JAKARTA, CB - Ekonomi Indonesia kembali mendapat cobaan. Kali ini, datangnya dari Tionglok. Adalah, pasar saham China yang mengalami koreksi tajam belakangan ini. Setelah menggelembung atau bubble, pasar saham China mulai memecah dengan terjadinya koreksi yang cukup dalam. Kondisi ini diperburuk adanya eksposure pemerintah China pada surat utang Yunani yang gagal bayar (default).
Gubernur BI Agus Martowardojo mengatakan, ekonomi China sangat dekat dengan Indonesia. Risiko yang menimpa China lebih tinggi dampaknya dibanding krisis finansial di negeri para dewa, Yunani. Saat ini, kondisi yang terjadi di China efeknya bukan hanya akan menimpa pasar keuangan, namun juga perdagangan Indonesia.
Agus bilang, saat ini pasar saham China sedang terkoreksi. Dalam satu bulan terakhir, pasar saham Tiongkok terkoreksi hingga 30 persen. "Kita harus antisipasi karena China menjadi pusat bagi pertumbuhan regional dan dunia," ujarnya, Rabu (8/7/2015).
Jika koreksi pasar modal China terus terjadi dan cukup tajam, lanjut Agus, dampaknya berantai. Dampak yang langsung terasa adalah pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat (AS). Sebab itu, Agus mengingatkan, dalam kondisi seperti ini, Indonesia harus menjaga fundamental ekonomi. Inflasi yang terkendali dan defisit transaksi berjalan lebih sehat ke arah 2,5 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) harus terus dipantau. "Daya tahan ekonomi Indonesia harus dijaga," kata Agus.
Ekspor bisa makin drop
Kekhawatiran Agus tak berlebihan. China adalah negara tujuan ekspor keempat Indonesia setelah AS, India, dan Jepang. Sebab itu, BI telah merevisi proyeksi penurunan pertumbuhan ekspor Indonesia tahun ini lebih dalam dari 11 persen menjadi 14 persen.
Berdasarkan data Badan Pusat Statitik (BPS), ekspor pada 2014 tercatat sebesar 176,29 miliar dollar AS atau menurun 3,43 persen dibanding periode yang sama 2013. Jadi, jika BI memperkirakan ekspor drop hingga 14 persen, berarti tahun ini kumulatif nilai ekspor Indonesia Januari-Desember 2015 hanya 151,61 miliar dollar AS.
Salah satu penyebab kinerja ekspor yang lebih buruk ini diakibatkan perekonomian China melemah. BI memperkirakan ekonomi China hanya tumbuh 7,1 persen di 2015.
Sasmito Hadi Wibowo, Deputi Statistik Bidang Distribusi dan Jasa BPS mengakui, tren pelambatan ekonomi China telah berdampak terhadap ekspor Indonesia di tahun ini. Sasmito bilang, dengan gejolak ekonomi di China saat ini, ekspor Indonesia bisa semakin turun lebih dalam.
Ekonom Samuel Aset Manajemen Lana Soelistianingsih berpendapat, nilai tukar rupiah masih rentan tekanan eksternal. Kondisi ekonomi Yunani dan China yang dikhawatirkan mengalami krisis, menjadi persoalan yang bakal menekan rupiah.
Namun, Ekonom Bank BCA David Sumual menilai, anjloknya indeks saham China tidak berdampak signifikan terhadap ekonomi Indonesia. Alasannya, kondisi itu belum berdampak kepada sektor riil China. Jadi, dampaknya belum akan dialami Indonesia.
Lagi pula, pasar keuangan China belum terlalu terbuka. Selain itu, pasar bursa China tidak sebesar bursa AS. Menurut David, jebloknya pasar saham China lebih disebabkan faktor bubble di sektor keuangan. Pemicunya, pemerintah China melakukan intervensi untuk menstabilkan harga saham. Sebab, indeks saham China selalu naik berlipat beberapa tahun terakhir.
Kepala Ekonom Bank Dunia untuk Indonesia, Ndiame Diop juga bilang jatuhnya harga saham China belum berdampak terhadap ekonomi China. Sebab, hingga kini sektor riil di negara tirai bambu tak terpengaruh.
Diop juga menilai jatuhnya saham di China belum mempengaruhi pertumbuhan ekonomi global, meskipun China merupakan mitra dagang terbesar Amerika Serikat (AS) dan Eropa.
Credit KOMPAS.com