Suasana
pertemuan Delegasi RI yang dipimpin Presiden Joko Widodo dengan para
petinggi Tiongkok yang dipimping Perdana Menteri Tiongkok Li Keqiang di
Great Hall of the People, Beijing (9/11) (ANTARA News/GNC Ariani)
Beijing (CB) - Hari Senin(13/4), 65 tahun silam Republik
Indonesia (RI) dan Republik Rakyat Tiongkok (RRT) resmi menjalin
hubungan diplomatik.
Hubungan yang dijalin Indonesia dengan Tiongkok merupakan komitmen
nyata kebijakan luar negeri Indonesia yang bebas dan aktif, dalam
konstelasi perang dingin kala itu.
Era Soekarno menjadi tonggak penting hubungan persahabatan Indonesia-Tiongkok. Liu Hong, dalam
China and the Shaping of Indonesia, 1949-1965, mengungkap pada masa itu Tiongkok bagaikan mercusuar, penunjuk ke arah mana dan bagaimana Indonesia harus dibangun.
Model pembangunan ala Tiongkok diperbincangkan para cendekiawan.
Kisah-kisah mengenai Tiongkok dimuat dalam surat-surat kabar, dan
bahkan karya-karya sastra, sehingga menyentuh luas di masyarakat.
Tidak berlebihan apabila masa itu dijuluki sebagai masa bulan
madu hubungan Indonesia-Tiongkok. Interaksi dan pertukaran bukan hanya
terjadi di tingkat elite, melainkan juga di akar rumput.
Hubungan kedua negara terus menunjukkan perkembangan positif, dengan
kehadiran Perdana Menteri Tiongkok Zhou En Lai pada Konferensi Asia
Afrika (KAA) pada 18-25 April 1955.
Dalam KAA Bandung "Lima Prinsip Hidup Berdampingan Secara Damai" yang
dikemukakan Tiongkok dan disponsori bersama Pemerintah India dan
Myanmar, mendapat dukungan dari para peserta.
Indonesia dan Tiongkok pun sepakat untuk mempererat hubungan yang telah
berjalan baik kala itu, ditandai dengan ditandatanganinya perjanjian
persahabatan serta persetujuan kerja sama kebudayaan pada 1 April 1961.
Dalam konteks hubungan luar negeri yang lebih luas, Indonesia
amat penting bagi Tiongkok yang saat itu bukan anggota dari Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB). Tiongkok, bagi Indonesia, juga tak kalah penting,
apalagi setelah Indonesia memutuskan untuk keluar dari PBB pada awal
1965.
Keduanya menjalin suatu kemitraan dalam membangun solidaritas di antara negara-negara
New Emerging Forces (NEFO).
Pola interaksi saling menguntungkan ini terus berulang dalam evolusi hubungan bilateral keduanya.
Namun, pada 30 Oktober 1967 kedua negara membekukan hubungan.
Berawal dari TokyoLalu 22 tahun kemudian, tepatnya pada 24
Februari 1989, ketika Presiden Soeharto bertemu Menteri Luar Negeri
Tiongkok saat itu Qian Qichen, dalam upacara pemakaman Kaisar Hirohito
di Tokyo, dibahaslah kemungkinan normalisasi hubungan kedua negara yang
tengah membeku.
Pembahasan dilanjutkan dalam pertemuan Menlu Ali Alatas dan Qian
Qichen pada 4 Oktober 1989 di Tokyo. Hasilnya, pada 3 Juli 1990 kedua
menlu menandatangani Komunike Bersama "The Resumption of The Diplomatic
between The Two Countries" di Beijing, diikuti kunjungan Perdana Menteri
Li Peng ke Indonesia sekaligus menyaksikan penandatanganan nota
kesepahaman Pemulihan Hubungan Diplomatik kedua negara pada 8 Agustus
1990.
Pada era Soeharto, normalisasi hubungan Indonesia-Tiongkok pada
awal 1990-an amat bernilai bagi Tiongkok, yang saat itu tengah dikecam
Barat setelah peristiwa Tiananmen.
