Direktur Jenderal Bimas Kristen
Kementerian Agama Oditha R Hutabarat (kanan) bersama Ketua Persatuan
Gereja Indonesia (PGI) Henriette Hutabarat Lebang (kiri) dan Kepala Biro
Humas PGI Jeirry Sumampow (tengah) memberikan keterangan pers di
Jakarta, Sabtu (18/7). (Antara Foto/Sigid Kurniawan)
Jakarta, CB
--
Penyerangan di sebuah kawasan di Distrik Karubaga,
Kabupaten Tolikara, Papua, terjadi bertepatan dengan hari raya Idul
Fitri oleh umat muslim, Jumat (17/7). Akibat penyerangan, puluhan kios,
rumah, dan sebuah mushola hangus terbakar.
Berdalih pengamanan,
polisi langsung menembak tiga dari 11 orang yang diduga pelaku
penyerangan. Endi Wanimbo (15) yang turut dalam penyerangan, meninggal
dunia karena luka tembak.
Sebanyak 10 orang lainnya masih
dirawat di Rumah Sakit Wamena, Kabupaten Jayawijaya dan RSUD Dok 2,
Jayapura. Polda Papua belum menetapkan tersangka dalam kasus ini.
Tepat
sehari setelahnya, pejabat daerah bersama Kapolda Papua Inspketur
Jenderal Yotje Mende, Panglima Derah Militer XVII/Cendrawasih Mayor
Jenderal Fransen G. Siahaan, dan sejumlah tokoh menghelat mediasi.
Kesepakatan damai ditandatangani.
Pemerintah daerah akan memberi
bantuan modal usaha pada warga yang kiosnya terbakar. Bantuan juga
diberikan kepada warga lain yang merugi.
Para pihak sepakat membawa kasus ke jalur hukum. Selain itu, prosedur penembakan oleh aparat juga akan diselidiki.
Kesepakatan
serupa diputuskan oleh pemerintah pusat dalam rapat koordinasi pada
hari yang sama. Menko Polhukam Tedjo Edhy, Menteri Agama Lukman Hakim
Saifuddin, Kapolri Jenderal Badodin Haiti, Kepala Badan Intelijen Negara
(BIN) Sutiyoso, serta perwakilan dari Kementerian Dalam Negeri dan TNI,
menyesalkan kejadian itu dan mengharapkan tidak akan terulang kembali.
Pemerintah
menjanjikan perbaikan seluruh bangunan yang terbakar dan akan merawat
korban. Polri mengklaim akan melakukan penegakan hukum terhadap pelaku
dan aktor intelektual di balik kejadian Tolikara.
Kementerian
Agama bersama dengan ormas keagamaan, forum kerukunan antar umat
beragama, dan tokoh masyarakat berjanji menjaga dan memelihara
kerukunan. Dalam rilis di situs resminya, Kementerian Agama telah
mengirim satu tim ke Kabupaten Tolikara, Papua, untuk mencari akar
masalah.
Sentimen Agama?Beragam asumsi muncul soal modus dan dalang penyerangan. Berbalut sentimen antar-agama, aksi ini menjadi sorotan khalayak.
Wakil
Presiden Jusuf Kalla meyakini pemicu ketegangan adalah penggunaan
pengeras suara saat pelaksanaan Salat Idul Fitri yang hanya berjarak
sekitar 250 meter dari tempat dilangsungkannya sebuah seminar
internasional oleh Sinode Gereja Injili di Indonesia (GIDI). Seminar
dihadiri oleh sekitar 2.000 pemuda dari Nias, Sumatera Utara, Papua
Barat, Kalimantan (Dayak), Yogyakarta, Jawa Timur, Jawa Tengah.
Soal
penggunaan pengeras suara, beredar surat himbauan yang ditandatangani
oleh Presiden GIDI Dorman Wandikmbo pada 11 Juli, untuk mengingatkan
umat Islam di Tolikara. Surat tersebut bukan untuk melarang ibadah,
melainkan imbauan tak menggunakan pengeras suara.
