Presiden Otoritas Palestina Mahmoud Abbas (Foto: Mohamad Torokman/Reuters)
AMMAN – Kerajaan Yordania dilaporkan memulai proses
pencabutan kewarganegaraan terhadap sekira 30 orang pejabat Otoritas
Palestina (PA) dan pejabat faksi Fatah beserta anggota keluarganya.
Salah satu yang akan terkena dampaknya adalah Presiden PA, Mahmoud
Abbas.
Selain Abbas, Yordania juga akan mencabut kewarganegaraan kepala
negosiator Palestina, Saeb Erekat, dan Ahmed Qurei (Abu Ala). Otoritas
Yordania akan megubah pemberian visa kepada para pejabat Palestina
sehingga hanya akan mendapat izin masuk kunjungan sementara.
Melansir dari Jerusalem Post, Kamis
(26/4/2018), banyak dari pejabat senior PA dan pejabat faksi Fatah,
termasuk Abbas dan kedua putranya, yang diberikan kewarganegaraan
Yordania lebih dari 10 tahun lalu. Mereka menerima paspor Yordania meski
di saat bersamaan Amman mencabut kewarganegaraan ribuan warga sipil
Palestina.
Yordania saat itu beralasan bahwa pencabutan dilakukan demi
‘konsolidasi’ identitas Palestina ribuan orang tersebut. Dengan populasi
mencapai 9,5 juta orang, di mana 2 juta di antaranya adalah pengungsi
Palestina, Yordania sendiri menganggap kehadiran mereka sebagai ancaman
demografi.
Pencabutan itu pertama kali diungkapkan oleh harian berbahasa Arab yang berbasis di London, Inggris, Railyoum. Menurut artikel dari Al Quds al Arabi pada 2011, para pemimpin Palestina itu mengajukan sendiri status kewarganegaraan Palestina satu dekade lalu.
“Mereka mengajukan sendiri status kewarganegaraan, bukan
ditawarkan oleh Yordania, dan seharusnya malu kepada para pejabat senior
Yordania atas permintaan tersebut. Yordania tidak bisa menolak
permintaan saat itu atas dasar kemurahan hati,” tulis Al Quds al Arabi.
Namun, belum diketahui alasan pencabutan status kewarganegaraan
tersebut. Pemerintah Yordania juga enggan berkomentar mengenai laporan
dari Railyoum.
CB, Jakarta -Raja Abdullah, memberhentikan dua saudara laki-lakinya dan sepupunya dari posisi top militer Yordania.
Kedua saudara laki-laki raja Abdullah adalah Pangeran Faisal dan
Pangeran Ali. Faisal selama ini menjabat kepala angkatan udara kerajaan
dan wakil kepala staf. Ali selama bertahun-tahun sebagai penanggung
jawab pasukan elit kerajaan khusus melindungi raja.
Sedangkan
sepupu Raja Abdullah, Talal bin Mohammad, perwira di pasukan elit
kerajaan Yordania dan alumni Akademi Militer Sandhurst, mengutip
Reuters, 1 Januari 2018.
Ketiga saudara dekat Raja Abdullah akan dipensiunkan dan mendapat penghargaan atas jasa mereka.
Pencopotan ketiganya, menurut Raja Abdullah adalah bagian dari
reorganisasi hirarki dan struktur pasukan angkatan bersenjata Yordania.
Seorang
sumber di angkatan bersenjata Yordania mengatakan, langkah raja
Abdullah memberhentikan tiga saudaranya dari posisi top militer dipicu
oleh keinginan memberi contoh bahwa keluarga kerajaan Yordania atau
Hashemite, tidak berada di atas hukum. Alasan lainnya, raja Abdullah
bertujuan mengantisipasi gerakan lusinan jenderal senior yang sudah
pensiun.
Raja
Abdullah yang berperan sebagai komandan pasukan elit Yordania, membuat
rencana restrukturisasi di tubuh militernya yang berkekuatan 120 ribu
pasukan. Ia memangkas sejumlah biaya dan membuat pasukan yang efektif
dengan peralatan perang yang modern untuk dapat melawan
kelompok-kelompok teroris.
Raja Abdullah kemudian mengingatkan
akan mengambil langkah hukum bagi siapa saja yang menyebar informasi
bohong mengenai pemberhentian tiga anggota keluarga kerajaan dari
lembaga militer.
