
Sosok
 JAS39 Gripen NG saat diluncurkan secara perdana kepada publik undangan,
 di Lingkoping, Swedia, Rabu waktu setempat. Walau sepintas sama dengan 
JAS39 Gripen C/D, namun banyak inovasi teknologi terkini disematkan di 
dalamnya, termasuk teknologi "supercruise" yang memungkinkan dia 
meningkatkan kecepatan tanpa after burner. Teknologi ini sebetulnya 
lebih banyak diterapkan pada pesawat tempur mesin ganda, semisal 
Eurofighter Typhoon.  (www.antaranews.com/Ade P Marboen)
 
 
    ...  bisa katakan, 85 persen dari jumlah itu akan berupa alih 
teknologi dan kerja sama industri pertahanan yang produknya bisa 
dipergunakan untuk kepentingan lain, sesuai keperluan Indonesia...    
Jakarta (CB) - Pesawat tempur multi peran buatan Saab Swedia, JAS39 Gripen, secara resmi telah ditawarkan kepada pemerintah Indonesia. 
“Kami
 telah mengajukan proposal resmi kepada Kementerian Indonesia pada 
Februari lalu. Di dalam proposal resmi itu juga tercantum berbagai pola 
kerja sama industri pertahanan dan transfer teknologi yang baik,” kata 
Kepala Saab Indonesia, Peter Carlqvist, di Jakarta, Senin malam. 
Sejauh ini JAS39 Gripen telah dibuat hingga versi JAS39 Gripen A/B, JAS39 Gripen C/D, dan JAS39 Gripen NG
 (E/F) yang teknologinya melongkapi pesawat tempur di kelasnya. Sebagai 
misal, jarak tempuhnya1.680 kilometer alias berdiameter 3.360 kilometer,
 atau lebih dari setengah panjang wilayah Indonesia. 
Untuk Indonesia, katanya, Saab membuka seluas-luasnya pilihan varian yang diinginkan, apakah JAS39 Gripen C/D atau JAS39 Gripen NG (E/F), yang baru diluncurkan pada 18 Mei 2016 lalu di Linkoping, Swedia. 
Saab dari
 kantor pusatnya di Stockholm, kata dia, menawarkan pola pembelian dan 
kerja sama serta pengembangan dan teknologi untuk satu skuadron pesawat 
tempur. Jumlah normatif pesawat tempur dalam satu skuadron adalah 16 
unit walau bisa lebih banyak atau lebih sedikit dari angka itu. 
“Yang 
menarik, enam di antara jumlah yang dibeli Indonesia itu nanti akan 
dirakit di Indonesia. Ini proses penting untuk penguasaan teknologinya,”
 kata Carlqvist. 
Pelibatan
 perguruan tinggi dan institusi penelitian-pengembangan dan industri 
pertahanan nasional yang terletak di Indonesia juga masuk dalam pasal 
tawaran proposal itu. 
Dia katakan, paling tidak 1.000 tenaga kerja ahli Indonesia bisa turut dalam proyek pengembangan berbasis pembelian JAS39 Gripen dari Saab itu. 
Swedia sangat dikenal dengan konsep Triple Helix-nya,
 di mana pemerintah, institusi pendidikan tinggi-penelitian dan 
pengembangan, dan industri pertahanan berada dalam visi dan derap 
langkah yang sama. 
“Kami bukan negara super power
 dan kami sangat sadar itu. Inilah yang membuat kami mengembangkan 
semuanya secara cerdas dan terpadu dalam sistem yang telah teruji dan 
kami menaruh perhatian sangat besar pada kualitas SDM,” kata dia. 
Sisa dari unit JAS39 Gripen
 yang dipesan Indonesia, katanya, dibangun di hanggar produksinya di 
Linkoping, Swedia. “Akan dikerjakan bersama dengan para teknisi dan ahli
 dari Indonesia dalam proses pembuatan dari awal hingga akhir di hanggar
 produksinya di Linkoping,” kata Carlqvist. 
“Semuanya nanti akan menyesuaikan dengan keperluan Indonesia dan kami terbuka untuk berdialog tentang itu,” kata dia. 
Dia 
mengungkap nilai kontrak yang bisa diajukan, yaitu 1,14 miliar dolar 
Amerika Serikat untuk paket pembelian satu skuadron JAS39 Gripen itu. 
“Saya 
bisa katakan, 85 persen dari jumlah itu akan berupa alih teknologi dan 
kerja sama industri pertahanan yang produknya bisa dipergunakan untuk 
kepentingan lain, sesuai keperluan Indonesia,” kata dia. 
Jika 
Indonesia menunjukkan komitmennya, kata dia, salah satu hal penting yang
 juga Saab ajukan adalah investasi dari sisi Indonesia pada aspek 
peningkatan kualitas SDM Indonesia untuk bidang teknik dan rekayasa 
teknologi.
Dia menyatakan, ada beberapa skema dan tahapan yang dirancang dalam pola kerja sama pada proposal itu. 
