"Bagi
saya ini semua tentang keadilan, itulah yang telah saya perjuangkan
untuk seluruh karir politik saya dan itulah yang saya tegakkan."
Begitulah Heiko Maas menggambarkan dirinya.
Karakter semacam itu
tentu sempurna bagi seorang menteri kehakiman. Tapi setelah empat tahun,
politikus Sosial Demokrat itu akan meninggalkan jabatan tersebut, dan
beralih menjabat sebagai menteri luar negeri Jerman yang baru. Itu tidak
berarti dia harus mengubah sikap. Namun sebagai seorang politikus yang
percaya diri dan berpendirian, dia harus menunjukkan kehatian-hatian
dalam berbicara yang lebih daripada sebelumnya. Satu kata saja salah
dalam posisi barunya, akan lebih cenderung menimbulkan konsekuensi tak
terduga daripada di jabatan politik lainnya.
Maas bukan seseorang
yang bicara tanpa berpikir panjang. Meski begitu, sifatnya yang tegas
telah membuatnya berulang kali menjadi sasaran kritik dari partai ultra
kanan AfD dan gerakan Pegida-nya. Peristiwa terbaru-- ketika sebagai
menteri kehakiman--, ia mendorong disahkannya sebuah undang-undang baru
melawan ujaran kebencian di situs media sosial.
Mempertahankan
keputusannya dari tuduhan penyensoran dan penghinaan yang menyebutkan
dia adalah pengkhianat, Maas menyatakan: "Inilah akhir dari budaya debat
intelektual demokrasi kita."
Ini juga merupakan kekhawatiran
yang mungkin akan dia hadapi di panggung politik internasional dalam
peran barunya sebagai menteri luar negeri Jerman.
Realitanya, di
luar Jerman kelompok populis tidak hanya duduk kursi di parlemen, tapi
mereka juga menjalankan pemerintahan. Maas harus bersiap mendengar nada
miring yang dilontarkan pemerintahan di Ankara, Budapest atau Warsawa.
Politisi Jerman baru-baru ini dituding melancarkan cara Nazi oleh
pemerintahan bersangkutan.
Baca juga:
Perundingan Koalisi Pemerintah Jerman Dimulai: Bagaimana Kelanjutannya?Politisi Partai Sayap Kanan Anti Islam Masuk Islam
Tweet tajam dari menteri luar negeri adalah tabu
Maas
juga harus bisa menahan diri untuk tidak mengirimkan retorika tajam
melalui akun Twitternya. Fakta bahwa dia dan timnya menyadari ampuhnya
layanan pesan tersebut dibuktikan dengan lebih dari 4.000 cuitan twitter
dari akun kementeriannya serta lebih dari 250.000 pengikut akunnya.
Dan
para pengikutnya itu melihatnya sebagai politikus yang berbicara tanpa
‘tedeng aling-aling‘ saat dia menulis pernyataan seperti: "Jumlah
serangan yang tinggi terhadap pengungsi merupakan pertanda memalukan
bagi negara kita."
Tantangannya
Pernyataan lugas tersebut
menunjukkan bahwa dunia dapat memperkirakan dia menjadi seorang menteri
luar negeri Jerman yang mencari pemecahan masalah masyarakat seperti
tantangan dalam dunia olahraga. Itu tepat karena Maas juga atlet
‘triatlon' yang penuh semangat.
Apakah dia akan menemukan waktu untuk berenang, berlari dan bersepeda
saat bepergian ke seluruh dunia tetap harus dilihat. Namun, dia sudah
menunjukkan kekuatan disiplin dirinya saat menyeimbangkan karirnya yang
memakan waktu, kehidupan pribadinya dan olahraganya saat menjabat
sebagai menteri kehakiman. Meskipun demikian, keseimbangan itu terganggu
pada tahun 2016, ketika ayah dua anak laki-laki tersebut meninggalkan
istrinya yang telah ia nikahi selama 15 tahun, untuk menjalin hubungan
dengan aktris Natalia Wörner.
Kesukaan Heiko Maas berpakaian
‘necis' juga menjadi topik diskusi media di masa lalu. Ibunya adalah
seorang penjahit dan ayahnya adalah seorang tentara karir. Itu mungkin
bisa membantu menjelaskan mengapa pernyataan yang tegas selalu menjadi
bagian dari kehidupan menteri luar negeri Jerman yang baru ini.
Tiga kekalahan untuk posisi teratas Saarland
Maas
memulai karir politiknya pada tahun 1996 saat ia menjadi sekretaris
negara bagian di negara bagian Saarland, baratdaya Jerman, di bawah PM
Oskar Lafontaine. Dua tahun kemudian, pada usia 32 tahun,dia ditunjuk
sebagai menteri lingkungan Saarland. Ia menjadi menteri termuda di
Jerman.
Karirnya yang meroket, anjlog pada tahun 1999, ketika
Partai Sosial Demokrat (SPD) kalah dalam pemilu negara bagian. Meski
begitu, ia mampu memoles ketrampilan politiknya dan mengukir namanya
sebagai pemimpin oposisi negara bagian tersebut.
Pada tahun 2000,
dia terpilih sebagai ketua partai SPD di negara bagian Saarland serta
anggota dewan eksekutif federal partai tersebut. Namun pada tahun 2004
dan 2009, partai CDU pimpinan Kanselir Angela Merkel yang menang dalam
pemilu di negara bagian itu.
Meski kalah untuk ketiga kalinya di
tahun 2012, Maas dipliih menjadi menteri ekonomi Saarland sebagai bagian
dari koalisi CDU / SPD, yang juga menjabat sebagai wakil perdana
menteri.
Tahun berikutnya Maas menjadi anggota Kabinet Kanselir
Angela Merkel sebagai menteri kehakiman. Pada usia 47 tahun, dia adalah
salah satu anggota termuda Kabinet dan menjadi pejuang kebebasan dan hak
sipil, terutama ketika sampai pada penolakannya untuk dalam
mengumpulkan dan menyimpan data telekomunikasi warga.
Mengubah sikapnya pada pengumpulan data
Akhirnya,
Maas mengubah pendiriannya pada topik tersebut setelah sejumlah
serangan teror Islamis garis keras dilancarkan di seluruh Eropa. Yang
tidak kalah pentingnya, tekanan dari dalam partainya membuat dia menjadi
pendukung pengumpulan dan penyimpanan data komunikasi elektronik,
bahkan dalam kasus dimana tidak ada kecurigaan terhadap aktivitas
kriminal.
Perubahan itu tak urung menimbulkan kritik untuk
mencapnya sebagai "flip-flopper" alias mencla-mencle. Setelah serangan
teror lebih lanjut, di antaranya di Pasar Natal Berlin pada tahun 2016,
Maas meminta undang-undang keamanan yang lebih ketat. Di antara
proposalnya adalah seruan untuk mengenakan monitor pergelangan kaki
elektronik untuk kepada orang-orang yang dianggap "ancaman" dan
dicurigai mampu melakukan serangan teror di masa depan.
Rentetan
konsesi terhadap kaum konservatif tampaknya tidak mencoreng citra umum
Maas. Baik SPD maupun Kanselir Merkel akan mempercayai dia menjalankan
tugas sebagai menteri luar negeri negeri.
Maas rupanya adalah
salah satu politikus langka, yang meski mengalami banyak kemunduran,
sepertinya selalu berakhir dengan kemenangan baginya.
Credit
sindonews.com