Surat
berbunyi, "Mengingat akan diselenggarakannya Seminar dan Kebaktian
Kebangunan Rohani (KKR) Injili Pemuda Tingkat Pusat bertaraf
Nasional/Internasional pada tanggal 15-20 Juli 2015, maka diminta kepada
pihak muslim agar tidak melakukan kegiatan peribadatan di lapangan
terbuka; tidak menggunakan pengeras suara dan ibadahnya cukup dilakukan
di dalam musala atau ruangan tertutup.”
Sementara
itu, salah satu warga lokal, Z. Towolom mengatakan, konflik agama tak
pernah terjadi di kampung halamannya. Toleransi agama pun dijunjung
tinggi.
Towolom yang beragama Kristen dan merupakan jemaat
Sinode Gereja Injili di Indonesia (GIDI) di Tolikara, meyakini kerusuhan
bukan karena sentimen agama. Hal senada diucapkan Ketua Umum
Persekutuan Gereja-Gereja dan Lembaga-Lembaga Injili Indonesia (PGLII)
yang menaungi GIDI, Ronny Mandang. Ronny tak percaya ini adalah gesekan
antaragama.
Keduanya meminta agar semua masyarakat, khususnya
warga Papua, tidak terpancing oleh isu konflik agama. Alih-alih termakan
isu, mereka mengimbau masyarakat perlu menunggu penyelidikan dari
penegak hukum untuk mengetahui akar masalahhya.
Desakan MasyarakatKecaman
serta desakan muncul dari sejumlah lembaga penggiat HAM dan komunitas
keberagaman antarumat beragama. Ketua SETARA Institute Hendardi meminta
polisi untuk segera melakukan penyelidikan yang adil terkait kerusuhan
di Tolikara, Papua.
Jaringan Gusdurian melalui laman resminya
juga mengecam aksi tersebut. Aktivis komunitas tersebut, Alissa Wahid,
meminta aparat segera menindak tegas pelaku.
Gerakan Mahasiswa
Kristen Indonesia (GMKI) menyatakan bakal membentuk tim investigasi
untuk menyelidiki insiden kerusuhan ini. GMKI menilai ada kejanggalan
dari sejumlah informasi yang beredar.
Ketua
Umum GMKI Ayub Manuel, timnya akan menelisik penyebab terjadinya
insiden. Ayub mengklaim gesekan agama tak pernah terjadi di Papua,
terlebih dengan penyerangan rumah ibadah.
Sementara itu, melalui
gerakan dunia maya change.org, ribuan orang mempetisi Presiden Joko
Widodo, Kalpori Badrodin Haiti, dan Menteri Agama Lukman Hakim.
Penggagas petisi, Maimon Herawati, menuntut pemerintah mencokok pelaku
penyerangan.
Apa Sikap Pemerintah?Kepala
Polri Jenderal Badrodin Haiti mengunjungi Distrik Karubaga, Ahad
(19/7). Bersama Asisten Operasi (Asops) Kapolri, Badrodin menemui warga
setempat. Badrodin juga berdialog dengan Bupati Tolikara Usman Wanimbo
dan memberikan bantuan kepada keluarga korban penembakan.
Sementara
itu, Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumulo dijadwalkan bertolak ke Papua
selama dua hari sejak Senin (20/7) untuk memantau kondisi pasca
penyerangan dan mendapatkan informasi dari lapangan.
Lebih
lanjut, Staf Khusus Presiden Joko Widodo (Jokowi), Lenis Kogoya, bakal
berkunjung ke Kabupaten Tolikara untuk mengecek perkembangan kasus
tersebut pada akhir Juli mendatang. Kunjungannya sekaligus merespons
surat dari Bupati Tolikara yang dilayangkan ke Jokowi.
Pihaknya
akan menyelidiki semua kerugian yang diderita para korban dan
merehabilitasi bangunan yang terbakar. Selain itu, pemerintah akan
menjamin lembaga adat Tolikara telah mengambil langkah dengan melaporkan
langsung ke Polres setempat.
Credit
CNN Indonesia
Ini Kesaksian Jemaah Salat Id Korban Rusuh di Tolikara
Bupati Tolikara Usman G. Wanimbo bersama warganya pada awal Desember 2014 lalu. TEMPO/Cunding Levi
CB,
Jakarta - Insiden yang
terjadi di Tolikara, Papua, pada Jumat, 17 Juli 2015, meninggalkan
beragam versi. Seorang jemaah yang melaksanakan salat Idul Fitri di
Markas Komando Rayon Militer (Makoramil) 1702-11, Karubaga, Nurmin, 32
tahun, menceritakan kembali pengalamannya saat itu.
