Ketakutan
akan ancaman cyber: pejabat pemerintah Jepang berpartisipasi dalam
latihan keamanan cyber di Tokyo pada bulan Maret 2014 sementara Tokyo
bersiap-siap menjadi tuan rumah Olimpiade Musim Panas 2020. [AFP]
Pemerintah dan perusahaan-perusahaan besar di seluruh Asia merasa
khawatir dengan peretasan berkas-berkas rahasia milik Sony Corp.
Sekarang ancaman cyber yang dirasakan dari Tiongkok dan Korea Utara
mendorong kerja sama regional dan dengan Amerika Serikat.
“Konsep tradisional kedaulatan nasional telah dikalahkan oleh
serangan cyber - dan saat ini sudah amat terlambat," kata Arnaud de
Borchgrave, seorang ahli di bidang perang cyber dan direktur proyek
untuk Ancaman Transnasional di Pusat Studi Strategis dan Internasional
di Washington, DC kepada Asia Pacific Defense Forum [APDF].
Pemerintah-pemerintah yang menghadapi ancaman selama ini bergantung pada masa lalu, kata de Borchgrave kepada APDF.
Tiongkok
dan Korea Utara merupakan ancaman cyber besar terhadap negara-negara
industri dari timur laut Asia. Jepang telah ketinggalan dalam
mengembangkan kemampuan keamanan cybernya sendiri selama seperempat abad
terakhir.
Industri-industri tetap rentan
Jepang danKorea Selatan
memimpin dunia dalam industri yang lebih tua seperti pembuatan mobil,
kapal dan peralatan baja. Tetapi mereka tetap rentan terhadap serangan
cyber.
"Jepang telah menyaksikan perkembangan berita tentang serangan cyber
terhadap Sony Pictures Entertainment dengan penuh perhatian dan
mengalami syok tingkat tinggi," Motohiro Tsuchiya, seorang profesor di
Universitas Keio, dan akademisi tamu di East-West Center, menulis dalam
sebuah blog Dewan Hubungan Luar Negeri pada tanggal 24 Desember.
"Serangan itu ... paling cocok dibandingkan dengan insiden cyber yang
mempengaruhi Mitsubishi Heavy Industries [MHI], kontraktor militer
terbesar di Jepang, pada akhir 2011. Pelanggaran itu telah menyebabkan
pencurian berskala besar informasi militer berteknologi tinggi," tulis
Tsuchiya. "Sejak kasus MHI, banyak perusahaan Jepang telah menjadi peka
terhadap kemungkinan dampak dari serangan cyber, terutama karena
negara-negara telah mulai menargetkan perusahaan swasta.
Tsuchiya mengatakan Korea Utara
[Republik Demokratik Rakyat Korea atau DPRK] dapat menjadi "lebih
bergantung pada peralatan cyber daripada serangan kinetik dalam rangka
meningkatkan kepentingan-kepentingannya."
"Meskipun retorika mereka keras, kepemimpinan DPRK cenderung
berhati-hati dalam memperhitungkan dampak dari tindakan mereka jika
mereka menyerang atau mengkritik negara-negara asing. ... Kemungkinan
tinggi untuk menyangkal serangan cyber dan penggunaan proxy merupakan
alternatif yang ideal untuk Pyongyang," tulisnya.
Pada bulan November 2014, Parlemen Jepang mengambil langkah-langkah
untuk memperkuat keamanan cyber ketika Diet Nasional meloloskan
Undang-Undang Prinsip Dasar Keamanan Cyber. Undang-undang ini memasukkan
komponen internasional.
"Pasal 23 mengharuskan Jepang berkontribusi dalam pengaturan
internasional yang meningkatkan keamanan cyber-nya. Jepang telah
mengadakan serangkaian pertemuan keamanan cyber dengan Perhimpunan
Bangsa-Bangsa Asia Tenggara [ASEAN] dan mengadakan pertemuan pertama
dengan Uni Eropa pada bulan Oktober 2014," tulis Tsuchiya.
"Peretasan Sony terjadi pada saat yang tepat dan akan menguji
tanggung jawab baru Jepang," katanya. "Amerika Serikat dan Jepang harus
bekerja sama untuk menjaga keseimbangan dan untuk memastikan Pyongyang
tidak membuka ruang di antara posisi mereka."
