Ilustrasi robot pembunuh.
CB – Pendiri SpaceX dan Tesla, Elon Musk, bersama 115 ahli kecerdasan buatan (
artificial intelligence/AI) dan robotika, melakukan pertemuan dengan Perserikatan Bangsa-Bangsa membahas Senjata Konvensional (
United Nations Convention on Conventional Weapons/UNCCW).
Pertemuan ini sedianya dilaksanakan pada 21 Agustus lalu, namun diundur hingga 18 November 2017.
Mengutip
Futurism, Senin, 20 November 2017, yang
menarik perhatian dalam pertemuan tersebut adalah seruan dari 22 negara
untuk melarang pengembangan dan pemanfaatan senjata atau robot otonom
pembunuh (
lethal autonomous weapons).
Musk dan ratusan ahli yang tergabung ke dalam
Future of Life Institute, prihatin atas potensi penggunaan senjata otonom yang mematikan dan bagaimana penerapannya di masa depan.
Menurut Direktur Advokasi Divisi Senjata Human Rights Watch,
Mary Wareham, negara-negara besar 'tidak punya waktu' membahas masalah
ini.
Ia mengatakan bahwa raksasa industri pertahanan sudah banyak
'membuang' uang dalam mewujudkan senjata tersebut. "Saya skeptis. Mereka
menganggap ini membuang waktu saja," kata Wareham, yang juga menjabat
Global Coordinator for Campaign to Stop Killer Robots.
Namun, Ketua UNCCW, Amandeep Gill, mencoba menghapus beberapa isu seputar masalah tersebut.
"Saya
ingin tegaskan di sini bahwa robot tidak akan mengambilalih dunia.
Manusia masih bertugas. Kita harus berhati-hati agar tidak emosional
atau mendramatisir masalah ini," ungkapnya.
Wareham melanjutkan bahwa, dalam pertemuan tersebut, menghasilkan dua poin kesepakatan.
Pertama, sebagian besar negara setuju dikeluarkannya instrumen yang mengikat secara hukum untuk mengendalikan penggunaan teknologi ini.
Kedua, mayoritas negara menerima beberapa bentuk pengendalian atas sistem persenjataan oleh manusia.
"Pembicaraan terus berlanjut, karena harus fokus dan sesuai antara aturan dan praktik di lapangan," papar dia.
Credit
viva.co.id
Robot Pembunuh Ancam Peradaban Manusia
CB – Pengembangan senjata, atau robot otonom pembunuh (
lethal autonomous weapons) tanpa terkendali akan memiliki dampak besar terhadap strategi perang di masa depan.
Hal
ini mendorong sebagian negara dengan anggaran militer kecil untuk
menyerukan dikeluarkannya peraturan pelarangan pengembangan senjata
berbasis kecerdasan buatan (
artificial intelligence/AI) oleh Perserikatan Bangsa Bangsa.
Robot pembunuh mampu memilih dan menyerang target tanpa campur
tangan manusia. Senjata yang masuk ke dalam kategori ini antara lain
pesawat nirawak (drone) dan kendaraan robot bersenjata, senapan mesin
kawal otomatis, serta sistem sniper otonom.
Sementara itu,
negara-negara yang sudah mengembangkan teknologi ini adalah China,
Israel, Korea Selatan, Rusia, Inggris, dan Amerika Serikat.
Namun, pada September 2017, Inggris memutuskan untuk melarang
pengembangan senjata otonom sepenuhnya. Sebuah pengumuman dikeluarkan
oleh Kementerian Pertahanan negeri Ratu Elizabeth II tersebut.
Keinginan
negara-negara di atas mengembangkan senjata otonom ini justru
menimbulkan pertanyaan, sekaligus kekhawatiran yang mendalam soal
pengembangan robot pembunuh yang kebablasan, sehingga mengancam
peradaban manusia.
Bahkan, pakar AI dari Universitas New South
Wales, Australia, Toby Walsh menegaskan, robot pembunuh jelas merupakan
senjata pemusnah massal.
"Ini senjata pemusnah massal. Karena itu,
saya benar-benar yakinkan kepada Anda bahwa kita harus melarang
pengembangan senjata ini," kata Walsh, dikutip
Futurism, Senin 20 November 2017.
Robot Mutt milik Militer AS.
Masalah
utama dari kehadiran senjata otonom ini, menurut Walsh, adalah terkait
kewenangan manusia dalam mengambil keputusan melepas serangan dari
senjata.
Sebab, sistem persenjataan 'robot pembunuh' tersebut
menggunakan AI dan sensor, sehingga dianggap dapat mengubah cara
berperang, dan bukanlah hal positif bagi manusia.
Direktur
The Center for a New American Security, Paul Scharre, menyebutkan ada perbedaan antara senjata semi-otonom dan sepenuhnya otonom.
