Minggu, 29 April 2018

ASEAN Minta Indonesia Pimpin Penyelesaian Negosiasi RCEP


ASEAN
ASEAN

RCEP merupakan kemitraan ASEAN dengan enam negara
 
 
CB, SINGAPURA -- Negara-negara anggota ASEAN telah meminta Indonesia sebagai negara koordinator Kemitraan Komprehensif Ekonomi Kawasan (RCEP) dapat segera menyelesaikan negosiasi dengan enam negara mitra, yakni Australia, Cina, India, Jepang, Korea Selatan, dan Selandia Baru.
"Kita sebagai country coordinator, semua meminta kita bisa menyelesaikan pembahasan RCEP di masa kepemimpinan Singapura, jadi kita mau mengupayakan semaksimal mungkin untuk finalize RCEP," kata Menteri Perdagangan RI Enggartiasto Lukita di Hotel Shangrila, Singapura, Sabtu (28/4).
Mendag hadir sebagai ketua delegasi Pertemuan Dewan Komunitas Ekonomi ASEAN (AEC) ke-16 sekaligus mendampingi Presiden Joko Widodo dalam berbagai pertemuan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Ke-32 ASEAN di Singapura.
Menanggapi permintaan negara-negara anggota ASEAN tersebut, Enggar mengatakan Indonesia akan bekerja semaksimal mungkin untuk menyelesaikan negosiasi, namun semua anggota harus sepakat terlebih dulu agar perhimpunan tersebut memiliki nilai tawar yang bulat dalam negosiasi dengan enam negara mitra.
"Saya push lagi, sekali kita ASEAN sepakat maka jangan pernah dalam pembicaraan itu kita kembali lagi bicara di antara ASEAN, jadi kita harus ada ASEAN paper dulu, ada kesepakatan ASEAN, karena ASEAN adalah inisiator dari RCEP itu," tuturnya.
Sebagai tindak lanjut, ASEAN plus enam negara akan melakukan pertemuan di Jepang pada Juli 2018 untuk segera membuat finalisasi RCEP. RCEP mulai diadopsi sepuluh anggota ASEAN secara bertahap sejak KTT Ke-21 ASEAN di Pnom Penh, Kamboja, pada 2012, dan negosiasinya dimulai pada awal 2013.
Kemitraan regional tersebut bertujuan mencapai hubungan ekonomi yang saling menguntungkan di antara negara anggota ASEAN dan mitra dagang ASEAN.




Credit  republika.co.id





KTT ASEAN hasilkan tiga dokumen tanpa isu Rohingya


KTT ASEAN hasilkan tiga dokumen tanpa isu Rohingya
Para pemimpin di Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Ke-32 ASEAN di Singapura 2018 (Biro Pers Istana Kepresidenan)



Singapura (CB) - Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Ke-32 ASEAN menghasilkan tiga dokumen tanpa ada satu pun yang menyebutkan kesepakatan untuk mengatasi isu kemanusiaan Rohingya.

Ketiga dokumen tersebut disampaikan Perdana Menteri Singapura Lee Hsien Loong sebagai ketua ASEAN 2018 di Hotel Shangri-La, Singapura, Sabtu.

Ketiga dokumen hasil tersebut adalah Pernyataan Pemimpin ASEAN tentang Kerja Sama Keamanan Siber, Nota Konsep Jaringan Kota Pintar ASEAN (ASCN) dan Visi Pemimpin untuk ASEAN yang Berketahanan dan Inovatif.

Dari ketiga dokumen hasil tersebut hanya pada Visi Pemimpin ASEAN sedikit disebutkan ada poin ke sepuluh tentang pentingnya penghormatan Hak Asasi Manusia dan Kebebasan Dasar.

Poin tersebut menyebutkan "ASEAN menekankan kembali komitmen untuk memajukan dan melindungi HAM dan kebebasan dasar yang sejalan dengan Deklarasi HAM ASEAN (AHRD) dan Pernyataan Phnom Penh tentang Adopsi AHRD dan juga instrumen internasional tentang HAM yag diikuti negara-negara anggota ASEAN.

Padahal, berbagai pihak, termasuk dari Komisi Antarpemerintahan ASEAN untuk HAM (AICHR) dan Parlemen ASEAN untuk HAM(APHR), telah menyampaikan seruan kepada para pemimpin ASEAN agar dapat menghasilkan pernyataan yang kuat agar ASEAN dapat segera bertindak mengatasi masalah kemanusiaan Rohingya.

Kepala Pusat Studi ASEAN The Habibie Center Ibrahim Almuttaqi menyayangkan para pemimpin ASEAN membatasi diri dengan hanya menghasilkan tiga dokumen hasil, padahal ada isu krisis kemanusiaan Rohingya yang mendesak untuk diatasi di kawasan Asia Tenggara.

Ibrahim berpendapat bahwa ketidakhadiran Aung San Suu-Kyi di KTT ASEAN seharusnya dapat dimanfaakan para pemimpin ASEAN lainnya untuk mengeluarkan pernyataan yang lebih kuat terkait penyelesaian krisis kemanusiaan Rohingya.

"Sayangnya, di bawah keketuaan Singapura keinginan kita untuk mendapatkan penyampaian yang jelas tentang perlindungan hak asasi manusia terlalu terpecah-pecah dan pada akhirnya terlewatkan," kata dia.

Sementara itu, dua dokumen lainnya, yakni Pernyataan Pemimpin ASEAN tentang Kerja Sama Kemananan Siber dan ASCN bersifat lebih praktis sebagai panduan bagi kerja sama internal negara-negara anggota di bidang keamanan siber dan pembangunan jaringan kota pintar melalui berbagai program.


Credit  antaranews.com




Ribuan Etnis Kachin Myanmar Mengungsi


Warga etnik Kachin mengantre untuk memberikan suaranya dalam pemilu Myanmar di Kota Kachin, utara Myanmar beberapa waktu lalu.
Warga etnik Kachin mengantre untuk memberikan suaranya dalam pemilu Myanmar di Kota Kachin, utara Myanmar beberapa waktu lalu.
Foto: EPA/Seng Mai 
 
PBB melaporkan sejak awal April, ada sekitar 4.000 warga etnis Kachin yang mengungsi
 
