Rabu, 28 November 2018

Korsel Beli Radar Canggih Israel untuk Deteksi Rudal Korut


Korsel Beli Radar Canggih Israel untuk Deteksi Rudal Korut
Sistem radar Green Pine buatan Israel. Foto/ELTA Systems Ltd

SEOUL - Pemerintah Korea Selatan mengumumkan bahwa mereka membeli dua sistem radar canggih dari Israel yang bertujuan untuk meningkatkan kemampuannya mendeteksi rudal yang masuk, termasuk dari Korea Utara (Korut).

Dua radar detektor terbaru Green Pine disediakan oleh ELTA Systems Ltd., anak perusahaan  Israel Aerospace Industries (IAI).

Pembelian itu dilakukan meski ada upaya berkelanjutan antara Korea Selatan dan Korea Utara untuk mengakhiri perang yang secara resmi telah dikerjakan dua negara sejak 1950.

Seorang pejabat Korsel, yang dilansir Reuters Rabu (28/11/2018), mengatakan kesepakatan pembelian sistem radar bernilai sekitar USD292 juta.

"Sistem itu dapat melacak rudal balistik dari jarak jauh pada tahap awal," kata pemerintah Korea Selatan dalam pengumumannya.

Analis di Korea Selatan mengatakan sistem radar baru Green Pine dapat bertindak sebagai alat pencegah terhadap peluncuran rudal Korea Utara di tempat pertama.

Korea Selatan sudah memiliki versi lawas sistem radar Green Pine. Varian baru sistem itu dikenal sebagai Blok C.

Pada tahun 2009, ketika Seoul membeli pasangan pertama sistem radar baru Green Pine, para pejabat Korea Selatan mengatakan akan menggunakannya bersamaan dengan rudal pencegat Patriot buatan Amerika Serikat (AS).

Model baru dari sistem radar Green Pine diyakini memiliki jangkauan operasional yang lebih baik dan dapat melacak beberapa proyektil di udara secara bersamaan. Ini adalah perbaikan atas sistem radar Korea Selatan saat ini, yang diklaim memiliki jangkauan sekitar 800 kilometer (500 mil).

Keputusan untuk membeli sistem radar tambahan itu dibuat oleh Administrasi Program Akuisisi Pertahanan Korea Selatan.

Di bawah kepemimpinan Presiden Korea Selatan Moon Jae-in, Seoul telah mengejar kebijakan "merangkul" tetangganya, Korea Utara, yang bersenjata nuklir.

Pada bulan September, Moon Jae-in dan pemimpin Korea Utara Kim Jong-un menyetujui rencana luas untuk meredakan ketegangan di sepanjang perbatasan selama pertemuan ketiga mereka di Pyongyang.

Kedua negara secara teknis tetap berperang setelah Perang Korea 1950-1953, yang menyegel pembagian semenanjung Korea dan berakhir dengan gencatan senjata, bukan perjanjian damai.

Namun hubungan membaik tahun ini karena Moon dan Kim mengambil serangkaian gerakan rekonsiliasi. 





Credit  sindonews.com




Cina Peringatkan Dampak Mengerikan Perang Dagang dengan AS


Presiden AS Donald Trump dan Presiden Cina Xi Jinping.
Presiden AS Donald Trump dan Presiden Cina Xi Jinping.
Foto: AP Photo/File
Kedua negara harus mengerahkan seluruh kemampuan untuk mencegah dampak masalah ini.



CB, WASHINGTON -- Duta Besar Cina untuk Amerika, Cui Tiankai mengatakan, Beijing berharap dapat mencapai kesepakatan dengan AS di pertemuan G20 pekan ini. Kesepakatan tersebut terkait perang dagang di antara kedua negara.


Cui memperingatkan konsekuensi mengerikan jika sejumlah pejabat Amerika Serikat (AS) mencoba untuk memisahkan dua perekonomian terbesar di dunia.

Menurut Cui, Cina dan AS harus berbagi tanggung jawab untuk berkerja sama dalam kepentingan ekonomi global. Ia menarik sejarah perang dagang pada 1930-an yang terjadi di antara negara-negara industri saat itu.


Perang dagang membuat perekonomian global runtuh dan meningkatkan ketegangan beberapa tahun sebelum Perang Dunia II.

"Pelajaran sejarah masih ada, selama satu abad terakhir kita memiliki dua perang dunia dan di antaranya ada Depresi Besar, saya pikir tidak ada orang yang harusnya mengulang sejarah, hal seperti itu harusnya tidak terjadi lagi, jadi semua orang harus bertindak dengan cara yang bertanggungjawab," kata Ciu, Rabu (28/11).



Saat ini hubungan Cina dan AS sedang menegang. Kedua belah pihak saling serang dengan menaikan tarif impor komoditas masing-masing yang bernilai jutaan dolar AS.


Cui mengatakan kemungkinan ketegangan antara AS dengan Cina berbuah konflik yang luas dan 'tidak dapat dibayangkan'. Kedua negara tersebut harus mengerahkan seluruh kemampuan mereka untuk mencegah hal itu terjadi.

Cui menegaskan, Cina tidak pernah menginginkan adanya perang dagang. Ia juga meminta adanya solusi untuk menghentikan kebuntuan yang disebabkan permintaan Presiden AS Donald Trump untuk memangkas defisit perdagangan dengan Cina sebesar 375 miliar dolar AS.

"Kami menentang perang dagang dalam bentuk apa pun, tapi Cina akan mempertahankan kepentingan kami sendiri, kami yakin kunci negosiasi solusi untuk persoalan perdagangan ini adalah pendekatan yang seimbang dari kedua belah pihak dan sejujurnya sejauh ini saya tidak melihat adanya tanggapan yang mencukupi dari AS," katanya.

Pada Selasa (27/11) kepala ekonom Gedung Putih Larry Kudlow mengatakan Trump membuka kesepakatan dagang dengan Cina. Tapi, Trump juga mempersiapkan kenaikan tarif impor barang-barang Negeri Tirai Bambu lainnya jika tidak ada terobosan dalam persoalan ketidakseimbangan perdagangan yang menjengkelkan AS dalam pertemuan di G20 di Buenos Aires, Argentina, 30 November mendatang.

Cui mengatakan ia tidak yakin Pemerintah Cina mempertimbangkan akan menggunakan kepemilikan surat utang AS sebagai senjata perang dagang. Menurutnya gerakan tersebut sangat berbahaya dan dapat mengguncang pasar keuangan global. "Itu sangat berbahaya, seperti bermain-main dengan api," kata Cui.

Para pakar perdagangan dan analis ekonomi sering mengatakan Cina dapat memperlambat pembelian surat utang AS atau menjualnya untuk menekan AS agar membuat kesepakatan dagang yang baru. Cina memiliki surat utang AS senilai 1,1 triliyun dolar AS per 30 September. dari total 15, 97 triliyun dolar AS surat utang yang beredar di publik. 





Credit  republika.co.id





China Ingin Bangun Pangkalan Bawah Laut di Laut China Selatan


China Ingin Bangun Pangkalan Bawah Laut di Laut China Selatan
Kawasan Laut China Selatan yang jadi sengketa antara China dan beberapa negara Asia. Foto/REUTERS

BEIJING - China berencana untuk membangun pangkalan di bawah laut di Laut China Selatan yang jadi sengketa dengan negera-negara Asia. Pangkalan yang akan menerapkan teknologi artificial intelligence (AI) itu untuk basis kapal selam nirawak dan kemungkinan juga untuk operasi pertahanan.

Para pejabat dari Akademi Ilmu Pengetahuan China di Beijing telah berangkat ke wilayah Laut China Selatan yang belum dipetakan. Rencana Beijing itu dilaporkan South China Morning Post (SCMP).

Proyek pangkalan di bawah laut itu diperkirakan akan membebani pembayar pajak China sekitar USD160 juta.

