jakarta - Presiden Cina Xi Jinping mengklaim sudah 150 negara menandatangani keikutsertaan mereka dalam KTT Belt and Road Initiative. Klaim itu disampaikan dalam Belt and Road Forum untuk kedua kalinya di Beijing selama 3 hari, 25-27.
Sejauh
ini Amerika Serikat merupakan satu-satunya negara yang secara terbuka
menolak ide Xi tentang Belt and Road Initiative yang digulirkan pada
tahun 2013.
Xi
membuat kebijakan untuk membangun global infrastruktur dengan membangun
pelabuhan, jalan dan rel kereta untuk menciptakan koridor dagang baru
yang menghubungkan Cina, Afrika, dan Eropa.
Sejak diluncurkan hingga pada tengah semester 2019, jumlah pinjaman luar negeri untuk proyek ini telah lebih dari US$ 90 miliar.
Pinjaman
dengan jumlah yang sangat besar dikritik akan membebani negara-negara
miskin sehingga jika utang tak dapat dilunasi, maka Beijing mendapatkan
keuntungan diplomatik atau keuntungan komersial.
Wakil presiden AS, Mike Pence bahkan mengecam Beijing dengan menyebutnya sebagai diplomasi utang pada Oktober lalu.
"Syarat pinjaman itu setidaknya buram, dan manfaatnya mengalir sangat banyak ke Beijing," ujar Pence.
Para
akademisi Universitas Harvard merilis laporan pada tahun 2018 yang
menyebutkan Cina memberlakukan tingkat utang yang tinggi untuk
negara-negara Asia Pasifik dengan tujuan memperoleh aset strategis atau
pengaruh politik dari negara-negara pengutang.
Meski sorotan tajam
telah dimunculkan, forum Belt and Road Initiative kedua di Beijing
dihadiri 5 ribu peserta dari lebih dari 150 negara.
Menurut rilis
Menteri Luar Negeri Cina Wang Yi, untuk pertama kali para peserta
merupakan pemimpin negara-negara Asia dan Eropa yang menghadiri forum
Belt and Road Initiative kedua.
Para
pemimpin yang hadiri di antaranya Wakil presiden Jusuf Kalla, Presiden
Filipina Rodrigo Duterte, Perdana Menteri Singapura Lee Hsien Loong,
Menteri Luar Negeri Myanmar Aung San Suu Kyi, Perdana Menteri Pakistan
Imran Khan, Kanselor Austria Sebastian Kurz, dan Perdana Menteri Italia
Giuseppe Conte.
Adapun Amerika Serikat dan sekutu dekatnya,
Australia, Selandia Baru dan Kanada tidak hadir. Sedangkan Jepang hanya
mengirikan utusan khusus. IMF juga disebut menghadiri forum ini.
Menurut Beijing, jika pada forum pertama tahun 2017 dihadiri 29 pemimpin negara, maka di forum Belt and Road Initiative kedua ini dihadiri 37 pemimpin negara.
WASHINGTON
- Militer Amerika Serikat (AS) kembali mengirim dua kapal perang
Angkatan Laut ke Selat Taiwan pada hari Minggu. Kapal-kapal Pentagon
masih nekat melintasi jalur perairan strategis itu meski ditentang
China.
"Transit kapal-kapal melalui Selat Taiwan menunjukkan
komitmen AS untuk Indo-Pasifik yang bebas dan terbuka," kata Armada
Pasifik AS dalam sebuah pernyataan yang dikutip Reuters, Senin (29/4/2019).
Kedua kapal perang tipe perusak itu diidentifikasi bernama USS William P. Lawrence dan USS Stethem.
Pada
bulan Maret lalu Angkatan Laut AS telah mengirim kapal perang tipe
perusak, USS Curtis Wilbur, dan kapal cutter Coast Guard (USGC) Bertholf
melintasi Selat Taiwan untuk menunjukkan komitmen AS terhadap operasi
kebebasan navigasi di wilayah tersebut.
Angkatan Laut AS terus
melakukan operasi kebebasan navigasi di perairan Laut China Selatan yang
disengketakan, yang oleh pemerintah China dianggap sebagai provokasi.
Tiongkok
atau juga dikenal sebagai China Daratan telah berulang kali meminta AS
untuk menghindari selat sepanjang 110 mil tersebut karena khawatir
Washington memberikan dukungan militer kepada Taiwan.
Taiwan
merupakan pulau itu telah menjadi negara yang memerintah sendiri sejak
tahun 1949. Namun, China terus-menerus memandang Taiwan sebagai
provinsinya yang harus kembali ke pangkuannya.
Selat Taiwan
memisahkan Taiwan dari China. Hubungan antara kedua belah pihak terputus
pada 1949 setelah sisa-sisa pasukan Chiang Kai-shek melarikan diri ke
pulau itu karena kalah dalam perang saudara. Sebagian ikatan sudah
dipulihkan pada 1980-an.
TEHERAN - Sebuah unmanned aerial vehicle
(UAV) atau kendaraan udara nirawak berani mendekati kelompok tempur
kapal induk Amerika Serikat di Teluk Persia untuk merekam kapal-kapal
tersebut dalam jarak dekat. Gambar-gambar rekaman itu telah dirilis
kantor berita Tasnim.
Video klip tidak bertanggal, yang dirilis oleh Korps Garda Revolusi Islam (IRGC) Iran, menunjukkan UAV atau drone Ababail-3 buatan dalam negeri lepas landas dari lapangan terbang Iran dengan iringan musik dari lagu epik.
Menurut media Iran, drone itu
berhasil mengambil gambar jarak dekat dari kapal induk USS Dwight D.
Eisenhower. Saking dekatnya jarak pengambilan gambar, angka-angka pada
sayap pesawat pengintai E-2C dan jet tempur F-18 di dek kapal induk
mudah dibedakan.
Desainer grafis Iran bahkan menuliskan beberapa pesawat dalam video tersebut.
USS
Dwight D. Eisenhower adalah kapal induk dari Carrier Strike Group (CSG)
10, yang juga termasuk kapal dengan rudal jelajah terpandu USS
Monterey, USS San Jacinto dan USS Vella Gulf. Sayap udara dari kapal
induk sepanjang 333 meter itu terdiri dari sekitar 90 pesawat dan
helikopter.
Pentagon maupun pemerintah AS belum berkomentar terkait rilis video aksi drone Teheran mendekati kelompok tempur kapal induk Washington.
Pada
8 April lalu, Presiden AS Donald Trump mengumumkan bahwa Washington
menunjuk IRGC sebagai organisasi teroris asing. Bagi AS, itu adalah
tindakan pertama kali dalam sejarah untuk menyebut militer negara lain
sebagai kelompok teroris.
Menanggapi pengumuman Trump itu, Dewan
Keamanan Nasional Tertinggi (SNSC) Iran membalas dengan mengumumkan AS
sebagai sponsor negara terorisme dan menyatakan Komando Pusat (CENTCOM)
militer AS sebagai kelompok teroris.