Pada Jumat
pagi, Nurmin berjalan dari rumahnya yang terletak sekitar lima meter
dari markas Koramil menuju lapangan Koramil untuk melaksanakan salat Id.
Ada ratusan umat muslim yang sudah berkumpul di lapangan markas
Koramil. Salat Id pun dimulai.
Namun ketika rakaat pertama
takbir kelima, Nurmin mendengar ada suara lantang yang diteriakkan
sejumlah orang. "Tidak ada yang namanya ibadah gini, harus berhenti!”
kata Nurmin menirukan suara yang didengarnya itu saat diwawancara
Tempo, Selasa, 21 Juli 2015.
Mendengar teriakan tersebut, jemaah kehilangan konsentrasi ibadah.
Tiba-tiba kondisi mulai memanas karena saling lempar batu antara
orang-orang yang berteriak dan jemaah salat Id. Tak lama kemudian
terdengar suara tembakan dari aparat. “Semua berlari ketakutan,”
ujarnya.
Keadaan mulai ricuh. Nurmin melihat beberapa orang
melempar batu ke arahnya, sejumlah kios dan rumah warga di sekitar
markas Koramil terbakar. Nurmin dan beberapa jemaah salat Id lantas
masuk ke dalam kantor Koramil. "Kami berkumpul di situ, takut kena
batu,” ujarnya.
Nurmin mengaku rumahnya ikut terbakar. “Saya
tidak tahu siapa yang membakar rumah saya karena banyak orang saat itu,”
ujar Nurmin.
Nurmin heran karena selama ini umat muslim dapat
melaksanakan ibadah dengan baik. “Tahun kemarin aman-aman saja,”
ujarnya. Dia mengaku tidak tahu apa yang membuat kerusuhan tersebut
terjadi.
Keterangan dari Nurmin ini sejalan dengan kronologi
yang disampaikan Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Natalius
Pigai. Sehari setelah kejadian, atau pada Sabtu, 18 Juli 2015, Komnas
HAM langsung mengeluarkan hasil analisis sementara kerusuhan di
Karubuga, Tolikara, Papua.
Pigai menjelaskan, jemaat Gereja
Injili di Indonesia (GIDI) marah dan memprotes polisi yang berjaga di
sekitar lapangan markas Koramil. "Mereka protes karena sudah memberi
imbauan, kemudian polisi balik menembak warga," kata Pigai.
Rentetan tembakan polisi melukai sebelas orang, dan mengakibatkan satu
orang meninggal. Kondisi semakin ricuh karena sejumlah kios, rumah, dan
tempat ibadah dibakar. "Masyarakat melampiaskan kemarahan ke arah tempat
ibadah. Kalau polisi tidak menembaki warga, pasti reaksi mereka
berbeda," kata Pigai.
Dia menyayangkan sikap aparat yang arogan. Menurut dia, polisi di Papua terbiasa menangani kerusuhan dengan cara kekerasan.
Sementara itu, Kepala Polri Jenderal Badrodin Haiti mengakui polisi
yang menjaga pelaksanaan salat Id sempat mengeluarkan tembakan
peringatan. Namun massa mengamuk hingga menyebabkan puluhan kios dan
sebuah tempat ibadah di sekitar lapangan markas Koramil habis terbakar.
Credit
TEMPO.CO
MUI Minta Umat Islam di Tolikara Menahan Diri
JAKARTA, CB - Ketua Umum Majelis Ulama
Indonesia Din Syamsuddin menyerukan kepada seluruh umat Islam di Distrik
Karubaga, Kabupaten Tolikara, Papua, untuk menahan diri atas kekerasan
massa yang mengakibatkan kerusakan mushala dan puluhan bangunan lain,
Jumat (17/7/2015) pagi.
"Tidak perlu membalas, tunjukkan bahwa kita adalah umat yang toleran," kata dia sebagaimana dikutip Antara, Jumat.
Din meminta polisi mengusut dan menindak para pelakunya sesuai hukum.