 
CB, YANGON -- Ribuan warga etnis Kachin di Myanmar utara terpaksa meninggalkan kampungnya dan mengungsi. Ini merupakan dampak dari pertempuran terbaru antara Kachin Independent Army (KIA) dengan militer Myanmar.
Pertempuran antara gerilyawan KIA dengan militer Myanmar kembali memanas. Militer Myanmar dilaporkan membombardir basis-basis para gerilyawan dengan serangan udara dan artileri. Hal ini menyebabkan warga sipil di negara bagian Kachin mengungsi.
PBB melaporkan sejak awal April hingga saat ini, terdapat sekitar 4.000 warga etnis Kachin yang telah meninggalkan rumahnya dan mengungsi. Selain itu, muncul pula kekhawatiran tentang terperangkapnya warga sipil di daerah-daerah yang berkecamuk dekat perbatasan Cina. Hal ini menjadi perhatian PBB.
"Perhatian terbesar kami adalah keselamatan warga sipil, termasuk wanita hamil, orang tua, anak-anak, dan orang-orang difabel. Kami harus memastikan orang-orang ini dilindungi," ujar Kepala Kantor PBB untuk Koordinasi Urusan Kemanusiaan (OCHA), dikutip laman BBC, Sabtu (28/4).
Etnis Kachin, yang mayoritas beragama Kristen, telah berjuang untuk mendapatkan otonomi yang lebih besar di Myanmar sejak 1961. Militer Myanmar sendiri sempat menyepakati gencatan senjata dengan KIO. Namun kesepakatan tersebut hancur pada 2011. Pertempuran yang sempat mereda selama 17 tahun akhirnya meletup kembali.
Pada Rabu (25/4), sebanyak 32 kelompok masyarakat sipil Kachin di Myanmar dan luar negeri membuat sebuah surat bersama dan dikirim ke Dewan Keamanan PBB. Mereka mendesak Dewan Keamanan agar mengambil tindakan terhadap militer Myanmar yang dianggap berupaya melenyapkan identitas mereka.
Di surat tersebut dijelaskan bahwa masyarakat Kachin telah mengalami berbagai pelanggaran hak asasi manusia, mencakup pemindahan paksa, pemerkosaan, penangkapan serta penahanan sewenang-wenang, dan eksekusi. Hal ini telah berlangsung selama konflik bersenjata berlangsung di Kachin.
"Jenis-jenis pelanggaran hak asasi manusia ini bukan hal baru bagi masyarakat Kachin atau kelompok etnis lain di Myanmar," kata kelompok masyarakat Kachin dalam suratnya.
"Militer Myanmar telah menggunakan taktik ini untuk menanamkan rasa takut dan kontrol dalam upayanya menghancurkan identitas etnis kita, menghancurkan agama kita, menjajah tanah kita, dan mencuri sumber daya alam kita," kata kelompok tersebut menambahkan.
Kelompok masyarakat sipil Kachin mendesak PBB agar segera menyeret Myanmar ke Pengadilan Pidana Internasional. Sebab mereka menilai Pemerintah Myanmar telah gagal melindungi komunitas etnis minoritas dari ancaman dan serangan militernya.



Credit  republika.co.id




AS Kemungkinan akan Keluar dari Kesepakatan Nuklir Iran


Menteri Luar Negeri Amerika Serika Mike Pompeo.
Menteri Luar Negeri Amerika Serika Mike Pompeo.
Foto: AP Photo/Manuel Balce Ceneta 
 
AS menilai tidak ada perbaikan substansial pada Kesepakatan Nuklir Iran.
 
 
CB, BRUSSELS -- Menteri Luar Negeri Amerika Serikat (AS), Mike Pompeo menyatakan, Presiden Donald Trump belum membuat keputusan terkait apakah AS akan keluar dari Kesepakatan Nuklir Iran. Namun, Trump tidak akan mempertahankan kesepakatan tersebut kecuali bila ada perubahan yang signifikan di dalamnya.
"Tidak ada perbaikan yang substansial. Tidak ada yang mengatasi kekurangan dari kesepakatan itu, dia (Trump) sepertinya tidak akan tetap berada dalam kesepakatan itu setelah bulan Mei nanti," kata dia seperti dilansir Anadolu Agency, Sabtu (28/4).
Trump menganggap kesepakatan nuklir Iran 2015 itu "gila" dan menjadi kesepakatan terburuk yang pernah dibuat. Dia juga memberikan ancaman bahwa AS akan menarik diri dari kesepakatan tersebut.
Trump menuturkan akan tetap dalam kesepakatan itu bila Washington dan sekutu Eropanya menyinggung sisi kesepakatan yang tidak terkait dengan perjanjian aslinya meliputi kegiatan regional Iran dan program rudal balistiknya.
Trump memiliki tenggat waktu sampai 12 Mei nanti untuk memutuskan apakah dia akan terus memperpanjang sanksi terhadap Iran. Beberapa negara, seperti Inggris, Prancis, Jerman, Uni Eropa, Cina, dan Rusia melihat kesepakatan itu sebagai cara terbaik untuk mencegah Iran memperoleh senjata nuklir. Iran pun dengan tegas membantah programnya dimaksudkan untuk mengembangkan senjata nuklir.
Trump mengkritik kesepakatan nuklir 2015 yang secara efektif mencabut beberapa sanksi Barat terhadap Iran sebagai imbalan atas pembatasan program nuklirnya. Meski begitu, Inggris dan sekutu Eropanya, Perancis dan Jerman berpendapat bahwa apa yang disebut Rencana Aksi Bersama Komprehensif sedang berlangsung dan mencari cara untuk mengatasi kekhawatiran Trump tentang aktivitas Iran yang lebih luas tanpa keluar dari kesepakatan nuklir.
Berdasarkan usulan Presiden Prancis, Emmanuel Macron, AS dan Eropa akan setuju memblokir kegiatan nuklir Iran hingga 2025 dan seterusnya, untuk mengatasi program peluru kendali balistik Iran dan menghasilkan persyaratan untuk penyelesaian politik demi mengekang Iran di Yaman, Suriah, Irak dan Lebanon.







Credit  republika.co.id






Hamas Salahkan Pemerintahan Abbas Atas Upaya Pembunuhan PM Palestina


Hamas Salahkan Pemerintahan Abbas Atas Upaya Pembunuhan PM Palestina
PM Palestina Rami Hamdallah lolos dari upaya pembunuhan pada 13 Maret lalu. Foto/Istimewa

GAZA - Kelompok Hamas yang berkuasa di Gaza menyalahkan pejabat Otoritas Palestina atas percobaan pembunuhan Perdana Menteri Palestina Rami Hamdallah pada 13 Maret lalu.

Melempar tuduhan atas serangan bom pinggir jalan yang dilewati konvoi Hamdallah tampaknya akan memperdalam perpecahan politik antara kelompok Hamas dan Presiden Palestina Mahmoud Abbas yang didukung Barat.

Abbas menyalahkan serangan itu kepada Hamas sesaat setelah insiden di Gaza, di mana Hamdallah, yang telah memelopori upaya Otoritas untuk berdamai dengan Hamas, tidak terluka.

Namun Eyad al-Bozom, juru bicara kementerian dalam negeri Hamas di Gaza, mengatakan pada konferensi pers hari Sabtu bahwa tiga perwira senior Otoritas Palestina yang bermarkas di Tepi Barat telah mendalangi ledakan itu.

Al-Bozom mengatakan bahwa para pejabat Otoritas Palestina yang dicurigai juga berada di belakang upaya untuk membunuh kepala keamanan Hamas Tawfeeq Abu Naeem pada bulan Oktober di Gaza.

Tiga orang yang diidentifikasi oleh Hamas sebagai tersangka yang terlibat dalam pemboman itu tewas dalam baku tembak dengan pasukannya di Gaza pada 22 Maret.

Kementerian Dalam Negeri Gaza mempresentasikan video pengakuan oleh empat orang yang ditahan, yang dikatakan merupakan bagian dari sel yang diarahkan oleh petugas Otoritas Palestina, yang berbasis di Tepi Barat. Namun Hamas tidak memberikan bukti lebih lanjut.

Khalil al-Hayya, wakil kepala Hamas di Gaza, mengatakan pada konferensi pers terpisah bahwa para tersangka ingin membunuh rekonsiliasi.

Tudingan Hamas itu pun di bantah oleh Otoritas Palestina. Seorang juru bicara untuk layanan keamanan Otoritas menyalahkan Hamas atas ledakan 13 Maret.

"Semakin banyak Hamas mencoba untuk menghindari tanggung jawab, semakin tenggelam," kata Adnan al-Dmairi seperti dikutip dari Reuters, Minggu (29/4/2018).

Upaya pembunuhan itu telah menggagalkan upaya untuk mengakhiri perbedaan yang mendalam antara dua faksi utama Palestina; Hamas, yang mendominasi Gaza, dan Fatah yang dipimpin oleh Abbas, kekuatan utama dalam Otoritas Palestina di Tepi Barat yang diduduki Israel.