Mengutip SCMP, pangkalan bertenaga AI itu akan digunakan untuk survei dasar laut, mengumpulkan sampel mineral dan mencatat bentuk kehidupan bawah laut. Pangkalan akan dihubungkan melalui kabel ke kapal atau platform di permukaan air sebagai sarana untuk mengumpulkan energi.

Semua sampel akan diperiksa oleh AI di pangkalan sebelum laporan lengkap ditransfer ke pejabat.

Dengan pertimbangan pangkalan kemungkinan akan terletak di zona hadal, bagian terdalam dari lautan dengan kedalaman berkisar antara 19.685 kaki hingga 36.100 kaki, salah satu prioritas utama bagi para insinyur adalah mengembangkan bahan yang akan mampu menahan tekanan air yang intens.

"Ini sama menantangnya dengan membangun koloni di planet lain untuk penduduk robot dengan artificial intelligence (AI)," kata seorang ilmuwan, yang tak disebut namanya, yang terlibat dalam proyek itu kepada SCMP. "Teknologi ini dapat mengubah dunia."

Yan Pin, seorang peneliti di Key Laboratory of Ocean and Marginal Sea Geology di Guangzhou, mengatakan kepada wartawan bahwa Palung Manila memiliki potensi untuk lokasi pembangunan pangkalan bawah laut tersebut.

"Itu adalah satu-satunya tempat di Laut China Selatan dengan kedalaman melebihi (16.000 kaki)," katanya, yang dikutip dari Spuntik, Rabu (28/11/2018).

Namun, palung itu juga dikenal sebagai salah satu zona gempa terbesar di dunia, karena area merupakan tempat lempeng tektonik Eurasia dan Pasifik bertemu. Menurut Yan, kegudahan seharusnya tidak menghalangi peneliti untuk menggunakan area tersebut untuk pengkalan baru.

China mengklaim palung Manila tersebut juga dekat dengan Scarborough Shoa, sebuah wilayah yang diklaim oleh China dan Filipina. Beijing yang enggan beronflik dengan Manila diduga akan mengajak Filipina untuk ikut serta dalam proyek.

"China dan Filipina harus duduk dan mendiskusikannya," katanya."(Peringatan) tsunami adalah titik penjualan besar. Data yang dikumpulkan oleh stasiun akan menguntungkan semua negara di kawasan ini." ujar Yan. "Itu bisa menyelamatkan banyak nyawa," imbuh dia. 





Credit  sindonews.com




Selandia Baru Peringatkan Ancaman Campur Tangan Cina


Wakil Perdana Menteri Selandia Baru yang sekaligus merangkap Menteri Luar Negeri Winston Peters.
Wakil Perdana Menteri Selandia Baru yang sekaligus merangkap Menteri Luar Negeri Winston Peters.
Foto: ABC News
Aanggota parlemen oposisi mengaku mengajar bahasa Inggris di sekolah mata-mata Cina.



CB, Wakil Perdana Menteri Selandia Baru yang sekaligus merangkap Menteri Luar Negeri Winston Peters mengatakan adalah naif untuk berpikir bahwa masyarakat luas tidak dimata-matai oleh kekuatan asing. Dalam wawancara dengan Radio Live di Selandia Baru, Winston Peters mengatakan program spionase telah berlangsung selama beberapa dekade dari berbagai kekuatan.

Menurut Peters, yang menjadi masalah sekarang adalah bahwa tuduhan melakukan mata-mata itu hanya ditujukan kepada Cina saja, padahal selama ini tindakan tersebut juga dilakukan negara lain. Dan juga bahwa sikap curiga terhadap warga Cina sebenarnya disebabkan dari kecurigaan yang bermula dari 100 tahun lalu.

Selain itu juga memang karena kemampuan Beijing yang lebih kuat untuk bisa menjangkau warga mereka sendiri yang berada di luar negeri. "Itulah alasan mengapa warga Cina tidak melakukan protes adalah karena mereka takut adanya ancaman dari dalam Cina jika mereka melakukan hal itu dan ini sudah terjadi di banyak negara Barat," katanya.

Selandia Baru bangkit sikapi dorongan Cina di Pasifik. Campur tangan Cina terhadap warga mereka di luar negeri ini muncul di saat Selandia Baru harus menghadapi terus meningkatnya pengaruh Cina di kawasan Pasifik.

Bulan Oktober lalu, Aliansi Lima Mata, yang sebelumnya hanya beranggotakan dinas intelejen lima negara yaitu Inggris, AS, Kanada, Selandia Baru dan Australia - sekarang juga memasukkan Jerman dan Jepang guna mengimbangi meningkatnya kekuatan intelijen Cina dan Rusia.

Di Selandia Baru, tindakan mata-mata terungkap bulan September 2017, ketika seorang anggota parlemen dari partai oposisi Dr Jian Yang mengaku mengajar bahasa Inggris di sekolah yang diduga melatih mata-mata Cina.

Pengakuan itu mengungkapkan bahwa Dr Jian mengenyam pendidikan Sekolah Tinggi Teknik Angkatan Udara Tentara Pembebasan Rakyat Cina, dan juga pernah mengajar bahasa di jurusan yang dijalankan oleh "Departemen Ketiga", organisasi yang menjalankan kegiatan mata-mata Cina.

Dalam sebuah pernyataan kepada media dia berkata, "Jika Anda mendefinisikan para taruna itu sebagai mata-mata maka saya mengajar mata-mata, ya".

Mobil pakar politik Cina dirusak

Salah satu contoh mengenai campur tangan Cina di negara lain adalah ketika Anne-Marie Brady, seorang spesialis Politik Cina dari Universitas Canterbury, meminta perlindungan polisi setelah rumah dan kantornya diserang orang pada bulan September.

Para penyerang mencuri tiga laptop dan telepon yang berisi materi mengajar dia sebagai profesor pada kajian kebijakan luar negeri Cina dan usahanya mempengaruhi negara lain termasuk Selandia Baru. Ia kemudian mengungkapkan bahwa Dinas Intelijen Rahasia Selandia Baru (NZSIS) memeriksa rumahnya untuk mencari apaka ada alat penyadap atau tidak.

"Cina mencampuri politik Selandia Baru seperti di negara-negara lain, dan komunitas Cina kita telah memiliki kelompok budaya yang disusupi, atau kelompok lain yang mewakili kepentingan Cina," kata Brady.

"Partai-parti politik juga menjadi sasaran. Perdebatan tentang masalah-masalah sedang berlangsung, dan sekarang Winston Peters juga memberikan komentar."

Profesor Brady telah membangkitkan kemarahan di antara simpatisan Partai Komunis Cina di dalam dan di luar Selandia Baru. Dia menulis sebuah makalah yang menyelidiki campur tangan Cina terhadap negara lain, dan juga memberikan saran kebijakan kepada pemerintah Selandia Baru tentang campur tangan Cina.


photo
Professor Brady tinggal di lives in Selandia Baru dibawah perlindungan polisi setelah berulang kali berusaha mengungkapkan risetnya mengenai campur tangan China. (Twitter: Anne-Marie Brady)

Profesor Brady mengatakan bahwa ia menerima sepucuk surat yang merinci apa yang sedang diupayakan oleh konsulat Cina untuk "menekan berbagai kekhawatiran warga" komunitas Cina-Selandia Baru. Profesor Brady merupakan sasaran target mereka berikutnya tanpa membahas secara spesifik ancaman tersebut.

Dua minggu lalu dia melapor ke polisi Selandia Baru bahwa mobilnya dirusak. Ia juga mengatakan orang-orang telah menerobos masuk ke garasi rumahnya dan mengempeskan dua ban mobilnya sehingga dia akan mengalami kecelakaan ketika mengemudi.


Polisi Selandia Baru dan lembaga kepolisian internasional, Interpol, saat ini sedang menyelidiki laporan Profesor Brady dan dia dapat perlindungan polisi.




