Jumat, 22 Desember 2017

Menlu Turki: Kami tak akan Biarkan Al-Aqsa Jatuh


Menteri Luar Negeri Turki Mevlut Cavusoglu.
Menteri Luar Negeri Turki Mevlut Cavusoglu.

CB, Menteri Luar Negeri Turki Mevlut Cavusoglu menegaskan dalam sidang Majelis Umum PBB, Turki tak akan membiarkan Al-Aqsa jatuh. Turki juga tak akan meninggalkan rakyat Palestina sendiri. 

"Turki tak akan pernih membiarkan Al-Quds jatuh dan meninggalkan rakyat Palestina sendiri. Dunia lebih besar dari hanya lima negara," ujarnya seperti dikutip Anadolu, Kamis (21/12).

PBB menggelar sidang darurat Majelis Umum PBB untuk menentukan sikap atas keputusan Presiden Donald Trump yang memberikan Yerusalem ke Israel, kemarin. Sebanyak 128 negara secara bulat menentang Trump dan mendukung resolusi. Hanya sembilan negara yang mendukung langkah Trump dan 35 lainnya memilih abstain.

"Hari ini kita berbicara tentang Yerusalem, kota dengan tiga agama," ujar Cavusoglu.

Ia menegaskan keputusan Trump untuk mengakui Israel sebagai ibu kota Yerusalem adalah melanggar hukum dan tak sesuai dengan peraturan internasional. Cavusoglu juga menyindir AS yang sempat mengancam negara anggota PBB lain terkait resolusi tersebut.

AS sebelumnya memveto resolusi DK PBB yang menolak pemberian Yerusalem ke Israel. Namun di Majelis Umum PBB, Washington kehilangan hak vetonya.





Credit  REPUBLIKA.CO.ID





AS Belum Sikapi Negara Penolak Yerusalem Ibu Kota Israel


Warga Palestina melaksanakan Shalat Jumat kompleks Al Aqsa, Yerusalem, Jumat (8/12).
Warga Palestina melaksanakan Shalat Jumat kompleks Al Aqsa, Yerusalem, Jumat (8/12).


CB, WASHINGTON -- Pemerintah Amerika Serikat (AS) belum memgambil keputusan apakah negaranya akan mulai memotong bantuan finansial ke negara-negara yang menentang keputusannya mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel di sidang Majelis Umum PBB. Seperti diketahui, Majelis Umum PBB baru saja mengadopsi resolusi yang meminta AS menarik keputusannya mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel.

Juru bicara Departemen Luar Negeri AS Heather Nauert mengatakan tim kebijakan luar negeri di departemennya telah diberi wewenang untuk mengeksplorasi berbagai opsi guna menentukan hubungan dengan negara-negara yang menentang pengakuan Yerusalem sebagai ibu kota Israel. Kendati demikian, hingga saat ini, belum ada keputusan yang dibuat.

"Dan pemungutan suara di PBB bukan satu-satunya faktor yang akan dipertimbangkan AS ketika menentukan hubungan dengan negara-negara asing," ungkap Nauert dikutip laman ABC News, Kamis (21/12).

Majelis Umum PBB, pada Kamis, telah menyetujui resolusi yang dengan tegas meminta AS menarik pengakuannya atas Yerusalem sebagai ibu kota Israel. Resolusi ini disepakati 128 negara dan ditolak sembilan negara lainnya. Sedangkan 35 negara memilih abstain.

Dalam resolusi tersebut dinyatakan, "Setiap keputusan dan tindakan yang dimaksudkan untuk mengubah karakter, status, atau komposisi demografis Kota Suci Yerusalem, tidak memiliki efek hukum, tidak berlaku, dan harus dibatalkan sesuai dengan resolusi Dewan Keamanan (PBB) yang relevan."

Pada awal Desember lalu, Presiden AS Donald Trump mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel. Hal ini memicu gelombang protes serta kecaman dari berbagai negara, terutama negara-negara Arab dan Muslim. Pengakuan Trump tersebut dinilai telah menabrak dan melanggar berbagai kesepakatan serta resolusi internasional terkait Yerusalem.

Setelah gelombang protes, Dewan Keamanan PBB menggelar sidang untuk melakukan pemungutan suara guna menyetujui resolusi yang menentang tindakan unilateral AS terhadap Yerusalem. Sebanyak 14 dari 15 anggota Dewan Keamanan PBB menyetujui resolusi tersebut, namun AS memvetonya.

Keputusan AS untuk memveto resolusi Dewan Keamanan mendorong digelarnya sesi khusus di Majelis Umum PBB. Di Majelis Umum, AS tidak memiliki hak veto seperti di Dewan Keamanan PBB.

Untuk mempertahankan keputusannya mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel, AS pun mengancam negara-negara anggota PBB agar tidak menentang pengakuan tersebut. Bila penentangan atau penolakan dilakukan, AS sesumbar akan memotong bantuan finansial ke negara-negara terkait.


Credit  REPUBLIKA.CO.ID


AS Undang 65 Negara Pembela Israel saat Voting Resolusi Yerusalem


AS Undang 65 Negara Pembela Israel saat Voting Resolusi Yerusalem
Undangan Amerika Serikat untuk 65 negara pembela Israel saat voting resolusi soal status Yerusalem di Majelis Umum PBB. Foto/Fox News


NEW YORK - Pemerintah Amerika Serikat (AS) mengundang 65 negara pembela Israel saat voting resolusi tentang status Yerusalem di Sidang Darurat Majelis Umum PBB. Ke-65 negara itu yang tidak memberikan suara menentang AS soal pengakuan Yerusalem Ibu Kota Israel.

Undangan dikirim oleh Duta Besar AS untuk PBB Nikki Haley melalui email. Perwakilan 65 negara diundang ke resepsi 3 Januari 2018.

Langkah Washington itu untuk menandai secara simbolis siapa saja yang mendukung AS dan siapa saja yang melawan.

Undangan email Haley, yang diperoleh Fox News, meminta perwakilan negara-negara yang memilih tidak mendukung resolusi atau pun tidak memberikan suara alias abstain, datang untuk menerima ucapan terima kasih atas persahabatan dengan AS.


Dalam voting Majelis Umum PBB, 128 negara memilih mendukung resolusi pembatalan status Yerusalem Ibu Kota Israel. Sembilan negara, termasuk AS, memilih menentang resolusi, 35 negara memilih abstain dan 21 negara lainnya absen selama pemungutan suara.

Sembilan negara penentang resolusi atau pro-Israel adalah Guatemala, Honduras, Kepulauan Marshall, Mikronesia, Nauru, Palau, Togo dan AS serta Israel sendiri. Sedangkan 21 negara yang absen belum diketahui.

Sebelumnya pada hari Kamis, Haley, yang telah mengadopsi sikap agresif di PBB menyampaikan apresiasi kepada negara-negara yang “Tidak membangkang” pada AS. ”Karena tidak jatuh ke cara yang tidak bertanggung jawab dari PBB,” kata Haley di Twitter.

Pada hari Rabu, Trump mengancam akan memotong bantuan dari AS kepada negara-negara yang mendukung resolusi soal Yerusalem. ”Biarkan mereka memberikan suara melawan kami. Kami akan menghemat banyak. Kami tidak peduli,” katanya.

Haley kemudian menambahkan bahwa AS akan mencatat negara-negara yang melawan Washington. 





Credit  sindonews.com







AS jatuhkan sanksi ke jenderal Myanmar terkait pembersihan etnis


AS jatuhkan sanksi ke jenderal Myanmar terkait pembersihan etnis
Arsip Foto. Menteri Luar Negeri Amerika Serikat (AS) Rex Tillerson (tengah) berkunjung bersama Jenderal AS Vincent K. Brooks, Komandan Komando PBB, Gabungan Komando Pasukan Amerika Serikat dan Angkatan Bersenjata Korea (kanan) di desa perbatasan Panmunjom, yang memisahkan dua Korea, sejak Perang Korea, Korea Selatan, Jumat (17/3/2017). (REUTERS/Lee Jin-man/Pool)




Washington (CB) - Amerika Serikat (AS) menjatuhkan sanksi kepada seorang jenderal Myanmar, yang dituduh memimpin aksi pembersihan etnis terhadap warga desa Rohingya, Kamis (21/12), di tengah serangkaian sanksi baru terhadap tersangka pelaku pelanggaran hak asasi di seluruh dunia.

Maung Maung Soe ada di antara 14 tokoh senior pertama - yang juga mencakup mantan presiden Gambia Yahya Jammeh dan putri mantan pemimpin Uzbekistan Gulnara Karimova - yang masuk daftar hitam di bawah Undang-Undang Akuntabilitas Hak Asasi Manusia Global Magnitsky.

"Aksi hari ini memajukan nilai-nilai kami dan mendukung keamanan Amerika Serikat, sekutu kami dan mitra kami," kata Menteri Luar Negeri AS Rex Tillerson dalam sebuah pernyataan.

"Kami harus memimpin dengan contoh, dan pengumuman sanksi hari ini menunjukkan bahwa Amerika Serikat akan terus mengupayakan konsekuensi besar bagi mereka yang melakukan pelanggaran hak asasi manusia serius dan terlibat dalam korupsi," katanya sebagaimana dikutip AFP.

Sanksi global tersebut, yang didasarkan pada undang-undang AS sebelumnya yang menyasar para pejabat Rusia, disahkan pada akhir 2016 dan diplomat AS serta pejabat Kementerian Keuangan menghabiskan waktu setahun untuk mengumpulkan daftar orang-orang yang mereka anggap sebagai pelanggar terburuk di dunia.




Credit  antaranews.com




Australia Tarik 6 Jet Tempur Super Hornet dari Irak dan Suriah


Australia Tarik 6 Jet Tempur Super Hornet dari Irak dan Suriah
Menteri Pertahanan Australia Marise Payne. Dia umumkan bahwa 6 jet tempur Super Hornet Australia mulai ditarik dari Irak dan Suriah. Foto/The Star


SYDNEY - Australia memutuskan untuk mengakhiri serangan udara terhadap kelompok Islamic State atau ISIS di Irak dan Suriah. Enam pesawat jet tempur F/A18 Super Hornet Australia mulai ditarik pulang setelah tiga tahun bergabung dengan koalisi pimpinan Amerika Serikat (AS) di Timur Tengah.