Credit  sindonews.com




Menhan Israel: Kami Tidak Ingin Perang di Gaza dan Lebanon


Menhan Israel: Kami Tidak Ingin Perang di Gaza dan Lebanon
Menteri Pertahanan Israel Avigdor Lieberman. Foto/Istimewa

WASHINGTON - Menteri Pertahanan (Menhan) Israel Avigdor Lieberman mengatakan bahwa Israel tidak ingin bertempur di Gaza atau Lebanon lagi, juga tidak akan terlibat dalam perang Suriah. Ia menekankan bahwa ini adalah pendekatan Israel pada saat ini.

Namun, Lieberman memperingatkan bahwa negaranya tidak akan mengizinkan Iran memperoleh senjata nuklir atau membangun pangkalan militer di Suriah yang akan mengancam stabilitas Israel.

Berbicara selama seminar politik tentang situasi regional di Timur Tengah yang diselenggarakan oleh Institut Washington untuk Kebijakan Timur Dekat, Lieberman mengatakan bahwa Israel mencari solusi komprehensif dengan dunia Arab untuk menyelesaikan masalah Palestina.

Dia menekankan, di sisi lain, bahwa tidak ada perdamaian, dan tidak ada proses perdamaian. Lieberman ingin menunjukkan bahwa konflik sesungguhnya bukan antara Israel dan Palestina, tetapi antara Israel dan dunia Arab.

“Orang-orang Palestina tidak memiliki kemampuan untuk menandatangani perjanjian saja. Tidak ada Otoritas Palestina saat ini, tetapi faksi yang berbeda di lapangan di tempat yang berbeda,” katanya seperti dikutip dari Asharq Al-Awsat, Minggu (29/4/2018).

Lieberman melanjutkan dengan mengatakan bahwa perdamaian di Timur Tengah tidak realistis, tetapi ilusi. "Masalah terbesar di Timur Tengah bukan Israel, tetapi masyarakat Arabnya," cetusnya.

Lieberman menekankan bahwa negaranya tidak ingin berperang di Gaza atau Lebanon, atau terlibat dalam perang Suriah, tetapi ingin hidup dalam damai. Ia menambahkan bahwa tujuan Israel pada saat ini adalah untuk mengembangkan keamanan, ekonomi dan masyarakat.

Mengenai masalah Iran, Lieberman mengatakan bahwa Israel tidak akan mengizinkan Teheran dan rezim Iran untuk memiliki senjata nuklir. Israel juga tidak mengizinkan Iran membangun pangkalan militer atau pesawat tempur di Suriah yang mengancam keamanan Israel.

Ia berharap bahwa Iran memiliki intelijen yang diperlukan untuk tidak memprovokasi Israel dan menciptakan konflik baru.

"Kami tidak punya ambisi untuk menyakiti Iran," tukasnya.




Credit  sindonews.com






Israel Tegaskan Larang Iran Dirikan Pos Militer di Suriah


Mantan Menlu Israel Avigdor Lieberman.
Mantan Menlu Israel Avigdor Lieberman.
Foto: Reuters 
 
Israel tidak ingin terlibat dalam persoalan krisis Suriah.
 
 
CB, WASHINGTON -- Menteri Pertahanan Israel, Avigdor Lieberman menegaskan kembali pihaknya tidak akan mengizinkan Iran mendirikan pos militer di Suriah karena akan mengancam negaranya. Ia juga mengatakan Israel tidak ingin terlibat dalam persoalan krisis Suriah.
"Apa masalah kita, dan apa yang kami tidak izinkan bagi Iran aalah mendirikan pos militer di Suriah untuk melawan Israel," kata dia seperti dilansir Anadolu Agency, Ahad (29/4).
Markas militer yang dimaksud seperti pusat angkatan laut, atau beberapa pangkalan untuk melakukan operasi darat. Semua jenis pangkalan militer, tidak diizinkan oleh Israel untuk didirikan di Suriah.
"Saya kira ini menjadi posisi kami yang sudah dijelaskan kepada semua orang di dunia, kami punya kemauan politik dan tekad untuk melindungi diri kami sendiri," ucap dia.
Bila pangkalan militer Iran di Suriah menjadi ancaman bagi Israel, kata Lieberman, pihaknya tidak akan segan-segan menghancurkannya. Ia juga menegaskan bahwa Israel sama sekali tidak ingin berperang dengan Iran.
"Namun jika Iran menyerang Tel Aviv, Israel juga akan menghantam Teheran," ujarnya. Menurut Lieberman, tentu Iran sudah cukup pintar untuk tidak memprovokasi Israel dan memincu konflik baru.
Lieberman mengungkapkan, sejauh ini Iran telah menghabiskan dana sebesar 13 miliar dolar AS untuk kepentingan pengaruhnya di Suriah. "Iran menyalurkan dana sebesar 2 miliar dolar AS kepada Hizbullah Lebanon, Hamas, Gerakan Jihad Islam, dan kelompok teror lainnya setiap tahun," papar dia.
Sebelumnya, Lieberman juga mengancam akan menyerang sistem pertahanan anti-pesawat Rusia di Suriah. "Yang terpenting, sistem pertahanan yang dipasok Rusia ke Suriah tidak digunakan untuk melawan kami. Satu hal yang harus jelas, jika seseorang menembak ke pesawat kami, kami akan menghancurkannya," ungkap Lieberman.



Credit  republika.co.id



Hamas: Israel Sedang Kalut Hadapi Demonstran Palestina


[ilustrasi] Warga Palestina berlarian saat tentara Israel menembak dengan gas air mata di Jalur Gaza, Selasa (3/4).
[ilustrasi] Warga Palestina berlarian saat tentara Israel menembak dengan gas air mata di Jalur Gaza, Selasa (3/4).
Foto: AP Photo/Adel Hana 
 
Serangan Israel terjadi pada Sabtu (28/4) waktu setempat.
 
 
CB, GAZA -- Kelompok Hamas Palestina menyalahkan Israel atas serangan pesawat tempur dari pasukan militer Israel terhadap beberapa target militer Hamas dan dua kapal milik polisi maritim di Gaza. Serangan Israel ini terjadi pada Sabtu (28/4) waktu setempat.
Juru Bicara Hamas, Fawzi Barhoum mengatakan, serangan Israel tersebut terjadi mulai dari Jumat (27/4) malam. Menurutnya, itu juga mencerminkan militer Israel sedang kalut dalam menghadapi aksi demonstrasi yang terjadi saat ini.
"Pemboman Israel mencerminkan kebingungan di pihak Israel atas kegagalannya menghadapi aksi-aksi demonstrasi yang menentang pendudukan Israel di Palestina," kata dia seperti dilansir Anadolu Agency, Sabtu (28/4).
Barhoum melanjutkan, Hamas akan terus melancarkan berbagai upaya untuk mencapai tujuannya. Adanya serangan Israel, tidak akan melunturkan semangat para demonstran.
"Orang-orang kami akan terus berlanjut sampai tujuannya tercapai. Eskalasi musuh tidak akan membuat apa pun selain membuat demonstran lebih kuat," katanya.

Di sisi lain, militer Israel dalam sebuah keterangannya menyatakan serangan dengan pesawat tempur itu merupakan respons dari adanya upaya penyusupan dari pihak Palestina. Ketegangan di sepanjang perbatasan Gaza makin meningkat seiring adanya aksi-aksi demonstrasi yang menentang pendudukan Israel.
Aksi-aksi tersebut juga menuntut kembalinya para pengungsi ke rumah-rumah mereka di Palestina. Sedikitnya 46 orang Palestina telah tewas dan ratusan lainnya terluka oleh tembakan Israel sejak aksi unjuk rasa dimulai pada akhir Maret lalu.
Unjuk rasa itu merupakan bagian dari protes selama enam pekan yang akan mencapai puncaknya pada 15 Mei mendatang. Hari itu akan menandai ulang tahun ke-70 pendirian Israel, sebuah acara yang oleh orang Palestina disebut sebagai "Nakba" atau "Malapetaka".