Credit  republika.co.id




Bomber AS Dilarang Terbang di Atas Semenanjung Korea



Bomber AS Dilarang Terbang di Atas Semenanjung Korea
Pesawat pembom AS dilarang untuk terbang di atas Semenanjung Korea. Foto/Istimewa

WASHINGTON - Pesawat pembom Amerika Serikat (AS) tidak lagi melakukan penerbangan di Korea Selatan (Korsel) setelah Seoul meminta misi semacam itiu dihentikan. Hal itu diungkapkan oleh Jenderal Charles Brown, yang mengepalai Pasukan Udara Pasifik AS.

Brown mengatakan bahwa penghentian itu membantu menciptakan ruang bagi upaya diplomatik yang sedang berlangsung untuk mengatasi kegiatan nuklir Korea Utara (Korut).

"Saat kita akan melalui aspek diplomatik, kita tidak ingin benar-benar melakukan sesuatu yang akan menggagalkan negosiasi diplomatik," ujar Brown.

“Jadi itu bagian dari alasan mengapa kami tidak melakukan (penerbangan) ke Korea,” imbuhnya seperti dikutip dari Japan Times, Selasa (27/11/2018).

Sebagai bagian dari apa yang disebut Misi Pengoperasian Bomber Berkepanjangan, Angkatan Udara AS telah menyimpan pesawat pembom jenis B-1B, B-52 dan B-2 di wilayah AS di Guam sejak 2004.

Pesawat-pesawat ini secara rutin melakukan penerbangan di seluruh wilayah, sering dengan mitra termasuk Jepang, Korsel dan Australia, sebagai cara pelatihan dan mengerahkan kehadiran militer yang kuat terhadap Korut dan musuh potensial lainnya.

Brown mengatakan meski tidak terbang di atas semenanjung Korea, jumlah keseluruhan penerbangan pembom tidak berubah.

AS dan Korsel telah menurunkan atau membatalkan beberapa latihan militer bersama sejak pertemuan bersejarah antara Pemimpin Korut Kim Jong-un dan Presiden AS Donald Trump di Singapura pada bulan Juni.

Pada pertemuan tersebut, Trump mengumumkan AS akan berhenti mengadakan latihan gabungan dengan Korsel, menyebut biaya mereka mahal dan "sangat provokatif."

Menteri Pertahanan AS Jim Mattis pekan lalu mengatakan AS dan Korsel mengurangi ruang lingkup "Foal Eagle," latihan bersama yang dijadwalkan untuk dihelat pada musim semi 2019.

Foal Eagle adalah yang terbesar dari latihan gabungan reguler yang diadakan oleh dua negara sekutu itu. Latihan ini selalu membuat marah Pyongyang, yang mengutuknya sebagai persiapan untuk invasi. 



Credit  sindonews.com



Palestina Respons Rencana Israel Dekati Negara Arab


Warga Palestina bentrok dengan pasukan Israel setelah protes terhadap pembukaan kedutaan AS di Yerusalem, di kota Betlehem, Tepi Barat, Senin, 14 Mei 2018.
Warga Palestina bentrok dengan pasukan Israel setelah protes terhadap pembukaan kedutaan AS di Yerusalem, di kota Betlehem, Tepi Barat, Senin, 14 Mei 2018.
Foto: AP Photo/Majdi Mohammed
Palestina meminta Liga Arab gelar pertemuan untuk membahas rencana Israel.



CB, RAMALLAH -- Otoritas Palestina mendorong Liga Arab menggelar pertemuan guna membahas upaya Israel yang hendak menjalin hubungan diplomatik dengan negara-negara Arab dan Islam. Menurut Palestina, pertemuan itu cukup mendesak untuk diselenggarakan.

"Ada serangkaian resolusi dan deklarasi Arab serta Islam yang secara eksplisit menyatakan bahwa tidak akan ada normalisasi dengan Israel tanpa solusi untuk masalah Palestina berdasarkan Prakarsa Perdamaian Arab dan keputusan komunitas internasional," ujar penasihat urusan luar negeri Presiden Palestina Mahmoud Abbas, Nabil Shaath, dikutip laman Jerusalem Post, Selasa (27/11).

Shaath melihat bagaimana perkembangan selama beberapa pekan terakhir, yakni bagaimana Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu mengunjungi Oman, lalu pertemuan antara Netanyahu dan Presiden Chad Idriss Deby di Yerusalem.

Kemudian saat ini terdapat pembicaraan tentang kemungkinan Israel menjalin hubungan diplomatik dengan Bahrain, Sudan, dan Arab Saudi. "Ini menimbulkan tanda tanya! Karena itu posisi Arab dan Islam perlu diklarifikasi," ujar Shaath.

"Baik Israel dan Amerika Serikat (AS) mengeksploitasi skisma Palestina untuk lebih dekat dengan negara-negara Arab dan Islam," kata Shaath menambahkan.

Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu mengatakan telah ada perubahan sikap beberapa negara Arab terhadap Israel. Menurutnya, itu adalah hasil dari perjalanan yang dilakukannya ke Oman pada Oktober lalu.

Juru bicara Kantor Perdana Menteri Israel untuk media Arab, Hani Marzouk, mengatakan saat ini Israel berada pada tahap awal untuk menjalin hubungan baru dengan negara-negara Arab. "Israel melihat dunia Arab itu besar, beragam, dan memiliki potensi manusia yang kaya dan ingin menjalin hubunga baik dengan mereka di tingkat ilmiah serta akademis," ucapnya.

Setelah Oman, Marzouk mengatakan Netanyahu akan mengunjungi Bahrain. "Kerajaan Bahrain adalah tujuan selanjutnya untuk Netanyahu," kata dia.

Pemerintah Bahrain telah mengundang Menteri Perekonomian Israel Eli Cohen untuk menghadiri konferensi ekonomi start-up yang dijadwalkan dihelat pada April 2019. Konferensi itu digelar oleh Bank Dunia.

Cohen melihat undangan itu sebagai bagian dari meningkatnya hubungan Israel dengan negara-negara Arab dan Islam yang selama ini belum memiliki hubungan diplomatik resmi. "Saya sendiri menerima undangan pribadi ke Bahrain," ujarnya.

Saat ini Israel hanya memiliki hubungan diplomatik dengan dua negara Arab, yaitu Mesir dan Yordania.




Credit  republika.co.id



Pakistan Beri Kewarganegaraan Etnis Pashtun Setelah 150 Tahun


Imran Khan, kepala Gerakan untuk Keadilan Pakistan, berpidato di depan pendukungnya saat unjuk rasa di Islamabad, Pakistan (11/5). (AP/Anjum Naveed)
Imran Khan, kepala Gerakan untuk Keadilan Pakistan, berpidato di depan pendukungnya saat unjuk rasa di Islamabad, Pakistan (11/5). (AP/Anjum Naveed)

CB, Jakarta - Lima juta etnis Pashtun Pakistan yang tinggal di perbatasan Afganistan akhirnya diberikan hak kewarganegaraan penuh setelah 150 tahun.
Mayoritas penduduk di daerah perbatasan ini, yang dikenal sebagai wilayah suku yang dikelola secara federal (FATA), dihuni mayoritas suku Pashtun yang hidup di pedalaman perbatasan Pakistan, seperti dilaporkan dari Aljazeera 27 November 2018.

Ketidakstabilan dan konflik di kawasan tersebut, ditambah dengan protes besar-besaran yang mengarah pada reformasi tahun ini serta diskriminasi dan kurangnya pembangunan, telah berdampak buruk pada daerah dan jutaan etnis Pashtun yang terlantar.

Suku Pashtun di Pakistan [tns.thenews.com.pk]
Lokasi geostrategis unik FATA di perbatasan Afganistan dan terasing dari warga mayoritas menjadikan wilayah ini menjadi tempat potensial bagi pejuang asing sejak invasi Uni Soviet ke Afganistan pada 1979.
Sejak itu, beralihnya perjuangan dan perang proksi di Afganistan telah memperparah kondisi masyarakat setempat, yang telah mengalami berbagai tindak kekerasan dan penangkapan paksa oleh pasukan Pakistan.
Dilansir dari minorityrights.org, Pashtun yang juga dikenal sebagai Pushtan, Paktun atau Pathan, adalah kelompok etnis terbesar di Afganistan. Keturunan Pahstun diyakini berasal dari Persia yang bermigrasi ke wilayah Asia Tengah. Mayoritas Pashtun beragama Islam Sunni yang menghuni wilayah perbatasan Pakistan-Afganistan.

