Kamis, 02 Mei 2019

Brazil Klaim Perpecahan Landa Kepemimpinan Angkatan Darat Venezuela


Brazil Klaim Perpecahan Landa Kepemimpinan Angkatan Darat Venezuela
Presiden Nicolas Maduro dikelilingi pimpinan Angkatan Darat Venezuela yang loyal kepadanya. Foto/Istimewa

BRASILIA - Presiden Brazil Jair Bolsonaro mengatakan kepemimpinan Presiden Nicolas Maduro di Venezuela dapat dipertanyakan karena perpecahan di tentara Venezuela yang lebih mendukung pemimpin oposisi Juan Guaido.

"Saya memuji dan mengakui semangat patriotik dan demokrasi yang (Guaido) harus perjuangkan untuk kebebasan di partainya," kata Bolsonaro, yang telah menjadi kritikus vokal presiden Venezuela Nicolas Maduro, seperti dikutip dari Sputnik, Kamis (2/5/2019).

Ia menambahkan bahwa dia telah menerima informasi bahwa keretakan di dalam pasukan Venezuela masih dapat menyebabkan “keruntuhan” pemerintahan Nicolas Maduro.

"Informasi yang kami miliki adalah bahwa ada fraktur (perpecahan) yang semakin dekat dan dekat dengan kepemimpinan angkatan bersenjata (Venezuela)," kata Bolsonaro dalam sambutan yang disiarkan oleh saluran Globo News.

Presiden Brazil menambahkan bahwa pemerintahnya tidak memiliki kontak dengan Amerika Serikat (AS) mengenai penggunaan wilayah Brazil sebagai basis untuk pontensi intervensi militer di Venezuela, dan jika ada permintaan seperti itu, dewan pertahanan dan Kongres akan terlibat dalam pengambilan keputusan.

Sebelumnya, pemimpin oposisi Venezuela Juan Guaido dan para pendukungnya berkumpul di Caracas di depan pangkalan militer La Carlota, mengumumkan dimulainya 'tahap akhir' dari apa yang disebut kampanye "Operasi Kebebasan" untuk menggulingkan pemerintah yang sah. Guaido pun meminta pada militer untuk bergabung dengan aksi protes terhadap Maduro.

Krisis politik di negara itu meningkat pada bulan Januari setelah Guaido menyatakan dirinya sebagai presiden sementara yang menyerukan pemilu baru. Deklarai itu hanya beberapa minggu setelah pelantikan Maduro untuk masa jabatan kedua.

Guaido menerima dukungan langsung dari AS dan sekutunya di Amerika Latin, serta Kanada, sementara Rusia, China, dan puluhan negara lain menyuarakan dukungan untuk pemerintah yang sah atau mendesak tidak campur tangan dalam urusan internal Venezuela. 



Credit sindonews.com



Rusia Dituduh Diam-diam Pasang Rudal Nuklir di Venezuela



Rusia Dituduh Diam-diam Pasang Rudal Nuklir di Venezuela
Pesawat pembom jarak jauh Tu-160 Rusia yang memiliki kemampuan menjatuhkan bom nuklir. Foto/REUTERS/Grigory Dukor/File Photo

WASHINGTON - Rusia dituduh secara diam-diam telah memasang rudal berhulu ledak nuklir di Venezuela. Tuduhan senasional ini muncul dari anggota Kongres Amerika Serikat (AS) Mario Diaz-Balart.

Klaim politisi partai Republik itu menggemakan kembali Krisis Rudal Kuba. Menurutnya, senjata nuklir rezim Vladimir Putin sekarang menjadi ancaman langsung terhadap keamanan nasional Amerika Serikat.

Dia membuat tuduhan tersebut beberapa jam setelah Venezuela di ambang perang saudara ketika pemimpin oposisi Juan Guaido menyerukan militer bergabung dengannya untuk menggulingkan Presiden Nicolas Maduro.

Diaz-Balart mengatakan kepada Fox News jika Maduro tetap berkuasa, itu bisa menjadi pintu terbuka bagi Rusia, China dan pihak lain untuk meningkatkan aktivitas mereka terhadap kepentingan keamanan nasional AS.

Jurnalis Fox News, Tucker Carlson, kemudian bertanya; "Apakah Anda bersugesti mereka akan menyerang?"

"Yang paling dekat dengan perang nuklir adalah karena Rusia menempatkan rudal, benar, rudal nuklir di Kuba," jawab Diaz-Balart.

"Apakah Anda mengatakan Rusia akan menempatkan rudal nuklir di Venezuela?," tanya Carlson lagi.

"Sugesti saya adalah mereka sudah ada di sana," jawab Diaz-Balart, tanpa menawarkan bukti untuk mendukung klaimnya.

Dukungan Putin yang sangat terbuka kepada Presiden Maduro telah lama dibandingkan dengan krisis tahun 1962 yang dipicu oleh pemasangan rudal-rudal nuklir Soviet di Kuba.

Klaim Diaz-Balart juga muncul setelah Rusia mendaratkan dua pesawat pembom nuklir di Venezuela sebagai bentuk penolakan terhadap kebijakan Presiden AS Donald Trump terhadap negara Amerika Selatan tersebut.

Dua pesawat pembom Tu-160 Rusia mendarat di Caracas pada bulan Desember ketika Putin secara terbuka mengumbar dukungannya kepada presiden sosialis Venzuela. Kedatangan kedua pesawat pembom Rusia di tanah Venezuela hanya berselang seminggu setelah Maduro yang hendak digulingkan oposisi melakukan perjalanan ke Moskow untuk bertemu dengan Putin.

Para pengamat internasional menduga hubungan Putin dan Maduro didasarkan pada keuangan ketimbang persahabatan. Mengutip laporan The Sun, Kremlin memiliki dana senilai 13 miliar poundsterling yang dipinjamkan untuk menopang kekuasaan Maduro. Uang Rusia itu bisa hilang jika Maduro dilengserkan dari kekuasaan.

Pemerintah Rusia maupun Venezuela belum berkomentar atas tuduhan politisi AS tersebut. 



Credit  sindonews.com




Menhan Amerika Siapkan Semua Opsi agar Maduro Mundur


Pengunjuk rasa Oposisi terlibat bentrok dengan Pasukan Keamanan di dekat Generalisimo Francisco de Miranda Airbase La Carlota di Caracas, Venezuela, 30 April 2019. REUTERS/Carlos Garcia Rawlins
Pengunjuk rasa Oposisi terlibat bentrok dengan Pasukan Keamanan di dekat Generalisimo Francisco de Miranda Airbase La Carlota di Caracas, Venezuela, 30 April 2019. REUTERS/Carlos Garcia Rawlins

CBWashington – Menteri Pertahanan interim Amerika Serikat, Patrick Shanahan mengatakan negaranya membuat perencanaan menyeluruh mengenai Venezuela.

Pemerintah AS telah menyiapkan berbagai rencana darurat untuk skenario berbeda. Saat ini, fokus utama pemerintah adalah tekanan diplomatik dan ekonomi. AS mendesak Presiden Venezuela, Nicolas Maduro, untuk mundur.
“Kami mengerjakan ini sebagai pemerintahan menyeluruh dan ketika orang-orang mengatakan ada semua opsi di meja, memang seperti itu. Tapi kami bekerja untuk mengenakan tekanan diplomatik dan ekonomi,” kata Shnahan di DPR AS seperti dilansir Reuters pada Rabu, 1 Mei 2019.