Credit  republika.co.id



Ribuan Pengungsi Palestina Lari dari Camp Suriah


Seorang warga Suriah melintas di sebuah mobil yang hancur usai pertempuran antara oposisi dan militer Suriah di kawasan kamp pengungsian Palestina di Yarmuk, Suriah.

Seorang warga Suriah melintas di sebuah mobil yang hancur usai pertempuran antara oposisi dan militer Suriah di kawasan kamp pengungsian Palestina di Yarmuk, Suriah.
Foto: Abbas Kecam Serangan Suriah ke Kamp Pengungsi Palestina, Yarmouk 
 
Pengungsi Palestina melarikan diri setelah operasi militer meningkat di Suriah.
 
 
CB, DAMASKUS -- Sebanyak 3.500 warga Palestina diperkirakan telah melarikan diri dari camp pengungsian Yarmouk di Suriah. Menurut UNRWA, mereka melarikan diri setelah Pemerintah Suriah meningkatkan operasi militernya di wilayah Damaskus selatan.
Yarmouk telah dikepung oleh Pemerintah Suriah dan kelompok oposisi sejak 2013. Kamp itu pernah menjadi rumah bagi hampir 200 ribu orang pengungsi, di antaranya pengungsi dari Palestina, Suriah, dan negara lain.
"Tokoh-tokoh kejam itu menceritakan kisah tragis mereka sendiri, tentang penghancuran pengungsi yang dulu berkembang, sekarang menderita," kata Chris Gunness, juru bicara UNRWA, badan PBB yang bertanggung jawab atas pengungsi Palestina, kepada Aljazirah.
"Banyak yang tidur di jalanan dan memohon untuk mendapatkan obat. Hampir tidak ada air atau listrik. Penderitaan mereka tidak terbayangkan," kata Gunness.
Pada 19 April lalu, Pemerintah Suriah dan kelompok-kelompok bersenjata yang menjadi sekutunya, termasuk beberapa faksi Palestina, meluncurkan serangan militer yang menargetkan Yarmouk dan daerah-daerah sekitarnya untuk menghancurkan militan. Para militan yang ada di Yarmouk adalah ISIS dan Hay'et Tahrir al-Sham (HTS), yang sebelumnya dikenal sebagai Jabhat al-Nusra.
Pemerintah Suriah dituduh melakukan serangan udara yang intens dengan menggunakan bom barel, rudal, dan granat. Hingga Jumat (27/4), sedikitnya 31 orang telah tewas selama satu pekan, menurut Action Group for Palestinians of Syria yang berbasis di Inggris.
Di dalam kamp Yarmouk saat ini tidak ada rumah sakit atau fasilitas medis yang beroperasi. Dilaporkan 60 persen dari Yarmouk telah dihancurkan. "Kami menyerukan pada semua pihak dalam konflik ini untuk mengambil langkah-langkah guna menyelamatkan warga sipil dan infrastruktur sipil," kata Gunness.
"Dan kami meminta warga sipil yang terluka dan sakit untuk pergi ke tempat yang aman. Kami juga sangat membutuhkan bantuan kemanusiaan untuk didistribusikan," ujarnya.
Gunness mengatakan, kelompok-kelompok bersenjata dan pasukan pemerintah harus menghormati hukum internasional setiap saat. Sebelum perang di Suriah pecah pada Maret 2011, sekitar 560 ribu pengungsi Palestina telah tinggal di kamp-kamp di seluruh Suriah. "Dengan adanya pertempuran babak terbaru, jumlah pengungsi Palestina yang tersisa di kamp Yarmouk bisa jadi hanya tinggal beberapa ratus," ujar Gunness.
Dalam laporan bersama yang diterbitkan pekan lalu, Action Group for Palestinians of Syria mengatakan kamp Yarmouk telah ditargetkan dengan dua serangan udara setiap 90 detik selama pertempuran berlangsung. Pada Jumat (27/4), media pemerintah Suriah SANA mengatakan operasi itu bertujuan untuk menghancurkan teroris di Yarmouk dan daerah sekitarnya, termasuk al-Hajar al-Aswad dan Yelda.
Yarmouk bukan satu-satunya kamp pengungsi Palestina yang menderita kekerasan selama perang. Awal bulan ini, bentrokan antara pasukan Pemerintah Suriah dan kelompok-kelompok oposisi bersenjata juga menyebabkan banyak korban jatuh di kamp Deraa.
Penduduk kamp tersebut selain menjadi korban bentrokan, juga menderita kekurangan layanan kemanusiaan dasar dan mendapatkan pemotongan pasokan air secara berkala hingga 1.475 hari.





Credit  republika.co.id


PM Rusia Dukung Kriminalisasi Entitas yang Patuhi Sanksi AS



PM Rusia Dukung Kriminalisasi Entitas yang Patuhi Sanksi AS
Perdana Menteri Rusia Dmitry Medvedev. Foto/Istimewa

MOSKOW - Perdana Menteri Rusia Dmitry Medvedev mendukung gagasan mengkriminalisasi warga atau entitas Rusia yang mematuhi sanksi yang dijatuhkan Amerika Serikat (AS). Hal itu dikatakan Medvedev dalam sebuah wawancara dengan stasiun televisi Rusia.

Washington memberlakukan sanksi terhadap beberapa perusahaan dan pengusaha terbesar Rusia pada tanggal 6 April. Sanksi yang menyerang sekutu Presiden Vladimir Putin itu untuk menghukum Moskow karena dugaan ikut campur dalam pemilihan presiden AS 2016 dan kegiatan lain yang disebut jahat.

Ditanya tentang proposal yang disusun oleh majelis rendah parlemen Rusia untuk mengkriminalisasi mereka yang mematuhi sanksi AS, Medvedev mengatakan sanksi itu ditujukan untuk menghancurkan sistem sosio-politik Rusia dan merugikan ekonomi dan individu.

“Jika memang demikian, maka penerapan sanksi ini oleh warga negara kita harus menjadi suatu pelanggaran. Tidak ada yang mempunyai hak untuk menaati sanksi Amerika ini karena takut harus mengambil tanggung jawab administratif atau pidana,” katanya seperti dilansir dari Reuters, Minggu (29/4/2018).

Medvedev juga mengatakan bahwa pemerintah harus mendukung perusahaan-perusahaan Rusia yang dijatuhi sanksi untuk memastikan bahwa pekerjaan mereka tidak hilang.

Berbicara tentang masalah lain, dia mengatakan bahwa Rusia berada di ambang pembuatan keputusan untuk menaikkan usia pensiun.

Mengomentari rencananya sendiri untuk masa depan, ia mengatakan ingin terus bekerja dalam peran yang membawa manfaat maksimal bagi negaranya.



Credit  sindonews.com





Rusia Sebut AS Ingin Membagi Suriah


Rusia Sebut AS Ingin Membagi Suriah
Menteri Luar Negeri Rusia, Sergei Lavrov. Foto/Istimewa

MOSKOW - Menteri Luar Negeri Rusia, Sergei Lavrov mengatakan, Amerika Serikat (AS) berusaha untuk membagi Suriah. Ia juga menyebut serangan rudal AS dan sekutunya baru-baru ini memperburuk situasi.

"Pernyataan AS tentang mendukung integritas teritorial Suriah hanyalah kata-kata yang, tampaknya, mencakup rencana untuk memformat Timur Tengah dan rencana untuk membagi Suriah menjadi beberapa bagian," ujar Lavrov seperti dikutip dari ABC News, Sabtu (28/4/2018).