Hak kewarganegaraan bagi etnis Pahstun merupakan langkah PM Pakistan Imran Khan, untuk mengupayakan perdamaian di wilayah perbatasan Pakistan. Dalam kunjungan pertamanya ke wilayah pedalaman perbatasan Pakistan pada Senin 26 November, seperti dilaporkan NDTV, Khan tidak mau ada pertempuran lagi di negaranya.
"Kami bertempur di dalam negeri kami yang membuat kerugian besar, darah dan tenaga, dan kehilangan sektor sosial-ekonomi kami. Kami tidak akan bertempur lagi di dalam wilayah Pakistan," kata Khan di distrik Waziristan Utara, yang pernah menjadi pusat aktivitas milisi Taliban.

Pengungsi Pashtun Pakistan di Waziristan Selatan di kamp pengungsi Dera Ismail Khan.[www.rferl.org]


Selama kunjungannya ke daerah pedalaman, Khan mendapat penjelasan singkat tentang operasi yang dilakukan, operasi yang sedang berlangsung, rehabilitasi orang-orang terlantar, proyek pembangunan sosial-ekonomi dan pemagaran di sepanjang perbatasan Pakistan-Afganistan. Imran Khan berjanji untuk memainkan peran dalam perdamaian dan stabilitas di Afganistan.

Perdana Menteri juga mengumumkan berbagai proyek kesejahteraan di bidang kesehatan, pendidikan, ketenagakerjaan dan administrasi untuk distrik-distrik yang baru didirikan di wilayah kesukuan sebelumnya.
Tujuh daerah bekas wilayah kesukuan yang dikelola secara federal, termasuk etnis Pahstun, yang awal tahun ini bergabung dengan provinsi Khyber-Pakhtunkhwa, mengakhiri warisan kolonial lama yang lebih dari abad terhadap suku-suku di perbatasan Pakistan.





Credit  tempo.co




Ukraina Terancam Perang Terbuka Dengan Rusia


Ukraina Terancam Perang Terbuka Dengan Rusia
Presiden Ukrania Petro Poroshenko. (REUTERS/Ukrainian Presidential Press)


Jakarta, CB -- Ketegangan antara Rusia dan Ukraina semakin meningkat, selepas insiden yang terjadi di Selat Kirch, Laut Hitam, Semenanjung Krimea pada Minggu pekan lalu. Karena Rusia dikabarkan mengerahkan pasukan ke wilayah perbatasan, Presiden Ukraina Petro Poroshenko menyatakan kemungkinan mereka akan terlibat perang terbuka.

"Negara ini dalam ancaman akan terlibat perang terbuka dengan Rusia," kata Petro, seperti dilansir CNN, Rabu (28/11).

Poroshenko sudah meminta bantuan kepada sekutunya, Amerika Serikat. Dia bahkan mengontak Menteri Luar Negeri AS, Mike Pompeo, yang berharap dibantu dari sisi militer.


"Kami juga akan membatasi gerak-gerik orang Rusia di perbatasan untuk keluar masuk Ukraina," ujar Poroshenko.


Badan Intelijen (FSB) dan penjaga pantai Rusia menahan 2 buah kapal Angkatan Laut dan sebuah kapal tunda Ukraina pada Minggu pekan lalu.

Menurut Badan Intelijen Rusia (FSB), insiden itu terjadi ketika dua kapal AL Ukraina berukuran kecil dilengkapi meriam yang mengawal sebuah kapal tunda melintas di Laut Hitam dekat Semenanjung Krimea. Mereka hendak menuju pelabuhan di Mariupol.

Rusia beralasan kapal AL Ukraina tetap melintas dan mengabaikan peringatan. Mereka lantas terlibat duel dengan masing-masing melancarkan manuver. Alhasil, penjaga pantai Rusia melepaskan tembakan ke arah kapal AL Ukraina dan melukai sejumlah pelaut.

Menurut versi Ukraina, Rusia justru menyerang dan menyita kapal setelah mereka menjauh dan hendak kembali pelabuhan di Odessa. Mereka mengaku Rusia bertindak agresif dengan menabrak dan menembaki kapal itu.

Poroshenko menyatakan jumlah pasukan Rusia di perbatasan meningkat tiga kali lipat, termasuk pengerahan kendaraan lapis baja. Namun, dia tidak membeberkan secara detail jumlahnya. Menurut dua informasi tersebut didapatkan berdasarkan laporan intelijen.

Sembilan anggota Angkatan Laut Ukraina pun divonis hukuman kurungan selama 2 bulan di Simferopol, Krimea.


Poroshenko mengatakan kehadiran militer Rusia di wilayah perbatasan kali ini adalah yang terbesar sejak negara itu mencaplok Semenanjung Krimea pada tahun 2014 lalu.

Ukraina saat ini memberlakukan status darurat militer selama 30 hari di kawasan yang berbatasan dengan Rusia. Jika sikap kedua negara terus seperti ini, kemungkinan besar perang tinggal menunggu waktu.




Credit  cnnindonesia.com





Ukraina-Rusia Bentrok, Trump Ancam Batalkan Pertemuan dengan Putin


Ukraina-Rusia Bentrok, Trump Ancam Batalkan Pertemuan dengan Putin
Buntut bentrokan di Laut Crimea, Presiden AS Donald Trump kemungkinan akan membatalkan pertemuan dengan Presiden Rusia Vladimir Putin. Foto/Istimewa

WASHINGTON - Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump, mengatakan ia mungkin akan membatalkan pertemuan dengan Presiden Rusia Vladimir Putin menyusul bentrokan antara Rusia dan Ukraina di Laut Crimea.

Kepada Washington Post, Trump mengatakan tengah menunggu laporan lengkap setelah kapal Rusia menembaki dan menyita tiga kapal Ukraina pada hari Minggu lalu. Laporan yang berasal dari tim keamanan nasional itu akan "sangat menentukan".

"Mungkin saya tidak akan mengadakan pertemuan (dengan Pak Putin). Mungkin saya bahkan tidak akan mengadakan pertemuan. Saya tidak suka agresi itu. Saya sama sekali tidak menginginkan agresi itu," katanya seperti dikutip dari BBC, Rabu (28/11/2018).

Trump dan Putin direncanakan akan bertemu di sela-sela KTT G20 di Buenor Aires, Argentina, akhir pekan ini. Keduanya dijadwalkan membahas keamanan, pengawasan senjata, dan masalah di Ukraina serta Timur Tengah. Hal itu diungkapkan oleh penasihat keamanan nasional John Bolton.

Kapal penjaga pantai Rusia melepaskan tembakan pada hari Minggu saat dua kapal perang Ukraina dan sebuah kapal kecil berlayar melalui Selat Kerch di lepas pantai Crimea, yang dianeksasi oleh Rusia pada tahun 2014. Dua puluh empat orang Ukraina ditahan dan setidaknya tiga orang terluka dalam insiden itu.

Ukraina menggambarkan insiden itu sebagai "tindakan agresi" tetapi Rusia mengatakan kapal negara tetangganya itu telah secara ilegal memasuki perairannya.

Pengadilan Crimea kemudian memerintahkan 12 orang Ukraina ditahan selama 60 hari. Pengadilan diperkirakan akan mengeluarkan putusan untuk prajurit lainnya pada hari Rabu.

Pasca insiden itu, Ukraina memberlakukan darurat militer selama 30 hari dari 26 November di 10 wilayah perbatasan. 