Pengumuman itu disampaikan Menteri Pertahanan Marise Payne pada hari Jumat (22/12/2017).

Dia mengatakan pada sebuah konferensi pers bahwa keputusan tersebut dibuat menyusul pengumuman kemenangan Irak atas ISIS.

”Setelah melakukan diskusi dengan Irak dan dengan anggota koalisi internasional, pemerintah Australia telah menetapkan bahwa kami akan membawa pulang enam pesawat tempur Super Hornet dari Timur Tengah,” kata Payne kepada wartawan.

”Sudah lama, sudah sulit, tapi brutal, semua personel kami memberikan kontribusi yang luar biasa,” katanya lagi, seperti dilansir Reuters.

Pasukan Australia telah berada di Timur Tengah sebagai bagian dari upaya koalisi yang dipimpin AS dalam melawan ISIS sejak tahun 2014.

Meski misi tempur melawan ISIS berakhir, Payne mengatakan bahwa operasi Australia lainnya di wilayah Timur Tengah tetap akan berlanjut. Sebanyak 80 personel, termasuk pasukan khusus Australia yang merupakan bagian dari Special Operations Task Group di Irak masih akan ditempatkan di sana.

Tentara Australia juga telah melatih para pasukan Irak di pangkalan militer Taji di luar Baghdad. 




Credit  sindonews.com


Korsel Gunakan 'Dronebot Tempur' jika Perang Korut Pecah


Korsel Gunakan Dronebot Tempur jika Perang Korut Pecah
Militer Korea Selatan kembangkan 'dronebot combat' untuk persiapan perang di masa depan. Foto/Yonhap


SEOUL - Militer Korea Selatan (Korsel) berencana meluncurkan unit pesawat tak berawak yang bisa menjadi ”game changer” utama dalam peperangan di masa depan. Negara itu sudah membuat “dronebot combat” (dronebot tempur) yang akan digunakan jika perang dengan Korea Utara (Korut) benar-benar terjadi.

Dronebot tersebut nantinya akan beroperasi dalam pengintaian terhadap target di Korut serta memata-matai lokasi senjata nuklir dan rudal negara komunis tersebut.

Seorang pejabat militer Seoul mengatakan kepada kantor berita Yonhap bahwa unit "dronebot combat" akan beroperasi pada 2018.

Mereka akan menggabungkan teknologi dengung dan robot dan akan menjadi model untuk teknologi Israel.

”Untuk memulai, kami akan meluncurkan unit tempur dronebot tahun depan dan menggunakannya sebagai 'game changer' dalam peperangan,” kata pejabat militer tersebut.

”Jika terjadi kontingensi, segerombolan dronebot akan dimobilisasi untuk melancarkan serangan,” lanjut pejabat tersebut yang berbicara dalam kondisi anonim.

Para ahli menyarankan agar pesawat nirawak itu diandalkan untuk menyerang lokasi militer, infrastruktur dan komunikasi di Korea Utara.

Pakar pertahanan dan peneliti senior di lembaga think tank Heritage Foundation yang berbasis di Washington mengatakan kepada CNBC bahwa pesawat tak berawak berpotensi melakukan pengintaian dan serangan terhadap sasaran lunak. Namun, peralatan itu juga memiliki keuntungan lain.

”Ada kemungkinan yang cukup masuk akal peralatan itu bisa lolos dari deteksi,” kata Dean Cheng, peneliti di lembaga tersebut.

Dr Malcolm Davis, seorang analis senior strategi dan kemampuan pertahanan di Australian Strategic Policy Institute, mengatakan kepada news.com.au bahwa itu adalah ide yang menarik.

Dia mengatakan, jaringan pengaman pesawat tak berawak mulai dikembangkan dan ini bisa menjadi game changer dalam peperangan masa depan.

Namun, menurutnya Korea Selatan menghadapi tantangan, terkait apakah militernya bisa mengendalikan pesawat tak berawak mini dan membawanya ke sasaran yang tepat.

”Ini adalah masalah hukum fisika, semakin kecil platform-nya, semakin sedikit potensi energi yang dimilikinya, yang membatasi jangkauan, kecepatan dan kemampuan manuver,” katanya. 

”Mereka tidak bisa menerbangkannya dari Korea Selatan, jadi mereka perlu mengirimkannya ke sasaran yang umum, tapi lalu bagaimana drone tersebut mendiskriminasi target? Kecuali mereka dapat berbagi informasi seperti tim dan membangun pemahaman bersama tentang apa yang mereka lihat,” ujarnya.

Davis mengatakan, sangat sulit untuk menentukan apa yang mereka lihat pada sensor infra merah yang beresolusi rendah.

”Tapi bukan tidak mungkin melakukan ini, mungkin ini adalah sesuatu yang menjadi lebih layak dalam waktu 10 tahun, mungkin lebih murah menggunakan rudal yang dipandu secara presisi daripada pesawat tak berawak,” katanya.

”Orang Korea Selatan dan Amerika dilengkapi dengan cara ini,” paparnya, yang dikutip Jumat (22/12/2017).


Credit  sindonews.com




AS Dilaporkan Bersiap Serang Korut karena Diplomasi Gagal


AS Dilaporkan Bersiap Serang Korut karena Diplomasi Gagal
Diktator muda Korea Utara Kim Jong-un saat bertemu para ilmuwan rudal dan nuklir Pyongyang, Maret 2016 lalu. Foto/REUTERS


WASHINGTON - Amerika Serikat (AS) dilaporkan sedang mempertimbangkan sebuah serangan pre-emptive terhadap Korea Utara (Korut) untuk melucuti senjata nuklirnya. Hal itu diungkap tiga pejabat keamanan AS kepada media Inggris.

Ketiga sumber Washington mengatakan kepada The Telegraph bahwa Gedung Putih sedang menyusun opsi militer karena diplomasi telah gagal untuk mengekang rezim Kim Jong-un tersebut.

”Pentagon sedang mencoba untuk menemukan opsi yang memungkinkan untuk menghantam Korea Utara di hidung, menarik perhatian mereka dan menunjukkan bahwa kita serius,” kata salah seorang pejabat keamanan AS kepada surat kabar tersebut, yang dikutip Jumat (22/12/2017).

Menurut pejabat tersebut, administrasi Trump telah menyusun rencana untuk opsi militer ”secara dramatis”.

Opsi yang dimaksud termasuk pengeboman sebuah situs peluncuran rudal dan menghancurkan persediaan senjata rezim Pyongyang. Tujuannya adalah untuk menunjukkan kepada pemimpin Korut Kim Jong-un bahwa AS serius menghentikan program senjata negara komunis itu.

Presiden Donald Trump telah menunjukkan kemauannya untuk melakukan tindakan militer yang mengerikan dalam beberapa kesempatan sebelumnya. Trump pernah nekat memerintahkan serangan rudal jelajah Tomahawk terhadap pasukan rezim Suriah pada April lalu. Dalihnya kala itu adalah pembalasan atas penggunaa senjata kimia oleh rezim Presiden Bashar al-Assad terhadap rakyatnya sendiri.

Evan Medeiros, yang pernah menjabat sebagai penasihat mantan presiden Barack Obama untuk Asia-Pasifik, mengatakan dalam sebuah konferensi di New York pekan lalu bahwa Gedung Putih era Trump menanggapi ancaman Korea Utara secara serius.

”Kita harus sadar bahwa opsi militer sangat banyak di atas meja,” kata Medeiros. ”Ini adalah sesuatu yang sedang diperdebatkan secara serius dan dibahas di dalam administrasi Trump,” ujarnya.

”Bukan hal yang benar-benar dapat Anda bicarakan secara publik karena tidak diketahui seberapa canggih percakapan tersebut, tapi saya rasa ini tetap merupakan pilihan aktif.”

Sementara itu, Menteri Pertahanan AS James Mattis yang berbicara di Teluk Guantanamo di Kuba pada hari Kamis mengatakan kepada pasukan Amerika bahwa upaya untuk menghentikan Korea Utara difokuskan pada diplomasi, namun mereka harus siap untuk berkasi jika diplomasi gagal. 



Credit  sindonews.com







Tentara Korut Membelot Picu Baku Tembak di Perbatasan Korsel


Tentara Korut Membelot Picu Baku Tembak di Perbatasan Korsel
Tentara Korea Selatan memberi 20 tembakan peringatan saat seorang tentara Korea Utara membelot di Zona Demilitarisasi, Kamis (21/12).AFP PHOTO / KOREA POOL / - / South Korea OUT



Jakarta, CB -- Insiden baku tembak meletus saat tentara Korea Utara berusaha melintasi  zona demilitarisasi (DMZ) menuju Korea Selatan, Kamis (21/12). Untuk kedua kalinya selama lima pekan terakhir, seorang tentara Korea Utara membelot ke Korea Selatan melalui DMZ yang memisahkan kedua negara.

Kantor Kepala Staf Gabungan Militer Korsel (JCS) mengatakan insiden itu terjadi Kamis pagi sekitar pukul 08.00 waktu setempat. Sang pembelot diperkirakan berusia 19 tahun dan berpangkat rendah.

Ia berupaya menyeberangi daerah perbatasan melalui DMZ sambil membawa senapan AK-47. Sekitar pukul 09.24 waktu setempat, tentara Korsel mendapati sejumlah tentara penjaga perbatasan Korut tengah mencari sang pembelot hingga keluar perbatasan.


Militer Korsel langsung meresponsnya dengan melontarkan 20 kali tembakan peringatan. Sekitar kurang dari satu jam kemudian, militer Korsel mendengar suara serangkaian tembakan dari arah perbatasan Korut.


Sebagaimana dikutip Korea Herald, JCS mengatakan tidak ada korban dalam baku tembak itu dan sang pembelot telah diamankan militer Korsel.

"Kami telah mengamankan pembelot dengan selamat. Otoritas terkait terus melakukan penyelidikan untuk mengetahui motif mengapa dan bagaimana dia membelot," kata seorang pejabat JCS kepada wartawan.