Hal itu diungkapkan Lavrov selama pertemuan dengan Menteri Luar Negeri Iran Mohammad Javad Zarif dan Menteri Luar Negeri Turki, Mevlut Cavusoglu. Rusia, Iran, dan Turki adalah negara penjamin dalam apa yang disebut "proses Astana" yang bertujuan mengakhiri perang di Suriah.

Ketiganya sepakat untuk mengintensifkan upaya untuk menyediakan bantuan kemanusiaan di Suriah.

"Kami akan memastikan bahwa bantuan ini diberikan dengan cara yang paling efektif. Kami akan bekerja sama dengan pemerintah, oposisi dan tentu saja dengan rekan-rekan kami di PBB, Palang Merah Internasional, Bulan Sabit Merah Suriah dan organisasi internasional lainnya," tutur Lavrov.

Kelompok bantuan internasional berulang kali menuduh pemerintah Suriah, yang bersekutu dengan Rusia dan Iran, mencegah pengiriman bantuan ke daerah-daerah yang dikepung dan dikuasai pemberontak.

Lavrov juga mengulangi pernyataan Rusia bahwa dugaan serangan senjata kimia di kota Douma awal bulan ini adalah "dalih yang dibuat-buat" untuk serangan rudal oleh AS, Inggris dan Prancis.

Para menteri ketiga negara mengeluarkan pernyataan bersama yang mengutuk serangan kimia dan mengatakan setiap laporan tentang penggunaannya harus diselidiki secara cepat dan profesional oleh Organisasi untuk Larangan Senjata Kimia. Tim OPCW sendiri berulang kali tertunda dalam upaya untuk mencapai Douma guna menyelidiki dugaan serangan yang dilaporkan.

Sementara itu, Cavusoglu mengkritik AS karena mendukung milisi utama Kurdi Suriah, yang memainkan peran kunci dalam menggulingkan kelompok ISIS dan sekarang menguasai sebagian besar Suriah utara dan timur. Turki memandang pejuang Kurdi sebagai perpanjangan tangan dari pemberontak Kurdi yang mengamuk di tenggara negara itu.

"Hari ini, AS mendukung organisasi teroris, dan ini harus dihentikan," kata Cavusoglu.



Credit  sindonews.com




Kim Jong-un Undang Pejabat dan Wartawan ke Tempat Uji Nuklir


Kim Jong-un Undang Pejabat dan Wartawan ke Tempat Uji Nuklir 
Pemimpin tertinggi Korea Utara, Kim Jong-un saat melakukan lawatan ke China. (KCNA/via Reuters)
 
Jakarta, CB -- Pemimpin tertinggi Korea Utara Kim Jong-un berjanji mengundang pejabat terkait dan wartawan di Amerika Serikat untuk melihat lebih dekat tempat ujicoba nuklir di negaranya, seperti yang dikatakan oleh juru bicara pemerintahan Korea Selatan pada Minggu (29/4)

"Kim mengatakan bahwa ia akan segera menutup tempat ujicoba nuklir pada Mei, sehingga ia mengundang pihak terkait dari Korea Selatan dan AS untuk menjadi saksi mata terkait transparasi yang akan dilakukan," kata Yoon Young-chan.


Hal tersebut, lanjut dikatakan Yoon, disebut Kim dalam pertemuannya dengan Presiden Korsel Moon Jae-in pada Jumat (27/4).


Mengenai pertemuan bersejarah tersebut, pejabat intelijen Korsel Suh-hoon tak kuasa menahan air matanya setelah Kim dan Presiden Korsel, Moon Jae-in mengumumkan kesepakatan bersejarah yang bakal mengakhiri Perang Korea, Deklarasi Panmunjom, Jumat (27/4).

Hasil kerja kerasnya selama dua dekade telah berbuah nyata. Setidaknya untuk langkah pertama.

Hampir 18 tahun lalu Suh Hoon melakukan perjalanan ke Pyongyang untuk pertama kalinya.

Kala itu, misinya adalah membujuk Kim Jong-il pemimpin Korut kala itu agar mau bertemu Presiden Kim Dae-jung.

Ayah Kim Jong-un itu akhirnya setuju, Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Inter-Korea untuk pertama kalinya sejak Perang Korea itu pun digelar di Pyongyang, 13 Juni 15 Juni 2000.

Kini, dia menyaksikan putra Kim Jong-il, menjanjikan perdamaian di Semenanjung Korea. Pertemuan Kim dan Moon di Desa Gencatan Senjata atau Desa Perdamaian, Pamunjom menggoreskan sejarah lainnya.

Untuk pertama kalinya, pemimpin Korea Utara menginjakkan kaki di Korsel, sejak Perang Korea yang membelah wilayah itu dan membiarkannya dalam kondisi konflik selama lebih dari 70 tahun terakhir.

Bahkan, Kim pun berkomentar, "ternyata mudah ya, mengapa perlu waktu 11 tahun untuk melakukannya.' lalu mengajak Moon melakukan hal yang sama, menjejakkan kaki pertama kali di tanah Korea Utara.



Credit  cnnindonesia.com







Mengenal sutradara di belakang pertemuan dua Korea


Mengenal sutradara di belakang pertemuan dua Korea
Presiden Korea Selatan dan pemimpin Korea Utara Kim Jong Un berjalan bersama di desa gencatan senjata Panmunjom di dalam zona demiliterisasi yang memisahkan dua Korea, Korea Selatan, Jumat (27/4/2018). (Korea Summit Press Pool/Pool via Reuters)



Seoul (CB) - Air mata menetas dari seorang pria ketika Presiden Korea Selatan Moon Jae-in dan Pemimpin Korea Utara Kim Jong Un mengumumkan perjanjian bersejarah Jumat ini. Pria ini adalah orang selama dua puluh tahun tanpa lelah mengupayakan dialog antara dua negara bersaudara tapi bermusuhan itu.

Hampir 18 tahun setelah Suh Hoon, seorang pejabat intelijen Korea Selatan, mengunjungi Pyongyang untuk membujuk pemimpin Korea Utara saat itu Kim Jong Il untuk menghadairi KTT pertama yang tak pernah terjadi sebelumnya di ibu kota Korea Utara pada 2000, dia menyaksikan putra Kim mengikrarkan janji perdamaian di Semenanjung Korea, Jumat, yang kali ini disampaikan di sebelah selatan daerah  perbatasan yang dijaga ketat militer.

Jumat itu adalah pertama kalinya seorang pemimpin Korea Utara menginjakkan kaki di bumi Korea Selatan sejak Perang Korea 1950-1953 yang telah membagi Korea menjadi dua negara yang secara teknis masih berstatus perang.

Tonggak bersejarah itu terjadi sejak kurang dari satu tahun setelah Presiden Korea Selatan Moon yang liberal mulai berkuasa dan langsung memilih Suh sebagai kepala Dinas Intelijen Nasional dengan alasan orang ini adalah orang yang tepat untuk menghidupkan lagi hubungan dua Korea yang menegang akibat ambisi peluru kendali nuklir Korea Utara.

"Adalah terlalu prematur membahas pertemuan antar Korea berikutnya," kata Suh kepada wartawan tahun lalu setelah ditunjuk sebagai kepala intelijen negaranya. Dia sudah mundur dari badan intelijen itu pada 2008 ketika pemerintahan konservatif yang berkuasa di Korsela. "Tapi kita membutuhkan pertemuan itu."

Suh, yang secara pribadi membantu pertemuan dua pemimpin Korea sebelumnya pada 2000 dan 2007, dianggap sebagai pakar utama Korea Utara.  Dia dikenal sebagai orang Korea Selatan yang paling seri bertemu dengan mendiang pemimpin Korea Utara Kim Jong Il.

Lee Jong-seok, mantan menteri unfikasi yang mengunjungi Pyongyang bersama Suh pada 2003 sebagai utusan khusus presiden Korsel saat itu Roh Moo-hyun, menyebut Suh the "Negosiator Nomor Satu dengan Korea Utara" dalam memoarnya pada 2014.

