(Foto: Rachman Haryanto/detikcom)
Jakarta (CB) - Guna mendukung visi
pemerintah membangun kedaulatan maritim, TNI Angkatan Udara berencana
membeli pesawat-pesawat generasi 4,5, yang merupakan keluaran mutakhir.
Ada Sukhoi 35 dari Rusia, JAS-39 Gripen (Swedia), Dassault F1 Rafale
(Prancis) dan Boeing-McDonnel Douglas F/A-18E/F Super Hornet (Amerika
Serikat).
Pesawat jenis apa yang akan dipilih untuk menggantikan
armada jet tempur F-5E/F Tiger II, yang dianggap sudah usang, sejauh ini
masih dalam kajian. Tapi karena para pilot TNI AU sudah terbiasa
menggunakan produk Amerika dan Rusia, besar kemungkinan produk dua
negara itulah yang akan dipilih.
"Kenapa saya minta dua itu,
karena sumber daya manusianya, baik air crew maupun ground crew, sudah
punya pengalaman menangani Sukhoi dan F-16," kata Kepala Staf Angkatan
Udara Marsekal Agus Supriatna saat ditemui majalah detik di ruang
kerjanya, Kamis 2 April 2015 lalu itu.
Ia juga mengungkapkan
perlunya pesawat angkut personel Hercules atau jenis Airbus 400.
SetidaknyaTNI AU butuh 10 Hercules atau 4 Airbus A-400. Pada bagian
lain, Agus memaparkan kondisi radar militer yang ada serta hasil
investigasi terhadap musibahTim Aerobatik Jupiter di Langkawi, Malaysia
beberapa pekan lalu. Berikut ini petikannya:
Selama 69 tahun menjaga kedaulatan negara, apa pencapaian dan rencana pembenahan Angkatan Udara ke depan?Pembangunan
dan pengembangan kekuatan udara bisa berupa penambahan alutsista dan
fasilitas pendukungnya, yang tertuang dalam rencana strategis lima
tahunan. Sampai akhir 2014, Angkatan Udara sudah berhasil memodernisasi
alutsista lebih dari setengah yang direncanakan.
Seperti apa peran dan kesiapan TNI Angkatan Udara di tengah visi Poros Maritim?
Dalam konteks perang modern, paradigma World Maritime Axis harus
dipayungi dengan paradigma World Airspace Axis. Penguasaan ruang udara
dan kekuatan udara yang memadai sangat penting demi mewujudkan supremasi
kekuatan maritim.
Hal ini menjadikan peran TNI AU dalam
pertahanan maritim akan sangat menantang. TNI AU harus mampu
menghadirkan superioritas udara ke tengah samudra yang melampaui
perairan-perairan Tanah Air kita dan mampu melakukan coverage security
bagi Angkatan Laut. Artinya, sistem pertahanan maritim bukan hanya butuh
AL yang kuat, tapi juga AU yang kapabel.
Terkait hal ini,
penetapan Air Defence Identification Zone (ADIZ), yang merupakan wilayah
payung perlindungan maritim dan wilayah udara, secara tepat menjadi
kepentingan yang sangat mendesak untuk menjaga keseimbangan
geostrategik. ADIZ mencantumkan wilayah udara atas daratan dan lautan,
di mana identifikasi, lokasi, dan kontrol terhadap pergerakan pesawat
diperlukan bagi kepentingan pertahanan dan keamanan.
Tahun ini apa yang menjadi program prioritas? Sebetulnya
yang paling utama itu bagaimana mengimplementasikan kebijakan-kebijakan
Panglima TNI. Kan itu sudah jelas sekali dan kita juga melihat dari
visi-misi pemerintah, karena kita ingin mengembangkan poros maritim,
bahkan sampai pada poros maritim dunia, sehingga saya harus
mengembangkan kekuatan udara yang kapabel. Jadi bukan hanya kekuatan
angkatan laut saja yang kuat.
