Organisasi kemanusiaan menyebut krisis
kemanusiaan di Rakhine, Myanmar, bukan dipicu oleh kelompok bersenjata
ARSA. (Reuters/Danish Siddiqui)
Jakarta, CB -- Organisasi kemanusiaan
Aksi Cepat Tanggap (ACT) menyebut krisis kemanusiaan di Rakhine,
Myanmar, bukan dipicu oleh kelompok bersenjata Pasukan Penyelamat
Rohingya Arakan atau ARSA yang selama ini disalahkan oleh pemerintah
setempat.
Salah satu ketua tim SOS ACT, Anca Rahadiansyah,
mengatakan serangan terkoordinasi ARSA pada 25 Agustus lalu itu semata
terjadi karena kelompok tersebut putus asa menanggapi kekerasan dan
persekusi yang selama ini terjadi pada Muslim Rohingya.
"Mengenai
isu ARSA, saya dapat informasi dari relawan lokal dan para pengungsi
Rohingya saat bahwa ARSA memang ada tapi mereka bukan pemicu kerusuhan.
Justru mereka yang menyerang pada 25 Agustus lalu itu melakukannya
karena hopeless (putus asa) atas kekerasan yang dilakukan junta militer
beberapa hari sebelumnya," kata Anca dalam jumpa pers di Jakarta, Rabu
(27/9).
"Tapi serangan ARSA itu malah dijadikan pembenaran supaya junta
militer bisa melakukan operasi pembersihan di Rakhine dengan menembaki
dan membakar kampung-kampung Rohingya di sana."
Myanmar kembali
menjadi sorotan setelah krisis kemanusiaan di Rakhine kembali mencuat
sejak militer Myanmar melancarkan operasi pembersihan terhadap etnis
Rohingya dengan alasan menumpas ARSA, 25 Agustus lalu.
Sejak itu
pun militer mengerahkan operasi pembersihan untuk menangkap para pelaku
penyerangan. Alih-alih menangkap kelompok bersenjata, militer Myanmar
malah diduga menyiksa hingga membunuh warga Rohingya secara membabi-buta
di Rakhine.
Sejumlah pemantauan menggunakan foto citra satelit dan laporan saksi
mata yang dibuat beberapa kelompok pemerhati HAM seperti Amnesty
International juga menunjukkan adanya pembakaran secara sengaja
kampung-kampung Rohingya di wilayah itu.
Selain itu, gelombang
pengungsi Rohingya yang terus berdatangan ke negara tetangga seperti
Bangladesh pun, tutur Anca, menambah keyakinan bahwa ada kekerasan yang
dilakukan secara sistematis oleh otoritas di sana.
"Ratusan ribu
orang [Rohingya] rela sebrangi sungai Naf dan teluk Bengali secara
bergelombang untuk sampai ke Bangladesh. saya rasa tidak mungkin hal ini
hanya karena ARSA yang ganggu militer Myanmar," ujar Anca.
Sejak
awal September, Anca bersama timnya telah bertolak ke Bangladesh untuk
menyalurkan sejumlah bantuan kemanusiaan bagi pengungsi Rohingya di
perbatasan negara itu.
Selama di sana, Anca menuturkan, perbatasan tidak pernah sepi didatangi pengungsi Rohingya yang baru datang.
"Keadaan
mereka lusuh dan lelah. Sebagian dari para pengungsi yang baru datang
itu perempuan bahkan ada anak-anak hingga bayi yang baru lahir. Mereka
berjalan untuk sampai perbatasan Bangladesh hingga belasan hari lamanya,
bayangkan," kata Anca.
Dia mengatakan tenda dan tempat
penampungan atau shelter menjadi hal yang saat ini paling dibutuhkan
para pengungsi. Sebab, kamp-kamp penampungan sudah hampir terlalu penuh
untuk menempatkan para pengungsi yang terus berdatangan.
ACT bahkan memprediksi Bangladesh telah menerima sekitar 1 juta pengungsi Rohingya sejak akhir Agustus lalu.
Credit
cnnindonesia.com
Militer Myanmar, Kekuatan di Luar Kendali Suu Kyi
Panglima Myanmar Jenderal Senior Min Aung Hlaing mempunyai peran penting dalam pemerintahan Myanmar. (Reuters/Hla Hla Htay)
Jakarta, CB -- Penasihat Negara Aung San
Suu Kyi tengah menjadi pusat kritik dan kecaman akibat krisis
kemanusiaan yang menimpa masyarakat Rohingya. Namun, pemimpin de facto
Myanmar itu bisa dikatakan memang tidak mempunyai kuasa penuh di
negaranya.
Sejumlah analis secara spesifik menyebut Suu Kyi tidak
bisa mengendalikan kekuatan militer yang melakukan operasi brutal
terhadap etnis minoritas Muslim tersebut. Sejak 25 Agustus, diperkirakan
sudah ada 1.000 orang yang tewas akibat persekusi oleh tentara Myanmar.