Ia menyesalkan kejadian itu karena di tengah upaya membangun toleransi
antarumat beragama, masih ada kelompok intoleran yang melakukan
kekerasan pada umat lain.
Sebelumnya, Wakil Presiden Jusuf Kalla telah menyampaikan penyesalan
atas terjadinya insiden tersebut. Berdasarkan laporan yang dia terima,
sumber persoalan bermula dari salah paham antarkelompok agama yang
mengadakan acara keagamaan masing-masing di daerah itu.
"Memang asal muasalnya soal pengeras suara, jadi mungkin butuh
komunikasi lebih baik lagi untuk acara-acara seperti itu," kata Kalla
dalam jumpa pers di Istana Wakil Presiden, Jumat siang.
Kepala Kepolisian Indonesia Jenderal Badrodin Haiti mengatakan,
situasi dan kondisi di Papua pascaperistiwa tersebut sudah ditangani dan
tidak memerlukan penambahan pasukan.
Sebelumnya, Kepala Bidang Humas Kepolisian Daerah Papua Komisaris
Besar Patrige Renwarin mengatakan, berdasarkan laporan yang diperoleh
dari Kepala Polres Tolikara, insiden itu berlangsung sekitar pukul 07.00
WIT.
Saat itu, ratusan warga tiba-tiba berdatangan dari berbagai arah dan
melempari mushala. Tak lama berselang, massa lalu membakar mushala dan
beberapa rumah serta kios yang ada di sekitarnya.
Ratusan umat Muslim di Karubaga yang sedang melaksanakan shalat Id di
Lapangan Koramil Tolikara terpaksa membubarkan diri karena takut
menjadi sasaran amuk massa.
Credit
KOMPAS.com
Presiden Minta Maaf atas Insiden di Tolikara
JAKARTA, CB — Presiden Joko Widodo
meminta maaf atas peristiwa di Tolikara, Papua, yang terjadi tepat pada
saat hari raya Idul Fitri 1436 Hijriah, Jumat (17/7/2015). Dalam
kerusuhan tersebut, terjadi pembakaran rumah, kios, dan mushala.
"Saya atas nama lembaga masyarakat adat Papua dan atas nama Presiden
RI memohon maaf kepada seluruh masyarakat Muslim di seluruh Indonesia
atas musibah di Tolikara," ujar staf khusus presiden, Lenis Kogoya,
dalam jumpa pers di Gedung Sekretariat Negara, Jakarta, Sabtu
(18/7/2015) siang.
Lenis mengaku telah mengirimkan laporan soal insiden di Tolikara
kepada Presiden Jokowi, Jumat malam. Laporan tersebut, kata Lenis,
melengkapi laporan dari kepolisian dan TNI.
Rencananya, Lenis akan bertolak ke Tolikara pada 29 Juli 2015 untuk
memediasi pihak-pihak yang berkonflik. Tim khusus juga diterjunkan untuk
mempersiapkan mediasi.
"Seluruh rencana saya sudah saya laporkan ke Presiden, termasuk upaya
untuk membangun kembali seluruh bangunan yang rusak," ujar dia.
Lani menyesalkan insiden itu. Dia menyebut, baru kali ini ada konflik bernuansa agama di tanah Papua.
"Pengalaman saya sampai detik ini, di Papua tak pernah terjadi
konflik agama. Tak pernah sekali pun. Kalau perang suku sering," ujar
dia.
Kepala Bidang Humas Kepolisian Daerah Papua Kombes Patrige Renwarin
sebelumnya mengatakan, berdasarkan laporan yang diperoleh dari Kepala
Polres Tolikara, insiden pembakaran itu berlangsung sekitar pukul 07.00
WIT.
Saat itu, ratusan warga tiba-tiba berdatangan dari berbagai arah dan
melempari mushala. Tak lama berselang, massa lalu membakar mushala dan
beberapa rumah serta kios yang ada di sekitarnya.
Ratusan umat Muslim di Karubaga yang sedang melaksanakan shalat Id di
Lapangan Koramil Tolikara terpaksa membubarkan diri karena takut
menjadi sasaran amuk massa. Puluhan aparat gabungan kepolisian dibantu
TNI membubarkan massa dengan melepas tembakan ke udara.