Presiden Soeharto pun melakukan kunjungan balasan pada 14-18
November 1990, dan menyaksikan penandatanganan pembentukan Komisi
Bersama Bidang Ekonomi, Perdagangan, dan Kerja Sama Teknik.
Normalisasi hubungan tersebut kemudian secara bertahap membuka hubungan
ASEAN dan Tiongkok, hingga akhirnya pada 1996 Tiongkok menjadi mitra
dialog penuh ASEAN.
Bagi Indonesia, dalam sektor ekonomi, hubungan dengan Tiongkok
menjadi sangat penting, terutama setelah negara ini dihantam badai
krisis finansial Asia pada 1997.
Di lain pihak, era tersebut menjadi saksi perekonomian Tiongkok,
pasca reformasi ekonomi yang dilakukan oleh Deng Xiaoping pada 1978,
hingga tinggal landas dengan pertumbuhan ekonomi dua digit tiap tahun.
Interaksi positif antara kedua negara pun dilanjutkan pada era Presiden
Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Di masanya, Imlek ditetapkan sebagai hari
libur nasional, beragam atribut dan simbol berbau Tiongkok mulai
bermunculan di Nusantara.
Gus Dur yang menetapkan Tiongkok sebagai negara tujuan pertama
lawatannya ke luar negeri setelah dilantik sebagai orang nomor
Indonesia, bahkan mengusulkan pembentukan poros Jakarta-Beijing-New
Delhi.
"Tiongkok negara besar dengan potensi kekuatan ekonomi yang
besar. Jadi, kita justru rugi jika tidak berhubungan dengan Tiongkok,"
katanya, tentang kunjungannya ke Tiongkok pada 1-3 Desember 1999.
Kunjungan Presiden Wahid ke RRT tersebut menandai babak baru
peningkatan hubungan antara kedua negara, ditandai kesediaan Tiongkok
memberi bantuan keuangan serta fasilitas kredit termasuk kerja sama
keuangan, pariwisata, dan imbal beli atau
counter trade di bidang energi, yaitu menukar LNG dengan produk-produk Tiongkok.
Selanjutnya, dalam wacana publik, ikon kedekatan hubungan Indonesia-Tiongkok terpelihara melalui "diplomasi dansa" Megawati.
Di era kepemimpinan Megawati kedua sepakat membentuk forum
energi yang merupakan payung investasi Tiongkok di Indonesia di bidang
energi.
Mitra strategis
Beberapa capaian yang sudah dirintis tersebut kemudian dikelola lebih
baik oleh Susilo Bambang Yudhoyono, dalam dua periode kepemimpinannya.
Dalam periode itu, dua perjanjian penting, monumen kedekatan
hubungan Indonesia-Tiongkok ditandatangani yaitu Kemitraan Strategis
pada 25 April 2005, yang kemudian ditingkatkan menjadi Kemitraan
Strategis Komprehensif pada Oktober 2013.
Sejak itu hubungan politik, pertahanan, keamanan, ekonomi, dan sosial-budaya kedua negara terus meningkat.
Makin eratnya hubungan Indonesia-Tiongkok juga ditunjukkan kedua pihak pada forum internasional, semisal dalam penetapan
Declaration of Conduct of Parties in The South China Sea (DoC) pada 2002, termasuk dalam "Guidelines for The Implementation of DoC" pada 2011.
Indonesia dan Tiongkok juga sepakat menandatangani protokol
Southeast Asian Nuclear Weapon Free Zone (SEANWFZ) pada 2011. Keduanya juga sepakat untuk menjadikan ASEAN sebagai
the main driving force dalam pembentukan forum Pertemuan Tingkat Tinggi Asia Timur.
Tiongkok senantiasa menghargai dan mendukung setiap keputusan yang diambil ASEAN.