Dia menunjukkan bahwa Tokyo, sebagai tuan rumah Olimpiade pada tahun
2020, harus memperhatikan potensi serangan cyber Korea Utara menjelang
dan selama Olimpiade.
Korea Selatan bereaksi terhadap serangan cyber
Korea Selatan juga memandang serangan cyber Sony sebagai saat yang
menggugah kesadaran untuk memutakhirkan keamanan mereka sendiri dan
kerja sama internasional.
Presiden Korea Selatan, Park Geun-hye memerintahkan pemerintah untuk
meningkatkan keamanan cyber menyusul kebocoran data pembangkit listrik
tenaga nuklir, British Broadcasting Corp melaporkan pada tanggal 23
Desember.
Kantor berita resmi Yonhap di Korea Selatan mengatakan peretas
memposting empat arsip rahasia reaktor ke Twitter minggu sebelumnya.
Park mengatakan peretasan nuklir itu mengungkapkan situasi suram yang
tidak dapat diterima. Korea Selatan mencari kerja sama internasional
dan terutama kerja sama keamanan lebih dekat dengan Amerika Serikat.
Para pejabat meminta Biro Investigasi Federal AS untuk membantu
menemukan si peretas setelah menemukan bahwa alamat IP di beberapa
lokasi termasuk Korea Selatan, AS dan Jepang telah digunakan, menurut
The Korea Times.
Indonesia memandang serius ancaman itu
Indonesia, dengan jumlah penduduk 250 juta, juga memandang serius ancaman cyber itu.
Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu telah memperingatkan bahwa
Indonesia berada di ambang perang cyber dan harus mempersiapkan
infrastruktur dan sumber daya manusia untuk bertahan hidup, The Jakarta
Post melaporkan pada tanggal 30 Desember.
Kementerian Pertahanan mengklaim bahwa serangan cyber, di samping terorisme, penyakit dan narkotika, merupakan bahaya terbesar bagi Indonesia,
Jakarta Post melaporkan.
Brigjen Jan Pieter Ate, pemimpin Pusat Manajemen Pertahanan
kementerian itu, mengatakan kepada surat kabar tersebut bahwa Indonesia
sangat lemah dalam pertahanan cyber.
"Ada banyak hal yang harus dikerjakan, termasuk penguatan organisasi,
peningkatan sumber daya manusia dan pembangunan infrastruktur, jika
tidak kita tidak akan siap untuk menangani jenis perang ini," kata Jan.
Indonesia meluncurkan Pusat Operasi Cyber [COC] pertamanya pada bulan
Mei di bawah mantan Menteri Pertahanan Purnomo Yusgiantoro.
Jepang, Korea Selatan, Indonesia mencari keahlian AS
Brigade Perlindungan Cyber Tentara Amerika yang pertama sudah aktif, StrategyPage.com melaporkan pada bulan September.
"Brigade baru ini merupakan bagian dari tentara dan Komando Cyber
[USCYBERCOM] baru AS. Di sana mereka akan bergabung dengan tim cyber
ofensif baru, yang mulai terbentuk pada tahun 2013. Sedikitnya akan ada
40 tim pada tahun 2015. Pada tahun 2016 tentara juga mengharapkan untuk
memiliki sedikitnya tiga Brigade Perlindungan Cyber," lapor situs web
itu.
"Komando Cyber mulai beroperasi pada akhir 2010," kata
StrategyPage.com. "Sekitar 21.000 tentara ditarik dari berbagai kesatuan
sinyal dan intelijen untuk membentuk ARFORCYBER [Komando Cyber Angkatan
Darat]. Komando ini mulai beroperasi penuh pada tahun 2012.
"Pada tahun 2009 Angkatan Laut Amerika Serikat membentuk sebuah
‘Korps Dominasi Informasi,’ dalam bentuk markas baru [Armada ke-10],
dengan lebih dari 40.000 orang dipindahkan untuk mengawakinya," tambah
situs web itu.
"Polanya jelas," kata Ralph Winnie, wakil presiden Koalisi Bisnis
Eurasia di Washington, DC, kepada APDF. "Amerika Serikat tetap menjadi
bangsa yang sangat diperlukan untuk menjaga keamanan dan stabilitas di
kawasan Asia Pasifik. Kami terus memiliki dan mengembangkan kemampuan
pertahanan yang tidak bisa dilakukan oleh negara lain."
Credit
APDForum