Mantan Penghuni Kamp Uighur Gulbachar Jalilova (kiri) memberikan paparan saat kunjungan di Kantor Republika, Jakarta, Jumat (11/1).
CB, JAKARTA - Mantan peserta kamp di Provinsi Xianjang, Cina Gulbachar Jalilova (54 tahun) mengaku terkejut melihat perbedaan foto yang diambil pekan lalu oleh jurnalis dari beberapa media internasional ke kamp yang diduga muslim Uighur disiksa di sana. Jalilova menggambarkan kondisi sebenarnya penuh dengan penyiksaan.
Ruangan dengan ukuran 7x3x6 yang tanpa jendela menjadi tempat sehari-harinya selama 16 bulan dia ditempatkan di kamp Uighur. "Kami ditahan di kamar pengap dan gelap.kadang-kadang mereka mengikat logam seberat 5 kilogram di kaki kami sebagai cara hukuman. dur tidur kami bergantian, hanya empat jam semalam," ujar Jalilova saat kunjungannya ke Republika pada Jumat (11/1).
Jelilova berasal dari Kazakhstan. Dia menghabiskan dua dekade terakhir berbisnis di perbatasan Cina-Kazahstan. Pada Mei 2017, dia tiba-tiba ditangkap di kota Urumqi, Cina dengan tuduhan mentransfer dana secara ilegal sebesar 17 ribu yuan (3500 dolar AS) dari Cina dan Turki.
"Ketika saya berada di kamp, saya memberi tahu mereka bahwa saya adalah orang asing dan bahwa saya tidak melakukan kesalahan," katanya.
Setelah ditangkap dan ditempatkan di kamp, dia tersiksa dan terpisah dari anaknya. Setiap pekan anaknya hanya bisa mengirim surat kepadanya.
"Kami diberitahu bahwa kami tidak memiliki hak di sana. Kami tidak memiliki hak untuk melakukan panggilan telepon, kami seperti orang mati," ceritanya.
Kehidupan sehari-hari hanya dalam ruangan pengap. Dalam hal minum sebagai energi pertahanan tubuh pun dibatasi oleh Cina di kamp itu. Ketika mereka menggunakan air dalam tubuh mereka, mereka disangka berwudhu kemudian disiksa.
Pendidikan vokasi yang diakui Cina, menurut Jalilova berbentuk pengajaran ajaran-ajaran komunis, baik itu dari lagu-lagu komunis Cina dan undang-undang komunis. Semua wajib dihapal, wajib dipelajari bahkan dijadikan ujian.
"Dalam satu kamar pengap terdiri dari 40-50 orang. Jadi jika waktu tidur, kami bergantian sehingga waktu tidur kami hanya ada empat jam," ujarnya.
Pernyataan Gulbachar Jalilova ini bertentangan dengan klaim Pemerintah Cina, namun sesuai dengan kelompok advokasi masyarakat Uighur dan hak asasi manusia lainnya.
Jalilova mengaku selama berada di dalam kamp dirinya kerap dipukuli dan ketika pertama kali masuk dia memiliki berat 76 kilogram tetapi dalam sebulan ia kehilangan berat badan lebih dari 20 kilogram. "Ini foto saya sekitar tahun 2017," Jelilova menunjukkan foto sebelum berada di Kamp.
"Tujuan akhir dari kamp-kamp konsentrasi itu adalah untuk menghilangkan orang-orang Uighur, kaum Muslim," katanya.
Jelilova mengatakan, dia dikeluarkan dari kamp setelah upaya lobi yang berkelanjutan oleh keluarganya dan pemerintah KAzhastan. "Saya dibebaskan dari kamp konsentrasi tiga bulan lalu, tetapi setiap hari situasi di kamp konsentrasi masih terbayang-bayang di pelupuk mata saya," ujarnya.
"Tangisan rakyat Uighur masih terngiang di telinga saya," ungkapnya.
Berdasarkan data yang dirilis perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) diperkirakan lebih dari 1 juta etnis minoritas Muslim Uighur telah ditahan tanpa persetujuan mereka di pusat penahanan tidak resmi di Xinjiang. Pemerintah Cina mengatakan kamp-kamp tersebut adalah pusat pelatihan kejuruan yang menyediakan pelatihan bahasa dan pendidikan ulang bagi para ekstremis.
Credit REPUBLIKA.CO.ID
https://m.republika.co.id/amp_version/pl6356385