China mengisyaratkan akan bersikap tegas untuk
meredam perlawanan di Taiwan dan Hong Kong dalam Kongres Parlemen
Tahunan di Beijing. (REUTERS/Damir Sagolj)
Jakarta, CB -- China mengisyaratkan akan bersikap tegas untuk meredam perlawanan di Taiwan dan Hong Kong, di tengah meningkatnya frustasi atas pemerintahan Presiden Xi Jinping di dua wilayah tersebut.
Dalam
pidato pembukaan Kongres Rakyat Nasional (Parlenen) Tahunan di Beijing,
Perdana Menteri Li Keqiang memperingatkan bahwa China "tidak akan
mentolerir skema separatis" di Taiwan, di tengah meningkatnya ketegangan
antara daratan utama dan pulau yang ingin melepaskan diri tersebut.
Laporan
tersebut mengatakan bahwa Beijing akan terus menegakkan prinsip "satu
China" dan mempromosikan "hubungan damai" dengan Taiwan berdasarkan
konsensus 1992.
Konsensus tersebut menyetujui adanya satu China tanpa spesifik menyebut Beijing atau Taipei sebagai perwakilan sahnya.
Beijing juga akan "mengupayakan kembali reunifikasi China secara damai," kata Li.
Tapi, dia menambahkan, bahwa pihaknya "tidak akan pernah mentoleransi skema separatis atau aktivitas 'kemerdekaan Taiwan'."
China masih menganggap Taiwan bagian dari wilayahnya yang menunggu
penyatuan kembali. China telah memutus komunikasi resmi dengan Taipei
setelah Presiden Tsai Ing-wen menolak untuk mengakui pulau demokratis
tersebut sebagai bagian dari "satu China".
Dewan Urusan Daratan
Utama Taiwan, menangani hubungan dengan China, mengatakan bahwa pulau
tersebut ingin "mempertahankan status quo yang damai dan stabil di Selat
Taiwan".
"Kami mendorong China untuk mengadopsi pemikiran
positif dan pandangan ke depan yang inovatif mengenai pengembangan
hubungan lintas selat," kata lembaga itu dalam sebuah pernyataan.
China
mangungkapkan kemarahan minggu lalu setelah Senat AS mengeluarkan
undang-undang untuk mendorong kunjungan antara Washington dan Taipei "di
semua level".
Washington memutus hubungan diplomatik formal
dengan Taiwan pada 1979 untuk mendukung Beijing. Tetapi mereka
mempertahankan hubungan dan menjual senjata kepada pulau tersebut,
membuat China marah.
Meningkatnya KekhawatiranLaporan tersebut
juga mengisyaratkan penegasan sikap Beijing untuk menyelesaikan
perbedaan pendapat di kota semi otonomi Hong Kong dan Makau, yang
dipimpin Beijing dengan prinsip "Satu negara, Dua sistem".
Tahun
lalu, bagian laporan tentang bekas koloni Eropa tersebut mengatakan
mereka akan diberikan "otonomi tingkat tinggi". Tahun ini, bagian
tersebut dihilangkan.
Laporan tahun ini mengacu pada konsep "Satu negara, dua sistem" tetapi tidak lagi disebutkan akan diterapkan dengan "tegas".
Perubahan
itu mungkin tampak kecil tetapi bisa berarti besar dalam sistem dimana
berbagai dokumen pemerintah diedit hingga koma terakhirnya.
Hong
Kong diperintah di bawah kesepakatan "satu negara, dua sistem" sejak
1997, ketika Inggris menyerahkan wilayah itu kembali ke China.
Foto: REUTERS/Taipei Photojournalists Association Berbeda dengan pendahulunya yang kompromis, Presiden Tsai Ing Wen lebih keras terhadap China.
|
Sistem tersebut memungkinkan pengakuan hak-hak warga yang tidak
berlaku di daratan utama. Termasuk kebebasan berbicara dan pemilihan
pemimpin Hong Kong yang 'setengah' langsung, serta pengadilan yang
independen.
Tapi ada kekhawatiran bahwa kebebasan ini terancam oleh Beijing.
Tanya
Chan, seorang anggota parlemen pro-demokrasi di kota tersebut,
mengatakan hilangnya penyebutan orang-orang Hong Kong yang mengatur
dirinya sendiri bukanlah suatu kesalahan.
"Saya tidak berpikir
ada kelalaian tanpa tujuan, terutama bila orang Hong Kong prihatin
dengan otonomi dan sistem secara keseluruhan," katanya kepada
AFP."Saya
khawatir apakah pemerintah China masih menghormati janji-janji penting
ini," Chan menambahkan, memprediksi lebih banyak intervensi "serius dan
terbuka" oleh Beijing.
Claudia Mo, seorang legislator
pro-demokrasi Hong Kong lainnya, menambahkan kesepakatan "satu negara,
dua sistem" sudah mati. "Mereka baru saja memastikannya," kata dia.
Credit
cnnindonesia.com