Pergerakan apa pun yang ada di
bawah ini (darat dan laut), tanpa penguasaan udara di tangan kita, kan
sulit untuk bergerak dengan aman. Itulah (kenapa) wilayah udara yang
akan kita perkuat. Terutama pertahanan udaranya, radar-radar harus bisa
meng-cover seluruh wilayah kita, supaya tidak ada yang mengganggu.
Karena yang bisa melihat situasi apa yang paling cepat, itu lewat udara.
Kalau udaranya itu kita tutup, kita kawal, kita amankan, tidak mungkin
ada yang mau mengganggu.
Sampai saat ini persentase untuk mencapai ideal?
Kalau ditanya yang ideal, yang saya inginkan, seluruh wilayah
tertutup. Di-cover oleh radar saya. Pesawat-pesawat tempur, kalau ada
yang masuk, (kita) bisa segera mengintersep. Kalau intersep tidak ada,
kita harus punya rudal-rudalnya. Itu kalau mau ideal. Tapi kan kita juga
harus mau memahami bagaimana anggaran negara kita sehingga ada
prioritas kira-kira wilayah mana saja yang sering diganggu atau apa.
Di
situlah sepanjang tahun dan sekarang, saya selalu deploy
pesawat-pesawat tempur saya. Ada yang di Biak, Tarakan, Aceh. Selalu
bergantian di wilayah selatan juga.
Potensi ancaman paling besar itu sekarang apa? Kalau
dikatakan ancaman besar, ya, karena kemampuan kita belum bisa
meng-cover semua, yang paling mudah melihat keadaan itu kan dari udara.
Kalau misalnya pesawat yang punya jangkauan jarak jauh memfoto, kan
itulah yang paling utama.
Minimal kekuatan udara kita harus seperti apa? Saya
inginnya, ada satu flight di Aceh, Medan. Di utara misalnya Tarakan. Di
Pontianak sudah ada skuadronnya. Di Papua juga harus ada, baik di
Merauke maupun Biak. Begitu juga selatan, perlu banget, seperti di
Kupang atau di Bali. Tapi kan kemampuan kita tidak seperti itu.
Berapa besar anggaran belanja peralatan tempur?
Kalau itu, tanya ke Kementerian Pertahanan. Yang diajukan tentu
banyaklah. Tapi saya tidak bisa mengatakan dapat berapa. Realisasinya
tidak usah tanya ke saya. Lihat sendirilah.
Pesawat tempur yang diprioritaskan? Oh,
enggak, saya juga perlu pesawat transportasi. Kalau misalnya saya
mengirim satu batalion tempur, itu jelas butuh Hercules, belasan.
Minimal sembilan atau 10 pesawat. Kalau kayak A-400 itu, cukup 3 atau 4
pesawat bisa bawa satu batalion tempur. Makanya saya bikin kajian, terus
kita kasih ke Kementerian Pertahanan dan, alhamdulillah, mudah-mudahan
anggaran pemerintah ada tambahan. Semoga terealisasi dengan cepat.
Tahun ini yang sudah pasti datang? F-16
akan datang lima kalau tidak salah akhir bulan ini. Mei akan tambah
lima lagi dari Amerika. Lalu ada tambahan lagi lima pesawat dari
Australia.
Pengganti F-5 nantinya? Saya
sudah buat kajian. Saya minta yang generasi di atas 4,5. Kalau dari
Rusia ada Sukhoi 35, kalau dari Amerika ada yang Blok 60 ke atas.
Sekarang ada Blok 70. Saya minta itu, Viper. Kenapa saya minta dua itu,
karena sumber daya manusianya, baik air crew maupun ground crew sudah
punya pengalaman, bagaimana menangani Sukhoi dan F-16
Kondisi radar udara?Saat ini radar yang
dimiliki belum sepenuhnya dapat meng-cover seluruh wilayah kedaulatan
NKRI yang cukup luas, ditambah lagi ada beberapa radar yang teknologi
sistem radarnya buatan 1960-an. Kita butuh 32 untuk bisa meng-cover
semua. Sekarang sudah ada 22, kurang 10 lagi. Untuk mendukung operasi
pertahanan udara pada tahap deteksi dini dan identifikasi, Angkatan
Udara bekerja sama dengan radar penerbangan sipil atau military civil
coordination.
