AL MANAMAH
- Parlemen Bahrain membuat sejarah pada Rabu kemarin ketika seorang
politisi perempuan terpilih sebagai orang nomor satu di lembaga
legislatif itu. Fawzia Zainal menjadi perempuan pertama yang memimpin
parlemen Bahrain.
Dalam pemilihan ketua parlemen, Zainal mendapatkan 25 suara dari 40 anggota majelis rendah. Zainal menjadi wanita kedua yang memimpin parlemen di kawasan Teluk Arab setelah Uni Emirat Arab (UEA) membuat sejarah pada 2015 ketika menunjuk Amal al-Qubaisi sebagai presiden Dewan Nasional Federal negara (FNC).
Dalam pemilihan ketua parlemen, Zainal mendapatkan 25 suara dari 40 anggota majelis rendah. Zainal menjadi wanita kedua yang memimpin parlemen di kawasan Teluk Arab setelah Uni Emirat Arab (UEA) membuat sejarah pada 2015 ketika menunjuk Amal al-Qubaisi sebagai presiden Dewan Nasional Federal negara (FNC).
Dewan
Tertinggi untuk Perempuan di Bahrain memuji pencapaian tinggi oleh
seorang wanita Bahrain yang memimpin parlemen melalui pemilihan dan
pemilihan langsung.
"Saya akan bekerja dengan sesama anggota parlemen untuk menerapkan implikasi politik, ekonomi dan sosial yang ditetapkan dalam pidato Yang Mulia, dan akan menggunakan semua instrumen konstitusional dan hukum yang tersedia yang mengangkat Kerajaan Bahrain kita yang berharga dan mempertahankan keamanan, stabilitas dan memajukan posisi di bidang pembangunan berkelanjutan dan manusia,” kata Zainal dalam pernyataan pertamanya sebagai Ketua parlemen seperti dikutip dari Al Arabiya, Kamis (13/12/2018).
Zainal untuk ketiga kalinya bertarung dalam pemilu lokal. Ia sebelumnya hampir memenangkan kursi pada 2014 lalu tetapi gagal karena hanya mendapatkan 228 suara dalam putaran kedua di distrik Riffa Timur melawan pesaingnya.
Zainal mengatakan sudah lama terjun ketika dia melihat basis dukungannya tumbuh selama bertahun-tahun.
“Pada tahun 2006 ketika saya pertama kalinya turun, pemilu penuh sesak oleh masyarakat politik dan gender adalah topik utama diskusi di kalangan pemilih. Seiring waktu, itu menjadi masalah yang kurang karena kesadaran pemilih tentang politik dan masyarakat tumbuh dan matang di mana mereka dapat melihat calon melewati gender sebagai faktor tetapi lebih kepada apa yang bisa mereka bawa ke meja,” tuturnya.
"Saya akan bekerja dengan sesama anggota parlemen untuk menerapkan implikasi politik, ekonomi dan sosial yang ditetapkan dalam pidato Yang Mulia, dan akan menggunakan semua instrumen konstitusional dan hukum yang tersedia yang mengangkat Kerajaan Bahrain kita yang berharga dan mempertahankan keamanan, stabilitas dan memajukan posisi di bidang pembangunan berkelanjutan dan manusia,” kata Zainal dalam pernyataan pertamanya sebagai Ketua parlemen seperti dikutip dari Al Arabiya, Kamis (13/12/2018).
Zainal untuk ketiga kalinya bertarung dalam pemilu lokal. Ia sebelumnya hampir memenangkan kursi pada 2014 lalu tetapi gagal karena hanya mendapatkan 228 suara dalam putaran kedua di distrik Riffa Timur melawan pesaingnya.
Zainal mengatakan sudah lama terjun ketika dia melihat basis dukungannya tumbuh selama bertahun-tahun.
“Pada tahun 2006 ketika saya pertama kalinya turun, pemilu penuh sesak oleh masyarakat politik dan gender adalah topik utama diskusi di kalangan pemilih. Seiring waktu, itu menjadi masalah yang kurang karena kesadaran pemilih tentang politik dan masyarakat tumbuh dan matang di mana mereka dapat melihat calon melewati gender sebagai faktor tetapi lebih kepada apa yang bisa mereka bawa ke meja,” tuturnya.
Perempuan
Bahrain akhirnya memecahkan langit-langit kaca tahun ini. Enam anggota
parlemen perempuan Bahrain memecahkan rekor negara itu tentang
perwakilan perempuan di parlemen ketika hasil resmi diumumkan pada 2
Desember lalu. Hal ini menegaskan bahwa mereka, bersama dengan beberapa
muka baru tokoh independen, akan menjadi bagian dari legislatif kelima
pulau kerajaan itu.
Tidak seperti negara-negara lain di kawasan itu, Bahrain tidak memiliki kuota untuk perwakilan perempuan di parlemen. Banyak warga Bahrain memandang sistem semacam itu bertentangan dengan konstitusi Bahrain dan Piagam Aksi Nasional, sebuah dokumen yang disahkan pada tahun 2001 yang menggerakkan politik, reformasi sosial dan ekonomi di kerajaan, yang memperoleh persetujuan 98,4 persen rakyat dalam referendum nasional pada saat itu.
Tidak seperti negara-negara lain di kawasan itu, Bahrain tidak memiliki kuota untuk perwakilan perempuan di parlemen. Banyak warga Bahrain memandang sistem semacam itu bertentangan dengan konstitusi Bahrain dan Piagam Aksi Nasional, sebuah dokumen yang disahkan pada tahun 2001 yang menggerakkan politik, reformasi sosial dan ekonomi di kerajaan, yang memperoleh persetujuan 98,4 persen rakyat dalam referendum nasional pada saat itu.
Credit sindonews.com