Shanahan mengatakan pemerintah AS telah membuat perencanaan menyeluruh,”Sehingga tidak ada situasi atau skenario yang tidak ada rencana daruratnya.”
Seperti dilansir Channel News Asia, tokoh oposisi Venezuela, Juan Guaido, menyerukan aksi unjuk rasa ke jalan pada peringatan Hari Buruh pada 1 Mei 2019 untuk menjatuhkan Presiden Nicolas Maduro, yang dianggap curang pada pemilu 2018.

Guaido telah menobatkan dirinya sebagai Presiden interim Venezuela pada Januari 2018. Dia mendesak agar militer meninggalkan Maduro dan bergabung dengan gerakannya.
Upaya Guaido menyerukan aksi massa untuk menekan Maduro mundur pada 1 Mei 2019 dinilai kurang berhasil. Dia mengatakan akan terus menggerakkan massa pada keesokan harinya untuk menekan Maduro mundur. Maduro membantah ada kudeta militer dan menyebut Guaido bekerja atas arahan AS.


Credit  tempo.co


Rusia Peringatkan AS: Intervensi di Venezuela Punya Konsekuensi Serius



Rusia Peringatkan AS: Intervensi di Venezuela Punya Konsekuensi Serius
Kelompok oposisi Venezuela melancarkan upaya kudeta terhadap Presiden Nicolas Maduro. Foto/Istimewa

MOSKOW - Rusia memperingatkan Amerika Serikat (AS) bahwa langkah agresif Washington terhadap Venezuela penuh dengan konsekuensi serius. Peringatan itu disampaikan Menteri Luar Negeri Rusia Sergei Lavrov kepada koleganya dari AS, Mike Pompeo.
"Hanya rakyat Venezuela yang memiliki hak untuk menentukan nasib mereka, yang diperlukan dialog antara semua kekuatan politik di negara itu, dan pemerintah Venezuela telah lama menyerukan hal itu," kata Lavrov, menurut pernyataan yang dipublikasikan di situs Kementerian Luar Negeri Rusia.

"Tekanan destruktif dari luar, terutama kekuatan, tidak ada hubungannya dengan proses demokrasi," sambung pernyataan itu seperti dikutip dari Sputnik, Kamis (2/5/2019).

Lavrov melakukan pembicaraan dengan Pompeo melalui telepon pada Rabu, sehari setelah pemimpun oposisi Venezuela Juan Guaido mengumumkan awal dari 'fase terakhir' upaya oposisi untuk merebut kekuasaan dari tangan Presiden Nicolas Maduro.

Sebelumnya, Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo mengatakan sementara AS lebih suka melihat transisi damai di Venezuela, Washington tidak akan mengambil opsi militer.

"Tindakan militer adalah mungkin. Jika itu yang diperlukan, itulah yang akan dilakukan Amerika Serikat," kata Pompeo. 

Sebelumnya, kementerian luar negeri Rusia menolak klaim Pompeo bahwa Moskow meyakinkan Presiden Nicolas Maduro untuk tidak melarikan diri dari negaranya ke Kuba. Juru bicara Kementerian Luar Negeri Rusia Maria Zakharova menyebut klaim itu 'palsu' yang hanya bagian dari perang informasi AS yang ditujukan terhadap negara Amerika Latin itu. 

Para pejabat Venezuela juga menolak klaim Pompeo itu sebagai "berita palsu," dan menambahkan dengan menunjukkan gagalnya aksi demonstrasi sebagai upaya kudeta yang didukung oleh AS.

Pada hari Selasa, oposisi Venezuela berkumpul di Caracas, menyerukan militer untuk bergabung dengan mereka untuk "tahap akhir" kampanye "Operasi Kebebasan" untuk menggulingkan pemerintah Maduro. Bentrokan antara oposisi dan pasukan keamanan menyebabkan setidaknya 69 orang terluka, dan mendorong Presiden Maduro untuk mengumumkan di televisi bahwa ia telah menunjuk jaksa penuntut untuk menyelidiki percobaan kudeta di negara itu.

Anggota parlemen Majelis Nasional Juan Guaido menyatakan dirinya sebagai presiden sementara Venezuela pada 23 Januari, dua minggu setelah pelantikan Presiden Maduro untuk masa jabatan kedua setelah pemilihan umum pada Mei 2018. Guaido segera diakui oleh AS dan sekutu-sekutu Amerika Latin dan Eropa, serta Kanada. Sementara Rusia, China, dan puluhan negara lain menyuarakan dukungan mereka untuk Maduro, atau mendesak tidak campur tangan dalam urusan internal Venezuela. 





Credit  sindonews.com



AS Siap Ambil Tindakan Militer atas Krisis Venezuela


AS Siap Ambil Tindakan Militer atas Krisis Venezuela
Menlu Mike Pompeo menyatakan bahwa pemerintahan Presiden Donald Trump siap untuk mengambil tindakan militer demi mencegah krisis terjadi di Venezuela. (Reuters/Joshua Roberts)




Jakarta, CB -- Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Mike Pompeo menyatakan bahwa pemerintahan Presiden Donald Trump siap untuk mengambil tindakan militer demi mencegah krisis terjadi di Venezuela.

"Presiden sangat jelas dan konsisten. Tindakan militer mungkin dilakukan. Jika itu yang diperlukan, itulah yang akan dilakukan Amerika Serikat," katanya kepada Fox Business Network, Rabu (1/5).

Sementara, menurut Penasihat Keamanan Nasional Gedung Putih John Bolton, Pompeo sendiri telah dijadwalkan untuk berbicara dengan rekannya dari Rusia di tengah ketegangan atas situasi politik di Venezuela.


Pompeo sebelumnya menuduh Rusia melakukan intervensi ketika Presiden Venezuela Nicolas Maduro siap untuk meninggalkan negara itu dalam menghadapi seruan atas pemberontakan pemimpin oposisi Juan Guaido, pada Selasa (30/4).


Bolton mengatakan kepada CNN dan Fox News bahwa Pompeo berencana untuk berbicara dengan Menteri Luar Negeri Rusia Sergei Lavrov.

Di Venezuela sendiri, ribuan masyarakat turun ke jalan seperti yang dikatakan Guaido sebagai demo terbesar dalam sejarah negara itu, sehari setelah ia menyerukan agar militer menggulingkan Presiden Nicolas Maduro.

Dalam upaya mendapatkan dukungan dari angkatan bersenjata, Guaido muncul pada Selasa (30/4) pagi di luar pangkalan angkatan udara Caracas dengan lusinan anggota Garda Nasional. Hal itu sempat memicu protes keras selama satu hari dan menyebabkan lebih dari 100 orang terluka.

Namun menurut laporan AFP, tak ada tanda-tanda pembelotan nyata dari pimpinan angkatan bersenjata.

"Hari ini kita lanjutkan," kata Guaido dalam sebuah unggahan di Twitter Rabu pagi. "Kami akan terus berjalan dengan kekuatan lebih dari sebelumnya, Venezuela."