Credit  sindonews.com



Tiga Kapal Ukraina Disita, Eropa Ingin Jatuhkan Sanksi ke Rusia


Rusia menahan tiga kapal Ukraina di pelabuhan Kerch karena kapal itu diduga memasuki kawasan laut secara ilegal. Ada dua kapal kecil bersenjata artileri dan sebuah kapal tunda yang ditangkap. FSB - TASS
Rusia menahan tiga kapal Ukraina di pelabuhan Kerch karena kapal itu diduga memasuki kawasan laut secara ilegal. Ada dua kapal kecil bersenjata artileri dan sebuah kapal tunda yang ditangkap. FSB - TASS

CB, Jakarta - Para politisi senior negara-negara Eropa mencetuskan kemungkinan menjatuhkan sanksi-sanksi baru terhadap Rusia. Langkah itu terkait sikap Moskow yang menyita tiga kapal berbendera Ukraina di laut dekat Krimea.
Insiden penahanan tiga kapal ini, dikhawatirkan bisa memperluas konflik.
Menurut politisi konservatif dan sekutu dekat Kanselir Jerman Angela Merkel, Norbert Roettgen, Uni Eropa harus memperketat sanksi kepada Rusia setelah sebelumnya menjatuhkan embargo karena menganeksasi Krimea dari Ukraina.

Seruan sama disampaikan Menteri Luar Negeri Austria, Karin Kneissl. Dia mengatakan Uni Eropa akan mempertimbangkan pengetatan sanksi-sanksi terkait fakta-fakta yang ditemukan.
Polandia dan Estonia juga mengekspresikan dukungan agar Rusia kembali dijatuhkan sanksi-sanksi. Wakil Menteri Luar Negeri Polandia, Bartosz Cichocki, mengatakan insiden penahanan tiga kapal milik Ukraina telah mendesak Warsawa menyerukan kepada negara-negara barat agar bersatu menghadapi Rusia.

Menanggapi hal ini, seorang menteri di Rusia mengatakan sanksi-sanksi yang dijatuhkan tidak akan menyelesaikan apa pun.
Dikutip Reuters, Rabu, 28 November 2018, Aset-aset Rusia saat ini telah berada dalam tekanan terkait kemungkinan penjatuhan sanksi-sanksi baru yang bisa menciderai ekonomi negara itu meskipun Rubel pada Selasa, 27 November 2018, menguat setelah para investor menyebut setiap sanksi yang dijatuhkan tidak tepat.

Reaksi negara-negara Eropa itu, dipicu sikap Rusia yang pada Minggu, 25 November 2018, melepaskan tembakan ke sejumlah kapal milik Ukraina di dekat Krimea dan melakukan penyitaan, termasuk pada para awak kapal. Moskow dan Kiev saling menyalahkan atas insiden itu.
Presiden Rusia, Vladimir Putin, telah berkomunikasi melalui telepon dengan Kanselir Merkel pada Senin, 26 November 2018, mengenai hal ini. Putin mengatakan pihaknya siap menjelaskan secara rinci untuk mendukung cerita versi mereka. Moskow menegaskan Kiev sengaja melakukan provokasi untuk memicu krisis. 



Credit  tempo.co





Jumlah Militer Rusia di Wilayah Perbatasan Meningkat Drastis


Jumlah Militer Rusia di Wilayah Perbatasan Meningkat Drastis
Ilustrasi militer Rusia (REUTERS/Maxim Shemetov)


Jakarta, CB -- Pasca-konfrontasi laut di Semenanjung Krimea, Rusia meningkatkan kehadiran pasukan militernya di wilayah perbatasan dengan Ukraina secara drastis. Presiden Ukraina, Petro Poroshenko menganggap peningkatan kehadiran pasukan militer bak ancaman perang yang dilontarkan Rusia.

"Jumlah tank Rusia di wilayah perbatasan telah meningkat tiga kali lipat," ujar Poroshenko dalam sebuah wawancara, melansir AFP.

Namun, Poroshenko tidak membeberkan secara detail jumlah pasukan militer Rusia yang ada di wilayah perbatasan. Namun, informasi tersebut didapatkan berdasarkan laporan intelijen.


Poroshenko mengatakan bahwa kehadiran militer Rusia di wilayah perbatasan kali ini adalah yang terbesar sejak Moskow mencaplok Semenanjung Krimea pada tahun 2014 lalu.



Sebagaimana diketahui sebelumnya, Rusia menangkap dan menahan dua kapal angkatan laut Ukraina yang mengawal satu kapal tunda beserta awak kapalnya pada Minggu (25/11) lalu. Pasukan militer Rusia di perbatasan juga menembaki tiga orang awak kapal Ukraina.

Rusia menuduh bahwa kapal Ukraina memasuki wilayah perairannya secara ilegal.

Buntut dari peristiwa tersebut, kini tensi ketegangan antara kedua negara kian melonjak. Ukraina memberlakukan status darurat militer di wilayah perbatasan dan menyulut emosi Rusia yang menuduh bahwa negara-negara Barat ada di balik provokasi tersebut.

Ukraina mendesak negara-negara sekutu Barat untuk memberikan sanksi terhadap Rusia. Sementara Rusia bersikeras tak akan membebaskan kapal beserta awak kapal Ukraina yang ditangkapnya.



Credit  cnnindonesia.com



Akibat Konfrontasi Rusia, Seorang Perwira Ukraina Terluka


Kepala Dinas Keamanan Ukraina  Vasyl Hrytsak
Kepala Dinas Keamanan Ukraina Vasyl Hrytsak
Foto: Reuters
Akibat konfrontasi Rusia, Ukraina berlakukan darurat militer.



CB, KIEV–  Seorang perwira kontra-intelijen militer Ukraina menderita luka berat setelah pesawat Rusia menembakkan peluru kendali ke arah kapal Ukraina pada Ahad.


Ukraina dan Rusia terlibat saling tuduh setelah Rusia menembak tiga kapal Ukraina kemudian menguasai kapal-kapal tersebut. Konfrontasi itu mendorong Ukraina memberlakukan darurat militer di beberapa kawasan, dengan mengutip ancaman serbuan darat oleh Rusia.

"Menurut informasi SBU, yang sudah terkonfirmasi, salah satu pesawat tempur Rusia menggunakan dua peluru kendali terhadap kapal-kapal Ukraina. Akibatnya, salah seorang perwira SBU menderita cedera parah," kata Kepala Dinas Keamanan Negara (SBU) Ukraina, Vasyl Hrytsak dalam pernyataan pada Selasa (27/11).


Rusia mengatakan perwira SBU termasuk di antara yang ditangkap. Hrytsak membenarkan hal tersebut dan mengatakan bahwa perwira keamanan tersebut mendukung militer di sana.


"Yang mengagetkan ialah terhadap dua kapal dan kapal tunda kecil Ukraina itu, pihak Rusia menggunakan enam "FSB" (Dinas Keamanan Federal Rusia) dan empat kapal angkatan laut, dan juga helikopter-helikopter serbu serta pesawat-pesawat tempur Angkatan Udara Federasi Rusia," kata dia.


Dia menambahkan Dewan Keamanan Ukraina mengambil semua langkah yang perlu untuk menjamin pembebasan mereka yang ditangkap.


Konfrontasi tersebut menimbulkan ketegangan lagi setelah Rusia mencaplok Krimea pada 2014 dan mendukung pemberontakan pro-Moskow di Ukraina timur.




Credit  republika.co.id



Memanas, Presiden Ukraina Tuding Pasukan Rusia Siap Invasi


Rusia menahan tiga kapal Ukraina di pelabuhan Kerch karena kapal itu diduga memasuki kawasan laut secara ilegal. Ada dua kapal kecil bersenjata artileri dan sebuah kapal tunda yang ditangkap. FSB - TASS
Rusia menahan tiga kapal Ukraina di pelabuhan Kerch karena kapal itu diduga memasuki kawasan laut secara ilegal. Ada dua kapal kecil bersenjata artileri dan sebuah kapal tunda yang ditangkap. FSB - TASS

CB, Kiev – Presiden Ukraina, Petro Poroshenko, mengatakan memiliki data intelijen yang menunjukkan pasukan Rusia siap menginvasi negara itu.

