Astrid Ariani Wijana, Senior Marketing Manager PT Mazda Motor Indonesia menyatakan, Mazda menunjuk PT Eurokars Motor Indonesia untuk meneruskan bisnis Mazda Motor. "Apa yang kami lakukan tidak mengubah keberadaan Mazda di Indonesia," kata Astrid kepada KONTAN, Jumat (14/10).
Syarif Hidayat, Sekretaris Jenderal Kementerian Perindustrian, menandaskan, perusahaan otomotif yang tak memiliki pabrik kesulitan berkompetisi di Indonesia. "Ford tak punya pabrik, begitu juga Mazda," kata Syarif, kepada KONTAN, Minggu (16/10).
Karena tak punya pabrik, keluarnya Ford dan Mazda tidak mengganggu iklim industri. Beda dengan General Motors Indonesia yang menutup pabriknya di Indonesia tahun 2015. Penutupan itu sempat mengganggu industri.
Tak hanya Ford dan Mazda, perusahaan otomotif lain yang tak punya pabrik harus berhadapan dengan risiko ini. Sebab, mobil impor sulit bersaing dengan rakitan dalam negeri yang mendapatkan insentif pemerintah.
Jika ingin menikmati pasar Indonesia, perusahaan otomotif harus memiliki basis produksi seperti Toyota, Daihatsu, Honda dan Datsun. Selain pabrik, mereka yang menikmati pasar adalah yang memiliki jaringan pemasok komponen, pemasaran dan pembiayaan lewat afiliasi.
Subronto Laras, Presiden Komisaris PT Indomobil Sukses International Tbk menilai, keluarnya Mazda dari Indonesia bukan karena buruknya iklim bisnis di Indonesia. Dia menilainya akibat tingginya bea masuk mobil impor.
Meski menyayangkan Mazda keluar dari Indonesia, Rizwan Alamsyah, Ketua IV Gabungan Industri Kendaraan Bermotor (Gaikindo) tak bisa berbuat apa-apa. "Itu kewenangan Mazda," kata Rizwan.
Tulus Abadi, Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia, mengingatkan agar Mazda memperhatikan hak-hak konsumennya. Sebab, keluarnya Mazda berpotensi melanggar hak konsumen. "Pemberitahuan tak bisa mendadak, harus sosialisasi, termasuk soal layanan purna jual," kata Tulus.
Credit Kontan.co.id