Dia diberitahu tentang sebuah monumen besar di dalam hutan.
Sejumlah wisatawan mengamati matahari terbit di Candi Borobudur, Magelang, Jawa Tengah, Sabtu (21/2/2015). (Antara/Andreas Fitri Atmoko)
CB - Sir Thomas Stanford Raffles lahir di
lepas Pantai Jamaika dekat Port Morant, di atas geladak kapal Ann, pada 6
Juli 1781. Ayahnya adalah Benjamin Raffles seorang koki yang kemudian
menjadi kapten kapal dan Ibunya adalah Anne Lyde Linderma.
Ketika Raffles masih muda, krisis ekonomi yang melanda Inggris
memaksanya mencari pekerjaan untuk menyokong ekonomi keluarga. Dengan
keuletan dan kecerdasannya ia berhasil menjadi Asisten Sekretaris pada
sebuah perusahaan untuk wilayah Kepulauan Melayu, yang pada akhirnya
dipercaya sebagai Gubernur Jenderal oleh Lord Minto tahun 1811.
Sejarah Pulau Jawa (The History of Java)
adalah buku yang dikarang oleh Sir Thomas Stamford Raffles dan
diterbitkan pada tahun 1817. Dalam buku ini, Raffles yang memerintah
sebagai Gubernur-Jendral di Hindia-Belanda dari tahun 1811-1816
menuliskan mengenai keadaan penduduk di pulau Jawa, adat-istiadat,
keadaan geografi, sistem pertanian, sistem perdagangan, bahasa dan agama
yang ada di pulau Jawa pada waktu itu.
Pendapat seorang Raffles
tentang karakter orang Jawa. Berbeda dengan orang Belanda, Raffles
melihat orang Jawa secara positif. Tidak ada lagi propaganda tentang
orang Jawa yang malas, pemarah, dan pembohong sebagaimana yang biasanya
dicitrakan kolonial Belanda.
Mengenai pandangan orang-orang
Belanda terhadap orang Jawa dapat dilihat pada catatan resmi yang
diberikan oleh Residen Dornick dari Distrik Jepara pada tahun 1812.
Dornick dalam catatan resminya, sebagaimana dikutip Raffles, menyebutkan
bahwa;
“Jika orang Jawa adalah orang yang berkelas, atau dalam
keadaan yang makmur, maka mereka akan terlihat sebagai orang yang
percaya takhayul, sombong, pencemburu, suka membalas dendam, kejam, dan
bertindak seperti budak pada atasannya, keras dan kejam pada para
bawahannya, dan pada orang-orang yang tidak beruntung yang tunduk dalam
wewenang mereka, mereka juga malas dan lambat.”
Sebaliknya,
Raffles menyebut masyarakat Jawa sebagai penduduk yang dermawan dan
ramah jika tidak diganggu dan ditindas. Orang Jawa dalam hubungan
domestik memiliki sikap baik, lembut, kasih sayang, dan penuh perhatian.
Sedangkan dalam hubungan dengan masyarakat umum orang Jawa adalah orang
yang patuh, jujur, dan beriman, memperlihatkan sikap yang bijaksana,
jujur, jelas dalam berdagang dan berterus terang.
Perbedaan ini
disadari oleh Raffles akibat dari kolonial Belanda yang melihat
masyarakat Jawa secara parsial. Menurut Raffles, karakter sejati dari
penduduk pribumi bukan yang tampak pada pemimpin kelas rendah yang
tunduk pada otoritas bangsa Eropa.
Raffles dengan brilian
menyimpulkan bahwa pengetahuan tentang orang Jawa harus lebih
menitikberatkan pada golongan petani dan peladang, yang merupakan tiga
per empat dari keseluruhan jumlah populasi, dan ini diterima dan secara
hati-hati diterapkan untuk kalangan yang lebih atas darinya.
Pada
1814 saat ia sedang melakukan inspeksi ke Semarang, ia diberitahu
tentang sebuah monumen besar di dalam hutan dekat desa Bumisegoro dan
mengirim H.C. Cornelius untuk melakukan investigasi. Pekerjaan Cornelius
yang terhambat oleh ketakutan akan runtuhnya Borobudur baru dilanjutkan
oleh Hartmann pada tahun 1835 dan akhirnya seluruh kompleks Borobudur
berhasil digali.
Setelah itu keberadaan candi Borobudur
diketahui oleh dunia berkat tulisan Raffles. Ia suka mengumpulkan
benda-benda antik khas Jawa, dan mengumpulkan catatan-catatan penting
dengan masyarakat sekitar saat ia berkeliling.
The History of Java
karya Thomas Stanford Raffles (VIVA.co.id/Dody Handoko)
Nama Borobudur sendiri yang dibuat oleh Raffles memiliki arti
“Candi Budur di dekat desa Bore,” awalnya menghasilkan nama BoreBudur
namun akhirnya diubah menjadi BoroBudur. Hal ini ia lakukan karena
hampir setiap candi dinamakan dengan nama desa terdekatnya, dan
seharusnya bernama BudurBoro. Raffles juga sempat melontarkan ide bahwa
Budur bisa dikaitkan dengan bahasa Jawa modern, Buda yang berarti “kuno”
dan mengartikan Borobudur sebagai “Budur Kuno.”
Credit
VIVA.co.id