 
“Saya punya dokumen intelijen yang berisi beberapa halaman mengenai informasi detil pasukan musuh yang terletak beberapa puluh kilometer dari perbatasan kita. Siap setiap saat untuk segera melakukan invasi terhadap Ukraina,” kata Poroshenko pasca insiden penangkapan kapal negara itu oleh pasukan penjaga pantai Rusia di Selat Kerch pada Ahad, 25 November 2018 seperti dilansir Reuters.
Poroshenko menuding Rusia telah menggelar perang hibrida terhadap Ukraina selama lima tahun terakhir. “Tapi serangan terhadap kapal militer Ukraina maka ini menigkat ke level agresi,” kata Poroshenko.
Poroshenko mengatakan ini kepada parlemen Ukraina agar menyetujui usulannya untuk pemberlakuan UU Darurat Militer selama 60 hari. Dia mengusulkan itu menyusul penembakan dan penangkapan tiga kapal Ukraina, termasuk dua kapal dengan senjata artileri di Selat Kerch, Laut Azov, yang terletak di lepas pantai Crimea.

Namun, parlemen Ukraina hanya sepakat menerapkan UU Darurat Militer selama 30 hari. Parlemen menyetujui ini dengan syarat Presiden Poroshenko tidak menggunakan kondisi darurat militer sebagai alasan untuk menunda pelaksanaan pemilu pada Maret 2019 dan mengekang kebebasan sipil.
Rusia, seperti dilansir Moscow Times, menganeksasi Crimea pada 2014 dari Ukraina. Dan saat ini, Rusia juga dituding mensponsori kelompok separatis pro-Moskow di kawasan timur Ukraina. Ini membuat konflik kedua negara beresiko menjadi konflik terbuka atau perang.

 
Menanggapi insiden ini, kementerian Luar Negeri Rusia mengecam pemerintah Ukraina. “Jelas semua provokasi terencana dan dipikirkan secara rumit ini ditujukan untuk memicu ketegangan baru di kawasan ini dengan tujuan menciptakan kondisi permulaan untuk meningkatkan sanksi kepada Rusia,” begitu pernyataan dari kemenlu Rusia.
Menurut Rusia, kebijakan seperti itu memiliki konsekuensi serius. Rusia juga menuding Kiev bekerja sama dengan AS dan Uni Eropa dalam insiden ini.

Rusia telah memanggil pejabat diplomat Ukraina dari kedubes di Moskow terkait insiden ini. Namun, tiga kapal milik Ukraina belum dilepas meskipun ada permintaan dari sejumlah negara Barat.
Sedangkan blokade Selat Kerch, yang sempat diberlakukan pasca insiden itu oleh Rusia telah dibuka. Ini membuat arus lalu lintas kapal di selat itu berlangsung normal. Selat Kerch menghubungkan Laut Azov dan Laut Hitam.


 
Dalam pembicaraan telepon, Sekjen NATO, Jens Stoltenberg, mengatakan aliansi pertahanan itu mendukung penuh integritas wilayah Ukraina dan kedaulatannya. Saat ini, Ukraina belum menjadi anggota NATO tapi telah menyampaikan keinginan untuk bergabung.




Credit  tempo.co





Pengadilan Perintahkan Penahanan Dua Bulan Pelaut Ukraina


Pengadilan Perintahkan Penahanan Dua Bulan Pelaut Ukraina
Ilustrasi Semenanjung Krimea (CNN)


Jakarta, CB -- Pengadilan di Simferopol, Krimea memerintahkan dua bulan penahanan pra-ajudikasi bagi sembilan awak kapal angkatan laut Ukraina yang ditangkap dalam konfrontasi laut dengan Rusia. Penahanan yang diputuskan pada Selasa (27/11) itu diprediksi bakal semakin meningkatkan intensitas ketegangan antara Moskow dan Kiev.

Melansir AFP, penahanan itu dipastikan bakal menyulut emosi Ukraina yang gencar menuntut pembebasan para awak kapal dan mendesak sekutu Barat untuk menjatuhkan sanksi terhadap Rusia.

Sebelumnya, sebanyak 24 pelaut ditahan oleh Moskow sejak Minggu (25/11). Mereka ditangkap setelah Rusia menahan dua kapal angkatan laut Ukraina yang mengawal sebuah kapal tunda di Laut Hitam, berdekatan dengan Semenanjung Krimea.




Insiden itu merupakan konfrontasi besar pertama sejak usainya konflik berkepanjangan di antara kedua negara pada 2014 lalu.

Presiden Rusia, Vladimir Putin mengingatkan Ukraina atas keputusannya memberlakukan status darurat militer sebagai tanggapan atas penangkapan tersebut. Putin menyebut langkah tersebut sebagai tindakan sembrono yang dilakukan Ukraina.

Dalam percakapannya dengan Kanselir Jerman, Angela Merkel, Putin menyatakan kekhawatirannya atas insiden tersebut. Dia berharap agar Jerman bisa turut membantu Rusia untuk menghalangi Ukraina melakukan tindakan yang lebih sembrono.


Dalam beberapa hari ke belakang, sejumlah pihak mengeluarkan seruan agar Rusia membebaskan kapal beserta awak kapal yang ada di dalamnya. Sejumlah negara Uni Eropa menyatakan dukungannya untuk Ukraina pada Senin (25/11).

Namun, seolah tak peduli, Rusia malah bersikeras bahwa kapal-kapal tersebut menyeberang secara ilegal ke perairan Rusia dan mengabaikan peringatan dari petugas di perbatasan. Rusia juga menuduh adanya campur tangan negara-negara Barat dalam tindakan provokasi yang dilakukan Ukraina ini.

Menteri Luar Negeri Austria, Karin Kneissl, mengatakan bahwa Uni Eropa bakal mempertimbangkan sanksi lebih lanjut terhadap Rusia akibat serangan yang dilakukannya.



Credit  cnnindonesia.com





Pernyataan 5 Negara Soal Insiden Rusia dan Ukraina




Sebuah kapal perang bersenjata artileri miliki Ukraina dan kapal tunda terlihat berlabuh di pelabuhan Kerch, Crimea, Rusia pada 26 November 2018. Reuters
Sebuah kapal perang bersenjata artileri miliki Ukraina dan kapal tunda terlihat berlabuh di pelabuhan Kerch, Crimea, Rusia pada 26 November 2018. Reuters

CBKiev – Pemerintah Ukraina telah menerapkan Undang-Undang Darurat Militer selama 30 hari pada Senin, 26 November 2018 pasca insiden laut dengan Rusia pada akhir pekan lalu.

Ini terjadi setelah parlemen Ukraina menyetujui usulan dari Presiden Petro Poroshenko. Namun, parlemen hanya menyetujui kondisi darurat militer ini berlaku selama 30 hari dari usulan Poroshenko selama 60 hari.
Parlemen juga memberi syarat pemerintahan Poroshenko tidak boleh menggunakan penerapan UU Darurat Militer ini untuk mengekang kebebasan sipil dan menunda pemilu, yang akan digelar para Maret 2018.
Menanggapi insiden pada akhir pekan lalu, belasan pengunjuk rasa menggunakan topeng melemparkan sulur api dan telur ke kantor Konsulat Jenderal Rusia di Kota Kharkiv, Ukraina, pada Senin, 26 November 2018.
Mereka memprotes penembakan dan penangkapan tiga kapal Ukraina pada Ahad lalu. Sebagian pengunjuk rasa meneriakkan “Matilah pendudukan Rusia”. Sebuah pohon di halaman konsulat terkena lemparan sulur api sehingga terbakar dan menimbulkan asap.

