Sejumlah wisatawan mengamati matahari terbit di Candi Borobudur, Magelang, Jawa Tengah, Sabtu (21/2/2015). (Antara/Andreas Fitri Atmoko)
Ketika Raffles masih muda, krisis ekonomi yang melanda Inggris memaksanya mencari pekerjaan untuk menyokong ekonomi keluarga. Dengan keuletan dan kecerdasannya ia berhasil menjadi Asisten Sekretaris pada sebuah perusahaan untuk wilayah Kepulauan Melayu, yang pada akhirnya dipercaya sebagai Gubernur Jenderal oleh Lord Minto tahun 1811.
Sejarah Pulau Jawa (The History of Java) adalah buku yang dikarang oleh Sir Thomas Stamford Raffles dan diterbitkan pada tahun 1817. Dalam buku ini, Raffles yang memerintah sebagai Gubernur-Jendral di Hindia-Belanda dari tahun 1811-1816 menuliskan mengenai keadaan penduduk di pulau Jawa, adat-istiadat, keadaan geografi, sistem pertanian, sistem perdagangan, bahasa dan agama yang ada di pulau Jawa pada waktu itu.
Pendapat seorang Raffles tentang karakter orang Jawa. Berbeda dengan orang Belanda, Raffles melihat orang Jawa secara positif. Tidak ada lagi propaganda tentang orang Jawa yang malas, pemarah, dan pembohong sebagaimana yang biasanya dicitrakan kolonial Belanda.
Mengenai pandangan orang-orang Belanda terhadap orang Jawa dapat dilihat pada catatan resmi yang diberikan oleh Residen Dornick dari Distrik Jepara pada tahun 1812. Dornick dalam catatan resminya, sebagaimana dikutip Raffles, menyebutkan bahwa;
“Jika orang Jawa adalah orang yang berkelas, atau dalam keadaan yang makmur, maka mereka akan terlihat sebagai orang yang percaya takhayul, sombong, pencemburu, suka membalas dendam, kejam, dan bertindak seperti budak pada atasannya, keras dan kejam pada para bawahannya, dan pada orang-orang yang tidak beruntung yang tunduk dalam wewenang mereka, mereka juga malas dan lambat.”
Sebaliknya, Raffles menyebut masyarakat Jawa sebagai penduduk yang dermawan dan ramah jika tidak diganggu dan ditindas. Orang Jawa dalam hubungan domestik memiliki sikap baik, lembut, kasih sayang, dan penuh perhatian. Sedangkan dalam hubungan dengan masyarakat umum orang Jawa adalah orang yang patuh, jujur, dan beriman, memperlihatkan sikap yang bijaksana, jujur, jelas dalam berdagang dan berterus terang.
Perbedaan ini disadari oleh Raffles akibat dari kolonial Belanda yang melihat masyarakat Jawa secara parsial. Menurut Raffles, karakter sejati dari penduduk pribumi bukan yang tampak pada pemimpin kelas rendah yang tunduk pada otoritas bangsa Eropa.
Raffles dengan brilian menyimpulkan bahwa pengetahuan tentang orang Jawa harus lebih menitikberatkan pada golongan petani dan peladang, yang merupakan tiga per empat dari keseluruhan jumlah populasi, dan ini diterima dan secara hati-hati diterapkan untuk kalangan yang lebih atas darinya.
Pada 1814 saat ia sedang melakukan inspeksi ke Semarang, ia diberitahu tentang sebuah monumen besar di dalam hutan dekat desa Bumisegoro dan mengirim H.C. Cornelius untuk melakukan investigasi. Pekerjaan Cornelius yang terhambat oleh ketakutan akan runtuhnya Borobudur baru dilanjutkan oleh Hartmann pada tahun 1835 dan akhirnya seluruh kompleks Borobudur berhasil digali.
Setelah itu keberadaan candi Borobudur diketahui oleh dunia berkat tulisan Raffles. Ia suka mengumpulkan benda-benda antik khas Jawa, dan mengumpulkan catatan-catatan penting dengan masyarakat sekitar saat ia berkeliling.
The History of Java karya Thomas Stanford Raffles (VIVA.co.id/Dody Handoko)
Nama Borobudur sendiri yang dibuat oleh Raffles memiliki arti “Candi Budur di dekat desa Bore,” awalnya menghasilkan nama BoreBudur namun akhirnya diubah menjadi BoroBudur. Hal ini ia lakukan karena hampir setiap candi dinamakan dengan nama desa terdekatnya, dan seharusnya bernama BudurBoro. Raffles juga sempat melontarkan ide bahwa Budur bisa dikaitkan dengan bahasa Jawa modern, Buda yang berarti “kuno” dan mengartikan Borobudur sebagai “Budur Kuno.”
Credit VIVA.co.id