Junta
militer, kekuatan yang menguasai negara itu dengan tangan besi sejak
1962 hingga 2011 lalu, masih menguasai pasukan keamanan, kepolisian dan
posisi kunci dalam kambinet pemerintahan. Suu Kyi yang pernah menjadi
tahanan politik di masa-masa kelam itu pun kini tidak bisa apa-apa untuk
mengubahnya.
"Di bawah Konstitusi, panglima (angkatan bersenjata Myanmar) adalah
bos bagi dirinya sendiri, dia tidak melapor pada Aung San Suu Kyi. Dia
tidak bisa dipecat," kata Aaron Connelly, peneliti Program Asia Timur di
Institut Lowy, Sydney.
"Jika militer mesti memilih antara
kekuasaan atau hormat internasional, mereka akan memilih kekuasaan.
Pertanyaannya adalah seberapa banyak mereka mau mengalah. Kita belum
pernah melihat bukti mereka mau mengalah lebih banyak dari apa yang
mereka relakan dalam konstitusi 2008," ujarnya, Jumat (22/9).
Sejak
25 Agustus, ketika kelompok bersenjata Rohingya disebut pemerintah
menyerang sejumlah pos polisi dan sebuah pangkalan militer, angkatan
bersenjata Myanmar memulai "operasi pembersihan" yang mengincar
masyarakat Rohingya.
Selain memakan banyak korban jiwa, operasi itu juga memaksa lebih dari
400 ribu orang mengungsi ke negara tetangga, Bangladesh. Mereka yang
berhasil melarikan diri menyebut rumahnya dibakar dan bercerita soal
sanak keluarga yang menghilang entah ke mana.
Masih Berkuasa
Sebagaimana dirangkum
CNN,
pada 2008, konstitusi baru mengalokasikan seperempat kursi parlemen
untuk militer. Reformasi konstitusi itu adalah cara mereka untuk
mempermudah langkah Myanmar kembali dari perasingan di masyarakat
internasional.
Selain itu, mereka juga melakukan sejumlah langkah
lain, termasuk mengembalikan pemerintahan sipil dan membebaskan Suu Kyi
dipenjara karena menentang pemerintahan junta. Namun, dalam konstitusi
baru itu, militer masih dimungkinkan untuk bergeliat ketika kekuasaannya
terasa diancam.
Di antara dekrit dalam dokumen itu adalah syarat
yang tidak memungkinkan warga dengan dua kewarganegaraan untuk menjadi
presiden. Karena mendiang suami dan kedua putra Suu Kyi yang kini sudah
dewasa menyandang status warga negara Inggris, dia tidak bisa maju
sebagai presiden.
Walau
demikian, dia bisa memainkan peran besar dalam posisi yang sengaja
dibuat untuknya, Penasihat Negara. Dalam pemilihan umum 2015, dia
mengatakan "saya akan berada di atas presiden" jika partainya menang.
Sementara
itu, dalam Konstitusi, peran Panglima Angkatan Bersenjata Myanmar kerap
tumpang tindih dengan Presiden. Selain memungkinkan Panglima untuk
menominasikan kandidat militer untuk menempati kedua kamar parlemen,
Konstitusi juga memperbolehkannya untuk "mengambil alih dan menerapkan
kekuatan kedaulatan negara" dalam keadaan darurat.
Konstitusi
juga melarang hukum "retrospektif." Peraturan itu berarti militer tidak
bisa didakwa karena kejahatan yang sudah lalu, termasuk menjebloskan Suu
Kyi ke tahanan rumah dan mengingkari pemilu 1990 yang sebenarnya bisa
secara efektif melucuti kekuatan para jenderal.
Saat berpidato di
hadapan diplomat di Myanmar, 19 September lalu, Suu Kyi menegaskan
bahwa pemerintahannya masih muda dan upaya untuk menegakkan demokrasi
masih seumur jagung.
"Setelah separuh abad atau lebih di bawah kekuasaan otoriter, sekarang
kita berada dalam proses mengasuh negara kita," ujarnya. "Kita adalah
negara yang muda dan rapuh dihadapkan pada banyak masalah, tapi kita
harus bisa bertahan. Kita tidak bisa hanya berkonsentrasi pada beberapa
hal saja."
Advokat pemenang penghargaan Nobel ini mesti bertahan
dihadapkan pada kemarahan dan kecaman atas kekejaman terhadap Rohingya.
Sementara itu, hari-hari Panglima Jenderal Senior Min Aung Hlaing justru
berlangsung seperti biasanya.
Sementara Suu Kyi memilih untuk
membatalkan pidatonya di Perserikatan Bangsa-Bangsa demi menyelesaikan
permasalahan di dalam negeri, Min Aung Hlaing justru menjamu diplomat
asing, berbicara pada audiensi militer dan menerima bantuan kemanusiaan
untuk korban "kekacauan" yang dipicu kelompok bersenjata Rohingya.
Credit
cnnindonesia.com