Belasan pengunjuk rasa juga berkumpul di depan kantor Kedutaan Besar Rusia di Kiev dan sebagian pengguna topeng melemparkan sulur api sebelum dibubarkan polisi.
“Kami berkumpul di sini hari ini untuk mengekspresikan protes kami ke Rusia terhadap tindakan mereka dengan menembaki militer kami,” kata salah seorang pemrotes Oleksiy Ryabov seperti dilansir Reuters pada Senin, 26 November 2018. Ryabov mengaku sangat marah atas insiden itu. Dia meminta semua hubungan diplomatik dengan Rusia diputus.
Pemerintah Rusia telah membuka lalu lintas Selat Kerch untuk kegiatan ekonomi. Namun, tiga kapal Ukraina yang ditahan belum dilepaskan.

Berikut sejumlah pernyataan dari beberapa negara soal insiden ini:
  1. Amerika Serikat
“Amerika Serikat mengecam tindakan agresif Rusia. Kami meminta kepada Rusia untuk mengembalikan kapal Ukraina dan krunya serta menghormati kedaulatan dan integritas wilayah,” kata Mike Pompeo, menteri Luar Negeri AS.
Soal insiden ini, Presiden Donald Trump mengatakan tidak menyukai kondisi yang terjadi antara Rusia dan Ukraina. Dia bekerja sama dengan pemimpin Eropa untuk mengatasi ini.
  1. Inggris
“Kami mengutuk tindakan agresif Rusia. Insiden ini semakin menunjukkan bukti perilaku mengganggu Rusia di wilayah ini,” kata juru bicara dari kantor Perdana Menteri Inggris, Theresa May.
Inggris juga menegaskan,”Posisi Inggris jelas yaitu kapal harus diizinkan untuk melewati jalur ke pelabuhan Ukraina di Laut Azov. Kami mendesak semua pihak untuk menahan diri. Rusia tidak boleh dibiarkan menggunakan kekuatan untuk menggunakan kekuatan lebih besar terhadap Ukraina.”

  1. Prancis
“Tidak ada hal yang bisa membenarkan tindakan kekuatan oleh Rusia. Kami mendesak Rusia untuk melepaskan para pelaut Ukraina dan menyerahkan mereka bersama kapalnya secepatnya,” begitu pernyataan dari kementerian Luar Negeri Prancis.
  1. Jerman
Menteri Luar Negeri Jerman, Heiko Maas, mengatakan blokade Selat Kerch oleh Rusia tidak bisa diterima. “Perkembangan di Ukraina mengkhawatirkan,” kata Maas.
Jerman menggelar pertemuan di Berlin dengan mengundang Rusia, Ukraina, dan Prancis untuk menyelesaikan insiden pada akhir pekan lalu.

  1. Turki
Pemerintah Turki mengungkapkan kekhawatiran pasca insiden laut antara Rusia dan Ukraina. Turki berharap lalu lintas bisnis kapal di kawasan itu tidak terganggu.
“Sebagai negara yang memiliki pantai berbatasan dengan Laut Hitam, kami menggaris bawahi bahwa jalur melewati Selat Kerch tidak boleh di blokir,” begitu pernyataan dari kementerian Luar Negeri Turki.





Credit  tempo.co


Insiden Rusia-Ukraina, Trump Sama Sekali Tak Mengecam


Insiden Rusia-Ukraina, Trump Sama Sekali Tak Mengecam
Presiden Amerika Serikat, Donald Trump. (REUTERS/Carlos Barria)


Jakarta, CB -- Presiden Amerika Serikat Donald Trump sama sekali tidak menyatakan kecaman atas tindakan Rusia yang menahan tiga kapal milik Ukraina, dalam insiden di Selat Kirch, Laut Azov, pada Minggu pekan lalu. Padahal, Ukraina adalah salah satu sekutu AS.

Trump sempat ditanya oleh sejumlah jurnalis mengenai sikapnya terhadap pertikaian terbaru antara Rusia dan Ukraina. Namun, jawabannya hanya mengungkapkan kekecewaan.

"Tidak bagus. (Saya) tidak senang dengan hal itu sama sekali. Kami tidak suka hal ini terjadi, dan semoga semuanya bisa diselesaikan," kata Trump, seperti dilansir CNN, Selasa (27/11).


Sejumlah perkiraan mengenai sikap Trump atas konflik terbaru di Ukraina pun bermunculan. Menurut beberapa pengamat politik, Trump seperti melunak terhadap konflik itu. Mereka menduga Trump seolah terbelenggu karena dugaan campur tangan Rusia dalam pemilihan presiden dua tahun lalu.


Angkatan bersenjata Rusia menahan 2 buah kapal Angkatan Laut dan sebuah kapal tunda Ukraina pada Minggu waktu setempat.

Menurut Badan Intelijen Rusia (FSB), insiden itu terjadi ketika dua kapal AL Ukraina berukuran kecil dilengkapi meriam yang mengawal sebuah kapal tunda melintas di Laut Hitam dekat Semenanjung Krimea. Mereka hendak menuju pelabuhan di Mariupol.

Rusia beralasan kapal AL Ukraina tetap melintas dan mengabaikan peringatan. Mereka lantas terlibat duel dengan masing-masing melancarkan manuver. Alhasil, penjaga pantai Rusia melepaskan tembakan ke arah kapal AL Ukraina dan melukai sejumlah pelaut.

Menurut versi Ukraina, Rusia justru menyerang dan menyita kapal setelah mereka menjauh dan hendak kembali pelabuhan di Odessa. Mereka mengaku Rusia bertindak agresif dengan menabrak dan menembaki kapal itu.

Akibat hal itu, Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB) dan dan Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) meminta kedua belah pihak menahan diri. Namun, Ukraina memutuskan menetapkan status darurat militer di wilayah perbatasan dekat Rusia selama 30 hari. Kedua negara saat ini dalam keadaan siaga untuk bertempur.

Presiden Ukraina Petro Poroshenko meminta negara-negara Blok Barat membantunya untuk menekan Rusia. Menurut dia status darurat militer harus ditetapkan untuk mencegah ancaman serbuan dari Rusia.



Menurut Kementerian Luar Negeri Ukraina, tindakan Rusia melanggar aturan internasional dan harus ditanggapi melalui jalur diplomasi. Sedangkan menurut Rusia, kapal Ukraina itu melanggar wilayah perairan mereka.

Situasi kedua negara saat ini masih tegang. Jika ada insiden lagi, kemungkinan perang tidak terhindarkan.




Credit  cnnindonesia.com





Turki Desak Rusia dan Ukraina Selesaikan Masalah Lewat Dialog


Turki Desak Rusia dan Ukraina Selesaikan Masalah Lewat Dialog
Presiden Turki, Recep Tayyip Erdogan mendesak Rusia dan Ukraina untuk segera memecahkan masalah yang ada melalui dialog. Foto/Reuters

ANKARA - Presiden Turki, Recep Tayyip Erdogan mendesak Rusia dan Ukraina untuk segera memecahkan masalah yang ada melalui dialog. Dia kemudian mengatakan, Turki ingin melihat Laut Hitam sebagai zona damai.

"Pada titik tertentu, tampak seolah-olah situasi di Laut Hitam telah tenang, tetapi baru-baru ini konflik berkobar lagi, yang membuat kami kecewa," kata Erdogan, seperti dilansir Tass pada Selasa (27/11).

"Kedua negara, Rusia dan Ukraina, adalah teman dekat kami. Kami ingin Laut Hitam menjadi lautan perdamaian. Kami menyerukan kepada Rusia dan Ukraina untuk menyelesaikan masalah yang ada melalui dialog," sambungnya.

Erdogan yang berbicara di depan Parlemen Turki kemudian menuturkan bahwa Ankara akan senang melihat Rusia dan Ukraina saling membantu dan bukannya saling bermusuhan.

Seperti diketahui, Rusia menangkap tiga kapal militer Ukraina, yakni dua kapal lapis baja dan sebuah kapal tunda. Alasannya, kapal-kapal itu secara ilegal memasuki perairan teritorial Rusia di Crimea. 

Penangkapan itu berlangsung dramatis, di mana kapal perang Moskow menembaki kapal-kapal Kiev. Tiga tentara Angkatan Laut Kiev yang terluka oleh serangan itu juga ditangkap Moskow.  