Suh (64) yang pernah tinggal di Korea Utara selama dua tahun pada akhir 1990-an, terlibat dalam rencana membangun reaktor nuklir sebagai bagian dari kesepakatan internasional 1994 guna membekukan program nuklir Pyongyang. Kesepakatan itu akhirnya ambruk.


"Dia datang dengan sudah terlebih dahulu tahu bagaimana negosiasi bekerja dan apa yang harus dilakukan, dan Moon memberi dia tuntunan politik yang tegas," kata John Delury, pakar Korea Utara pada Universitas Yonsei di Seoul.

Istana Kepresidenan Korsel menolak mengomentari peran Suh ini, sedangkan dinas intelijen tidak bisa dihubungi untuk dimintai komentar soal Suh.

Pada Maret, dia menjadi bagian dari delegasi beranggotan 10 orang yang mengunjungi Kim Jong Un di Pyongyang, sehingga menjadi salah seorang dari para pejabat Korea Selaran yang bertemu Kim sejak berkuasa akhir 2011 menyusul kematian ayahandanya.

Pada pertemuan itu, Kim tidak hanya setuju bertemu dengan Moon namun juga mengagetkan Suh dan anggota delegasi Korea Selatan lainnya bahwa dia bersedia membahas denuklirisasi dengan Presiden AS Donald Trump. Pernyataan ini menjadi pengawal untuk rencana mempertemukan kedua pemimpin dua negara yang tidak pernah terjadi sebelumnya yang kemungkinan diadakan pada akhir Mei atau awal Juni nanti.

Suh kemudian yang mengatur lawatan bos intelijen Amerika Serikat Mike Pompeo ke Pyongyang guna bertemu dengan Kim Jong Un dari 31 Maret sampai 2 April, dan membentangkan kerangka kerja untuk rencana KTT AS dan Korea Utara, kata pejabat AS.

Pompeo, yang kini menteri luar negeri AS, telah menciptakan hubungan yang baik dengan Koim dan pertemuan mereka berjalan sangat lembut, kata Trump.

"Saya kira jejaring kemanusiaan terlibat sangat dalam dalam menyelenggarakan pertemuan-pertemuan ini," kata Moon Hong-sik, peneliti pada Institut Strategi Keamanan Nasional di Seoul.

Moon menegaskan bahwa Suh tidak hanya berbungan dengan Pompeo, namun juga dengan Kim Yong Chol yang mantan kepala dinas intelijen  Korea Utara dan sekarang mengetua hubungan antar-Korea.

Suh adalah salah satu dari dua pejabat yang dipilih Moon untuk ikut berdialog dengan Kim Jong Un yang saat itu ditemani adiknya Kim Yo Jong dan Kim Yong Chol.

Seo Yu-suk, peneliti pada Institut Studi Korea Utara di Seoul punya kalimat penting untuk Suh bahwa tokoh utama intelijen Korea Utara menjadi tergambar sangat jelas dalam pertemuan itu sebagai aktor yang ounya peran sangat penting dalam pertemuan dua Korea, demikian Reuters.



Credit  antaranews.com




Misi Berhasil, Kepala Intelijen Korsel pun Menangis



Misi Berhasil, Kepala Intelijen Korsel pun Menangis 
Suh-hoon mengusap air matanya saat Deklarasi Panmunjom disepakati pemimpin Korut Kim Jong-un dan Presiden Korsel Moon Jae-in. Korea Summit Press Pool/Pool via Reuters
 
Jakarta, CB -- Suh-hoon tak kuasa menahan air matanya setelah pemimpin Korea Utara Kim Jong-un dan Presiden Korea Selatan, Moon Jae-in mengumumkan kesepakatan bersejarah yang bakal mengakhiri Perang Korea, Deklarasi Panmunjom, Jumat (27/4). Hasil kerja kerasnya selama dua dekade telah berbuah nyata. Setidaknya untuk langkah pertama.

Hampir 18 tahun lalu Suh Hoon, pejabat intelijen Korsel, melakukan perjalanan ke Pyongyang untuk pertama kalinya. Kala itu, misinya adalah membujuk Kim Jong-il pemimpin Korut kala itu agar mau bertemu Presiden Kim Dae-jung. Ayah Kim Jong-un itu akhirnya setuju, Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Inter-Korea untuk pertama kalinya sejak Perang Korea itu pun digelar di Pyongyang, 13 Juni 15 Juni 2000.

Kini, dia menyaksikan putra Kim Jong-il, menjanjikan perdamaian di Semenanjung Korea. Pertemuan Kim Jong-un dan Moon Jae-in di Desa Gencatan Senjata atau Desa Perdamaian, Pamunjom menggoreskan sejarah lainnya. Untuk pertama kalinya, pemimpin Korea Utara menginjakkan kaki di Korea Selatan, sejak Perang Korea yang membelah wilayah itu dan membiarkannya dalam kondisi konflik selama lebih dari 70 tahun terakhir.


Bahkan, Kim Jong-un pun berkomentar, "ternyata mudah ya, mengapa perlu waktu 11 tahun untuk melakukannya.' lalu mengajak Moon Jae-in melakukan hal yang sama, menjejakkan kaki pertama kali di tanah Korea Utara.

Pertemuan bersejarah antar-Korea itu terjadi kurang dari setahun setelah Moon terpilih dengan platform dan janji kampanye untuk berdamai dengan tetangganya itu. Dia langsung menunjuk Suh sebagai Kepala Badan Intelijen Nasional. Moon, yang juga anak bekas pengungsi Korea Utara, sangat yakin bahwa Suh adalah orang yang paling tepat untuk menghidupkan kembali hubungan kedua Korea. Yang memanas akibat uji coba roket dan rudal serta seruan-seruan permusuhan baik dari Kim Jong-un, maupun Presiden Amerika Serikat Donald Trump.


Cermat dan sangat hati-hati melangkah, Suh pun tak mau gegabah. Kepada awak media seusai kabar pengangkatannya tersiar, Suh menyatakan terlalu dini untuk bicara soal KTT Inter-Korea ketiga. "Tapi kita memerlukannya," kata Suh yang sempat mengundurkan diri dari badan intelijen itu pada 2008.

Suh, yang secara pribadi telah mengatur dua KTT Inter-Korea yakni pada 2000 dan 2007 dianggap sebagai pakar Korea Utara terpenting di Seoul. Dia terkenal sebagai pejabat Korea Selatan yang paling sering bertemu dengan ayah Kim Jong-un, Kim Jong-il.

Lee Jong-seok, mantan menteri unifikasi berkunjung ke Pyongyang bersama Suh pada 2003, sebagai utusan khusus Presiden Roh Moo-hyun, menyebut Suh sebagai 'negosiator nomor satu' soal Korea Utara dalam memoar yang ditulisnya pada 2014.

Suh, 64 tahun, pernah tinggal di Korea Utara selama dua tahun di akhir 1990-an. Dia juga terlibat dalam rencana pembangunan reaktor nuklir sebagai bagian dari kesepakatan internasional padad 1994 untuk membekukan program nuklir Korea Utara. Kesepakatan itu akhirnya gagal.

"Dia sudah tahu apa yang harus dilakukan dan bagaimana melakukannya. Moon memberikan arahan politik yang jelas," kata John Delury, pakar Korea Utara di Yonsei University, Seoul, seperti dilansir Reuters.

Meski Istana Kepresidenan Cheong Wa Dae tidak mau berkomentar soal peran Suh dalam pertemuan bersejarah Kim Jong-un dan Moon Jae-in, demikian pula badan intelijen nasional juga tidak dapat dimintai komentarnya, kiprah Kepala Intelijen Nasional Korsel itu tercatat sejak awal.