Dukungan TNI AU terhadap industri pertahanan dalam negeri?Sejak
awal berdiri, Angkatan Udara telah turut menyumbangkan pemikiran dan
karyanya dalam industri pertahanan, khususnya di bidang kedirgantaraan
dan bidang lainnya. Kita kenal Abdulrahman Saleh, salah seorang pelopor
Angkatan Udara. Selain pendiri Angkatan Udara, beliau adalah akademisi,
ahli faal Universitas Indonesia. Kita kenal Nurtanio, juga perintis
industri pesawat terbang Indonesia. Karyanya cukup banyak, di antaranya
Si Kumbang 01 dan 02, pesawat single seater dilengkapi senjata otomatis
udara-darat.
Ada lagi Wiweko Soepono, perintis Indonesia
Airways, perancang forward facing crew cockpit untuk pesawat berbadan
lebar. Rancangannya diterima dan dipakai untuk semua pesawat terbang
berbadan lebar di dunia. Sampai saat ini, Angkatan Udara terus berupaya
meningkatkan kemampuan dan karya dalam bidang kedirgantaraan. Kami punya
Dinas Penelitian dan Pengembangan Angkatan Udara, yang terus meneliti,
mengembangkan, dan menciptakan teknologi terbaru untuk kebutuhan TNI AU
maupun nasional.
Selain pesawat tempur, pesawat sipil ada yang melanggar wilayah udara kita?Kalau
pesawat militer melanggar, itu pasti ada sesuatu. Kalau pesawat militer
itu tidak mungkin mau melanggar. Seperti saya pilot pesawat tempur
seenaknya masuk wilayah orang, itu sama saja ngajak apa? Nah, mengapa
pesawat sipil banyak (melanggar), karena mereka mungkin menganggap saya
dulu lewat sini aman, saya dulu lewat sini enggak usah pakai izin juga
bisa.
Karena saya juga pernah mengintersep pesawat sipil, ternyata isinya
pasukan PBB dari Pakistan. Dia dari Dili langsung saja ke Malaysia, tapi
izinnya dari Malaysia ada, dari Singapura ada, dari Thailand ada, tapi
dari Indonesia tidak ada. Akhirnya saya tahan di Makassar. Waktu itu
pesawat Boeing kita intersep pakai Sukhoi.
Tapi sanksinya tak sebanding dengan biaya mengintersep, ya? Terkait
dengan pelanggaran wilayah udara oleh pesawat asing dan sanksi yang
diberikan, sebenarnya semua telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 1
Tahun 2009 tentang Penerbangan. Setelah beberapa pengalaman yang kita
dapatkan pada tahun lalu, memang ada beberapa hal yang harus dikaji
ulang dan dipikirkan bersama menyangkut penindakan, penyidikan, dan
sanksi bagi pelanggar, sehingga kejadian pelanggaran wilayah ini dapat
dieliminasi.
Kami, TNI AU, ingin memiliki kewenangan menyidik
karena saat ini TNI hanya berwenang melakukan penyergapan atau
intervensi terhadap pesawat asing yang masuk tanpa izin, sedangkan
kewenangan penyidikan ada di Kementerian Perhubungan.
Oh, ya, bagaimana hasil investigasi kecelakaan dua pesawat tim aerobatik Jupiter di Langkawi?Sebelum
berangkat ke Langkawi, JAT (Jupiter Aerobatic Team) telah mempersiapkan
diri dengan maksimal. Pesawat laik terbang, penerbang dilatih maksimal
untuk mengatasi berbagai kemungkinan. Namun ada hal yang tidak dapat
kita jangkau, unpredictable, sesuatu di luar kuasa kita.
Inilah
yang disebut musibah. Saya tekankan kepada mereka untuk tidak takut,
tidak gentar, dan tidak ragu dalam melanjutkan tugas, sehingga mereka
tetap dapat bekerja dengan moril yang tinggi. Pada HUT TNI AU 9 April
nanti, mereka akan tampil kembali menghibur masyarakat Indonesia.
Credit
Detiknews