Ketegangan di Venezuela yang dilanda krisis semakin memuncak dan memasuki titik kritis pada tahun ini usai Guaido mengatakan pada Januari lalu bahwa ia adalah presiden di bawah konstitusi. Sebelum pengumuman itu, ia adalah ketua Majelis Nasional yang dikuasai oleh oposisi.

Guaido mengatakan Maduro kembali menjadi presiden dengan cara yang curang pada pemilu tahun lalu.

Kepemimpinan Maduro menghasilkan krisis pada Venezuela dalam beberapa tahun terakhir hingga kekacauan di penjuru negeri akibat kegagalan menyediakan pasokan medis dan kebutuhan dasar sebagian besar penduduknya.

Seiring dengan pernyataan Guaido yang menyebut angkatan bersenjata telah merapatkan barisan kepadanya, pemerintah Venezuela bersumpah akan membatalkan apa pun tindakan yang disebut sebagai upaya kudeta.

Posisi Guaido sendiri diakui oleh Amerika Serikat dan sekitar 50 pemerintahan negara lainnya. Namun Moskow, bersama China, berada di sisi Maduro.

Selain menyebut Juan Guaido mengobarkan kekerasan dan meminta ada perundingan, Rusia juga menyebut Amerika Serikat memiliki niat khusus berupa pergantian rezim di Venezuela.



Credit  cnnindonesia.com




Erdogan Kutuk Kudeta di Venezuela yang Dipimpin Guaido


Erdogan Kutuk Kudeta di Venezuela yang Dipimpin Guaido
Sebuah kendaraan militer Venezuela menabrak demonstran saat terjadi kudeta di negara itu. Foto/Istimewa

ANKARA - Presiden Turki mengutuk pemberontakan di Venezuela yang dipimpin oleh tokoh oposisi Juan Guaido. Erdogan pun membagikan pengalamannya dengan mengatakan Turki telah mengalami konsekuensi negatif yang disebabkan oleh kudeta.

Erdogan, sekutu dari Presiden Venezuela Nicolas Maduro, mengungkapkan bagaimana Turki secara historis berjuang menghadapi kudeta dan memperingatkan konsekuensi negatif dari pemberontakan tersebut. Pernyataan itu muncul setelah video rekaman kendaraan militer menghantam para demonstran.

"Seluruh dunia harus menghormati pilihan demokratis rakyat di Venezuela," tulisnya di Twitter, menambahkan bahwa Turki dengan tegas mengutuk kudeta seperti dikutip dari Russia Today, Rabu (1/5/2019).

Maduro, pemimpin dunia pertama yang menyatakan dukungan untuk Erdogan setelah upaya kudeta Turki pada tahun 2016 gagal, terpilih kembali sebagai presiden Venezuela pada tahun 2018. Namun beberapa bulan kemudian pemimpin oposisi yang didukung Amerika Serikat (AS) Juan Guaido menyebut kepresidenannya tidak sah, dan pada hari Selasa pagi menyatakan ia memiliki dukungan militer dalam "tahap akhir" dari langkahnya untuk menggulingkan pemimpin negara itu.

Sekitar 50 negara termasuk AS dan Brazil, serta beberapa negara Eropa, mengakui Guaido sebagai presiden sementara negara Amerika Latin itu. Di tengah adegan bentrokan yang tersebar luas di Caracas pada hari Selasa, Presiden Bolivia Evo Morales menegaskan kembali dukungannya untuk Maduro, sementara pemimpin Kolombia Ivan Duque mendesak Venezuela untuk mendukung Guaido. Rusia, China, dan Iran sebelumnya juga mendukung suksesor Hugo Chavez itu. 



Credit  sindonews.com




Kudeta Pecah di Venezuela, Guaido Serukan Tentara Usir Maduro



Kudeta Pecah di Venezuela, Guaido Serukan Tentara Usir Maduro
Pemimpin oposisi Venezuela Juan Guaido menyerukan tentara untuk mengusir Presiden Nicolas Maduro. Foto/Istimewa


CARACAS - Pemimpin oposisi Venezuela, Juan Guaido, merilis sebuah video yang mendesak tentara untuk bergabung dengan aksi protes untuk menggulingkan Presiden Nicolas Maduro.

Dalam rekaman itu, Guaido dikelilingi oleh orang-orang berseragam militer. Sosok yang memproklamirkan diri sebagai presiden sementara Venezuela itu mengklaim telah mendapatkan dukungan dari militer Venezuela. Ia akan menyerukan "tahap akhir" dari aksi protes.

Rekaman itu menunjukkan Guaido, dikelilingi oleh orang-orang berseragam militer, mengklaim bahwa ia telah menerima dukungan dari Tentara Venezuela, yang akan menyerukan "tahap akhir" dari protes. 

Guadio menekankan bahwa rakyat Venezuela akan bertempur dalam perjuangan tanpa kekerasan untuk mengasumsikan kompetensi pemerintah.

Menariknya, Guaido mengaku merekam video itu di Pangkalan Udara La Carlota. Namun, kantor berita Reuters melaporkan ia terlihat di jalan raya Caracas di sebelah pangkalan militer seperti dikutip dari Sputnik, Rabu (1/5/2019).

Guaido terakhir kali mengeluarkan seruan kepada rakyat Venezuela adalah tepat sebelum pemadaman listrik besar-besaran terjadi di negara itu. Pihak pemerintah Venezuela mengatakan pemadaman terjadi akibat sabotase terhadap sebuah pembangkit listrik terbesar di negara itu.

Seperti diwartakan sebelumnya, upaya kudeta oleh massa oposisi sedang berlangsung di Venezuela, Selasa (30/4/2019) waktu setempat. Beberapa kendaraan lapis baja bermunculan di jalan di Caracas dan salah satunya menabrak para demonstran oposisi yang dianggap sebagai perusuh.

Belum jelas apakah insiden tersebut mengakibatkan korban jiwa atau tidak. Setidaknya satu orang terbaring di jalan setelah insiden tersebut. Tidak jelas juga, siapa sebenarnya yang berada di belakang kemudi kendaraan militer tersebut.

Insiden itu terjadi di tengah laporan adanya bentrok antar-kelompok yang berseteru di Garda Nasional Venezuela di Caracas. 




Credit  sindonews.com




Mantan agen CIA mengaku bersalah jadi mata-mata China


Mantan agen CIA mengaku bersalah jadi mata-mata China
Puluhan Mata-Mata CIA Telah Terbunuh Di China (Antara)




Washington (CB) - Seorang mantan perwira CIA mengaku bersalah telah berkonspirasi untuk membocorkan rahasia intelijen dan pertahanan Amerika Serikat kepada China, ungkap Departemen Kehakiman pada Rabu.

Kasus tersebut menjadi yang ketiga dalam kurun waktu kurang dari setahun.

Jerry Chun Shing Lee, pada 2010 dihubungi oleh dua agen intelijen China, yang menawarkan pembayaran 100.000 dolar AS kepadanya. Ia juga akan diberikan perlindungan "seumur hidup" sebagai imbalan atas informasi yang ia berikan sebagai agen CIA, demikian pernyataan Departemen Kehakiman.

Lee meninggalkan CIA pada 2017 dan pindah ke Hong Kong.