Pembelotan ini terjadi berselang sebulan setelah sebelumnya seorang tentara penjaga perbatasan Korut juga kabur ke Korsel. Tentara itu bahkan diberondong puluhan peluru oleh rekannya saat berlari melintasi perbatasan DMZ.

Insiden penembakan pembelot di wilayah DMZ bulan itu merupakan yang pertama dan paling mengejutkan.



Pembelotan hari ini merupakan kali keempat yang dilakukan tentara Korut sepanjang 2017.

Pada Juni lalu dua personel militer Korut berusaha kabur ke Korsel dalam kesempatan terpisah.

Sebelum 2017, hanya ada empat pembelot militer dari Korut dalam lima tahun, yaitu satu pada 2016, satu pada 2015, dan dua lainnya pada 2012.

Sementara itu, dua warga Korut juga dilaporkan berupaya menyeberang ke Korea Selatan lewat jalur laut menggunakan perahu kayu kecil. Keduanya ditemukan 100 kilometer di utara Pulau Dokdo yang terletak di Laut Timur atau Laut Jepang oleh Angkatan Laut Korsel.

Tak sedikit warga Korut mencoba kabur dari negaranya melalui jalur laut. Beberapa dari mereka banyak yang terdampar di Jepang dan tak jarang tenggelam di tengah perjalanan mereka.

Sepanjang tahun ini, sudah ada lebih dari 50 kapal Korut yang ditemukan terseret arus ke Jepang. Tahun lalu, angka kapal yang terdampar di Jepang mencapai 60.





Credit  cnnindonesia.com





Ini 128 Negara yang Dukung Resolusi PBB Terkait Yerusalem


Sidang umum PBB (ilustrasi)
Sidang umum PBB (ilustrasi)

CB, JENEWA - PBB dalam pemungutan suara telah memilih untuk mendukung resolusi yang telah dikeluarkan terkait status Yerusalem. Pemungutan suara ini menyatakan pengakuan sepihak AS atas Yerusalem sebagai ibu kota Israel telah batal demi hukum.
Dalam sidang darurat Majelis Umum pada Kamis (21/12), 128 negara memilih untuk mendukung resolusi itu. Resolusi ini dengan tegas menolak keputusan kontroversial yang diumumkan Presiden AS Donald Trump pada 6 Desember lalu.
Trump sebelumnya mengancam untuk memotong bantuan kepada anggota PBB yang memilih untuk menolak keputusannya tersebut. Namun tampaknya mereka tidak terpengaruh dengan ancaman Trump.
Sementara sebanyak 9 negara menentang resolusi dan 35 negara memilih abstain. Berikut adalah negara-negara anggota PBB yang mendukung, menentang, dan abstain dalam pemungutan suara di Majelis Umum terkait Yerusalem, dilansir di Aljazirah.
 
Negara anggota PBB yang memilih mendukung resolusi
 
A: Afghanistan, Albania, Aljazair, Andorra, Angola, Armenia, Austria, Azerbaijan
B: Bahrain, Bangladesh, Barbados, Belarus, Belgia, Belize, Bolivia, Botswana, Brasil, Brunei, Bulgaria, Burkina Faso, Burundi
C: Cabo Verde, Kamboja, Chad, Cile, Cina, Komoro, Kongo, Kosta Rika, Pantai Gading, Kuba, Siprus,
D: Republik Rakyat Demokratik Korea (Korea Utara), Denmark, Djibouti, Dominika
E: Ekuador, Mesir, Eritrea, Estonia, Ethiopia
F: Finlandia, Perancis
G: Gabon, Gambia, Jerman, Ghana, Yunani, Grenada, Guinea, Guyana
I: Islandia, India, Indonesia, Iran, Irak, Irlandia, Italia
J: Jepang, Yordania
K: Kazakhstan, Kuwait, Kyrgyzstan
L: Laos, Lebanon, Liberia, Libya, Liechtenstein, Lituania, Luksemburg
M: Madagaskar, Malaysia, Maladewa, Mali, Malta, Mauritania, Mauritius, Monako, Montenegro, Maroko, Mozambik
N: Namibia, Nepal, Belanda, Selandia Baru, Nikaragua, Niger, Nigeria, Norwegia
O: Oman
P: Pakistan, Papua Nugini, Peru, Portugal
T: Qatar
R: Republik Korea (Korea Selatan), Rusia
S: Saint Vincent dan Grenadines, Arab Saudi, Senegal, Serbia, Seychelles, Singapura, Slowakia, Slovenia, Somalia, Afrika Selatan, Spanyol, Sri Lanka, Sudan, Suriname, Swedia, Swiss, Suriah
T: Tajikistan, Thailand, Mantan Yugoslavia Republik Makedonia, Tunisia, Turki
U: Uni Emirat Arab, Inggris, Republik Tanzania, Uruguay, Uzbekistan
V: Venezuela, Vietnam
Y: Yaman
Z: Zimbabwe
 
Negara anggota PBB yang memilih menentang resolusi
G: Guatemala
H: Honduras
I: Israel
M: Kepulauan Marshall, Mikronesia
N: Nauru
P: Palau
T: Togo
U: Amerika Serikat
 
Negara anggota PBB yang abstain
A: Antigua-Barbuda, Argentina, Australia
B: Bahama, Benin, Bhutan, Bosnia-Herzegovina
C: Kamerun, Kanada, Kolombia, Kroasia, Republik Ceko
D: Republik Dominika
E: Guinea Khatulistiwa
F: Fiji
H: Haiti, Hungaria
J: Jamaika
K: Kiribati
L: Latvia, Lesotho
M: Malawi, Meksiko
P: Panama, Paraguay, Filipina, Polandia
R: Rumania, Rwanda
S: Kepulauan Solomon, Sudan Selatan
T: Trinidad-Tobago, Tuvalu
U: Uganda
V: Vanuatu
 

Credit  REPUBLIKA.CO.ID

Ini 9 Negara yang Dukung Trump Berikan Yerusalem ke Israel


Sidang Majelis Umum PBB (ilustrasi).
Sidang Majelis Umum PBB (ilustrasi).


CB, UNITED NATIONS -- Sebanyak 128 negara menolak keputusan Presiden AS Donald Trump yang mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel. Penolakan itu dikeluarkan dalam resolusi pertemuan darurat Majelis Umum PBB, Kamis (21/12). 

Hanya sembilan negara yang menentang resolusi tersebut dan 35 lainnya memilih abstain. Berikut sembilan negara yang menolak resolusi dan mendukung Trump.

1. Guatemala
2. Honduras
3. Israel
4.  Marshall Islands
5. Micronesia
6. Nauru
7. Palau
8. Togo
9. United States

Credit  REPUBLIKA.CO.ID





PM Hariri: Negara Teluk tak Rencanakan Aksi Terhadap Lebanon


Perdana Menteri Lebanon Saad Hariri.
Perdana Menteri Lebanon Saad Hariri.


CB, BEIRUT -- Perdana Menteri Lebanon Saad al-Hariri mengatakan pada Kamis (21/12) negara-negara Teluk Arab tidak berencana mengambil tindakan terhadap Lebanon setelah krisis politik bulan lalu mendorongnya ke garis depan rivalitas antara Arab Saudi dan Iran.

Hariri telah menjadi sekutu politik Arab Saudi tetapi pemerintahan koalisinya termasuk Hizbullah di dalamnya, kelompok Muslim Syiah yang kuat dan sekutu Iran dan melantik musuh Riyadh yang beraliran Sunni.

Krisis politik bulan lalu, yang meletup ketika Hariri mengumumkan pengunduran dirinya sementara dia berada di Arab Saudi, menimbulkan ketakutan di Lebanon bahwa Riyadh dan para sekutunya di Teluk akan mengambil tindakan ekonomi terhadap negara kecil di Mediterania itu.

Dalam sebuah wawancara yang disiarkan dari Riyadh sebelum ia kembali ke Lebanon dan membatalkan pengunduran dirinya, Hariri memperingatkan kemungkinan sanksi diberlakukan atas Lebanon dan ancaman terhadap kehidupan para pekerja Lebanon di negara-negara Teluk.

Keterangannya itu pada Kamis tampaknya bertujuan menjamin kembali tak akan diambil tindakan seperti itu. "Ini tak akan terjadi. saya jamin Anda kami memiliki hubungan sangat baik dengan Arab Saudi, kami punya hubungan sangat baik dengan UEA (Uni Emirat Arab), dan sebagian besar dengan Teluk," katanya dalam konferensi bisnis.

"Teluk punya sebuah masalah dengan satu partai politik di Lebanon dan tidak punya masalah dengan seluruh Lebanon," tambah Hariri, merujuk kepada Hizbullah.



Credit  REPUBLIKA.CO.ID






Lebanon serukan solidaritas Arab untuk selamatkan Yerusalem



Lebanon serukan solidaritas Arab untuk selamatkan Yerusalem
Seorang pengunjuk rasa perempuan Palestina dievakuasi setelah menghirup gas air mata yang ditembakkan oleh pasukan Israel saat bentrok protes terhadap keputusan Presiden Amerika Serikat Donald Trump untuk mengakui Yerusalem sebagai ibukota Israel, di kota Bethlehem Tepi Barat, Rabu (20/12/2017). (REUTERS/Mussa Qawasma)



Beirut, Lebanon (CB) - Perdana Menteri Lebanon Saad Al-Hariri pada Kamis (21/12) menyerukan solidaritas Arab untuk menyelamatkan Yerusalem, dan memuji rakyat Palestina karena kesabaran mereka dan keteguhan mereka melawan semua komplotan.

"Solidaritas Arab hari ini adalah keperluan yang mendesak untuk menyelamatkan Yerusalem," kata Saad Al-Hariri selama peluncuran "Temuan Utama bagi Konsensus Nasional mengenai Penduduk dan Perumahan di Kamp Palestina dan Perkumpulan di Lebanon" di Grand Serail.

"Kita, orang Lebanon --yang selalu memiliki solidaritas buat Palestina, buat Yerusalem, buat saudara kita rakyat Palestina-- berpendapat tugas kita lah sebagai satu negara untuk menangani masalah yang dihadapi pengungsi Palestina di negara kita," kata Saad.