Credit  sindonews.com




Putin 'Sangat Khawatir' dengan Darurat Militer Ukraina


Putin 'Sangat Khawatir' dengan Darurat Militer Ukraina
Presiden Vladimir Putin menyampaikan kekhawatirannya dengan situasi darurat militer di Ukraina yang diberlakukan setelah konfrontasi kedua negara di Laut Hitam. (Mikhail Metzel/TASS Host Photo Agency/Pool via Reuters)



Jakarta, CB -- Presiden RusiaVladimir Putin, menyampaikan kekhawatirannya dengan situasi darurat militer di Ukraina yang diberlakukan setelah konfrontasi kedua negara di Laut Hitam.

Kremlin melaporkan bahwa Putin menyampaikan kekhawatiran tersebut saat berkomunikasi dengan Kanselir Jerman, Angela Merkel, Selasa (27/11).

"[Putin] mengekspresikan kekhawatiran serius mengenai keputusan Kiev untuk menyiagakan angkatan bersenjata mereka dan memberlakukan darurat militer," demikian pernyataan Kremlin sebagaimana dikutip AFP.



Dalam pembicaraan itu, Putin juga berharap "Berlin dapat memengaruhi otoritas Ukraina untuk menahan mereka dari tindakan sembrono lebih jauh."


Ukraina memberlakukan darurat militer selama tiga puluh hari ini terhitung sejak Rabu (28/11).

Pemberlakuan darurat militer itu disepakati pada Senin (26/11), setelah terjadi konfrontasi langsung antara angkatan laut kedua negara di Laut Hitam.



Insiden bermula ketika dua kapal AL Ukraina berukuran kecil dilengkapi meriam yang mengawal sebuah kapal tunda melintas di Laut Hitam dekat Semenanjung Krimea.

Angkatan Laut Rusia lantas siaga dan memblokir perairan dengan menempatkan kapal tanker dan kapal penjaga pantai di perairan itu.

Rusia menyatakan kapal Ukraina berkeras melintasi perairan itu dan mengabaikan peringatan dari pihaknya. Penjaga pantai Rusia pun melepaskan tembakan ke arah kapal Ukraina dan melukai sejumlah pelaut.



Namun, menurut Ukraina, Rusia menembaki kapal setelah mereka memutuskan untuk putar balik.

Bentrokan angkatan laut Rusia dan Ukraina akhir pekan lalu ini membuat relasi kedua negara bertetangga itu kembali tegang selepas Moskow mencaplok Semenanjung Krimea dari Kiev empat tahun lalu.

Meski demikian, Presiden Ukraina, Petro Poroshenko, memastikan bahwa negaranya tidak akan melakukan provokasi dengan darurat militer ini.

"Ukraina tidak merencanakan perang terhadap siapa pun," ujar Poroshenko.





Credit  cnnindonesia.com





Menlu Jerman: Rusia Harus Hormati Hukum Internasional


Menteri Luar Negeri Jerman Heiko Maas.
Menteri Luar Negeri Jerman Heiko Maas.
Foto: Reuters/Thomas Peter
Penangkapan kapal Ukraini memicu ketegangan kembali dengan Moskow.



CB, BERLIN—  Menteri Luar Negeri Jerman Heiko Maas mendesak Moskow mematuhi lagi hukum internasional dan menghormati kedaulatan wilayah negara tetangga setelah Rusia menyita kapal Ukraina.


"Rusia harus menghormati hukum internasional lagi dan tidak melanggar kedaulatan wilayah negara tetangganya," kata Maas dalam pidato di Berlin, Selasa (28/11).

Maas mengatakan, untuk mencapai itu, Jerman dan sekutunya di Eropa memerlukan prinsip jelas dan "dialog sejati" mengenai keamanan di Eropa.


Presiden Ukraina Petro Poroshenko memperingatkan ancaman "sangat serius" dari serbuan lewat darat setelah Rusia menyita tiga kapal angkatan laut Ukraina dan menawan awak kapal itu pada akhir pekan lalu.


Dari Kiev, Reuters melaporkan seorang perwira kontra-intelijen militer Ukraina menderita luka berat setelah pesawat Rusia menembakkan peluru kendali ke arah kapal Ukraina pada Ahad, kata kepala dinas keamanan negara (SBU) Ukraina.


Ukraina dan Rusia terlibat saling tuduh setelah Rusia menembak tiga kapal Ukraina kemudian menguasai kapal-kapal tersebut. Konfrontasi itu mendorong Ukraina memberlakukan darurat militer di beberapa kawasan, dengan mengutip ancaman serbuan darat oleh Rusia.


"Menurut informasi SBU, yang sudah terkonfirmasi, salah satu pesawat tempur Rusia menggunakan dua peluru kendali terhadap kapal-kapal Ukraina. Akibatnya, salah seorang perwira SBU menderita cedera parah," kata Vasyl Hrytsak dalam pernyataan pada Selasa.


Rusia mengatakan perwira SBU termasuk di antara yang ditangkap. Hrytsak membenarkan hal tersebut dan mengatakan bahwa perwira keamanan tersebut mendukung militer di sana.


"Yang mengagetkan ialah terhadap dua kapal dan kapal tunda kecil Ukraina itu, pihak Rusia menggunakan enam "FSB" (Dinas Keamanan Federal Rusia) dan empat kapal angkatan laut, dan juga helikopter-helikopter serbu serta pesawat-pesawat tempur Angkatan Udara Federasi Rusia," kata dia.


Dia menambahkan dewan keamanan Ukraina mengambil semua langkah yang perlu untuk menjamin pembebasan mereka yang ditangkap.


Konfrontasi tersebut menimbulkan ketegangan lagi setelah Rusia mencaplok Krimea pada 2014 dan mendukung pemberontakan pro-Moskow di Ukraina timur.





Credit  republika.co.id



Estonia Desak UE Sanksi Rusia atas Insiden di Laut Crimea



Estonia Desak UE Sanksi Rusia atas Insiden di Laut Crimea
Menteri Pertahanan Estonia, Juri Luik menyerukan UE memberlakukan sanksi baru terhadap Moskow, setelah Rusia menyita tiga kapal Ukraina dan menahan awak mereka. Foto/Istimewa

TALLIN - Menteri Pertahanan Estonia, Juri Luik menyerukan Uni Eropa (UE) memberlakukan sanksi baru terhadap Moskow, setelah Rusia menyita tiga kapal Angkatan Laut Ukraina dan menahan awak mereka pada akhir pekan lalu.

"Kami telah mengatakan bahwa kami akan siap untuk mendukung peningkatan sanksi seperti itu. Sanksi mungkin merupakan cara paling ampuh untuk memberi sinyal kepada pimpinan Rusia bahwa kami serius," kata Luik, seperti dilansir Reuters pada Selasa (27/11).

Luik, yang menentang pembangunan pipa gas Rusia di Eropa, yakni Nord Stream 2, mengatakan perdebatan tentang proyek itu bisa menjadi lebih rumit mengingat ketegangan terbaru.

Sementara itu, sebelumnya, Presiden Turki, Recep Tayyip Erdogan mendesak Rusia dan Ukraina untuk segera memecahkan masalah yang ada melalui dialog. Dia kemudian mengatakan Turki ingin melihat Laut Hitam sebagai laut damai.

"Pada titik tertentu, tampak seolah-olah situasi di Laut Hitam telah tenang, tetapi baru-baru ini konflik berkobar lagi, yang membuat kami kecewa," kata Erdogan.

"Kedua negara, Rusia dan Ukraina, adalah teman dekat kami. Kami ingin Laut Hitam menjadi lautan perdamaian. Kami menyerukan kepada Rusia dan Ukraina untuk  menyelesaikan masalah yang ada melalui dialog," sambungnya.

Erdogan yang berbicara di depan Parlemen Turki kemudian menuturkan bahwa Ankara akan senang melihat Rusia dan Ukraina saling membantu dan bukannya saling bermusuhan. 



Credit  sindonews.com