"Kalau (kemunculan cacing ke permukaan tanah) dikaitkan dengan gempa saya tidak bisa menjawabnya secara pasti. Saya lebih bisa mengaitkannya dengan kondisi cuaca ekstrim yang terjadi di beberapa negara seperti di India," kata Haryadi saat dihubungi Antara di Jakarta, Rabu.
Menurut dia, hewan memang lebih sensitif dan lebih sulit beradaptasi menghadapi perubahan cuaca. Dengan kondisi cuaca ekstrim yang terjadi akhir-akhir ini di mana suhu dapat melampaui angka 35 derajat celsius dan dengan cepat turun saat terjadi hujan lebat mempengaruhi kondisi hewan-hewan di bawah tanah.
"Berbeda dengan manusia yang jelas lebih mudah beradaptasi. Kalau suhu naik tinggal pakai penyejuk udara," ujar dia.
Ia kembali menegaskan belum ada teknologi yang mampu secara pasti memperkirakan kapan dan di mana akan terjadi gempa. Karena itu, terkait fenomena yang terjadi di sebagian besar wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta saat ini masyarakat dihimbau tidak perlu panik namun tetap selalu waspada mengingat daerah tersebut memang rawan gempa.
"Rasanya tidak perlu disikapi secara berlebihan. Yang bisa dilakukan masyarakat di sana agar selalu waspada, terutama saat malam hingga menjelang subuh, karena pada dasarnya di sana rawan gempa," ujar dia.
Fenomena alam yang ditemui masyarakat Bantul, Berbah, hingga di sekitar Prambanan di Sleman perlu dicatat dengan baik. Menurut dia, potongan-potongan cerita dari masyarakat terkait fenomena alam yang terjadi di suatu lokasi bisa saja menjadi jawaban seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
"Potongan cerita seperti ini perlu disimpan, karena bisa jadi di masa depan dapat menjawab pertanyaan yang belum terjawab sampai saat ini. Antara atau media massa lain juga dapat mengumpulkan ceceran potongan cerita seperti ini untuk membantu menjawab fenomena-fenomena alam yang terjadi," ujar dia.
LIPI, menurut dia, hingga saat ini aktif memantau sesar aktif yang ada di selatan Pulau Jawa, terutama di bagian barat. "Kami mendalami seismic gap di sekitar Selat Sunda".
Untuk sesar aktif di selatan Jawa khususnya di Daerah Istimewa Yogyakarta, menurut dia, lebih sulit dipelajari menginggat tebalnya lapisan abu vulkanik dari Gunung Merapi yang menutupi lapisan sesar di sana.
Credit ANTARA News