Ratusan ribu dolar AS pun mengalir ke rekening pribadi pria berusia 54 tahun tersebut sejak 2010 hingga 2013.

Pernyataan kementerian menyebutkan bahwa Lee telah menyimpan data berisikan informasi rahasia tentang aktivitas, lokasi serta jadwal operasi rahasia CIA di komputer miliknya.

Penggeledahan FBI pada 2012 di kamar hotel Honolulu, yang dipesan atas nama Lee, juga menemukan catatan tangan milik Lee. Catatan tersebut menjelaskan pekerjaannya sebagai agen CIA sebelum 2004.

"Catatan ini mencakup intelijen dari aset CIA, nama asli aset, lokasi rapat operasional, nomor telepon serta informasi tentang fasilitas rahasia," kata pernyataan itu.



Credit  antaranews.com




Perwira Militer Arab Saudi akan Mendapat Pelatihan di Jerman


 Tentara Arab Saudi berjaga di pos perbatasan dengan Yaman, Senin (6/4).
Tentara Arab Saudi berjaga di pos perbatasan dengan Yaman, Senin (6/4).
Foto: Reuters/Faisal Al Nasser

Tahun lalu Jerman hentikan sementara ekspor senjata dan program pelatihan Arab Saudi.




Jerman akan kembali melanjutkan kerja sama militer dengan Arab Saudi berupa pelatihan militer di Jerman, kata kantor berita Jerman DPA. Lima tentara Saudi menurut rencana akan memulai kursus pelatihan perwira bulan Juli di Bundeswehr.


Sementara dua perwira lain akan menerima pelatihan dengan angkatan udara Jerman. Tujuh prajurit Saudi lainnya akan mendapat kursus bahasa Jerman untuk persiapan memulai pelatihan perwira pada tahun 2020.



Pelatihan ini merupakan bagian dari perjanjian kerja sama yang dibuat pada 2016 selama kunjungan resmi Menteri Pertahanan Jerman Ursula von der Leyen ke Riyadh. Tahun lalu, Jerman menghentikan untuk sementara ekspor senjata ke Arab Saudi dan program pelatihan.


Hal ini menyusul pembunuhan terhadap jurnalis Saudi Jamal Khashoggi di konsluat Arab Saudi di Turki. Namun Jerman baru-baru ini mencabut embargo untuk komponen militer tertentu setelah tekanan Prancis dan Inggris.


Memalukan



Jerman empat tahun lalu juga pernah menghentikan ekspor senjata ke Arab Saudi. Kala itu Arab Saudi dan Uni Emirat Arab melibatkan diri dalam perang brutal di Yaman, yang berlangsung hingga saat ini. PBB menyebut perang di Yaman sebagai "bencana kemanusiaan terbesar dunia saat ini."


Karena itu, kalangan oposisi di parlemen menyebut kebijakan pemerintah Jerman untuk melanjutkan kerja sama militer dengan Arab Saudi sebagai "permainan yang memalukan".


Secara keseluruhan, Jerman tahun 2018 mengekspor lebih sedikit senjata ke seluruh dunia dibandingkan tahun sebelumnya. Tetapi ekspor senjata ke Arab Saudi dan Turki meningkat, antara lain karena ada kesepakatan penjualan senjata ke Arab Saudi yang telah ditandatangani tahun sebelumnya.




Credit  republika.co.id




Jaksa Agung AS Tolak Bersaksi soal Laporan Intervensi Rusia


Jaksa Agung AS Tolak Bersaksi soal Laporan Intervensi Rusia
Jaksa Agung AS, Bill Barr, menolak bersaksi di hadapan Dewan Perwakilan terkait laporan penyelidik khusus dugaan intervensi Rusia dalam pemilihan umum 2016, Robert Mueller. (Reuters/Aaron P. Bernstein)



Jakarta, CB -- Jaksa Agung Amerika Serikat, Bill Barr, menolak memberikan kesaksian di hadapan Dewan Perwakilan terkait laporan penyelidik khusus dugaan intervensi Rusia dalam pemilihan umum 2016, Robert Mueller.

Ketua Komite Kehakiman Dewan Perwakilan AS, Jerry Nadler, mengatakan bahwa Barr menolak bersaksi jika komite pimpinannya memasukkan sejumlah pengacara ke dalam tim yang bakal mendengar keterangannya.

"Dia takut harus menghadapi jaksa yang berpengalaman," ujar Nadler sebagaimana dikutip AFP.

Kementerian Kehakiman AS kemudian menyatakan bahwa Barr menolak hadir di hadapan Dewan Perwakilan setelah Nadler mengizinkan para pengacara itu untuk melontarkan pertanyaan.


"Sayangnya, setelah jaksa agung bersedia memberikan kesaksian, Nadler memberikan sejumlah syarat dalam sidang Komite Kehakiman yang tidak perlu," ujar juru bicara Kementerian Kehakiman AS, Kerri Kupec.

Namun, Kupec kemudian menyatakan, "Jaksa agung masih mau terlibat langsung dengan anggota [dewan] terkait pertanyaan mereka soal laporan itu dan bersedia bekerja sama dengan komite untuk permintaan pemeriksaan lebih lanjut."

Selain menolak bersaksi, Barr juga tak mau merilis laporan penuh Mueller. Nadler pun mengancam bakal merilis panggilan resmi atas Barr.

Barr diminta memberikan keterangan di hadapan Dewan Perwakilan setelah ia bersaksi di Senat. Dalam sesi dengar pendapat tersebut, Barr dituduh "mencuci" laporan Mueller dan berupaya mengelabui para pembuat kebijakan.

Barr memang dikecam karena hanya memberikan rangkuman hasil laporan penyelidikan Mueller. Dalam ringkasan yang ia tulis sendiri itu, Barr menjelaskan bahwa Mueller tak menemukan bukti kolusi antara Presiden Donald Trump dan Rusia. 

Mueller juga tak memiliki bukti cukup untuk membuktikan Trump berupaya menghalangi proses investigasi.

Namun, Mueller menekankan bahwa walau tak ada bukti cukup, bukan berarti Trump terbebas dari segala tuduhan soal menghalangi upaya penyelidikan.

Sejumlah pihak, terutama kubu Partai Demokrat, lantas meminta Barr merilis hasil laporan penuh Mueller karena ringkasan saja tidak cukup.

Laporan lengkap itu kini sudah dirilis dan masih didalami oleh sejumlah pihak. 




Credit  cnnindonesia.com



Rusuh Peringatan May Day di Paris dan St Petersburg


Rusuh Peringatan May Day di Paris dan St Petersburg
Petugas polisi berusaha mengamankan peserta aksi May Day 2019 di Paris, 1 Mei 2019. (REUTERS/Philippe Wojazer)




Jakarta, CB -- Peringatan Hari Buruh Internasional (May Day) di sejumlah negara diwarnai kerusuhan.

Salah satunya di Rusia di mana sekitar dua ribuan demonstran di kota Saint Petersburg dibubarkan dan puluhan di antaranya diamankan polisi setelah meneriakkan slogan-slogan kritis terhadap Presiden Rusia Vladimir Putin.

Seperti dikutip dari AFP, setidaknya sebanyak 60 orang demonstran di kota tersebut ditahan polisi. Di antara dua ribuan demonstran May Day itu, salah satunya adalah pendukung pemimpin oposisi Alexei Navalny.