Kepala Intelijen Korsel di Balik Layar Pertemuan Kim-Moon 
Foto: Korea Summit Press Pool/Pool via Reuters


Pada Maret lalu, dia ikut dalam delegasi yang menemui Kim Jong-un di Pyongyang. Para pejabat Korea Selatan pertama yang bertemu pemimpin Korea Utara itu sejak dia mewarisi kekuasaan dari sang ayah yang meninggal dunia pada 2011.

Saat itu, Kim Jong-un tak hanya mengiyakan tawaran untuk bertemu Moon Jae-in. Tapi juga membuat keputusan yang mengejutkan Suh dan segenap delegasi Korsel lainnya, yakni siap berdiskusi tentang perlucutan senjata nuklir atau denuklirisasi dengan Presiden AS Donald Trump pada akhir Mei atau awal Juni.

Suh jugalah yang mengatur perjalanan mitranya, Direktur CIA, badan intelijen AS, Mike Pompeo yang kini resmi menjadi Menteri Luar Negeri, untuk bertemu Kim Jong-un pada 31 Maret hingga 2 April. Para pejabat AS menyebut lawatan itu merupakan persiapan dari KTT AS-Korut, pertemuan Trump-Kim Jong-un. Menurut Trump, Pompeo membangun hubungan yang baik dengan Kim, dan pertemuan mereka berlangsung sangat mulus.

Jaringan yang dimiliki Suh diyakini menjadi faktor keberhasilan pertemuan. Moon Hong-sik, peneliti di Institut Strategi Keamanan Nasional di Seoul mencatat bahwa Suh tak hanya berhubungan baik dengan Pompeo, tapi juga dengan Kim Yong Chol, mantan kepala intelijen militer Korea Utara, yang kini memimpin hubungan antar-Korea.

Suh juga dipilih Moon Jae-in untuk bergabung dalam pertemuan pertamanya dengan adik Kim Jong-un, Kim Yo Jong serta Kim Yong Chol. "Keberadaan Suh di sana, sudah berbicara banyak soal peran penting yang dia mainkan di KTT," kata Seo Yu-suk, peneliti di Institut Kajian Korea Utara di Seoul.




Credit  cnnindonesia.com




Trump bahas Semenanjung korea dengan pemimpin Jepang dan Korsel


Trump bahas Semenanjung korea dengan pemimpin Jepang dan Korsel
Presiden Amerika Serikat Donald Trump. (REUTERS/Carlos Barria)


Washington (CB) - Presiden Amerika Serikat Donald Trump berbicara dengan Presiden Korea Selatan Moon Jae-in dan Perdana Menteri Jepang Shinzo menyangkut perkembangan terkini di Semenanjung Korea.

Pertemuan tingkat tinggi Moon dengan pemimpin Korea Utara, Kim Jong-un, Jumat, menghasilkan tekad bersama mewujudkan penghapusan senjata nuklir dan perdamaian abadi di semenanjung itu.

Trump di Twitter mengatakan melakukan "pembicaraan panjang dan sangat baik" dengan Presiden Moon dan bahwa "segala sesuatu berjalan dengan sangat baik".

Waktu dan tempat bagi pertemuannya dengan Kim Jong-un sedang ditentukan, tambah Trump.

Pemimpin AS itu juga mengatakan di Twitter bahwa ia telah memberi tahu Abe lewat telepon soal "perundingan yang sedang berjalan" menyangkut masalah Semenanjung Korea.

Sebelumnya, pada Jumat, Trump mengatakan dalam acara jumpa pers bersama Kanselir Jerman Angela Merkel, yang sedang berkunjung, bahwa ia "memiliki hubungan kerja yang sangat baik" dengan Kim.

"Mereka memperlakukan kita dengan penuh hormat," katanya, "Menurut saya, hal sangat baik akan muncul terkait Korea Utara."

Pertemuan Donald Trump dengan Kim Jong-un diperkirakan berlangsung pada Mei atau awal Juni tahun ini, demikian Xinhua.





Credit  antaranews.com




Korsel Siapkan Roadmap Pertemuan Donald Trump-Kim Jong-un


Korsel Siapkan Roadmap Pertemuan Donald Trump-Kim Jong-un
Presiden Korsel Moon Jae-in dan Pemimpin Korut Kim Jong-un terlibat pembicaraan saat menghadiri jamuan di Peace House, Panmunjom di dalam zona demiliterisasi yang memisahkan kedua Korea. Foto/Istimewa

SEOUL - Pasca melakukan pertemuan antar Korea yang bersejarah, minggu-minggu mendatang akan menjadi waktu yang sibuk bagi para pejabat Korea Selatan (Korsel). Pasalnya, Seoul harus mempersiapkan roadmap untuk pertemuan antara Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump dengan Pemimpin Korea Utara (Korut) Kim Jong-un.

Presiden Korsel, Moon Jae-in, akan bertemu dengan Trump sebelum pertemuan puncaknya dengan Kim Jong-un. Moon Jae-in juga diharapkan bertemu dengan koleganya dari Jepang dan China pada pertemuan puncak trilateral pada awal Mei.

Dikatakan oleh penasihat khusus Presiden Korsel, Moon Chung-in, pejabat Korsel akan terus berkoordinasi erat dengan AS, dan Moon Jae-in akan memberikan rincian pertemuannya dengan Kim Jong-un.

"Moon akan mengumpulkan informasi untuk Trump ketika dia mengunjungi Washington pada pertengahan Mei," katanya seperti dikutip dari Reuters, Minggu (29/4/2018).

"Pemerintah kami telah membuat roadmap yang komprehensif dan kami telah membagikan roadmap itu dengan AS," imbuh penasihat presiden Korsel untuk urusan luar negeri dan keamanan nasional itu.

Trump telah mendapatkan pujian atas kesediannya untuk berbicara dengan Kim Jong-un, dan Moon Jae-in juga memuji kampanye presiden AS itu tentang tekanan maksimum dan sanksi.

Perubahan dari situasi konfrontasi ke sebuah hubungan yang positif tidak terlepas dari dorongan oleh dua pemimpin Korea. Diawali dengan pidato Tahun Baru Jong-un di mana ia mengatakan terbuka untuk mengurangi ketegangan dengan Korsel dan bersedia mengirimkan delegasi ke Olimpiade Musim Dingin.

Pemerintah Korsel pun dengan sigap menjawab sinyal positif itu, memicu kesibukan luar biasa terkait kunjungan diplomatik dan pertukaran lintas batas. Adalah pejabat Korsel yang menyampaikan undangan Jong-un untuk bertemu dengan Trump, dan mereka membantu mengatur perjalanan Direktur CIA Mike Pompeo ke Pyongyang.

Beberapa hari sebelum KTT hari Jumat, Kim Jong-un mengatakan Korut akan menghentikan uji coba nuklir dan rudal jarak jauhnya serta membongkar satu-satunya tempat uji coba nuklir yang diketahui.

"Pergeseran ke dialog dimungkinkan dalam contoh pertama oleh keputusan Korea Utara untuk terlibat dengan Korea Selatan pada awal 2018, dan dari sana, terima kasih atas bagian yang tidak kecil diplomasi cekatan Moon Jae-in," tulis Christopher Green, seorang penasihat senior di International Crisis Group, dalam laporannya.

Dengan keterlibatan besar antar-Korea di Olimpiade dan KTT, kedua negara mengatakan mereka akan memperdalam keterlibatan mereka.

Sebagai bagian dari upaya untuk mengurangi ketegangan, Korut dan Korsel setuju untuk membuka kantor penghubung, menghentikan siaran propaganda dan memungkinkan keluarga yang terpisah akibat perang Korea untuk bertemu.