Perdana Menteri itu mengatakan ia ingin memberi penghargaan khusus buat "saudara-saudara Palestina, pemimpin Palestina dan rakyat Palestina", karena kesabaran dan keteguhan mereka melawan semua komplotan termasuk keputusan AS untuk mengakui Yerusalem sebagai Ibu Kota Israel.

"Keputusan ini adalah hadiah buat ekstremis, penghalang bagi proses perdamaian dan faktor yang meningkatkan ketegangan di wilayah ini," kata Saad Al-Hariri, sebagaimana dikutip Xinhua, Jumat pagi.

Pada 6 Desember, Presiden AS Donald Trump mengumumkan Amerika Serikat mengakui Yerusalem sebagai Ibu Kota Israel dan akan memindahkan Kedutaan Besar AS di Israel dari Tel Aviv ke Yerusalem, sehingga memicu kemarahan luas di dunia Arab dan Muslim.




Credit  antaranews.com






Israel berikrar tak akan pernah mundur dari Yerusalem



Israel berikrar tak akan pernah mundur dari Yerusalem
Arsip Foto. Polisi Israel mengawal Yehuda Glick, anggota Knesset, parlemen Israel, saat mengunjungi halaman Kubah Sakhrah bagi Muslim dan Bait Allah bagi Yahudi, di Kota Tua Yerusalem, Selasa (29/8/2017). (REUTERS/Ammar Awad)



Perserikatan Bangsa-Bangsa/PBB (CB) - Utusan Israel untuk PBB pada Kamis (21/12) berikrar bahwa negaranya tidak akan pernah mundur dari Yerusalem saat negara-negara anggota PBB bersiap mengambil suara guna menolak keputusan Washington mengakui Kota Yerusalem sebagai ibu kota Israel.

"Tidak ada resolusi Majelis Umum yang bisa mengeluarkan kami dari Yerusalem," kata Duta Besar Danny Danon dalam sidang darurat majelis yang dihadiri perwakilan 193 negara.

Menurut siaran kantor berita AFP, rancangan resolusi yang menolak pengakuan Amerika Serikat itu dikirim ke Majelis Umum setelah diveto oleh Amerika Serikat di Dewan Keamanan pada Senin, meski 14 anggota dewan lainnya memilih untuk menolak pengakuan tersebut.

Dalam pemungutan suara, 128 negara menyatakan mendukung resolusi, sembilan negara menolak dan 35 lainnya abstain menurut siaran kantor berita Reuters.

Meski Trump mengancam akan memutus bantuan keuangan bagi negara-negara yang mendukung resolusi tidak mengikat itu, negara penerima bantuan militer atau ekonomi besar dari AS seperti Mesir, Yordania dan Irak tetap mendukungnya.

Guatemala, Honduras, Kepulauan Marshall, Mikronesia, Palau, Nauru dan Togo bergabung dengan Amerika Serikat dan Israel menyatakan menolak resolusi.

Sementara negara yang menyatakan abstain dalam pemungutan suara pada Kamis antara lain Australia, Kanada, Meksiko, Argentina, Kolombia, Republik Ceko, Hongaria, Polandia, Filipina, Rwanda, Uganda dan Sudan Selatan.




Credit  antaranews.com



Sinagog di Area Masjid Al Aqsa Dibuka, Israel Abaikan Protes



Sinagog di Area Masjid Al Aqsa Dibuka, Israel Abaikan Protes
Israel memperkenalkan sebuah sinagog baru di Al-Aqsa di Yerusalem. facebook.com

CB, Jakarta -Israel mendirikan rumah ibadah umat Yahudi baru, Sinagog, di area masjid Al Aqsa, Yerusalem Timur. Sinagog ini mulai dibuka Minggu, 17 Desember 2017 setelah 12 tahun dibangun. Israel mengabaikan protes dari sejumlah lembaga-lembaga Islam.
Sinagog ini terletak di bawah Tembok Al-Buraq atau yang dikenal bagi warga Yahudi sebagai Tembok Barat di sisi masjid Al-Aqsa.

"Setelah 12 tahun dibangun, sinagog baru ini dibuka pada Minggu malam," kata Yayasan Cagar Budaya Western Wall, lembaga pemerintah Israel dalam pernyataannya seperti dikutip dari Middle East Monitor, 19 Desember 2017.
Menurut yayasan ini, desain sinagog memadukan karya seni yang langka, pencahayaan lampu yang unik, sehingga menghasilkan desain yang indah dan kontras antara zaman modern dan zaman dahulu.
Dalam beberapa tahun terakhir, lembaga-lembaga Islam di Yerusalem Timur telah menyampaikan protes atas pembangunan sinagog di area masjid.

Dalam pernyataannya, Sheikh Ekrema Sabri, Ketua Dewan Mahkamah Islam Yerusalem dan mantan imam Al-Aqsa menegaskan, Al-Buraq Wall merupakan bagian dari Tembok Barat masjid Al-Qasa.
"Tembok itu merupakan bagian dari cagar budaya kami dan tetap akan seperti itu hingga Hari Penghakiman. Pendudukan Israel tidak mengklaim cagar budaya Yerusalem itu. Sinagog baru ini tidak memiliki akar sejarah," kata Sabri.
Sabri menegaskan seluruh bangunan baru yang dibuat oleh otoritas Israel di Yerusalem merupakan ilegal dan tidak punya dasar sejarah.
Pada Oktober 2016, UNESCO telah melakukan pemungutan suara untuk sebuah resolusi yang tidak mengakui adanya hubungan antara Yahudi dengan masjid Al-Aqsa dan Tembok Al-Buraq di daerah pendudukan Yerusalem.

Ketegangan telah memuncak di Yerusalem setelah Presiden Amerika Serikat, Donald Trump mengakui Yerusalem sebagai ibukota Israel. Pengakuan Trump yang disampaikan pada 6 Desember lalu dikecam masyarakat internasional.
Dua hari lalu, 14 anggota Dewan Keamanan PBB dalam rapat pembahasan resolusi tentang status Yerusalem menolak keputusan Trump mengakui Yerusalem sebagai ibukota Israel. Hanya Amerika Serikat yang memveto draf resolusi itu.




Credit  TEMPO.CO




Kapal Selam Tertua Aussie Ditemukan Setelah 103 Tahun


Bangkai kapal selam pertama Australia, AE1, ditemukan setelah belasan ekspedisi yang didanai swasta dan pemerintah.
Bangkai kapal selam pertama Australia, AE1, ditemukan setelah belasan ekspedisi yang didanai swasta dan pemerintah.

CB, MELBOURNE -- Kapal selam pertama dari Angkatan Laut Australia dan sekutu yang hilang di Perang Dunia I akhirnya ditemukan setelah 103 tahun pencarian di lepas pantai Papua Nugini.
"Misteri maritim tertua Australia akhirnya terpecahkan," kata Menteri Pertahanan Australia Marise Payne.
"Ini merupakan ... sebuah tragedi signifikan yang dirasakan oleh bangsa dan sekutu kita," katanya.
Kapal selam HMAS AE1 mengangkut 35 kru ketika hilang di lepas pantai Kepulauan Duke of York pada September 1914. Sebanyak 12 ekspedisi yang didanai pemerintah dan swasta selama bertahun-tahun sebelumnya gagal menemukan kapal selam yang menjadi kuburan bagi banyak orang itu.
Pencarian ke-13 dan terakhir dimulai pekan lalu dari dalam kapal Furgro Equato. Kapal selam yang hilang itu ditemukan pada Rabu (20/12) di kedalaman 300 meter bawah laut di dekat Kepulauan Duke of York.
Kapal selam pertama Australia HMAS AE1 di lepas pantai Kepulauan Duke of York di Papua Nugini.
Kapal selam pertama Australia HMAS AE1 di lepas pantai Kepulauan Duke of York di Papua Nugini.
Supplied: Department of Defence
Setelah penemuan itu, kru kapal Furgro Equato berpartisipasi dalam upacara untuk mengenang para prajurit dan pelaut yang kehilangan nyawa mereka. "Kapal dan para kru, yang berpatroli sejak 1914, kini telah ditemukan," kata Menteri Payne.
"Saya percaya sepenuhnya penemuan ini akan membawa ketenangan bagi keluarga kru yang kehilangan nyawa mereka di kapal dan mungkin pada saat yang bersamaan bisa membuat kita menemukan penyebab tenggelamnya kapal ini."
Kapal selam ini adalah yang pertama dari jenisnya untuk armada Australia dan memiliki panjang 55 meter. "Bagi Angkatan Laut, penemuan ini menunjukkan keteguhan pandangan yang selalu dimiliki teman-teman pelaut, yaitu kami selalu mencari dan menemukan dimana mereka yang telah berkorban untuk negara mereka beristirahat untuk terakhir kalinya," kata Kepala Satuan Angkatan Laut Australia, Deputi Laksamana Timothy Barrett.
Dibutuhkan kerjasama tim untuk menemukan kapal selam tertua Australia, HMAS AE1
Dibutuhkan kerja sama tim untuk menemukan kapal selam tertua Australia, HMAS AE1, di lepas pantai Kepulauan Duke of York, Papua Nugini.
Supplied: Department of Defence
Sejumlah pencarian sebelumnya membantu mempersempit lokasi di mana bangkai kapal kemungkinan berada dan kemajuan teknologi membantu menemukan lokasi terakhirnya. Kamera bawah laut memungkinkan tim pencari mengonfirmasi mereka telah menemukan kapal selam yang hilang itu.
Kapal selam tertua Australia ditemukan di kedalaman 300 meter bawah laut di lepas pantai Papua Nugini.
Kapal selam tertua Australia ditemukan di kedalaman 300 meter bawah laut di lepas pantai Papua Nugini.
Supplied: Department of Defence
"Konfirmasi terakhir dalam kasus yang khusus ini, menemukan gambar di dasar laut, adalah dengan meletakkan kamera di sisi bangkai kapal dan akhirnya mampu menentukan itu memiliki ciri yang kami nilai serupa dengan AE1," kata Deputi Laksamana Barrett.
Lokasi sebenarnya bangkai kapal itu akan dirahasiakan untuk sementara ini. Pemerintah Australia bekerja sama dengan Pemerintah Papua Nugini untuk melestarikan situs bawah laut itu dan merencanakan membuat tanda peringatan abadi. Tim pencari didanai bersama oleh Pemerintah Australia, Yayasan Silentworld, Museum Maritim Nasional Australia dan perusahaan Find AE1 Ltd.
Foto terakhir kapal selam AE1 bersama dengan kapal HMAS Yarra
Foto terakhir kapal selam AE1 bersama dengan kapal HMAS Yarra dan HMAS Australia di latar belakang, diambil pada 9 September 1914.
Supplied: Sea Power Centre
Pemerintah tak ingin mengungkapkan lokasi penemuan AE1
Pemerintah tak ingin mengungkapkan lokasi penemuan AE1 namun pencarian sebelumnya mengeksplorasi Kepulauan Duke of York dan Rabaul Harbour.