Selama pawai, demonstran anti-Kremlin ini mengangkat potret Putin dan meneriakkan kata-kata seperti 'Putin pencuri!' serta 'Ini kota kami! di tengah kehadiran polisi yang semakin ketat.

"Mereka melindungi si bandit Putin," kata Galina Onishchenko, 70 tahun, sambil menunjuk mobil tahanan.



Kerasnya slogan-slogan anti-Putin selama unjuk rasa, membuat beberapa dari mereka akhirnya ditahan polisi.

Peringatan May Day pun terjadi di ibu kota Rusia, Moskow. Di mana para demonstran menyuarakan ketidakpuasan atas berlangsungnya pemerintahan selama beberapa tahun terakhir.

Tidak hanya di Rusia, kerusuhan selama aksi May Day pun terjadi di Paris, Perancis. Berdasarkan laporan AFP, Polisi anti huru-hara terlibat bentrok dengan pengunjuk rasa antikapitalis dan menembakkan gas air mata untuk membubarkan ribuan orang yang berkumpul demi pawai May Day di selatan kota.

Para demonstran yang menggunakan hoodie dan rompi kuning membalas polisi antihuru-hara itu dengan melempar puing atau benda apapun ke arah petugas.

Bentrokan memuncak saat ratusan aktivis yang disebut 'blok hitam' mendorong ke depan kerumunan yang berkumpul di Montparnasse Boulevard, sekitar 90 menit sebelum pawai May Day dimulai.




Credit  cnnindonesia.com



Indonesia-Vietnam perlu "rules of engagement" untuk hindari konflik


Indonesia-Vietnam perlu "rules of engagement" untuk hindari konflik
KRI Tjiptadi-318 saat diprovokasi oleh kapal pengawas Vietnam yang terjadi pada Sabtu (27/4/2019) di Laut Natuna Utara dalam wilayah ZEE Indonesia (ANTARA/dokumentasi video/aa)




Jakarta (CB) - Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia (UI) Hikmahanto Juwana mengatakan pemerintah Indonesia dan Vietnam harus membuat aturan-aturan bila otoritas saling berhadapan atau rules of engagement untuk menghindari insiden yang mungkin terjadi di wilayah Laut Natuna Utara.

"Insiden yang terjadi di Wilayah Laut Natuna Utara karena adanya klaim tumpang tindih antara Indonesia dengan Vietnam atas Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE)," ujar Hikmahanto melaui pesan singkat di Jakarta, Senin.

Pendapat tersebut disampaikan terkait insiden yang terjadi di Laut Natuna Utara antara kapal TNI AU KRI Tjiptadi 381 dan kapal otoritas perikanan Vietnam pada Sabtu (27/4).

Hikmahanto berpendapat bahwa kejadian itu terjadi karena TNI AU merasa berwenang melakukan penangkapan terhadap kapal nelayan Vietnam, namun di sisi lain otoritas Vietnam dengan kapal penjaga pantainya merasa KRI Tjiptadi 381 tidak berwenang melakukan penangkapan.

Dari klaim tumpang tindih itu kedua otoritas menyatakan diri berwenang yang kemudian menyebabkan insiden penabrakan oleh kapal penjaga pantai Vietnam yang ingin membebaskan kapal nelayannya dari penangkapan oleh KRI Tjiptadi 381.

Untuk menghindari kejadian seperti ini berulang, pemerintah yang memiliki klaim tumpang tindih harus membuat aturan-aturan bila otoritas saling berhadapan.

"Sayangnya, aturan seperti demikian belum ada di antara negara ASEAN yang memiliki klaim tumpang tindih," ujar Hikmahanto.


Pakar Hukum Internasional Universitas Indonesia, Hikmahanto Juwana (ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay)

Ia mengatakan ZEE bukanlah laut teritorial dimana berada di bawah kedaulatan negara (state sovereignty). ZEE merupakan laut lepas dimana negara pantai mempunyai hak berdaulat (sovereign right) atas sumber daya alam yang ada di dalam kolom laut.

Hingga saat ini, kedua negara belum memiliki perjanjian batas ZEE. Akibatnya, nelayan Vietnam bisa menangkap di wilayah tumpang tindih dan akan dianggap sebagai penangkapan secara ilegal oleh otoritas Indonesia. Demikian pula sebaliknya.

"Beruntung, awak KRI Tjiptadi 381 tidak terprovokasi untuk memuntahkan peluru," kata Hikmahanto.

Dalam hukum internasional terlepas dari siapa yang benar atau yang salah, pihak yang memuntahkan peluru terlebih dahulu akan dianggap melakukan tindakan agresi.

"Dalam insiden ini, pemerintah Indonesia melalui Kemlu dapat melakukan protes dengan cara memanggil Duta Besar Vietnam. Protes bukan atas pelanggaran masuknya kapal nelayan dan kapal otoritas Vietnam ke ZEE Indonesia mengingat wilayah tersebut masih disengketakan. Protes dilakukan atas cara kapal coast guard Vietnam yang hendak menghentikan KRI Tjiptadi 381 dengan cara penabrakan," ujar dia.

Hikmahanto mengungkapkan penyelesaian atas insiden ini harus dilakukan melalui saluran diplomatik antara kedua negara dan tidak perlu dibawa ke Lembaga Peradilan Internasional.

"Membawa ke Lembaga Peradilan Internasional memiliki kompleksitas. Pertama akan sangat memakan biaya yang akan melebihi biaya yang diderita oleh KRI Tjitadi 381, terlebih antarnegara ASEAN sudah seharusnya menyelesaikan sengketa dengan mengedepankan cara-cara musyawarah untuk mufakat," kata dia.





Credit  antaranews.com




Senin, 29 April 2019

Profesor Oxford University Klaim Alien dan Manusia Kawin Silang?


Seorang profesor dari Oxford University mengklaim manusia dan alien atau mahluk luar angkasa dari planet lain telah kawin dan menghasilkan spesies hibrida yang sangat cerdas. Mirror/YouTube
Seorang profesor dari Oxford University mengklaim manusia dan alien atau mahluk luar angkasa dari planet lain telah kawin dan menghasilkan spesies hibrida yang sangat cerdas. Mirror/YouTube

CBOxford – Seorang profesor dari Oxford University mengklaim mahluk luar angkasa atau alien telah melakukan perkawinan silang dengan spesies manusia untuk menghasilkan ras persilangan. Ras ini dianggap memiliki tingkat kecerdasan yang tinggi sehingga mampu menyelesaikan masalah perubahan iklim dunia.

Dr Young-hae Chi, yang merupakan seorang instruktur Korea di Oxford’s Oriental Institute, meyakini spesier baru hibrida hasil persilangan ini bisa membantu ras manusia dari ancaman pemanasan global.
“Dr Chi mengatakan ada korelasi kuat antara perubahan iklim dengan penculikan oleh alien,” begitu dilansir media Oxford Student dan dikutip Mirror pada Sabtu, 27 April 2019.