Moon Jae-in dan Kim Jong-un juga setuju untuk tetap berkomunikasi erat; Moon Jae-in berencana mengunjungi Pyongyang akhir tahun ini.



Credit  sindonews.com






Korut dan Korsel Berdamai, AS Pertimbangkan Tarik Pasukan


Korut dan Korsel Berdamai, AS Pertimbangkan Tarik Pasukan
Menteri Pertahanan atau Kepala Pentagon Amerika Serikat James Norman Mattis. Foto/REUTERS/Mike Blake

WASHINGTON - Pentagon mempertimbangkan penarikan pasukan Amerika Serikat (AS) dari Semenanjung Korea menyusul perdamaian yang disepakati antara Korea Utara (Korut) dan Korea Selatan (Korsel). Hal ini disampaikan Menteri Pertahanan AS James Norman Mattis.

"Ya, itu adalah bagian dari masalah yang akan kami bahas dalam negosiasi dengan sekutu kami terlebih dahulu dan, tentu saja, dengan Korea Utara," kata Mattis dalam sebuah transkrip konferensi pers dengan Menteri Pertahanan Polandia Mariusz Blaszczak di Pentagon, hari Jumat waktu AS, yang dikutip SINDOnews dari situs Pentagon, Sabtu (28/4/2018).

Presiden AS Donald Trump dan pemimpin Korea Utara Kim Jong Un dijadwalkan bertemu pada Mei atau awal Juni 2018 untuk membahas denuklirisasi semenanjung Korea. Kedua pemimpin yang sebelumnya saling ancam ini akan bernegosiasi untuk menutup program nuklir Korea Utara secara permanen.

Amerika Serikat telah terlibat dalam kampanye tekanan maksimum terhadap Korea Utara dan memimpin masyarakat internasional untuk memberlakukan beberapa putaran sanksi atas program senjata nuklir dan rudal balistik Pyongyang.

Sebelumnya pada hari Jumat, Kim dan Presiden Korea Selatan Moon Jae-in mengadakan pertemuan puncak di Zona Demiliterisasi, di mana mereka menandatangani Deklarasi Panmunjom untuk Perdamaian, Kemakmuran dan Penyatuan di Semenanjung Korea.

Dokumen itu mengikat kedua negara untuk mewujudkan semenanjung Korea bebas nuklir. Keduanya juga berbicara untuk mengakhiri secara resmi Perang Korea.

Situasi di semenanjung Korea sempat memanas dalam dua tahun terakhir karena rentetan uji coba rudal balistik dan senjata nuklir Korea Utara. Tindakan rezim Kim Jong-un itu juga memicu ketegangan dengan Washington, sebagai sekutu pelindung Seoul.



Credit  sindonews.com




Menlu baru AS kunjungi Saudi


Menlu baru AS kunjungi Saudi
Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Mike Pompeo. (cia.gov)


Riyadh (CB) - Menteri luar negeri Amerika Serikat yang baru dikukuhkan, Mike Pompeo, tiba di Riyadh, Sabtu petang waktu setempat, untuk melakukan kunjungan resmi, kata Kantor Berita Saudi.

Menlu AS itu disambut mitranya dari Arab Saudi, Adel bin Ahmed al-Jubeir, saat tiba di bandar udara internasional Raja Khalid.

"Arab Saudi memainkan peran kepemimpinan penting dalam mewujudkan masa depan damai dan sejahtera bagi kawasan itu. Kemitraan kuat AS dengan Saudi dalam upaya itu adalah hal sangat penting," kata Heather Nauert, juru bicara Departemen Luar Negeri Amerika Serikat, melalui Twitter, Sabtu.

Kedua negara itu bekerja sama dalam berbagai bidang, termasuk perdagangan dan kesepakatan usaha. Keduanya terutama memusatkan kerja sama dalam memerangi terorisme dan radikalisme di dunia, terutama di Timur Tengah, tulis Xinhua.


Credit  antaranews.com





Tentara Suriah dan ISIS bertempur sengit di Damaskus Selatan


Tentara Suriah dan ISIS bertempur sengit di Damaskus Selatan
Tentara Suriah berjaga dekat kantor polisi di pusat kota Damaskus, Suriah, Rabu (11/10/2017). (REUTERS/Omar Sanadiki)


Beirut (CB) - Tentara Suriah dan sekutu-sekutunya terlibat perang sengit dengan ISIS di sebuah kantong di selatan Damaskus yang dikuasai kelompok militan itu.

Para saksi mata Reuters, pemonitor perang dan televisi nasional semuanya melaporkna pertempuran sengit yang melibatkan bombardemen artileri dan senapan.

Tentara Suriah telah maju jauh ke dalam, lapor televisi nasional, sedangkan Observatorium HAM Suriah menyatakan pemerintah Suriah berhasil menduduki beberapa bangunan yang berada di daerah padat penduduk.

Tayangan televisi menunjukkan sebuah area terbuk di tepi kantong  itu yang termasuk bagian dari distrik al-Qadam district, al-Hajar al-Aswad dan kamp pengungsi Palestina Yarmouk.

Presiden Suriah Bashar al-Assad bulan ini mengalahkan pemberontak di  basis terkuatnya di dekat Damascus di Ghouta Timur. Sejak itu mereka memokuskan serangan untuk mengakhiri perlawanan di beberapa kantong lebih kecil dekat ibu kota Suriah tersebut.

ISIS telah kehilangan bagian terbesar wilayahnya di Suriah tahun lalu akibat ofensif kilat baik oleh pasukan Suriah dukungan Rusia dan Iran maupun oleh aliansi Kurdi-Arab dukungan Amerika Serikat.

Menteri Luar Negeri Rusia Sergei Lavrov pada sebuah pertemuan di Moskow kemarin menyatakan bahwa Rusia, Turki dan Iran sepakat pentingnya membantu pemerintah Suriah membersihkan negaranya dari teroris.

Namun Menteri Luar Negeri Turki Mevlut Cavusoglu menyatakan bahwa Rusia, Iran dan Turki perlu bekerja sama dengan PBB untuk memastikan legitimasi untuk solusi politik apa pun di  Suriah karena solusi militer adalah ilegal dan tak berkesinambungan, demikian Reuters.



Credit  antaranews.com




Yaman bunuh panglima senior ISIS


Yaman bunuh panglima senior ISIS
Para ekstremis militan Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) kini praktis menguasai separuh wilayah Suriah dan sekaligus jalur luas yang membentang sampai Irak utara dan tengah. Kini kekuasaan ISIS berantakan dan tersisih baik di Irak maupun Suriah (Reuters)


Aden (CB) - Pasukan keamanan Yaman menyatakan telah membunuh seorang panglima senior ISIS dalam baku tembak di Aden, Yaman Selatan, Sabtu.  Ini merupakan pukulan terbesar terhadap ISIS cabang Yaman.

Saleh Nasser Fadhl al-Bakshi dijuliki "Pangeran" wilayah Aden dalam ISIS cabang Yaman. Dia telah membunuh ratusan orang yang kebanyakan pasukan keamanan Yaman selatan, lewat serangkaian pemboman dan penembakan.

Pasukan kontraterorisme mengepung al-Bakhshi di sebuah gedung ketika dia dan rekan-rekannya menolak untuk menyerah.

Tapi seorang anggota pasukan kontraterorisme ikut tewas dalam penggerebekan ini.  Tiga rekan al-Bakhshi ditangkap.

ISIS menancapkan pijakannya di Yaman akhir 2014 ketika negara ini ambruk dalam perang saudara antara Houthi melawan pemerintahan sah yang diakui dunia internasional yang membuka kekosongan kekuasaan dan memicu intervensi militer Arab Saudi, demikian Reuters.



Credit  antaranews.com