Warga
mengunjungi pimpinan kelompok sipil bersenjata Nurdin alias Din Minimi
(kiri) di Desa Ladang Baro, Kecamatan Julok, Aceh Timur, Aceh, Selasa,
29 Desember 2015. (ANTARA/Syifa Yulinnas)
Kasus Din Minimi menjadi pintu masuk yang bagus."
Jakarta (CB) - Presiden Joko Widodo (Jokowi) sedang
mempertimbangkan memberikan amnesti untuk Nurdin Ismail alias Din Minimi
dan kelompok bersenjatanya di Aceh Timur, yang 28 Desember 2015
menyerahkan diri setelah berdialog dengan Kepala Badan Intelijen Negara
Letjen TNI (Purn) Sutiyoso.
Sesuai Undang-Undang Dasar 1945, Presiden selaku Kepala Negara
berhak memberikan amnesti dan pemberian amnesti itu harus memperhatikan
pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat.
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1954 tentang Amnesti dan Abolisi
menyebutkan Presiden, atas kepentingan Negara, dapat memberi amnesti
kepada orang-orang yang telah melakukan sesuatu tindakan pidana.
Presiden memberi amnesti setelah mendapat nasihat tertulis dari Mahkamah
Agung yang menyampaikan nasihat itu atas permintaan Menteri Kehakiman
(sekarang Menteri Hukum dan HAM).
Amnesti merupakan suatu pernyataan terhadap orang banyak yang
terlibat dalam suatu tindak pidana untuk meniadakan suatu akibat hukum
pidana yang timbul dari tindak pidana tersebut.
Amnesti ini diberikan kepada orang-orang yang sudah ataupun yang
belum dijatuhi hukuman, yang sudah ataupun yang belum diadakan
pengusutan atau pemeriksaan terhadap tindak pidana tersebut.
Presiden Jokowi menyatakan pemerintah akan memberikan amnesti untuk
kelompok Din Minimi setelah melalui proses yang ditentukan.
"Nanti akan kita berikan tapi ada prosesnya," kata Presiden Jokowi
dalam lawatan akhir tahun 2015, ketika meninjau Pasar Lokal Keyabi di
Kabupaten Nduga, Papua, Kamis, 31 Desember 2015.
Presiden Jokowi menyebutkan, permintaan amnesti dari kelompok di Aceh itu sudah lama berjalan.
"Memang sudah agak lama, kita bertemu, bicara, meyakinkan, kita
mengajak mereka untuk ikut berperan dalam pembangunan. Konsentrasi kita
ada di situ. Masak kita bertahun-tahun bertarung terus," kata Presiden.
Presiden
menyebutkan, sudah ada beberapa kali pembicaraan terkait pengajuan
amnesti itu sehingga kelompok itu bersedia menyerahkan diri.
Ketika ditanya apakah akan ada proses hukum atau langsung pemberian amnesti, Presiden mengatakan, akan dilihat dulu.
Mengenai kemungkinan adanya kelompok lain yang meminta amnesti, Presiden mengatakan ada kalkulasinya.
"Semua akan kita proses dengan pendekatan lunak. Kalau sulit, akan
ditindak tegas. Semua harus matang dulu baru diputuskan," katanya.
Pendekatan dialogis
Pada 28 Desember 2015, Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Sutiyoso
mendatangi lokasi persembunyian Din Minimi dan anggotanya di pedalaman
Aceh Timur. Proses penjemputan Din Minimi beserta anggotanya itu,
mengejutkan banyak pihak. Proses yang berlangsung sunyi senyap itu,
hanya diketahui secara terbatas.
Keesokan harinya, Gubernur DKI Jakarta 1997-2007 itu menggelar jumpa pers di Hotel Lido Graha, Lhokseumawe, Aceh.
Banyak fakta dan data yang terungkap seputar kisah perjalanan
pejabat negara tersebut dalam menjemput kelompok Din Minimi di pedalaman
Aceh Timur hingga penyerahan senjata api yang mereka pegang selama ini.
Kepala BIN juga mengungkapkan keinginan Din Minimi ,antara lain
memohon amnesti dari Presiden Jokowi untuk seluruh kelompoknya, sebanyak
120 orang yang ada di lapangan dan 30 orang yang sudah dipenjara.
Selain itu, mereka meminta program reintegrasi yang sesuai dengan
nota kesepahaman (MoU) Helsinki untuk dilanjutkan, meminta anak-anak
yatim dan janda akibat konflik di Provinsi Aceh untuk diperhatikan
secara baik, jangan sampai kehidupannya menjadi terkatung-katung dan
diabaikan.
Mereka juga meminta Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) turun ke
Aceh karena mereka menilai ada kejanggalan dalam pengelolaan anggaran
pendapatan dan belanja daerah (APBD) dan nilainya pun sangat tinggi.
"Bahkan, dalam Pilkada tahun 2017 nanti, mereka meminta harus ada
peninjau independen. Mengapa hal itu harus ada, karena tidak mau ada
pihak-pihak tertentu yang melakukan intervensi," tutur Sutiyoso.