Dr Chi menerbitkan sebuah buku berjudul “Alien Visitation and the End of Humanity”. Buku ini berisi hipotesanya bahwa mahluk luar angkasa berkembang biak di dalam sistem biologi yang dikembangkan sendiri dan tidak bisa terlihat oleh manusia. Ini terjadi karena manusia memiliki keterbatasan fungsi organ untuk mengetahui ini.
Dia menyebut alien memiliki empat tipe berbeda yaitu kecil, tinggi dan pemberani, bersisik dengan mata seperti ular, dan berbentuk serangga. Menurut Dr Chi, alien dari jenis berbentuk seperti serangga kemungkinan bakal menjadi pemimpin dan memberi instruksi kepada jenis lainnya.

Pada 2012, Chi berceramah dengan judul “Alien Abduction and the Environmental Crisis”. Isinya bercerita mengenai adanya dunia yang dihuni mahluk luar angkasa, yang tidak terdeteksi oleh kebanyakan manusia. “Dia memulai pernyataannya dengan mengatakan,’Mungkin peradaban manusia bakal segera berakhir’.”

Chi mengutip pernyataan seorang peneliti mengenai alien di Amerika Serikat yang mengklaim bahwa alien dan manusia kawin untuk menghasilkan spesies hibrida, yang memiliki tingkat kecerdasan tinggi. Spesies ini mampu menyelesaikan masalah besar di Planet Bumi.

“Jadi mereka datang bukan untuk kebaikan kita tapi untuk kepentingan mereka, upaya mereka untuk bertahan hidup. Namun, keberhasilan mereka bertahan hidup merupakan keberhasilan kita juga – keberhasilan bertahan hidup seluruh biosfer atau lingkungan hidup,” kata Chi. Dan alien ini hanya muncul jika ada masalah besar seperti ancaman perang nuklir.




Credit  tempo.co




Bos Pentagon Bilang Program Jet Tempur Siluman F-35 Kacau



Bos Pentagon Bilang Program Jet Tempur Siluman F-35 Kacau
Pesawat jet tempur siluman F-35 Lightning II Lockheed Martin Amerika Serikat. Foto/REUTERS/Gary Cameron

WASHINGTON - Pelaksana Tugas (Plt) Menteri Pertahanan Amerika Serikat (AS) Patrick Shanahan memicu penyelidikan setelah menyebut program pesawat jet tempur siluman F-35 Lockheed Martin kacau. Menurut laporan media Amerika Serikat, bos Pentagon ini menjelek-jelekan Lockheed Martin dan membanggakan Boeing, yang pernah menjadi majikannya.

Penyelidikan oleh Inspektur Jenderal Departemen Pertahanan dimulai setelah serangkaian laporan media, termasuk Politico, yang mengatakan Shanahan dalam sebuah pertemuan pribadi menyebut F-35 "fucked up" atau "kacau".

"Lockheed Martin tidak tahu bagaimana menjalankan Program," tulis media tersebut mengutip komentar Shanahan. Komentar negatif itu hampir bersamaan dengan laporan Bloomberg bahwa keputusan awal Pentagon untuk membeli pesawat Boeing F-15X berasal dari kepemimpinan puncak atas dorongan dari Shanahan.

Tindakan bos Pentagon ini diduga melanggar perjanjian etika, di mana dia mempromosikan Boeing dengan menjelek-jelekkan Lokcheed Martin.

Departemen Pertananan AS sudah merilis laporan awal penyelidikan tersebut. Menurut laporan itu, yang dikritik Shanahan adalah program jet tempur siluman F-35 bukan pesawat itu sendiri. Dia tetap mengaggumi jet tempur generasi kelima Amerika tersebut.

Laporan tersebut pada akhirnya membersihkan Shanahan dari tuduhan atau kesalahan terkait komentar negatifnya. Komentarnya tentang program F-35 itu dinyatakan substantif, yakni terkait dengan kinerja program, dan konsisten dengan komentar tentang program F-35 yang dibuat oleh pejabat senior pemerintah lainnya.

"Shanahan memberi tahu kami bahwa dia tidak mengatakan pesawat F-35 kacau. Dia memberi tahu kami bahwa pesawat F-35 luar biasa," kata laporan penyelidikan. "Shanahan mengatakan kepada kami bahwa dia mengatakan program F-35 sudah selesai."

"Dia menambahkan bahwa komentar-komentar itu selalu relatif terhadap tingkat kinerja, dan jumlah kategori di mana Anda memiliki masalah mendasar," lanjut laporan penyelidikan tersebut, seperti dikutip dari CNN, Minggu (28/4/2019).

"Kritik keseluruhan Shanahan terhadap program F-35 didasarkan pada berbagai masalah, termasuk suku cadang yang tidak mencukupi dalam inventaris dan biaya per jam penerbangan tidak berkurang cukup cepat."

Namun penilaiannya yang meresahkan terhadap keadaan program F-35, khususnya tentang kurangnya suku cadang pesawat, telah diperkuat oleh laporan terpisah yang dirilis Kamis dari Kantor Akuntabilitas Pemerintah (GAO) AS.

Laporan GAO mengtakan hampir 30 persen dari jet tempur siluman F-35 militer AS tidak dapat terbang selama periode beberapa bulan pada tahun lalu karena kekurangan suku cadang.

"Pesawat F-35 tidak dapat menerbangkan hampir 30 persen dari periode Mei-November 2018 karena kekurangan suku cadang," bunyi laporan GAO, yang mencatat bahwa Departemen Pertahanan memperbaiki backlog sekitar 4.300 bagian F-35.




Credit  sindonews.com



Trump Minta Uang Via Telepon, Raja Arab Saudi Marah-marah


Trump Minta Uang Via Telepon, Raja Arab Saudi Marah-marah
Presiden Amerika Serikat Donald John Trump bicara di depan massa pendukungnya di Green Bay, Wisconsin, Sabtu (27/4/2019). Foto/REUTERS/Yuri Gripas

WASHINGTON - Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump mengungkap reaksi kemarahan Raja Arab Saudi Salman bin Abdulaziz al-Saud ketika dihubungi via telepon. Pemicu kemarahan karena pemimpin Gedung Putih itu meminta uang untuk Amerika sebagai imbalan dukungan keamanan Washington kepada Riyadh.

Raja Salman marah ketika Trump mengeluh Amerika kehilangan USD4,5 miliar per tahun untuk melindungi Arab Saudi. Pemimpin Amerika itu mengungkapkan kemarahan Raja Salman dalam sebuah pertemuan umum "Make America Great Again" (MAGA) dengan para pendukungnya di Green Bay, Wisconsin, hari Sabtu waktu setempat.

"Kami kehilangan USD4,5 miliar pada sebuah negara untuk membela mereka, dan mereka kaya," kata Trump di hadapan kerumunan pendukung.

"Jadi saya bilang pada mereka. Saya bilang; dengarkan, tidak baik. Mereka dalam keadaan terkejut karena mereka tidak pernah mendapat panggilan seperti ini dalam 25 tahun, kan," katanya ketika kerumunan bersorak.

Trump melanjutkan; "Saya katakan kami kehilangan USD4,5 miliar setiap tahun, kami tidak bisa melakukan ini lagi. Ini gila. Dia (Raja Salman) menjadi marah, sangat marah, mengatakan 'Ini tidak adil'. Saya katakan, tentu saja Ini adil. Dia bilang 'Kami (Saudi) akan memberi Anda USD500 juta lebih'...Saya bilang saya ingin lebih. Kami berdebat. Jadi mereka membayar kami lebih dari USD500 juta untuk satu panggilan telepon, saya mengambil satu panggilan telepon."