Credit  REPUBLIKA.CO.ID/australiaplus.com




Pantai Pro-Kemerdekaan Unggul di Pemilu Regional Catalunya


Pantai Pro-Kemerdekaan Unggul di Pemilu Regional Catalunya
Partai pro-kemerdekaan Catalan memenangkan pemilu regional Catalunya. (Reuters)


Jakarta, CB -- Selangkah lagi pemimpin separatis Catalan Carles Puigdemond merebut kembali kursi kepemimpinan di kawasan dengan memenangkan pemilihan regional Catalunya, Kamis (21/12). Kemenangan partai Puigdemond, Junts Per Catalunya (Bersama bagi Catalunya) menjadi pukulan telak bagi Perdana Menteri Spanyol Mariano Rajoy, yang memecatnya dua bulan lalu.

Pemerintah Spanyol mempercepat pemilu dengan harapan dapat meredam hasrat merdeka Catalan. Namun dengan 97 persen suara telah dihitung, tiga partai pro-kemerdekaan Catalunya berhasil meraup 70 dari 135 kursi Parlemen. Perlu 68 kursi untuk. menjadi mayoritas di Parlemen Catalan.

“Seperti yang Anda lihat, kami kembali,” kata juru bicara Puidgemont Joan Maria Pique seperti dillansir Reuters, Jumat (22/12).


PM Rajoy berharap pemilu regional bakal mengembalikan situasi Catalunya, yang bertekad memisahkan diri dari Spanyol dalam referendum yang digelar 1 Oktober lalu.  Puigdemont dan jajaran pemerintahan Catalunya dicopot, namun pemimpin Catalan itu berkampanye dari pelariannya di Brussels, Belgia.


Belum jelas apakah Puigdemont bakal kembali menjadi Presiden Catalan setelah kemenangan tersebut. Tidak diketahui pula apakah dia bakal ditangkap jika kembali ke Catalunya.

Meski partai-partai pro-kemerdekaan menang, namun partai anti-kemerdekaan Ciutadans (Warganegara) adalah partai tunggal yang paling banyak memperoleh kursi di Parlemen yakni 36 kursi. Adapun Partai Puigdemont hanya 34 kursi. Pada pemilu sebelumnya Ciutadans hanya mendapat 25 kursi.

Warga pro-kemerdekaan merayakan kemenangan mereka dengan turun ke jalan-jalan di Barcelona, Ibu Kota Catalunya. Mereka melantunkan teriakan “Presiden Puigdemont” dan “Hidup Republik Catalan”.
“Saya merasa bahagia dan lega. Kami ingin kemerdekaan sekarang, tidak mau menunggu,” kata Elena Carreras, seorang guru berusia 51 tahun sambil tersenyum lebar. Di dekatnya suara band terdengar menggelar.

Para pengamat mengatakan kemenangan kubu pro-kemerdekaan mengembalikan bola ke lapangan pemerintah pusat. “Gerakan separatis masih menjadi masalah Madrid,” kata Antonio Barroso, Deputri Direktur Lembaga Riset Teneo Inteligence.

Angka partisipasi dalam pemilu regional Catalunya  itu mencapai rekor tertinggi, yakni lebih dari 83 persen. Pemilu berjalan tertib dan damai. Para pemilih rela antre panjang. Berbeda dengan suasana referendum kemerdekaan 1 Oktober, yang diwarnai tembakan peluru karet oleh polisi dan perisai anti-huru hara yang mencegah warga memberikan suara.


Credit  cnnindonesia.com








Rusia Tegaskan Akan Balas Sanksi Baru AS



Rusia Tegaskan Akan Balas Sanksi Baru AS
Juru bicara Kemlu Rusia, Maria Zakharova, AS telah menjatuhkan sanksi kepada setidaknya 200 warga Rusia dan lebih dari 400 entitas komersial Rusia. Foto/Sputnik



MOSKOW - Rusia menyatakan akan membalas sanksi baru yang dijatuhkan oleh Amerika Serikat (AS), yang turut menargetkan Kepala Republik Rusia Chechnya, Ramzan Kadyrov. Menurut Moskow, tindakan AS tersebut sudah kelewat batas.

Menurut juru bicara Kementerian Luar Negeri Rusia, Maria Zakharova, AS telah menjatuhkan sanksi kepada setidaknya 200 warga Rusia dan lebih dari 400 entitas komersial Rusia, beberapa diantaranya didasari berdasarkan Undang-Undang Magnitsky.

Undang-undang Magnitsky menerapkan larangan visa dan pembekuan aset pada pejabat Rusia yang terkait dengan kematian di penjara Sergei Magnitsky, seorang auditor dan whistleblower Rusia berusia 37 tahun.

"Sekali lagi kita harus berbicara tentang langkah baru Washington melawan Rusia, kali ini mengacu pada apa yang disebut Undang-Undang Magnitsky," kata Zakharova dalam sebuah pernyataan, seperti dilansir Sputnik pada Kamis (21/12).

"Kemarin, AS memperpanjang dampak sanksi ini kepada beberapa warga Rusia lainnya, sehingga sanksi ini telah mempengaruhi hampir 200 orang, di bawah berbagai pembatasan yang diumumkan oleh Amerika. Moskow pasti akan menanggapi perluasan sanksi AS di bawah ndang-Undang Magnitsky," sambungnya.

Zakharova kemudian menuturkan, dia tidak mengerti alasan di balik keputusan AS menjatuhkan sanksi tersebut. Dia menilai, alasan-alasan yang disampaikan AS aneh dan tidak masuk akal.

"Semua ini sudah terlihat aneh, karena tidak didasarkan pada kenyataan apapun. Sayangnya, kami kembali harus mengkonfirmasi posisi kami, yang berarti langkah-langkah ini akan diikuti dengan tindakan pembalasan. Jadi, kami selalu melakukannya, kami selalu menekankan bahwa ini bukan pilihan kami," ungkapnya.



Credit  sindonews.com



AS Jatuhkan Sanksi kepada Pemimpin Chechnya, Rusia Kesal



AS Jatuhkan Sanksi kepada Pemimpin Chechnya, Rusia Kesal
Rusia menyatakan kekesalan atas keputusan Amerika Serikat untuk menjatuhkan sanksi baru terhadap Kepala Republik Rusia Chechnya, Ramzan Kadyrov. Foto/Reuters



MOSKOW - Rusia menyatakan kekesalan atas keputusan Amerika Serikat (AS) untuk menjatuhkan sanksi baru terhadap lima orang Rusia dan Chechnya atas tuduhan pelanggaran hak asasi manusia. Salah satu sosok yang terkena sanksi tersebut adalah Kepala Republik Rusia Chechnya, Ramzan Kadyrov.

Kremlin dalam sebuah pernyataan menuturkan, sanksi baru tersebut adalah tindakan bermusuhan terhadap Rusia dan Moskow kemungkinan besar memberikan respon balasan atas penjatuhan sanksi itu.

"Sanksi AS terbaru yang dikenakan pada lima orang Rusia dan Chechnya, termasuk kepala republik Rusia Chechnya, tidak sah dan merupakan tindakan bermusuhan. Moskow kemungkinan besar akan melakukan pembalasan," kata Kremlin, seperti dilansir Reuters pada Kamis (21/12).

Sebelumnya diwartakan, Departemen Keuangan AS memberlakukan sanksi baru terhadap Kadyrov, karena Washington menilai Kadyrov mengawasi sebuah pemerintahan yang terlibat dalam penghilangan dan pembunuhan di luar hukum.

Departemen Keuangan AS memberlakukan sanksi, yang membekukan rekening bank dari yang ditargetkan, berdasarkan undang-undang tahun 2012 yang dikenal dengan Undang-Undang Magnitsky.

Undang-undang Magnitsky menerapkan larangan visa dan pembekuan aset pada pejabat Rusia yang terkait dengan kematian di penjara Sergei Magnitsky, seorang auditor dan whistleblower Rusia berusia 37 tahun. Tindakan tersebut juga berusaha untuk bertanggung jawab atas pihak berwenang AS tersebut yang menyatakan bahwa mereka diatur atau diuntungkan dari kematian Magnitsky.



Credit  sindonews.com












AS Setujui Ekspor Senjata Ringan ke Ukraina


Konflik Ukraina
Konflik Ukraina


CB, WASHINGTON -- Departemen Luar Negeri Amerika Serikat menyetujui izin ekspor bagi Ukraina membeli senjata ringan dan kecil dari perusahaan AS, kata juru bicara Heather Nauert pada Rabu (20/12).

Catatan departemen tersebut menunjukkan bahwa Ukraina membeli sejumlah senjata kecil selama beberapa tahun belakangan, baik sebelum maupun sesudah pencaplokan wilayah semenanjung Krimea oleh Rusia pada 2014.

Departemen tersebut memberi keterangan kepada Kongres mengenai keputusan itu pada 13 Desember, kata Nauert, dengan menambahkan bahwa pemerintah AS tidak menjual senjata secara langsung kepada pemerintah Kiev, namun mengizinkan Ukraina membeli dari pembuat asal AS.

"Di bawah dua pemerintahan sebelumnya, Amerika Serikat menyetujui izin ekspor ke Ukraina. Jadi, ini bukan hal baru," kata Nauert.

Izin tersebut mencakup pembelian senjata dalam kelompok senapan otomatis, semi otomatis dan termasuk senjata berkaliber 50. Pemberian izin tersebut juga mencakup senapan tempur, peredam senjata, senapan berteropong, dan senjata laras panjang, serta bagian-bagian suku cadangnya.