Pada penghujung tahun 2014, kelompok Din Minimi mulai santer
dibicarakan media karena menampilkan diri bersama kelompoknya dengan
bersenjata. Polisi menjadikan kelompok Din Minimi sebagai target operasi
karena dianggap telah melakukan serangkaian aksi kriminal di Aceh.
Namun, Din Minimi membantah melakukannya.
Tujuannya mengangkat senjata semata-mata untuk menuntut keadilan
dari Pemerintah Aceh yang dianggap telah melupakan sisa-sisa kepedihan
akibat masa konflik. Tetap saja, kelompok ini diburu oleh pihak
kepolisian.
Bahkan, sempat terjadi beberapa kali rentetan letusan senjata di
berbagai tempat antara aparat penegak hukum dengan kelompok Din Minimi.
Korban pun berjatuhan, beberapa anggota Din Minimi pun tewas ditembak
oleh polisi.
Namun, selama perburuan tersebut, tetap saja pimpinan kelompok Din
Minimi tidak berhasil ditemukan oleh aparat polisi. Bahkan, aparat
kepolisian semakin mengintesifkan pencarian terhadap pimpinan kelompok
tersebut.
Kelompok Din Minimi juga kerap berpindah-pindah tempat di pedalaman
Aceh Timur dan Aceh Utara, sehingga menyulitkan pihak kepolisian dalam
mengejar kelompok tersebut, hingga akhirnya menyerahkan diri.
Drama penjemputan Din Minimi, menyisakan kisah menarik, karena
keterlibatan langsung Kepala BIN yang turun tangan untuk menjemput Din
Minimi bersama dengan kelompok dipersembunyiannya.
Bahkan, Sutiyoso membawanya ke rumah orang tua Din Minimi di Desa Ladang Baro, Kecamatan Julok, Aceh Timur.
Kepala BIN itu menjelaskan proses penjemputan Din Minimi bersama
kelompoknya itu berlangsung secara sangat mulus dan aman, serta sangat
preventif. Bahkan, suasananya berlangsung dengan penuh kekeluargaan.
Sutiyoso mengakui, sebelum melakukan pertemuan dengan Din Minimi,
dirinya sudah menjalin komunikasi lebih kurang dua bulan lalu. Saat
penjemputan Din Minimi bersama kelompoknya tersebut, dirinya mengaku
semalaman berbicara dengan Din Minimi, termasuk mengenai Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI).
"Di mata saya, kelompok bersenjata Din Minimi tidak menuntut untuk
pemisahan diri dari NKRI, tapi mereka kecewa atas sikap pemerintahan di
Aceh yang ada sekarang," ujar Sutiyoso.
Kelompok tersebut sangat tidak puas atas kinerja mantan elit-elit
Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang sekarang mendapatkan kesempatan di
pemerintahan dan mereka merasa telah diterlantarkan sehingga terjadilah
pergolakan.
Anggota Komisi I DPR yang membidangi Luar Negeri dan Hankam, Ahmad
Zainuddin, memuji langkah persuasif dari Sutiyoso sehingga Din Minimi
dan kelompoknya menyerahkan diri. Ia juga menilai wajar permintaan Din
Minimi tersebut.
Tidak ada yang bersifat disintegratif atau bertentangan dengan prinsip NKRI.
"Jadi, sudah selayaknya pemerintah dan DPR menindaklanjuti
permintaan ini. Tidak ada yang berat karena Din Minimi warga negara
Indonesia juga, perlu diperhatikan," kata politisi dari Fraksi Partai
Keadilan Sejahtera (PKS) itu.
Pengamat keamanan dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)
Jaleswari Pramowardhani menyatakan, pendekatan dialogis yang dilakukan
Kepala BIN Sutiyoso mampu menyadarkan kelompok pemberontak bersenjata di
Aceh pimpinan Din Minimi.
"Saya rasa pendekatan represif untuk penyelesaian persoalan yang
terjadi selama ini tidak selalu terbukti dengan menurunnya kekerasan,"
katanya.
Pendekatan dialogis yang dilakukan Sutiyoso itu menjadi antitesis
dari pendekatan represif yang dilakukan aparat keamanan terhadap
kelompok-kelompok pengacau keamanan di Tanah Air.
Mantan Staf Khusus di Sekretariat Kabinet itu mengatakan,
pendekatan dialogis sejalan dengan imbauan Presiden Jokowi untuk selalu
mengedepankan proses dialog dalam menghadapi berbagai persoalan.
Penanganan kasus Din Minimi adalah salah satu contoh kelebihan dan
keberhasilan dari pendekatan dialogis.
Metode dialogis perlu ditularkan ke daerah konflik lainnya meskipun
proses hukum yang adil juga menjadi bagian dari semangat dialog itu
jika ada unsur pidananya. Dengan demikian, bangsa Indonesia akan
terampil dalam mendialogkan problem-problem yang sulit untuk didamaikan
selama ini.
"Kasus Din Minimi menjadi pintu masuk yang bagus," katanya.
Tentu saja "pintu masuk" yang bagus pula dalam menyelesaikan
berbagai persoalan yang melibatkan kelompok bersenjata yang ada di
daerah lain, seperti di Poso, Sulawesi Tengah, dan Papua.
Credit
ANTARA News