Serangan di Ghouta Timur terus berlanjut meski
 DK PBB telah memutuskan gencatan senjata selama 30 hari. ( AFP 
PHOTO/ABDULMONAM EASSA)
                
                    Jakarta, CB -- Serangan udara dan 
bentrokan baru melanda daerah kekuasaan pemberontak Suriah di Ghouta 
Timur. Serangan ini terjadi meski Dewan Keamanan Perserikatan 
Bangsa-bangsa (DK PBB) telah mengesahkan gencatan senjata selama 30 hari
 sebagai upaya mengakhiri salah satu serangan terganas perang sipil 
Suriah, Minggu (25/2).
Jet-jet tempur Presiden Bashar al-Assad 
menggempur Ghouta Timur, daerah terkepung di pinggiran Damaskus. Sekitar
 500 orang telah terbunuh sejak serangan dimulai seminggu lalu.
Setelah
 serangkaian perdebatan, DK PBB mengajukan 30 hari gencatan senjata 
"tanpa penundaan" di Suriah. Dengan gencatan senjata senjata tersebut 
diharapkan pengiriman bantuan dan evakuasi medis dapat berjalan lancar.
Keputusan DK PBB tersebut memberi harapan untuk menghentikan 
pertumpahan darah. Meski begitu, masih belum jelas kapan dan seluas apa 
gencatan senjata tersebut dapat dilakukan.
Lewat pembicaraan 
telepon, Minggu (25/2) Kanselir Jerman Angela Merkel dan Presiden 
Perancis Emmanuel Macron mendesak Presiden Vladimir Putin untuk membantu
 tercapainya gencatan senjata. 
| 
Foto: (AFP/ ABDULMONAM EASSA)Serangan di Ghouta Timur berlangsung sejak pekan lalu.
 | 
Mereka meminta Rusia "untuk mendesak rezim Suriah segera 
menghentikan serangan udara dan pertempuran". Rusia merupakan sekutu 
penting dari rezim Assad.
Pertempuran Darat Lebih ParahAktivis
 Obsevatorium Hak Asasi Manusia Suriah menyatakan setidaknya 14 warga 
sipil termasuk tiga anak-anak tewas akibat serangan pada Minggu (25/2). 
Hingga
 total korban jiwa mencapai 530 orang, 130 diantaranya anak-anak. 
Kelompok berbasis Inggris tersebut mengklaim mempunyai jaringan sumber 
di seluruh Suriah untuk pemantauan konflik.
Serangan lain yang 
diduga menggunakan zat kimia pada Sabtu (24/2) menyebabkan seorang anak 
meninggal dan setidaknya 13 lainnya menderita kesulitan bernapas. 
Aktivis menyebut insiden tersebut merupakan serangan dari rezim. Namun Kementerian Pertahanan Rusia membantah kabar tersebut.
"Pemimpin
 dari kelompok-kelompok bersenjata melakukan provokasi dengan zat 
beracun lalu menuduh rezim sebagai pengguna senjata kimia," demikian 
pernyataan Kementerian Pertahanan Rusia seperti dilansir 
Channel News Asia, Senin (26/2).
Seorang relawan lembaga aktivis kemanusiaan Inggris Save the 
Children bercerita tentang keadaan saat pengeboman sempat berhenti 
sejenak. Setelah seminggu, penduduk terdorong keluar dari perlindungan 
bawah tanah. "Beberapa orang menghabiskan tujuh hari silam duduk di 
lantai. Beberapa orang tidak memiliki makanan untuk dua sampai tiga 
hari," kata relawan yang tidak mau disebut namanya itu.
Ketua 
Syrian Observatory, Rami Abdel Rahman mengatakan serangan udara mulai 
berkurang, tetapi pertempuran di darat meningkat. Bentrokan besar yang 
meledak di selatan wilayah Ghouta timur telah menewaskan setidaknya 13 
anggota pasukan pro-rezim dan enam pemberontak Jaish al-Islam. 
