Nine-dashed line, garis imajiner yang
digunakan China untuk mengklaim wilayah di Laut China Selatan yang
dipersengketakan sejumlah negara Asia, menjorok hingga teritori
Indonesia di perairan Natuna. (Wikipedia/U.S. Central Intelligence
Agency)
Jakarta, CB
--
Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia
menyatakan pemerintah Republik Rakyat China tak pernah menjelaskan
apapun soal
nine-dashed line, yakni garis imajiner yang
digunakan China untuk mengklaim sebagian besar wilayah Laut China
Selatan yang menjadi sengketa sejumlah negara di Asia.
“
Nine-dashed line
Tiongkok tiba-tiba masuk merusuk ke wilayah ZEE (zona ekonomi
eksklusif) Indonesia. Di sini mulai muncul persoalan antara Indonesia
dengan China,” kata Sekretaris Direktorat Jenderal Hukum dan Perjanjian
Internasional Kemlu RI, Damos Dumoli Agusman, kepada CNNIndonesia.com,
Rabu malam (22/6).
Damos berkata, Indonesia pertama kali tahu soal
nine-dashed line 23 tahun lalu, yakni 1993, pada
Workshop on Managing Potential Conflicts in the South China Sea. Kala itu delegasi China mendistribusikan satu peta yang di dalamnya tercantum
nine-dashed line menjorok hingga perairan Natuna.
“Indonesia waktu itu bereaksi, apa maksud peta ini? Tiongkok membisu. Dia bilang, terserahlah Anda menafsirkannya,” ujar Damos.
“Tiba-tiba
garis itu seperti muncul begitu saja dari langit. Cara menarik garisnya
pun kami tidak tahu,” kata Damos yang ditugasi Kemlu RI menangani
persoalan teknis terkait Laut China Selatan.
Menurut Damos, dampak dari
nine-dashed line bukan soal kepemilikan pulau, melainkan batas maritim.
Nine-dashed line China mulai menjadi persoalan serius bagi
Indonesia tahun ini, tepatnya 19 Maret 2016, kala terjadi insiden antara
Kapal Pengawas Hiu 11 milik Kementerian Kelautan dan Perikanan RI
dengan Kapal Kway Fey yang berbendera China. Konflik terbuka pertama
antara Indonesia-China meletup di perairan Natuna.
Saat Kapal
Pengawas Hiu 11 hendak menangkap Kapal Kway Fey yang diduga mencuri
ikan, muncul kapal pengawas China yang mengintervensi dengan menabrak
Kway Fey.
Pemerintah Indonesia langsung melayangkan nota protes
ke China, menuduh Negeri Tirai Bambu melanggar kedaulatan dan yurisdiksi
Indonesia, serta melanggar upaya penegakan hukum oleh aparat Indonesia
di ZEE Indonesia.
Pada ZEE yang berjarak 200 mil laut dari garis
pangkal suatu negara, negara itu berhak melakukan eksplorasi,
eksploitasi, konservasi, dan pengelolaan sumber daya alam. ZEE Indonesia
itulah yang dimasuki Kway Fey.
Insiden pertama Indonesia-China di Natuna itu disambut China dengan penjelasan bahwa dalam zona
nine-dashed line, nelayan-nelayannya menangkap ikan di situ.
Indonesia
bergeming dan melakukan razia terhadap kapal-kapal asing yang menangkap
ikan di Natuna. “Begitu dirazia, dia (China) protes, dan mulailah
muncul istilah
‘This is our traditional fishing ground.’ Indonesia jelas protes,” kata Damos.
“Apa itu
traditional fishing ground? Tidak ada dalam UNCLOS
(United Nations Convention on the Law of the Sea). Indonesia menolak itu.
We don’t recognize traditional fishing ground,” tegas Damos.
Ketika insiden kedua terjadi antara Indonesia dan China, 27 Mei 2016, menurut Damos China mulai berani mengeluarkan kartunya.
“Mereka bilang,
‘Yes, we have different opinion and yes, we have overlapping maritime rights and interest.’ Itu istilah dia,” ujar Damos menirukan ucapan perwakilan China.
Namun,
imbuh Damos, saat ditanya apa yang dimaksud China sesungguhnya, China
tak bisa menjelaskan dengan gamblang. China berkata, berhak menangkap
ikan di perairan Natuna atas dasar historis, dan alasan itu ditolak oleh
Indonesia.
Posisi perairan Natuna berhadapan dengan wilayah sengketa Laut China Selatan. (Hobe/Holger Behr via Wikimedia Commons)
|
Damos menegaskan, tak ada wilayah tumpang-tindih
(overlapping) antara Indonesia dan China. “
Overlapping itu harus berdasarkan basis yang valid. Tidak mungkin mengklaim sesuatu tanpa basis.”
Ia
mengibaratkan ulah China seperti orang bertamu yang kemudian mengklaim
rumah tamunya. “Tiba-tiba rumahmu didatangi orang, lalu orang itu
bicara, ‘Ini rumahku, dari nenek moyangku.’ Bingung kan. Baru bisa
dibilang
overlapping jika dia bilang, ‘Ini rumahku, ini sertifikatnya.’ Tapi ini kan tidak,” kata Damos.
China disebut Damos tak pernah menafsirkan
nine-dashed line secara klir hingga saat ini. Akibatnya muncul berbagai intrepetasi dari sejumlah negara.
Pemerintah
China, dalam nota protesnya kepada Indonesia atas insiden ketiga di
Natuna saat kapal ikan Han Tan Cou terkena tembakan kapal perang RI,
kembali menyatakan kapal mereka berada pada perairan dengan klaim
“tumpang-tindih”. Alasan ini pun kembali tak diterima Indonesia.
“Indonesia
mempertahankan zona ekonomi eksklusifnya sesuai hukum internasional.
Hukum laut membenarkan Indonesia membuat zona ekonomi eksklusif.
Indonesia punya kedaulatan atas kekayaan alamnya. Tidak pernah ada
kesepakatan soal
traditional fishing ground dengan China,” kata pakar hukum laut internasional RI, Hasyim Djalal.
Hasyim,
mantan diplomat yang pernah mewakili Indonesia di Perserikatan
Bangsa-Bangsa, kini ditunjuk pemerintah RI menjadi ketua tim untuk
menangani persoalan Laut China Selatan, termasuk Natuna.
Credit
CNN Indonesia