Trump mengatakan Raja Salman kemudian bertanya kepadanya mengapa dia memanggil via telepon." Karena tidak ada yang membuat panggilan seperti itu," kata Trump mengutip keluhan Raja Salman.

"Itu karena mereka bodoh!," imbuh Trump yang disambut para pendukungnya.

Pemimpin Amerika ini blakblakan tidak ingin kehilangan Arab Saudi karena negara itu merupakan pembeli produk perusahaan-perusahaan AS. Dia menegaskan dukungan keamanan Washington untuk Riyadh.

"Mereka tidak punya apa-apa selain uang tunai, kan?" katanya. "Mereka membeli banyak dari kita, USD450 miliar yang mereka beli," ujarnya.

"Anda memiliki orang-orang yang ingin memotong Arab Saudi...Saya tidak ingin kehilangan mereka," imbuh dia, seperti dikutip Al Jazeera, Senin (29/4/2019).

Tidak jelas dari mana Trump mengutip angka USD450 miliar itu. PolitiFact, sebuah situs web pengecekan fakta, menilai klaim tersebut sebagai "Pants on Fire".

Hubungan AS-Saudi telah menghadapi cobaan sejak pembunuhan jurnalis Jamal Khashoggi di Konsulat Saudi di Istanbul pada Oktober lalu.

Khashoggi, orang dalam kerajaan yang telah berubah menjadi kritikus Putra Mahkota Mohammed bin Salman (MBS), terbunuh dan tubuhnya dimutilasi oleh tim Saudi.

Pembunuhan itu memicu protes global, di mana beberapa negara memberlakukan embargo senjata terhadap kerajaan. Namun, Trump berdiri membela kepemimpinan Saudi.

Pada saat pembunuhan Khashoggi jadi pemberitaan media internasional, Trump berkata: "Jika kita dengan bodohnya membatalkan kontrak-kontrak ini, Rusia dan China akan menjadi penerima manfaat yang sangat besar, dan sangat senang memperoleh semua bisnis yang baru ditemukan ini." 





Credit  sindonews.com




Kelompok bersenjata di Nigeria culik pekerja minyak asing


Kelompok bersenjata di Nigeria culik pekerja minyak asing
Peta Nigeria




Yenagoa, Nigeria (CB) - Kelompok bersenjata menculik tiga pekerja asal Kanada, Skotlandia dan Nigeria di wilayah Delta Nigeria pada Sabtu, kata sejumlah pejabat, tindakan yang menjadi penculikan kedua di daerah tersebut dalam waktu kurang dari sepekan.

Para penyerang menyerbu tempat pengeboran minyak milik Niger Delta Petroleum Resources di Ogbele, Negara Bagian River sekitar pukul 8 pagi, kata juru bicara operasi militer di daerah tersebut, Mayor Ibrahim Abubakar.

Kelompok tersebut mencari rawa di sekelilingnya, kata dia. Polisi pun langsung meningkatkan keamanan di jalan timur-barat, lokasi kelompok bersenjata menyerang warga sipil dalam beberapa pekan terakhir.

Niger Delta memproduksi sebagian besar minyak mentah Nigeria. Namun, aktivitas produksi dikacaukan oleh sejumlah geng kriminal dan kelompok bersenjata, yang meminta "jatah" lebih besar dari hasil pendapatan minyak daerah tersebut.

Pada Kamis, dua pekerja Royal Dutch Shell diculik dan polisi yang mengawal mereka tewas di Negara Bagian River, saat kembali setelah melakukan perjalanan.



Credit  antaranews.com




Militer dan Oposisi Sudan Bentuk Pemerintahan Sementara


Militer dan Oposisi Sudan Bentuk Pemerintahan Sementara
Tentara mengawal aksi demonstrasi di Khartoum, Sudan, 11 April. (AFP PHOTO)



Jakarta, CB -- Dewan Militer dan sejumlah tokoh oposisi Sudan menyatakan sepakat membentuk pemerintah gabungan sementara untuk meredakan ketegangan di antara masyarakat. Mereka menyatakan hal itu dilakukan untuk mempersiapkan masa peralihan, setelah tiga dasawarsa berada dalam pemerintahan otokrasi Omar al-Bashir yang digulingkan dengan kudeta.

Kesepakatan itu dibuat di depan para pengunjuk rasa yang berhari-hari berada di depan gedung Kementerian Pertahanan di Ibu Kota Khartoum. Mereka menuntut penyerahan kekuasaan kepada kalangan sipil, dan menolak rezim militer kembali berkuasa, seperti dilansir The Guardian, Minggu (28/4).

"Kami sepakat membentuk dewan gabungan militer-sipil. Kami sedang berunding berapa persentase keterwakilan sipil dan militer," kata seorang tokoh pegiat sipil Sudan, Ahmed al-Rabie.


Akan tetapi, kedua pihak ternyata belum menyetujui sebesar apa kewenangan masing-masing kubu guna menghindari pertikaian di kemudian hari.

Dewan Gabungan itu terdiri dari sejumlah tokoh sipil dan militer. Kelompok oposisi mendesak lembaga itu berisi 15 orang, dan meminta jatah 8 kursi bagi sipil. Namun, nampaknya militer Sudan belum sepakat dengan hal itu.

Mereka menyatakan akan menjadi lembaga yang berdaulat penuh, sebelum pemerintahan peralihan terbentuk.

Dalam perundingan dengan para tokoh politik dan sipil pada Rabu lalu, tiga anggota Dewan Militer Sudan memilih mundur. Mereka adalah Letjen Omar Zain al-Abdin, Letjen Jalaluddin Al-Sheikh dan Letjen Al-Tayieb Babikir.

Salah satu tokoh gerakan sipil Sudan, Siddiq Farouk, menyatakan akan menggelar aksi mogok nasional jika pemerintahan sipil tak kunjung terbentuk. Dia juga menyatakan jutaan rakyat Sudan siap turun ke jalan.

Unjuk rasa besar-besaran dimulai pada 19 Desember 2018, ketika Omar al-Bashir memutuskan menaikkan harga roti tiga kali lipat. Gelombang unjuk rasa lantas menyebar ke penjuru Sudan dan mendesaknya mundur setelah tiga dasawarsa berkuasa.

Mereka khawatir bakal bernasib seperti Mesir, di mana revolusi untuk menumbangkan rezim Husni Mubarak kini terlihat semu. Sebab, militer kembali melakukan kudeta terhadap pemerintahan Muhammad Mursi, dan kini mantan menterinya, Abdel Fattah Saeed Hussein Khalil El-Sisi, dikhawatirkan meneruskan jejak Mubarak menjadi diktator.




Credit  cnnindonesia.com




Presiden Xi Klaim 150 Negara Ikut Belt and Road Initiative





CB, Jakarta - Presiden Cina Xi Jinping mengklaim sudah 150 negara menandatangani keikutsertaan mereka dalam KTT Belt and Road Initiative. Klaim itu disampaikan dalam Belt and Road Forum untuk kedua kalinya di Beijing selama 3 hari, 25-27.
Sejauh ini Amerika Serikat merupakan satu-satunya negara yang secara terbuka menolak ide Xi tentang Belt and Road Initiative yang digulirkan pada tahun 2013.