Ghouta
 Timur berpenduduk 400,000 orang. Penduduknya enggan atau tidak dapat 
melarikan diri. Dua kelompok pemberontak yang menguasai daerah kantong 
tersebut, Jaish al-Islam dan Faylaq al-Rahman, menyambut keputusan DK 
PBB tetapi bersumpah akan melawan jika terjadi serangan baru.
Diplomat
 PBB mengatakan resolusi tersebut telah dibuat sedemikian rupa agar 
Rusia tidak melarang. Rusia adalah penunjang utama diplomasi dan militer
 rezim Assad. Bahasa yang digunakan diganti, istilah "segera" yang 
merujuk kepada pengiriman bantuan dan evakuasi dihilangkan. Gencatan 
senjata dimulai 72 jam setelah adaptasi.
| 
Foto: REUTERS/Bassam KhabiehPara korban serangan menanti perawatan.
 | 
Gencatan senjata tidak akan berlaku pada operasi melawan kelompok 
Negara Islam atau Al-Qaeda, juga "individu, kelompok, anak buah dan 
entitas" yang berhubungan dengan mereka. 
Kepala tentara Iran, kunci 
lain dari sekutu Assad, mengatakan militer Suriah akan terus melawan 
"kelompok teroris" di Ghouta Timur. 
Rezim Assad dan para sekutunya secara konsisten menggambarkan semua kekuatan oposisi sebagai "teroris".
Dikutip
 dari kantor berita resmi IRNA Mohammad Bagheri berkata, "Wilayah 
sekeliling Damaskus... tidak terpengaruh gencatan senjata maka operasi 
serangan dan pembersihan oleh tentara Suriah akan tetap berlanjut".
Kepala
 PBB Antonio Guterres berkata gencatan senjata harus "segera" 
diimplementasikan. Dia menggambarkan situasi pengeboman Ghouta timur 
sebagai "neraka di bumi".
Terbiasa dengan PengkhianatanAdapun di Ghouta Timur yang tertutup, berita tentang keputusan DK PPB berdampak sangat kecil.
"Sepertinya
 keputusan ini tidak akan diimplementasikan. Rezim maupun Rusia tidak 
akan menghargainya. Kami tidak percaya pada Rusia atau rezim. Kami 
terbiasa dengan pengkhianatan." kata seorang penduduk Douma, Abu Mazen.
Pemberontak
 di Ghouta Timur juga menembaki masuk ke Damaskus. Menurut media 
pemerintah, sekitar 20 orang terbunuh di kawasan timur ibu kota sejak 18
 Februari.
Dina Sulaeman, Direktur Indonesia Center for Middle 
East Studies, lewat laman Facebooknya menyatakan ada pihak-pihak yang 
menginginkan Suriah pecah. Pihak-pihak tersebut mengabarkan laporan yang
 menyesatkan.
"Perang di Ghouta Timur sebenarnya skenario yang sama persis seperti di Aleppo," kata Dina di laman Facebook-nya.
Menurut
 dia, di Ghouta Timur banyak kelompok yang mengaku mujahidin. Sebagian 
berafiliasi dengan Al Qaidah, sebagian dengan Ikhwanul Muslimin. Yang 
berafiliasi dengan Al Qaidah, sudah dinyatakan PBB sebagai teroris. 
Adapun yang berafiliasi dengan Al Ikhwan, media dan politisi Barat 
menyebutnya sebagai "pemberontak moderat".
Orang-orang tersebut, 
menurut Dina, menahan warga sipil Ghouta Timur untuk dijadikan tameng. 
"Sebagian dikurung di kandang dan diarak keliling kota bagai binatang. 
Di saat yagn sama mereka membombardir Damaskus hampir setiap hari," kata
 Dina.
Perang Suriah telah memakan korban lebih dari 340,000 jiwa
 dan jutaan lainnya terusir dari rumah. Bulan depan perang Suriah 
memasuki tahun ke delapannya tanpa ada solusi diplomasi yang terlihat.
Credit  
cnnindonesia.com