Melihat kedatangan aparat, massa lalu mundur, tetapi terlihat masih berkumpul di beberapa tempat.
Credit
KOMPAS.com
Polri Bakal Tanggung Jawab Penembakan di Tolikara
JAKARTA - Kapolri Jenderal Badrodin Haiti tak
mempermasalahkan penembakan yang dilakukan aparat keamanan TNI/Polri
terhadap penyerang warga muslim di Tolikara, Papua saat melaksanakan
Salat Id Jumat 17 Juli 2015.
Menurut Badrodin, penembakan itu sudah sesuai prosedur di mana aparat
keamanan saat itu dalam kondisi terdesak karena massa yang diduga dari
organisasi Gereja Injili di Indonesia (GIDI) Tolikara gagal bernegosiasi
dengan warga Muslim disana.
"Tidak perlu penembakan itu ada perintah. Kondisi yang mengharuskan
dia menembak, itu bisa saja," tegas Badrodin di Mabes Polri, Jalan
Trunojoyo, Jakarta Selatan, Selasa (21/7/2015).
Badrodin menambahkan, Polri akan bertanggungjawab apabila memang
anggotanya terbukti melakukan penembakan yang mengakibatkan satu orang
tewas dan 11 lainnya terluka. "Ya aparat keamanannya lah (tanggung
jawab). Ya harus dipertanggungjawabkan, penanggungjawabnya polisi,"
pungkas Badrodin.
Seperti diketahui seorang remaja tewas, sementara 11 lainnya
luka-luka saat insiden berbau SARA di Kabupaten Tolikara, Papua, tepat
saat Hari Raya Idul Fitri 1436 Hiriah pada Jumat 17 Juli 2015. Korban
tewas dan beberapa orang luka diakibatkan terjangan timah panas.
Credit
Okezone
Mendagri Selidiki Perda Tolikara soal Aturan Beribadah
JAKARTA, CB — Menteri Dalam Negeri Tjahjo
Kumolo meminta Pemerintah Kabupaten Tolikara, Papua, menyelidiki
keberadaan peraturan daerah mengenai ketentuan dalam beribadah di
wilayah tersebut. Tjahjo menyarankan adanya suatu panitia kerja jika
perda tersebut benar-benar ada.
"Saya meminta Bupati dan DPRD
Tolikara untuk mencari arsip, apakah benar ada perda tentang ibadah
agama tertentu yang diperbolehkan di Tolikara," ujar Tjahjo melalui
keterangan pers, Selasa (21/7/2015).
Tjahjo mengakui bahwa hingga
saat ini, Kemendagri belum pernah menerima laporan mengenai adanya
perda soal beribadah di Tolikara.
Sebelumnya, Ketua Persekutuan
Gereja dan Lembaga Injil di Indonesia (PGLII) Roni Mandang mengatakan
bahwa ada peraturan daerah di Tolikara yang mengatur mengenai pembatasan
pembangunan rumah ibadah. Meski demikian, Roni tidak menjelaskan secara
spesifik mengenai perda tersebut.
Kantor berita Antara,
Selasa, melaporkan bahwa Bupati Tolikara Usman Wanimbo membenarkan
adanya perda yang melarang pembangunan gereja selain Gereja Injili di
Indonesia. Hal itu ditetapkan karena aliran gereja tersebutlah yang
pertama terbentuk di wilayah itu.
"Memang ada perda yang
menyatakan bahwa di sini, kebetulan terbentuknya GIDI di sini sehingga
dianggap sudah gereja besar. Masyarakat di sini berpikir, gereja aliran
lain tidak bisa bangun di sini. Mau tidak mau masyarakat menerima
(perda) itu," kata Usman.
Bupati juga membenarkan bahwa di
Tolikara terdapat aturan yang melarang pembangunan masjid. "Itu dalam
bentuk peraturan bupati, masjid dilarang juga dibangun dalam perda
tersebut. Kalau mushala memang dari dulu ada," ujarnya.
Terkait
hal itu, Mendagri meminta jajaran pemda dan DPRD setempat meninjau
kembali perda tersebut. Jika peraturan tersebut ada, ia meminta agar
Bupati dan DPRD Tolikara membentuk panitia kerja untuk kaji ulang
peraturan tersebut.
Credit
KOMPAS.com