Ilustrasi.
Jaksa Agung HM Prasetyo, menjawab pertanyaan wartawan seusai menghadiri
pengambilan sumpah jabatan hakim konstitusi di Istana Negara, Kompleks
Istana Kepresidenan, Jakarta, Selasa (28/4). Jaksa Agung mengatakan
persiapan eksekusi sembilan dari sepuluh terpidana mati kasus narkoba
sudah seratus persen dan waktu pelaksanaan eksekusi sudah ditentukan
namun tidak akan diumumkan ke publik. (ANTARA FOTO/Ismar Patrizki)
Selanjutnya tentu akan kita lihat seperti apa nanti."
Cilacap (CB) - Hukuman eksekusi mati tahap kedua terhadap
terpidana kasus narkoba telah dilaksanakan oleh Kejaksaan Agung di
Lapangan Tembak Tunggal Panaluan, Pulau Nusakambangan, Cilacap, Jawa
Tengah, Rabu (29/4), pukul 00.35 WIB.
Akan tetapi, jumlah terpidana kasus narkoba yang dieksekusi
berkurang dari data yang dirilis Kejagung pasca-eksekusi tahap pertama
yang dilaksanakan pada 18 Januari 2015.
Dalam hal ini, Kejagung merilis 10 nama terpidana kasus narkoba
yang masuk daftar eksekusi tahap kedua, yakni Andrew Chan (warga negara
Australia), Myuran Sukumaran (Australia), Raheem Agbaje Salami
(Nigeria), Zainal Abidin (Indonesia), Serge Areski Atlaoui (Prancis),
Rodrigo Gularte (Brazil), Silvester Obiekwe Nwaolise alias Mustofa
(Nigeria), Martin Anderson alias Belo (Ghana), Okwudili Oyatanze
(Nigeria), dan Mary Jane Fiesta Veloso (Filipina).
Sementara dalam praktiknya, Kejagung hanya mengeksekusi delapan
terpidana mati karena eksekusi terhadap dua terpidana ditunda
pelaksanaannya.
Sebanyak dua terpidana mati yang eksekusinya ditunda, yakni Serge Areski Atlaoui dan Mary Jane Fiesta Veloso.
Berbeda dengan Serge yang ditarik keluar dari daftar eksekusi tahap
kedua beberapa hari sebelum pelaksanaan eksekusi karena adanya gugatan
yang diajukan terpidana tersebut ke Pengadilan Tata Usaha Negara,
penundaan eksekusi Mary Jane disampaikan kepada yang bersangkutan
setelah perempuan terpidana mati itu berada di ruang isolasi Lembaga
Pemasyarakatan Besi, Pulau Nusakambangan, selama tiga hari.
Bahkan, penundaan tersebut disampaikan kepada Mary Jane menjelang
penjemputan para terpidana mati untuk dibawa ke lokasi eksekusi.
Oleh karena eksekusinya ditunda, Mary Jane tidak dibawa ke lokasi
eksekusi dan kini telah kembali ke Lapas Wirogunan, Yogyakarta, setelah
dipindahkan dari Lapas Besi, Pulai Nusakambangan.
Jaksa Agung H.M. Prasetyo mengatakan penundaan atau penangguhan
eksekusi pidana mati terhadap Mary Jane dilakukan atas permintaan
pemerintah Filipina karena terpidana tersebut dibutuhkan untuk
mengungkap kasus perdagangan manusia.
"Mary Jane diminta untuk memberikan keterangan dan testimoni.
Inilah yang menyebabkan kita menghormati proses hukum yang sedang
dilaksanakan di Filipina, Mary Jane ditunda pelaksanaan eksekusi
matinya. Saya katakan di sini adalah penundaan, bukan pembatalan karena
bagaimanapun faktanya Mary Jane tertangkap tangan di Yogyakarta, di
wilayah hukum Indonesia, memasukkan heroin ke Indonesia," kata Prasetyo
di Cilacap, Rabu (29/4).
Oleh karena itu, Kejagung menunggu hasil dari proses pemeriksaan kasus perdagangan manusia yang dilakukan Filipina.
Menurut dia, jika pemerintah Filipina membutuhkan keterangan dari Mary Jane, merekalah yang harus datang ke Indonesia.
"Jadi, selama diperlukan oleh Filipina untuk mengungkap kasus human
trafficking, Mary Jane tetap berada di Indonesia," katanya.
Terkait hal itu, dia mengatakan status Mary Jane tetap terpidana
karena eksekusi pidana matinya bukan dibatalkan melainkan ditunda.
"Selanjutnya tentu akan kita lihat seperti apa nanti," katanya.
Menurut dia, Mary Jane sudah mengajukan peninjauan kembali (PK) hingga dua kali.
Akan tetapi, katanya, jika kasus hukum di Filipina bisa dijadikan
novum baru, Mary Jane memiliki peluang untuk mengajukan PK lagi
berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi bahwa PK dapat diajukan lebih
dari satu kali.