Xi membuat kebijakan untuk membangun global infrastruktur dengan membangun pelabuhan, jalan dan rel kereta untuk menciptakan koridor dagang baru yang menghubungkan Cina, Afrika, dan Eropa.

Sejak diluncurkan hingga pada tengah semester 2019, jumlah pinjaman luar negeri untuk proyek ini telah lebih dari US$ 90 miliar.
Pinjaman dengan jumlah yang sangat besar dikritik akan membebani negara-negara miskin sehingga jika utang tak dapat dilunasi, maka Beijing mendapatkan keuntungan diplomatik atau keuntungan komersial.
Wakil presiden AS, Mike Pence bahkan mengecam Beijing dengan menyebutnya sebagai diplomasi utang pada Oktober lalu.

"Syarat pinjaman itu setidaknya buram, dan manfaatnya mengalir sangat banyak ke Beijing," ujar Pence.
Para akademisi Universitas Harvard merilis laporan pada tahun 2018 yang menyebutkan Cina memberlakukan tingkat utang yang tinggi untuk negara-negara Asia Pasifik dengan tujuan memperoleh aset strategis atau pengaruh politik dari negara-negara pengutang.
Meski sorotan tajam telah dimunculkan, forum Belt and Road Initiative kedua di Beijing dihadiri 5 ribu peserta dari lebih dari 150 negara.
Menurut rilis Menteri Luar Negeri Cina Wang Yi, untuk pertama kali para peserta merupakan pemimpin negara-negara Asia dan Eropa yang menghadiri forum Belt and Road Initiative kedua.


Para pemimpin yang hadiri di antaranya Wakil presiden Jusuf Kalla, Presiden Filipina Rodrigo Duterte, Perdana Menteri Singapura Lee Hsien Loong, Menteri Luar Negeri Myanmar Aung San Suu Kyi, Perdana Menteri Pakistan Imran Khan, Kanselor Austria Sebastian Kurz, dan Perdana Menteri Italia Giuseppe Conte.
Adapun Amerika Serikat dan sekutu dekatnya, Australia, Selandia Baru dan Kanada tidak hadir. Sedangkan Jepang hanya mengirikan utusan khusus. IMF juga disebut menghadiri forum ini.
Menurut Beijing, jika pada forum pertama tahun 2017 dihadiri 29 pemimpin negara, maka di forum Belt and Road Initiative kedua ini dihadiri 37 pemimpin negara.


Credit  tempo.co



AS Kembali Kirim 2 Kapal Perang ke Selat Taiwan meski Ditentang China


AS Kembali Kirim 2 Kapal Perang ke Selat Taiwan meski Ditentang China
Kapal perang Amerika Serikat, USS William P. Lawrence. Foto/US Navy/Wikipedia

WASHINGTON - Militer Amerika Serikat (AS) kembali mengirim dua kapal perang Angkatan Laut ke Selat Taiwan pada hari Minggu. Kapal-kapal Pentagon masih nekat melintasi jalur perairan strategis itu meski ditentang China.

"Transit kapal-kapal melalui Selat Taiwan menunjukkan komitmen AS untuk Indo-Pasifik yang bebas dan terbuka," kata Armada Pasifik AS dalam sebuah pernyataan yang dikutip Reuters, Senin (29/4/2019).

Kedua kapal perang tipe perusak itu diidentifikasi bernama USS William P. Lawrence dan USS Stethem.

Pada bulan Maret lalu Angkatan Laut AS telah mengirim kapal perang tipe perusak, USS Curtis Wilbur, dan kapal cutter Coast Guard (USGC) Bertholf melintasi Selat Taiwan untuk menunjukkan komitmen AS terhadap operasi kebebasan navigasi di wilayah tersebut.

Angkatan Laut AS terus melakukan operasi kebebasan navigasi di perairan Laut China Selatan yang disengketakan, yang oleh pemerintah China dianggap sebagai provokasi.

Tiongkok atau juga dikenal sebagai China Daratan telah berulang kali meminta AS untuk menghindari selat sepanjang 110 mil tersebut karena khawatir Washington memberikan dukungan militer kepada Taiwan. 


Taiwan merupakan pulau itu telah menjadi negara yang memerintah sendiri sejak tahun 1949. Namun, China terus-menerus memandang Taiwan sebagai provinsinya yang harus kembali ke pangkuannya.

Selat Taiwan memisahkan Taiwan dari China. Hubungan antara kedua belah pihak terputus pada 1949 setelah sisa-sisa pasukan Chiang Kai-shek melarikan diri ke pulau itu karena kalah dalam perang saudara. Sebagian ikatan sudah dipulihkan pada 1980-an.




Credit  sindonews.com




Pesawat Nirawak Iran Rekam Kapal Induk AS dari Jarak Dekat


Pesawat Nirawak Iran Rekam Kapal Induk AS dari Jarak Dekat
Kapal induk Amerika Serikat, USS Dwight D. Eisenhower. Foto/Tasnim

TEHERAN - Sebuah unmanned aerial vehicle (UAV) atau kendaraan udara nirawak berani mendekati kelompok tempur kapal induk Amerika Serikat di Teluk Persia untuk merekam kapal-kapal tersebut dalam jarak dekat. Gambar-gambar rekaman itu telah dirilis kantor berita Tasnim.

Video klip tidak bertanggal, yang dirilis oleh Korps Garda Revolusi Islam (IRGC) Iran, menunjukkan UAV atau drone Ababail-3 buatan dalam negeri lepas landas dari lapangan terbang Iran dengan iringan musik dari lagu epik.

Menurut media Iran, drone itu berhasil mengambil gambar jarak dekat dari kapal induk USS Dwight D. Eisenhower. Saking dekatnya jarak pengambilan gambar, angka-angka pada sayap pesawat pengintai E-2C dan jet tempur F-18 di dek kapal induk mudah dibedakan. 

Desainer grafis Iran bahkan menuliskan beberapa pesawat dalam video tersebut.

USS Dwight D. Eisenhower adalah kapal induk dari Carrier Strike Group (CSG) 10, yang juga termasuk kapal dengan rudal jelajah terpandu USS Monterey, USS San Jacinto dan USS Vella Gulf. Sayap udara dari kapal induk sepanjang 333 meter itu terdiri dari sekitar 90 pesawat dan helikopter.

Pentagon maupun pemerintah AS belum berkomentar terkait rilis video aksi drone Teheran mendekati kelompok tempur kapal induk Washington.

Pada 8 April lalu, Presiden AS Donald Trump mengumumkan bahwa Washington menunjuk IRGC sebagai organisasi teroris asing. Bagi AS, itu adalah tindakan pertama kali dalam sejarah untuk menyebut militer negara lain sebagai kelompok teroris.

Menanggapi pengumuman Trump itu, Dewan Keamanan Nasional Tertinggi (SNSC) Iran membalas dengan mengumumkan AS sebagai sponsor negara terorisme dan menyatakan Komando Pusat (CENTCOM) militer AS sebagai kelompok teroris. 




Credit  sindonews.com