Nauert mengatakan pemerintah AS tidak secara langsung menyediakan peralatan pertahanan kepada Ukraina dan eksportir AS dapat mengajukan permohonan izin penjualan dagang langsung setiap saat dan akan ditinjau oleh Departemen Luar Negeri berdasarkan atas perkaranya.





Credit  REPUBLIKA.CO.ID




Ketika Saudi dan Iran Bersatu Lawan AS di PBB....


Ketika Saudi dan Iran Bersatu Lawan AS di PBB....
Presiden Iran Hassan Rouhani (kiri) dan Raja Arab Saudi Salman bin Abdulaziz al-Saud. Foto/REUTERS/File Photo


NEW YORK - Arab Saudi dan Iran yang sedang berseteru terbukti satu suara melawan Amerika Serikat (AS) dalam voting status Yerusalem di Majelis Umum PBB. Keduanya menjadi bagian dari 128 negara yang mendukung resolusi pembatalan pengakuan AS atas Yerusalem sebagai Ibu Kota Israel.

Dalam voting, 128 negara menentang AS dengan mendukung resolusi pembatalan status Yerusalem Ibu Kota Israel. Sembilan, termasuk AS dan Israel, menolak resolusi. Kemudian, 35 negara memilih abstain dan 21 negara lainnya absen.

Iran dari awal sudah tegas membela Palestina untuk menolak status kota suci itu sebagai Ibu Kota Israel. Setidaknya, itu dibuktikan Teheran saat KTT Luar Biasa Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) di Istanbul, di mana Presiden Hassan Rouhani hadir.

Pemandangan berbeda ditampilkan Arab Saudi. Kedekatan Riyadh dan Washington  telah memicu kegelisahan para tetangga Saudi, terutama dari pihak Yordania. Anggota parlemen Yordania, Wafa Bani Mustafa, pernah mengungkap bahwa negaranya ditekan negara-negara Arab, terutama Arab Saudi, untuk menerima pengakuan AS atas Yerusalem sebagai Ibu Kota Israel. Tapi, tudingan itu disangkal Riyadh.

Menjelang voting di Majelis Umum PBB, Raja Salman bin Abdulaziz al-Saud dari Arab Saudi menegaskan dukungannya untuk rakyat Palestina yang disampaikan kepada Presiden Mahmoud Abbas. Dukungan itu akhirnya dibuktikan dalam voting di Majelis Umum PBB semalam (21/12/2017) WIB.

Indonesia dan Turki yang selama ini vokal membela Palestina juga membuktikan komitmennya dalam voting tersebut.

“Trump, Anda tidak bisa membeli kehendak demokratis Turki dengan dolar Anda. Dolar akan kembali, tapi kehendak Anda tidak akan pernah terjual,” kata Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan.

Menteri Luar Negeri Iran Javad Zarif menyambut “kemenangan” kubu penentang AS dalam voting tersebut.

”Teriakan global ‘NO to Trump’ yang mengancam intimidasi di PBB,” tulis Zarif di Twitter.

Juru Bicara Presiden Palestina Mahmoud Abbas, Nabil Abu Rdainah, menyebut voting di Majelis Umum PBB tersebut sebagai kemenangan untuk negaranya.

”Pemungutan suara adalah kemenangan bagi Palestina. Kami akan melanjutkan usaha kami di PBB dan di semua forum internasional untuk mengakhiri pendudukan ini dan untuk membangun negara Palestina kami dengan Yerusalem Timur (sebagai ibu kota),” katanya, seperti dikutip Reuters, Jumat (22/12/2017).




Credit  sindonews.com





Dubes AS untuk PBB: Kami Akan Mengingat Hari Ini


Dubes AS untuk PBB: Kami Akan Mengingat Hari Ini
Dubes AS untuk PBB Nikki Haley. Foto/Istimewa

NEW YORK - Lebih dari 100 negara menentang Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump. Mereka memilih resolusi Majelis Umum PBB yang menyerukan agar AS untuk membatalkan pengakuannya atas Yerusalem sebagai Ibu Kota Israel.

Sebelumnya, Trump mengancam akan memotong bantuan keuangan negara-negara yang memberikan dukungan terhadap resolusi tersebut. Sebanyak 128 negara mendukung resolusi, sembilan menentang dan 35 abstain.



Ancaman Trump tampaknya memiliki dampak, dengan lebih banyak negara memilih abstain dan menolak resolusi tersebut daripada biasanya terkait dengan resolusi yang berhubungan dengan Palestina. Meskipun demikian, Washington mendapati dirinya terisolasi di panggung dunia karena banyak sekutu Barat dan Arabnya memilih tindakan tersebut.

Menjelang pemungutan suara, AS mengatakan bahwa mereka jadi sasaran tembak di Perserikatan Bangsa-Bangsa terkait Yerusalem, yang menampung situs suci umat Muslim, Yahudi dan Kristen.

"Amerika Serikat akan mengingat hari ini di mana ia dipilih untuk diserang di Majelis Umum karena tindakan kita menjalankan hak kita sebagai sebuah negara yang berdaulat," Duta Besar AS untuk PBB, Nikki Haley, mengatakan kepada Majelis Umum PBB yang beranggota 193 negara.

"Kami akan mengingatnya ketikan kami sekali lagi dipanggil untuk memberika kontribusi besar bagi dunia untuk PBB, dan begitu banyak negara datang memanggil kami, seperti yang sering mereka lakukan, untuk membayar lebih dan menggunakan pengaruh kami untuk keuntungan mereka," tuturnya seperti dikutip dari Reuters, Jumat (22/12/2017).

Awal bulan ini, Trump membalikkan kebijakan Washington selama beberapa dekade dengan mengumumkan bahwa AS mengakui Yerusalem sebagai Ibu Kota Israel dan akan memindahkan kedutaannya di sana.

Status Yerusalem adalah salah satu hambatan paling kuat dalam kesepakatan damai antara Israel dan Palestina, yang sangat marah atas tindakan Trump. Masyarakat internasional tidak mengakui kedaulatan Israel atas kota ini.

Pemungutan suara tersebut diminta atas permintaan negara-negara Arab dan Muslim. AS, yang mendukung sekutunya Israel, memveto resolusi tersebut pada hari Senin di Dewan Keamanan PBB yang beranggotakan 15 negara.

Sebanyak 14 anggota Dewan Keamanan memilih resolusi yang dibuat oleh Mesir, yang tidak secara khusus menyebutkan AS atau Trump namun mengungkapkan penyesalan mendalam atas keputusan baru-baru ini mengenai status Yerusalem.

Jelang pemungutan suara, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu menggambarkan Perserikatan Bangsa-Bangsa sebagai rumah kebohongan.

"Negara Israel benar-benar menolak pemungutan suara ini, bahkan sebelum persetujuan (resolusi)," kata Netanyahu dalam sebuah pidato di kota pelabuhan Asdod.





Credit  sindonews.com

Abbas Sebut Hasil Sidang Darurat PBB Kemenangan Bagi Palestina


Abbas Sebut Hasil Sidang Darurat PBB Kemenangan Bagi Palestina
Foto/Ilustrasi/Istimewa

YERUSALEM - Pemimpin Palestina, Mahmoud Abbas, memuji hasil pemungutan suara Majelis Umum PBB yang menolak pengakuan Amerika Serikat (AS) atas Yerusalem sebagai Ibu Kota Israel. Abbas menyebutnya sebagai kemenangan bagi Palestina.

"Pemungutan suara merupakan kemenangan bagi Palestina," kata Nabil Abu Rdainah, juru bicara Presiden Palestina Mahmoud Abbas.

"Kami akan melanjutkan usaha kami di Perserikatan Bangsa-Bangsa dan di semua forum internasional untuk mengakhiri pendudukan ini dan untuk membangun negara Palestina kita dengan Yerusalem timur sebagai ibukotanya," sambungnya seperti dikutip dari Independent, Jumat (22/12/2017).

Keputusan Donald Trump untuk mengumumkan Yerusalem sebagai Ibu Kota membuat senang pejabat terpilih Israel tapi membuat marah warga Palestina. Banyak di antaranya percaya bahwa kesepakatan perdamaian Timur Tengah harus mencakup klaim mereka atas kedaulatan sebagian Yerusalem.

Yerusalem berisi situs suci bagi Yudaisme dan Islam, dan statusnya telah berada dalam masa sengketa selama beberapa dekade sejak Israel menguasai kota tersebut saat Perang Enam Hari.

Setelah Trump secara resmi mengumumkan perubahan tersebut, seorang mantan perunding Palestina mengatakan bahwa Presiden AS itu telah menghancurkan kemungkinan solusi dua negara.

"Saya pikir Presiden Trump malam ini mendiskualifikasi Amerika Serikat untuk memainkan peran apapun dalam proses perdamaian apapun," ucap Saeb Erekat kepada wartawan saat itu.

Sebagian besar dunia memiliki reaksi yang sama, mengutuk langkah yang menurut para kritikus akan menghambat proses perdamaian Timur Tengah dan melemahkan peran Amerika sebagai mediator yang netral.

Pemberontakan luas tersebut diterjemahkan ke dalam tindakan formal PBB, dimana banyak negara memilih untuk menyatakan keputusan Amerika "tidak sah dan tidak berlaku".

Pemerintahan Trump telah mengesampingkan Perserikatan Bangsa-Bangsa, dengan Presiden AS mengancam untuk menahan bantuan terhadap negara-negara yang mendukung resolusi tersebut. Duta Besar Nikki Haley mengatakan bahwa AS tidak dihormati dan akan mengingatnya.


Credit  sindonews.com




Israel Tolak Keputusan Majelis Umum PBB Terkait Yerusalem

Presiden Donald Trump dan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu.
Presiden Donald Trump dan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu.
 
 
 
CB, TEL AVIV -- Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu menolak keputusan Majelis Umum PBB menyetujui resolusi yang meminta Amerika Serikat (AS) menarik pengakuannya atas Yerusalem sebagai ibu kota negara tersebut. Netanyahu pun berterima kasih kepada Presiden AS Donald Trump karena dianggap berkomitmen terhadap keputusannya.

"Israel menolak keputusan PBB dan pada saat yang sama cukup puas dengan tingginya jumlah negara yang tidak memberikan suara untuk mendukungnya," kata kantor Netanyahu dalam sebuah pernyataan pada Kamis (22/12).