"Senjata semi-otonom, manusia yang mengendalikan akan berada dalam putaran (
loop),
memantau aktivitas senjata, atau sistem senjata tersebut. Apabila
gagal, sang pengendali hanya perlu menekan tombol untuk mematikannya,"
ungkapnya, dikutip situs
Gizmodo.
PBB bersuara
Tetapi, kalau senjata otonom, kerusakan
yang ditimbulkan secara signifikan akan jauh lebih besar sebelum manusia
mampu melakukan intervensi.
Ia mengaku khawatir bahwa sistem ini sangat rentan mengalami kegagalan, hacking, spoofing, dan manipulasi oleh musuh.
Scharre juga menuturkan, yang bisa dilakukan sekarang adalah mengeluarkan moratorium, bukan larangan langsung.
Namun, bagi mereka yang menentang
pengembangan dan penggunaan robot pembunuh mutlak dilarang. "Ibaratnya,
kita seperti membuka kotak Pandora maka akan sulit ditutup lagi,"
paparnya.
Robot Norinco.
Pada 18 November 2017 lalu, pendiri
Apple Steve Wozniak serta CEO Tesla dan SpaceX, Elon Musk, bersama 115
ahli kecerdasan buatan dan robotika, melakukan pertemuan dengan
Perserikatan Bangsa-Bangsa membahas Senjata Konvensional (United Nations Convention on Conventional Weapons/UNCCW).
Pertemuan ini sedianya dilaksanakan pada
21 Agustus lalu, namun diundur. Mereka meminta apa yang dianggap
sebagai teknologi 'yang salah secara moral' itu untuk dicantumkan ke
dalam daftar senjata yang dilarang berdasarkan UNCCW.
Ilmuwan Stephen Hawking bergabung dengan Musk, Wozniak dan ratusan ahli lainnya ke dalam Future of Life Institute.
Ketua UNCCW, Amandeep Gill menegaskan, robot tidak akan mengganti peran manusia di masa depan.
"Saya ingin tegaskan di sini bahwa robot
tidak akan mengambilalih dunia. Manusia masih bertugas. Kita harus
berhati-hati, agar tidak emosional atau mendramatisir masalah ini,"
ungkapnya.
Tak pelak, dalam pertemuan tersebut, menghasilkan dua poin kesepakatan.
Pertama, sebagian besar negara setuju dikeluarkannya instrumen yang mengikat secara hukum untuk mengendalikan penggunaan teknologi ini.
Kedua, mayoritas negara menerima beberapa bentuk pengendalian atas sistem persenjataan oleh manusia.
Credit
viva.co.id
Robot Pembunuh adalah Senjata Pemusnah Massal
Senjata otonom pembunuh yang mengerikan.
CB – Pengembangan senjata atau robot otonom pembunuh (
lethal autonomous weapons) tanpa terkendali akan memiliki dampak besar terhadap strategi perang di masa depan.
Hal
ini mendorong sebagian negara dengan anggaran militer kecil untuk
menyerukan dikeluarkannya peraturan pelarangan pengembangan senjata
berbasis kecerdasan buatan (
artificial intelligence/AI) oleh Perserikatan Bangsa Bangsa.
Menurut pakar AI dari Universitas New South Wales, Australia,
Toby Walsh, robot pembunuh jelas merupakan senjata pemusnah massal.
"Ini
senjata pemusnah massal. Oleh karena itu, saya benar-benar yakinkan
kepada Anda bahwa kita harus melarang pengembangan senjata ini," kata
Walsh, dikutip
Futurism, Senin, 20 November 2017.
Kendati demikian, ia memiliki kekhawatiran lain. "Satu-satunya
kekhawatiran saya adalah apakah negara memiliki keberanian untuk
menerapkan aturan (pelarangan) sekarang, atau apakah kita harus menunggu
korban banyak terlebih dahulu?" ujarnya.
Secara umum, menurut
Walsh, pengembangan teknologi AI harus diawasi dan diatur dengan ketat.
Kecerdasan buatan menjadi momok menakutkan dan ancaman di masa depan.
Pakar
AI lainnya, Ray Kurzweil, mencoba untuk 'menjadi penengah' untuk
meredam aksi penolakan dan perkembangan AI yang digadang-gadang untuk
mempermudah kerja manusia.
“Intinya, teknologi yang bagus juga
bisa memiliki aplikasi yang merusak. Kita harus memastikan bahwa potensi
mengagumkan dari teknologi ini dikembangkan dengan cara yang
benar-benar baik untuk kemaslahatan umat manusia," papar Ray.
Pada
September 2017, Inggris telah memutuskan untuk melarang pengembangan
senjata otonom sepenuhnya. Sebuah pengumuman dikeluarkan oleh
Kementerian Pertahanan negeri Ratu Elizabeth II tersebut.
Credit
viva.co.id