Operator
 —dalam hal ini TNI AU— di antaranya akan bisa memperbaiki dan 
mereparasi pada tahap tertentu sehingga menghemat pengeluaran untuk 
pemeliharaan dan perawatan karena bisa dilaksanakan di Indonesia.
Indonesia berniat mengganti armada F-5E/F Tiger II
 di Skuadron Udara 14 TNI AU yang telah berdinas lebih dari 30 tahun dan
 teknologinya dianggap sudah jauh ketinggalan. Semula disebut-sebut akan
 ada beberapa pesawat tempur yang digadang-gadang akan beradu 
peruntungan. 
Mereka adalah F-16 Viper (alias F-16 Block 60 Fighting Falcon) buatan Lockheed Martin, Amerika Serikat, Sukhoi Su-35 (Knaapo, Rusia), Eurofighter Typhoon (Airbus Military, konsorsium Airbus), dan JAS39 Gripen C/D dan kini JAS39 Gripen NG (E/F) (Saab, Swedia). 
Berbeda 
dengan yang lain-lain, Saab menjamin unit pesawat tempur bermesin 
tunggal multi peran (interseptor, serang darat, dan 
pengamatan-pengendalian tempur) ini bisa mendarat di Bumi Pertiwi hanya 
12 bulan setelah kontrak pasti ditandatangani. 
Umumnya 
pesawat tempur baru benar-benar hadir unitnya di negara pemesan antara 
tiga hingga lima tahun setelah kontrak pasti ditandatangani. 
Ekskalasi
 pertahanan dan politik di Laut China Selatan serta zone ekonomi 
eksklusif Indonesia di perairan Kepulauan Natuna semakin tinggi. 
Gesekan
 yang melibatkan langsung Indonesia makin kerap terjadi sebagaimana 
penangkapan kapal-kapal ikan ilegal China yang dikawal kapal Penjaga 
Pantai China dalam tiga bulan terakhir. Tidak mustahil ekskalasi gesekan
 ini mengarah pada pelibatan unsur-unsur militer.
Patroli
 maritim udara untuk mendeteksi ini sebetulnya bisa dilakukan pesawat 
tempur dengan catatan dia memiliki teknologi pengamatan jauh di balik 
cakrawala dan presisi, serta sistem datalink yang prima. 
Sehingga
 komunikasi data antara armada pesawat tempur di udara, laut, dan darat 
serta pusat komando bisa dilaksanakan seketika dan presisi.
Bermula
 dari dua tahun lalu, TNI kerap mengeluhkan betapa mahal biaya 
operasional dan perawatan pesawat tempur buatan negara Eropa Timur 
--yang dikatakan memiliki daya gentar sangat tinggi-- sementara denda 
tindak pidana pelanggaran wilayah udara nasional oleh pesawat asing liar
 cuma di angka puluhan juta rupiah saja. 
Dengan
 begitu Indonesia perlu pesawat tempur multi peran yang bisa digelar 
bahkan dari pangkalan aju dengan dukungan paling minim sekalipun. Juga 
dengan biaya operasional yang rendah sementara unjuk kerja dan kepaduan 
sistemnya tinggi. 
Sampai saat ini, JAS39 Gripen NG dan keluarga Gripen unggul pula pada sistem tautan data (datalink system),
 dari serangkaian keunggulan teknologi dan pengembangan teknologi 
terus-menerus dan sinambung, yang dinyatakan pabrikannya, Saab dari 
Swedia. 
Secara keseluruhan JAS39 Gripen merupakan “pendatang baru” dalam khasanah pesawat tempur canggih dunia. 
JAS39 Gripen
 baru resmi mengudara dan masuk jajaran operasional Angkatan Udara 
Kerajaan Swedia sebagai operator perdana, pada pertengahan dasawarsa 
'90-an. Bandingkan dengan F-16 Fighting Falcon yang telah mengangkasa sejak 1970-an atau Sukhoi Su-27 Flanker yang diproduksi tidak terlalu lama setelah itu. 
Di antara fakta yang diajukan, JAS39 Gripen yang
 berukuran fisik paling kompak di antara pesawat tempur dunia, diketahui
 --berdasarkan data teknis dan pengalaman empirik pengguna-- bisa lepas 
landas dan mendarat pada angka ratusan meter saja di jalan raya selebar 
15 meter. 
Selain itu, untuk mendukung operasionalisasi dan perawatan/pemeliharaan lapangan satu skuadron penuh JAS39 Gripen, cukup diladeni belasan teknisi saja. 
Adapun peralatan serta suku cadang untuk keperluan perawatan-pemeliharaan lapangan satu skuadron JAS39 Gripen itu cukup dibawa dalam satu C-130 Hercules saja.
JAS39 Gripen serie berhadapan dengan keluarga Sukhoi Su-27, Su-30, dan Su-35, juga dengan keluarga F-16 Fighting Falcon, Eurofighter Typhoon, dan Dassault Rafale (Prancis).
Credit  
ANTARA News