Kontraktor Keamanan AS di Afghanistan
mengeruk untung dari kontrak Departemen Keamanan AS bernilai Rp26
T.(Reuters/Mohammad Ismail)
Kabul, CB
--
Afghanistan mengancam akan menindak keras para
kontraktor pertahanan AS yang berhutang pajak berjumlah ratusan juta
dolar dengan membekukan rekening bank mereka, dan menolak memberi ijin
bisnis tahunan baru ketika ijin yang lama habis masa berlakunya.
Amerika
Serikat mempertanyakan tuntutan pembayaran pajak itu, dengan mengatakan
bahwa berdasarkan kesepakatan militer yang disepakati saat itu
perusahaan-perusahaan tersebut dibebaskan dari pembayaran pajak.
Kedua
negara juga sedang berusaha memecahkan perselisihan ini sebelum tenggat
waktu membuat kesepakatan baru dengan berbagai negara tiba.
Tenggat waktu itu sendiri telah diperpanjang selama tiga bulan hingga 1 September.
Perusahaan-perusahaan pertahanan besar yang disasar antara lain
Raytheon, DynCorp Internasional dan
Supreme Group, dan mereka menyediakan berbagai layanan penting bagi pasukan NATO, misi diplomatik dan sektor bantuan.
“Jika
posisi pajak mereka tidak diselesaikan, kami tidak bisa mengeluarkan
ijin baru,” ujar Gul Maqsood Sabit, wakil menteri keuangan Afghanisan,
kepada Reuters.
“Kami tidak ingin mengganggu pergerakan barang
untuk militer AS karena mereka sedang berperang…(tetapi) jika itu
terjadi, kami akan melaporkannya ke Interpol,” tambahnya.
Sabid
tidak secara khusus menjelaskan alasan Afghanistan akan memanfaatkan
organisasi polisi internasional ini dalam masalah pejak tersebut, tetapi
dia menjelaskan bahwa langkah tegas seperti larangan bepergian bagi
para pejabat perusahaan bisa diterapkan jika mereka tetap tidak mau
membayar pajak.
Salah satu sasaran utama kementerian keuangan
Afghanistan adalah Supreme Group, dan perusahaan ini telah memutuskan
untuk keluar dari Afghanistan setelah kontraknya berakhir tahun ini.
Perusahaan itu tidak menjelaskan alasannya.
Pasar Afghanistan
untuk kontraktor asing turun drastis dalam beberapa tahun terakhir
setelah pasukan NATO pimpinan AS berkurang dari 100 ribu lebih menjadi
9.800 tentara yang kini hanya bertugas melatih pasukan negara itu, dan
menjalankan operasi terbatas.
Tetapi membantu misi asing masih
merupakan bisnis besar, dan banyak perusahaan keamanan ingin tetap
berada di Afghanistan jika masalah pajak ini telah diselesaikan.
Dari
2002 hingga 2014 nilai kontrak keamanan dari Departemen Pertahanan AS
di Afghanistan bernilai lebih dari US$20 miliar dolar.
“Sulit Beralih”Bagi Kabul, perselisihan ini menjadi situasi yang sulit.
Di
satu pihak, dengan kebutuhan mendesak akan pemasukan bagi negara ini,
pembayaran pajak dalam jumlah besar akan sangat membantu.
Afghanistan
juga berupaya mengendalikan kembali sektor-sektor perekonomian yang
didominasi oleh perusahaan asing dan kelompok-kelompo bantuan.
Di lain pihak, negara ini sangat tergantung pada kontraktor Departemen Pertahanan AS yang diperkirakan berjumlah 30 ribu orang.
Sangat
sulit beralih kontraktor, karena “militer AS memiliki prosedur
pemberian kontrak yang sangat ketat,” ujar Sabit. “Saya selalu memiliki
masalah dengan para kontraktor; mereka bertindak semena-mena.”
Pasukan NATO pimpinan AS kini tinggal 9.800 orang dan bertugas melatih tentara nasional Afghanistan. (Reuters/Omar Sobhani)
|
Perusahaan-perusahaan yang terlibat dalam perselisihan ini mengatakan
pemerintah AS memimpin perundingan dengan pemerintah Afghanistan.
“Ini
adalah perselisihan kebijakan terkait pengecualian pajak antara
pemerintah AS dan Afghanistan. Kami tahu bahwa kedua pemerintah masih
berusaha menghasilkan jalan keluarnya,” ujar juru bicara
DynCorp.
Seorang
pejabat AS di Kabul mengatakan jenis kewajiban yang harus ditanggung
perusahaan-perusahaan itu sangat beragam, dan Washington berupaya agar
hukum diterapkan dengan adil.
“Kami berupaya keras agar
pemerintah Afghanistan menerapkan pengecualian pajak sesuai dengan
kesepakatan bilateral antara AS dan Afghanistan,” kata pejabat itu.
Proses LambanAsosiasi Operasi Stabilitas Internasional, ISOA, yang mewakili satu jaringan perusahaan global sepeti
DynCorp, mengatakan bahwa upaya untuk mencapai solusi berjalan lamban.
“Kami
tidak tahu apa yang akan terjadi,” kata Presiden ISOA Ado Machida,
sembari menambahkan bahwa akan ada lebih banyak kasus semacam ini
sementara traktat keamanan Afghanistan-AS yang baru tidak menegaskan
posisi kontraktor yang bekerja untuk beberapa departemen pemerintah AS
ini.
Machida juga mengatakan bahwa sebagian kontraktor menjadi sasaran para pejabat pemerintah Afghanistan.
“Birokrat
tingkat menengah mulai keluar…dan menyebutkan masalah-masalah yang
telah diselesaikan di masa lalu, mereka membuka kembali kasus-kasus
itu,” ujarnya kepada Reuters.
Menurut Wakil Menteri Keuangan
Sabit, sebagian besar pajak itu belum dibayar oleh tiga perusahaan dan
satu komisi khusus telah ditunjuk untuk menyelesaikannya.
Sabit menolak menyebut ketiga perusahaan itu, tetapi para pejabat perusahaan mengatakan bahwa ada upaya keras untuk menyerang
Supreme Group, DynCorp dan
Raytheon.
“
Supreme Group
belum mendaftarkan diri untuk ijin bisnis baru agar bisa beroperasi di
Afghanistan setelah ijin sebelumnya berakhir pada Maret 2015,” kata juru
bicara perusahaan itu.
Supreme Group pernah menjadi
pemasok air dan makanan bagi tentara AS terbesar, tetapi kehilangan
kontrak bernilai US$8,8 miliar itu setelah mengaku bersalah dalam
dakwaan kriminal.
Credit
CNN Indonesia