"Hubungan Indonesia dan Tiongkok yang telah berjalan enam dekade
lebih, senantiasa mengedepankan prinsip saling menghormati, menghargai,
sebagai bangsa yang setara, yang bertanggung jawab atas perdamaian dan
stabilitas kawasan," kata Presiden Tiongkok Xi Jinping, saat menerima
kunjungan kenegaraan Presiden Joko Widodo (Jokowi) di Balai Agung Rakyat
pada 25 Maret 2015.
Hubungan antara Indonesia dan Tiongkok adalah yang paling
dinamis di Asia Pasifik, katanya. Selain menyepakati delapan nota kerja
sama, pada kunjungan Presiden Jokowi pada Maret silam, Indonesia dan
Tiongkok terus menyinergikan ide Poros Maritim Dunia milik Indonesia
dengan Jalur Sutra Maritim milik Tiongkok.
"Kita ingin memberikan makna lebih dalam sebagai mitra strategis
komprehensif, dengan rangkaian kerja sama yang lebih nyata, memberikan
manfaat nyata bagi kemakmuran masyarakat kedua negara," kata Presiden
Jokowi kepada mitranya Presiden Xi Jinping.
Hubungan antarwarga
Kokohnya hubungan sebuah negara dengan lainnya, tidak melulu didominasi
interaksi pejabat resmi yang cenderung elitis. Meksi kebijakan luar
negeri utamanya tetap menjadi domain para birokrat, publik termasuk
pemegang saham utama yang dapat mempengaruhi secara signifikan, baik
pembuatan maupun pelaksanaan kebijakan luar negeri.
Maka interaksi antarwarga kedua bangsa akan sangat menentukan
dinamika hubungan Indonesia-Tiongkok. Amat penting mendorong warga
kedua bangsa untuk dapat lebih saling memahami, setelah hubungan kedua
negara sempat membeku selama dua dekade lebih.
"Kami ini masih Merah Putih, meski kami kini jauh dari
Indonesia," kata Huang Hui Lan, seorang warga Tionghoa yang terpaksa
meninggalkan tempat kelahirannya di Takengon, Aceh pada 1967, menyusul
kisruh politik di Indonesia pada 1965.
Ia bersama tujuh saudaranya, sang ibu dan kakek, menumpang kapal yang
dikirim Tiongkok untuk membawa para warga keturunan karena situasi
politik yang kurang bersahabat di Indonesia, kembali ke tanah leluhurnya
di Negeri Panda.
Wanita kelahiran 7 Juli 1950 itu, mengatakan,"saatnya kedua
bangsa, kedua negara berjalan bersama menatap masa depan lebih baik.
Sejarah kelam, jadikan pelajaran untuk lebih baik".
Karena rasa cintanya kepada Indonesia, Huang Hui Lan membuat sanggar tari tradisional Indonesia di Guangzhou.
Kecintaan kepada Indonesia juga kuat melekat di hati Kenny Lai, warga
keturunan Tionghoa yang juga terpaksa meninggalkan Jakarta pada 1966.
"Situasi saat itu memang tidak mudah bagi kami. Di Indonesia,
kami mendapat perlakuan tidak bersahabat, saat tiba di tanah leluhur
kami di Tiongkok, kami pun dicurigai, terlebih kala itu di Tiongkok juga
tengah mengalami revolusi budaya," ungkapnya.
Kini, lanjut Kenny, meski hubungan kedua negara terus mengalami
peningkatan positif, tetap harus didukung hubungan antarmasyarakat kedua
bangsa yang lebih baik.
Ketua
China Overseas Harbin Chi Guo Qiang mengatakan masih banyak warga Tiongkok, khususnya Harbin, yang belum mengenal Indonesia.
"Hubungan kedua negara telah berjalan baik, tetapi saling
pemahaman antara masyarakat kedua bangsa juga sangat penting. Cara
pandang masyarakat Indonesia terhadap Tiongkok, dan sebaliknya akan
sangat menentukan dinamika hubungan kedua negara, berdasar saling
menghormati dan saling menguntungkan di masa depan," katanya.
Credit
ANTARA News