"Israel berterima kasih kepada Presiden Trump atas pendiriannya yang tegas atas Yerusalem dan terima kasih kepada negara-negara yang memilih bersama Israel, bersama dengan kebenaran," ujar Netanyahu menambahkan.

Pada Kamis Majelis Umum PBB telah menyetujui resolusi yang dengan tegas meminta AS menarik pengakuannya atas Yerusalem sebagai ibu kota Israel. Resolusi ini disepakati oleh 128 negara. Sementara sembilan negara menolaknya dan 35 negara lainnya memilih abstain.

Dalam resolusi tersebut dinyatakan,"Setiap keputusan dan tindakan yang dimaksudkan untuk mengubah karakter, status, atau komposisi demografis Kota Suci Yerusalem, tidak memiliki efek hukum, tidak berlaku, dan harus dibatalkan sesuai dengan resolusi Dewan Keamanan (PBB) yang relevan."

Pada awal Desember lalu, Trump mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel. Hal ini memicu gelombang protes serta kecaman dari berbagai negara, terutama negara-negara Arab dan Muslim. Pengakuan Trump tersebut dinilai telah menabrak dan melanggar berbagai kesepakatan serta resolusi internasional terkait Yerusalem.


Credit   REPUBLIKA.CO.ID

Isreal Sebut Voting Resolusi PBB 'Teater Kaum Absurd'

 
Isreal Sebut Voting Resolusi PBB 'Teater Kaum Absurd'   
 PM Israel Benjamin Netanyahu. Ia menolak resolusi PBB yang mengecam Trump soal status Yerusalem sebagai ibu kota Israel. (Foto: REUTERS/Dan Balilty)
 
 
Jakarta, CB -- Israel menolak resolusi PBB yang meminta Amerika Serikat untuk menarik keputusannya yang mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel dan menyebutnya sebagai hal yang tak masuk akal. Sidang itupun dikatakan sebagai ‘teater kaum absurd’.

"Yerusalem adalah ibu kota kami, dari dulu hingga nanti. Tapi saya menghargai kenyataan bahwa semakin banyak negara menolak untuk berpartisipasi dalam teater kaum absurd ini," kata Perdana Menteri Israel benjamin Netanyahu, dalam  sebuah video yang diunggah di laman Facebook-nya, seperti dikutip dari Reuters, Kamis (21/12).


Sebelumnya, sebuah pernyataan resmi dari kantor PM Israel juga menyatakan penolakan terhadap resolusi tersebut.

"Israel menolak keputusan PBB dan pada saat yang sama puas dengan tingginya jumlah negara yang tidak memberikan suara untuk mendukungnya," kata pernyataan tersebut.

"Israel berterima kasih kepada Presiden Trump atas pendiriannya yang tegas atas Yerusalem dan terima kasih kepada negara-negara yang memilih bersama Israel, bersama dengan kebenaran," lanjut pernyataan tersebut.

Diketahui, pemungutan suara di Majelis Umum PBB soal resolusi kecaman pada keputusan Trump itu menghasilkan dukungan dari 128 negara. Sementara, ada sembilan negara yang menolak, dan 35 lainnya abstain.

Selain AS dan Israel, negara yang menyatakan “tidak” pada voting ini adalah negara-negara kecil, yakni Mikronesia, Nauru, Togo dan Tonga, Palau, Kepulauan Marshall, Guatemala, dan Honduras.


Sementara, negara yang abstain, di antaranya, adalah Republik Ceko, Polandia, Hungaria, Kroasia, Sudan Selatan, Australia, Kanada, Meksiko, Argentina, dan Kolombia.

Seusai sidang Majelis Umum PBB itu, Duta Besar Israel untuk PBB Danny Danon menyatakan bahwa resolusi PBB itu tidak akan membuat Israel mengangkat kaki dari Yerusalem. Baginya, pengakuan Trump soal Yerusalem itu adalah fakta.

"Mereka yang mendukung resolusi ini seperti boneka, boneka yang dikendalikan oleh senar guru Palestina Anda,” ketusnya.

Berbeda dengan Israel, Juru bicara Presiden Palestina Mahmoud Abbas, Nabil Abu Rdainah, menyebut resolusi ini bak sebuah kemenangan.

"Pemungutan suara adalah kemenangan bagi Palestina," cetus dia .


Sementara, Perdana Menteri Turki Recep Tayyip Erdogan, melalui akun Twitter, berharap, Presiden AS Donald Trump membatalkan “keputusan yang mengecewakan” soal pengakuannya atas Yerusalem sebagai ibu kota Israel dalam waktu singkat.

Senada, Menteri Luar Negeri Turki  Mevlut Cavusoglu, mengatakan, kemenangan pada pemungutan suara di Majelis Umum PBB itu menunjukkan bahwa martabat dan kedaulatan tidak bisa dibeli. Meskipun, AS sudah mengancam menarik bantuan bagi negara-negara yang pro-resolusi.






Credit  cnnindonesia.com



Soal Yerusalem, Netanyahu Sebut PBB Rumah Kebohongan

 
Soal Yerusalem, Netanyahu Sebut PBB Rumah Kebohongan 
 PM Netanyahu mengecam rencana sejumlah negara mendorong resolusi terkait status Yerusalem ke Majelis Umum PBB. (AFP Photo/Dan Balilty)
 
 
Jakarta, CB -- Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu mengecam rencana sejumlah negara untuk mendorong resolusi terkait status kota Yerusalem ke Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Kamis (21/12) siang waktu New York, AS.

Lantaran tidak mengakui status Yerusalem sebagai ibu kota Israel itu, ia menganggap PBB sebagai 'rumah kebohongan'.

"Negara Israel sama sekali menolak pemungutan suara itu, bahkan sebelum (voting) persetujuan (resolusi)," cetus Netanyahu, seperti dikutip dari Reuters, Kamis (21/12).


Pernyataan itu diutarakan menjelang sidang yang digelar melibatkan 193 negara anggota PBB khusus untuk membahas respons atas keputusan AS.

Netanyahu, dalam sambutannya itu, mengucapkan terima kasih kepada Presiden AS Donald Trump dan DUta Besar AS untuk PBB Nikki Haley atas "sikap berani dan tanpa kompromi mereka". Ia juga memprediksi, pada akhirnya negara lain akan mengikuti jejak Washington untuk memindahkan kedutaan mereka dari Tel Aviv ke Yerusalem.

"Sikap banyak negara terhadap Israel, di semua benua, di luar tembok dinding PBB, berubah, dan pada akhirnya akan merembet ke dalam PBB, rumah kebohongan," ucapnya.

Netanyahu berkeras bahwa Yerusalem kini dan selamanya adalah ibu kota Israel. Dia akan terus melakukan pembangunan dan menempatkan kedutaan-kedutaan asing di kota suci tiga agama itu.

"Yerusalem adalah ibu kota Israel, terlepas PBB mengakuinya atau tidak. Butuh waktu 70 tahun sampai AS secara resmi mengakuinya dan akan memakan waktu bertahun-tahun sampai PBB menyadarinya juga," kata Netanyahu dikutip AFP.

Draf resolusi itu akhirnya diajukan ke Majelis Umum oleh sejumlah negara seperti Turki, Yaman, serta Indonesia--mewakili negara Arab dan negara Muslim--setelah upaya serupa gagal di DK PBB.

Menanggapi langkah itu, AS menyatakan akan mencatat negara-negara yang mendukung resolusi itu dan menyetop bantuan kepada mereka.




Credit  cnnindonesia.com












PBB Tolak Pengakuan Yerusalem Sebagai Ibu Kota Israel

Logo PBB (ilustrasi)
Logo PBB (ilustrasi)
 
 
 
CB, NEW YORK -- Majelis Umum PBB, pada Kamis (21/12), telah menyetujui resolusi yang dengan tegas meminta Amerika Serikat (AS) menarik pengakuannya atas Yerusalem sebagai ibu kota Israel. Resolusi ini disepakati 128 negara dan ditolak sembilan negara lainnya. Sedangkan 35 negara memilih abstain.

Dilaporkan laman BBC, dalam teks resolusi yang disusun Turki dan Yaman tersebut memang tidak disinggung secara eksplisit tentang diakuinya Yerusalem sebagai ibu kota Israel oleh AS. Namun dinyatakan terkait penyesalan mendalam atas keputusan baru-baru ini mengenai status Yerusalem.

Resolusi tersebut pun mengatakan, "Setiap keputusan dan tindakan yang dimaksudkan untuk mengubah karakter, status, atau komposisi demografis Kota Suci Yerusalem, tidak memiliki efek hukum, tidak berlaku, dan harus dibatalkan sesuai dengan resolusi Dewan Keamanan (PBB) yang relevan."

Kendati AS sempat melontarkan ancaman sebelum sesi khusus Majelis Umum PBB digelar, namun hal itu tak mempengaruhi negara-negara yang menentang diakuinya Yerusalem sebagai ibu kota Israel. Sebanyak 128 negara memilih "Ya" sebagai tanda menyetujui resolusi yang tidak mengikat tersebut.

Pada awal Desember lalu, Presiden AS Donald Trump mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel. Hal ini memicu protes dari berbagai negara, khususnya negara-negara Arab dan Muslim.

Setelah gelombang protes, Dewan Keamanan PBB menggelar sidang untuk melakukan pemungutan suara guna menyetujui resolusi yang menentang tindakan unilateral AS terhadap Yerusalem. Sebanyak 14 dari 15 anggota Dewan Keamanan PBB menyetujui resolusi tersebut, namun AS memvetonya.

Keputusan AS untuk memveto resolusi Dewan Keamanan mendorong digelarnya sesi khusus di Majelis Umum PBB. Di Majelis Umum, AS tidak memiliki hak veto seperti di Dewan Keamanan PBB.

Untuk mempertahankan keputusannya mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel, AS pun mengancam negara-negara anggota PBB agar tidak menentang pengakuan tersebut. Bila penentangan atau penolakan dilakukan, AS sesumbar akan memotong bantuan finansial ke negara-negara terkait.