"Kalaupun dia betul korban dari human trafficking, perdagangan
manusia, tapi faktanya dia kedapatan membawa heroin ke Indonesia. Jadi,
tidak meniadakan tanggung jawab pidana yang selama ini dilakukan oleh
Mary Jane," katanya.
Kepala Kepolisian Republik Indonesia Jenderal Badrodin Haiti
mengatakan Polri siap membantu melakukan penyelidikan terkait dengan
informasi yang menyebutkan Mary Jane merupakan korban perdagangan
manusia.
"Polri siap membantu melakukan penyelidikan, apakah ini benar
terjadi satu tindak pidana perdagangan orang, human trafficking, apakah
benar bahwa Mary Jane itu korban human trafficking," katanya di Cilacap,
Rabu (29/4).
Aktivis Jaringan Buruh Migran Indonesia (JBMI) Iweng Karsiwen
bersyukur atas kebijakan pemerintah yang menunda pelaksanaan eksekusi
hukuman mati terpidana kasus narkoba asal Filipina Mary Jane Fiesta
Veloso.
"Saya bersama teman-teman sangat senang sekali atas keputusan yang
sementara ini. Tidak sia-sia di mana kami hampir sebulan ini mengunjungi
beberapa gereja, beberapa organisasi, lembaga negara, dan melobi
pemerintah untuk menghentikan eksekusi Mary Jane," katanya.
Kendati demikian, dia mengaku belum puas karena masih menunggu berlangsungnya proses hukum kasus di Filipina.
Dalam hal ini, kata dia, bandar narkoba sekaligus pelaku
"trafficking" yang merekrut Mary Jane, Maria Christina telah menyerahkan
diri bersama kekasihnya, Julius.
"Kalau Christina dan Julius sudah dinyatakan bersalah sebagai pihak
yang memiliki barang itu, sudah seharusnya pemerintah Indonesia
membebaskan Mary Jane. Itulah yang sedang kita kejar, bagaimana
meyakinkan Christina dinyatakan bersalah," katanya.
Menurut dia, Mary Jane adalah korban perdagangan manusia yang dilakukan Christina.
"Mary Jane berangkat dari Manila, Filipina, dijanjikan sebagai
pekerja rumah tangga di Malaysia. Dia telah membayar uang perekrutan
sebesar 7.000 peso dengan memberikan sepeda motornya dan juga HP
(telepon seluler, red) dia," katanya.
Sesampainya di Malaysia, Mary Jane diberitahu Christina jika pekerjaannya belum siap dan dibelikan baju-baju bekas.
Selanjutnya, Mary Jane diminta Christina menunggu pekerjaan
tersebut selama tujuh hari di Yogyakarta dan dibelikan koper untuk
membawa barang bawaannya.
"Koper tersebut terasa berat sehingga Mary Jane memeriksanya karena
curiga. Setelah yakin tidak ada apa-apa, Mary Jane segera berkemas
untuk berangkat ke Yogyakarta," katanya.
Akan tetapi, katanya, saat menjalani pemeriksaan di Bandara
Adisutjipto Yogyakarta, Mary Jane ditangkap petugas Bea dan Cukai karena
di balik kulit kopernya ditemukan heroin 2,6 kilogram senilai Rp5,5
miliar.
Dalam hal ini, lanjut dia, petugas curiga terhadap koper yang
dibawa Mary Jane sehingga minta izin untuk menyobek kulit kopernya.
"Padahal, Mary Jane sama sekali tidak mengetahui jika ada heroin di
kopernya. Dia juga tidak tahu siapa yang akan dituju selama di
Yogyakarta karena hanya diberi nomor telepon seseorang," katanya.
Pakar hukum dari Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto
Prof Hibnu Nugroho mengatakan jika Mary Jane memang benar-benar korban
perdagangan manusia, hal itu harus diuji kebenarannya.
"Pemerintah dalam hal ini pengadilan harus menguji kebenaran bahwa
kesaksian itu betul atau tidak, memenuhi unsur kesaksian atau tidak,
jadi jangan asal percaya. Kuncinya adalah sejauhmana menguji bahwa Mary
Jane hanya sebagai korban," katanya.
Ia mengatakan pemerintah Indonesia bertanggung jawab untuk menguji
kebenaran atas kasus perdagangan manusia yang menjadikan Mary Jane
sebagai korban, meskipun tempat kejadian perkaranya di negara lain,
sedangkan yang narkoba di Indonesia.
Menurut dia, jika kasus perdagangan manusia itu terbukti
kebenarannya, bisa dijadikan sebagai novum baru bagi Mary Jane untuk
kembali mengajukan PK.
"Tapi lagi-lagi, sejauhmana pengadilan negara melihat keabsahan
bukti -bukti tadi. Kita harus berpikir negatif, yang namanya narkoba itu
mafianya tinggi sekali sehingga negara harus hati-hati," katanya.
Dengan demikian, Mary Jane belum bisa 100 persen terbebas dari
eksekusi atas vonis mati yang dijatuhkan Pengadilan Negeri Sleman pada
2010 karena TKP kasus perdagangan manusia berada di negara lain,
sedangkan kasus narkoba terjadi di Indonesia.
Credit
ANTARA News