Credit  REPUBLIKA.CO.ID


128 Negara Dukung Resolusi PBB Anti-Trump


128 Negara Dukung Resolusi PBB Anti-Trump Ilustrasi bendera Palestina. Voting di Majelis Umum PBB memenangkan resolusi yang menentang pengakuan Trump soal Yerusalem sebagai ibu kota Israel. (Foto: AFP PHOTO / MOHAMMED ABED)
 
 
Jakarta, CB -- Sebanyak 128 negara mendukung resolusi Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang meminta Amerika Serikat untuk menarik keputusannya untuk mengakui Yerusalem sebagai ibukota Israel.

Seperti dikutip dari Reuters, hasil pemungutan suara, di New York, AS, pada Kamis (21/12), itu menunjukkan mayoritas dukungan pada resolusi PBB. Sebanyak sembilan negara lainnya menentang, dan 35 negara abstain dalam voting itu.


Juru bicara Presiden Palestina Mahmoud Abbas, Nabil Abu Rdainah, menyambut baik hasil pemungutan suara tersebut dan menyebutnya sebagai sebuah kemenangan.

"Pemungutan suara adalah kemenangan bagi Palestina," cetus dia .

Namun demikian, pihaknya akan terus berjuang di PBB demi kemerdekaan dari penjajahan Israel.

“Kami akan melanjutkan usaha kami di PBB dan di semua forum internasional untuk mengakhiri pendudukan ini dan untuk membangun negara Palestina, dengan Yerusalem timur sebagai ibukotanya,” papar dia.


Sidang Majelis Umum PBB itu merupakan upaya lanjutan dari para penentang Trump terkait keputusannya yang pro-Israel.

Upaya sebelumnya di Dewan Keamanan PBB, pada Senin (18/12), menemui jalan buntu. Pasalnya, AS menggunakan hak veto untuk menggagalkan resolusi Dewan Keamanan PBB yang digagas Mesir yang hendak menolak pengakuan AS atas Yerusalem sebagai Ibu Kota Israel.

Sebelumnya, Trump mengancam akan memotong bantuan keuangan ke negara-negara yang memberikan suara mendukung resolusi Majelis Umum PBB tersebut. Namun, ancamannya tak memberi dampak pada hasil di Majelis Umum PBB.


Credit  cnnindonesia.com



Kamis, 21 Desember 2017

Israel Kalap, Umbar Peluru Baja ke Arah Demonstran Palestina


Israel Kalap, Umbar Peluru Baja ke Arah Demonstran Palestina
Para demonstran Palestina berjatuhan saat konfrontasi dengan tentara Israel di Qalandia, Tepi Barat, Rabu (20/12/2017). Foto/Anadolu/Mostafa Alkharouf


TEPI BARAT - Sedikitnya tiga demonstran Palestina terluka oleh tembakan langsung saat tentara Israel mengumbar lebih dari 20 peluru baja berlapis karet pada hari Rabu. Aksi kalap pasukan Israel itu terjadi di kawasan Tepi Barat.

Sudah lebih dari 80 warga Palestina terluka dalam demonstrasi di Tepi Barat, dua minggu setelah pengakuan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump atas Yerusalem sebagai Ibu Kota Israel. Data ini dikutip dari Bulan Sabit Merah.

Dalam bentrok kemarin, tentara Israel juga menembakkan gas air mata yang membuat sekitar 40 demonstran Palestina menderita. Konfrontasi dalam demonstrasi “Hari Kemarahan” terjadi di berbagai wilayah di Tepi Barat yang diduduki Israel termasuk di Hebron, Nablus, Bethlehem dan Yerikho.

Demonstrasi terbesar dimulai di pos pemeriksaan militer Qalandia, titik utama yang membelah Tepi Barat dan titik nyala konstan dalam konflik tersebut.

Jihad Barakat, seorang wartawan lokal yang melaporkan dari Qalandia, memperkirakan bahwa sekitar 5.000 warga Palestina menghadiri demonstrasi di sana. Massa berangkat sekitar pukul 12 malam waktu setempat.

”Ada setidaknya satu korban luka di Qalandia akibat tembakan amunisi secara langsung dan ada penggunaan gas air mata yang parah. Di jip tentara Israel, ada senjata api yang menghasilkan sekitar 30 tabung gas air mata secara berurutan, sehingga seluruh area menjadi penuh dengan asap,” kata Barakat, seperti dikutip Al Jazeera, Kamis (21/12/2017).

Sejumlah politisi juga ikut dalam demonstrasi tersebut, termasuk Menteri Kesehatan Jawad Awwad, salah satu pemimpin Hamas Jamal al-Taweel, dan juru bicara Fatah Osama Qawasmeh.

Aktivis lokal Mariam Barghouti mengatakan kepada Al Jazeera bahwa demonstrasi di Qalandia berubah menjadi kekerasan ketika pasukan Israel mulai menembakkan gas air mata.

“Kerumunan semakin kecil sehingga hanya menyisakan pemuda Palestina yang mulai menghadapi tentara dengan batu,” kata Barghouti. Tentara Israel kemudian menanggapi dengan tembakan peluru karet dan amunisi lain secara langsung.

Militer Israel belum memberikan komentar atas penggunaan peluru baja berlapis karet terhadap para demonstran Palestina. 


Credit  sindonews.com




Rusia: Strategi Nasional AS Berpotensi Mengancam Dunia



Rusia: Strategi Nasional AS Berpotensi Mengancam Dunia
Foto/Ilustrasi/Istimewa



MOSKOW - Kepala Dewan Keamanan Nasional Rusia menyerang strategi keamanan nasional Washington, yang diumumkan pada awal pekan ini. Menurutnya, hal tersebut dibuat berdasarkan tuduhan dan akan menyebabkan ketidakstabilan di seluruh dunia.

"Terwujudnya tujuan yang digariskan dalam dokumen itu, termasuk penguatan posisi internasional Amerika melalui kekuasaan dapat membawa ancaman potensial bagi keamanan regional dan internasional," kata Nikolai Patrushev seperti dikutip dari Russia Today, Kamis (21/12/2017).

Patrushev mengatakan bahwa aspek-aspek dokumen baru ini akan dipertimbangkan dalam perencanaan masa depan Rusia atas kebijakan keamanan nasionalnya sendiri.

Sementara itu, fokus keamanan dipalingkan dari bahaya langsung Korut, terhadap Rusia dan China, yang konon menantang kekuatan, pengaruh, dan kepentingan AS mencoba untuk mengikis keamanan dan kemakmuran AS.


Patrushev mengatakan bahwa sikap AS dalam teks tersebut memiliki garis keturunan langsung dari Perang Dingin hingga perselisihan baru-baru ini dengan pemerintahan Obama.

"Meskipun ada perubahan yang nyata dalam kata-kata dibandingkan dengan dokumen serupa di masa lalu, ada kontinuitas ideologis tertentu," kata Patrushev.

"Anda dapat melihatnya secara khusus sehubungan dengan negara kita sendiri, yang secara terbuka disebut sebagai ancaman keamanan utama," sambungnya.

Secara khusus, Moskow dituduh mengembangkan senjata dan kemampuan canggih yang dapat mengancam infrastruktur penting AS dan menggunakan alat informasi untuk merongrong legitimasi demokrasi, dalam proses menciptakan perbatasan yang tidak stabil di Eurasia.

"Setiap penyebutan Rusia dalam dokumen tersebut adalah tuduhan yang tidak beralasan," kata Patrushev.

"Meskipun demikian, seperti sebelumnya, Rusia akan berupaya memastikan perdamaian, dan mengembangkan hubungan internasional atas dasar saling menghormati kedaulatan dan kepentingan nasional," jelasnya.

Sebelumnya, Kremlin menggambarkan visi Trump sebagai sifat imperialistik, sementara Beijing meminta pihak AS untuk menghentikan dengan sengaja mendistorsi niat strategis China dan meninggalkan konsep usang seperti mentalitas Perang Dingin dan permainan zero-sum. 


Credit  sindonews.com


Cina dan Rusia Sebut Trump Bermental Perang Dingin


Donald Trump
Donald Trump


CB, WASHINGTON -- Cina dan Rusia mengkritik kebijakan keamanan nasional Amerika Serikat (AS) yang dinilai menganggap kedua negara sebagai pesaing yang menantang kepentingan Paman Sam. Mereka menilai strategi baru Presiden Donald Trump menunjukkan mentalitas perang dingin.

"Kami mendesak AS untuk berhenti secara sengaja mendistorsi niat strategis Cina dan meninggalkan konsep usang seperti mentalitas perang dingin," kata Juru Bicara Kementrian Luar Negeri Cina Hua Chunying seperti dikutip Aljazirah, Rabu (20/12).

Hua mengatakan, penerapan kebijakan semacam itu hanya akan akan merugikan negara sendiri dan juga pihak lain. Dia berharap, AS dapat menyesuaikan dengan tren zaman dan kemauan rakyat, menempatkan hubungan dunia dalam perspektif serta menghormati komitmen yang relevan, khususnya dengan Cina.

Hua mengatakan, penyesuaian dengan tren zaman dan kemauan rakyat akan memperkuat hubungan kedua negara. Lagipula, dia menambahkan, hal itu merupakan langkah sesuai yang melambangkan kepentingan bersama.

Hal serupa juga disampaikan Juru Bicara Pemerintah Rusia Dmitry Peskov. Dia mengatakan, kebijakan yang diperlihatkan Trump menunjukan jika AS adalah negara imperialis.

Trump sebelumnya mengungkapkan rencana keamanan nasional yang memprioritaskan bidang ekonomi dan mengejar 'kedamaian melalui kekuatan'.
Presiden lantas menyebut Cina dan Rusia sebagai pesaing yang menantang kekuatan, pengaruh dan kepentingan AS. Kedua negara juga disebut mencoba mengikis keamanan dan kemakmuran Paman Sam.

Dmitry Peskov membantah Rusia menjadi saingan AS dalam kepentingannya. Dia mengatakan, strategi keamanan AS yang baru menunjukkan ketidakinginan untuk melepaskan gagasan tentang dunia terpusat.  "Kami tidak bisa sepakat dengan sikap yang melihat Rusia sebagai ancaman bagi Amerika Serikat," kata Peskov.



Credit  REPUBLIKA.CO.ID