"Berita karangan disebar baru-baru ini ditujukan
untuk merendahkan Yordania dan lembaga-lembaganya," ujar pernyataan
pihak kerajaan yang dikeluarkan hari Minggu, 21 Desember 2017.
Sebelumnya
beredar informasi di media sosial dan situs online terkait pencopotan
tiga perwira top militer Yordania yang diklaim pihak istana sebagai
kebohongan dan salah. Tidak dijelaskan rincian informasi tersebut.
Pihak istana hanya mengatakan, informasi yang beredar itu bermaksud memperuncing hubungan antara kerajaan dan rakyat Yordania.
AMMAN
- Arab Saudi jadi sorotan setelah anggota parlemen Yordania, Wafa Bani
Mustafa, “bernyanyi” tentang tindakan Riyadh yang menekan Amman agar
menerima pengakuan Amerika Serikat (AS) atas Yerusalem sebagai Ibu Kota
Israel. Saudi sejak awal tegaskan sikapnya yang membela Palestina dan
mengutuk keputusan AS. Lalu siapa yang benar di antara klaim kedua
pihak?
Raja Arab Saudi Salman bin Abdulaziz al-Saud mengutuk
keputusan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump yang secara sepihak
mengakui Yerusalem sebagai Ibu Kota Israel. Menurutnya, rakyat
Palestina memiliki hak mendirikan negara merdeka dengan ibu kota di
Yerusalem Timur.
Pernyataan Raja Salman ini disampaikan dalam
pidato di hadapan Dewan Syura Kerajaan Saudi di Riyadh pada hari Rabu
yang disiarkan stasiun televisi pemerintah. Sikap resmi Raja Salman ini
muncul di saat negara-negara Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) menggelar
KTT Luar Biasa di Istanbul, Turki.
Arab Saudi, yang menjadi tuan
rumah sekretariat OKI, saat itu memang hanya mengirim seorang pejabat
senior kementerian luar negeri dalam KTT tersebut.
”Kerajaan
telah menyerukan sebuah solusi politik untuk menyelesaikan krisis
regional, yang terpenting adalah masalah Palestina dan pemulihan hak-hak
sah rakyat Palestina, termasuk hak untuk mendirikan negara merdeka
dengan Yerusalem Timur sebagai ibukotanya,” kata Raja Salman.
Keputusan
Presiden AS Donald Trump, lanjut Raja Salman, mewakili bias ekstrem
terhadap hak-hak rakyat Palestina di Yerusalem yang telah dijamin oleh
resolusi internasional.
“Saya mengulangi penghukuman Kerajaan dan
penyesalan yang kuat atas keputusan AS mengenai Yerusalem, karena
menghapus hak-hak bersejarah rakyat Palestina di Yerusalem,” lanjut Raja
Salman, yang dikutip Al Jazeera.
Pidato pemimpin Saudi
ini muncul sehari setelah menyambut Raja Yordania Abdullah II ke
istananya. Kunjungan Raja Abdullah untuk membahas perkembangan regional
terakhir, terutama yang berkaitan dengan Yerusalem dan dampak bahaya
dari rencana pemindahan Kedutaan AS di Israel dari Tel Aviv ke
Yerusalem.
Sikap Riyadh ini juga disuarakan duta besarnya di
Washington yang telah memberikan nota peringatan ke AS mengenai rencana
Trump yang akan memindahkan Ibu Kota di Israel dari Tel Aviv ke
Yerusalem. Arab Saudi menegaskan bahwa keinginan Trump itu akan
meningkatkan ketegangan konflik di wilayah tersebut.
“Setiap
keputusan Amerika Serikat yang ingin mengubah status Kota Yerusalem akan
membahayakan proses perdamaian dan akan meningkatkan ketegangan baru di
antara Israel-Palestina,” kata Pangeran Khalid bin Salman bin
Abdulaziz, Duta Besar Arab Saudi untuk AS.
“Kebijakan Kerajaan
Arab Saudi telah dan terus mendukung rakyat Palestina, dan ini kami
peringatkan kepada pemerintah AS,” tegas Pangeran Khalid.
"Nyanyian" dari Yordania Analis
dan politisi terkemuka Yordania, Wafa Bani Mustafa, mengungkap bahwa
negaranya ditekan negara-negara Arab, terutama Arab Saudi, untuk
menerima pengakuan Amerika Serikat (AS) atas Yerusalem sebagai Ibu Kota
Israel.
Yordania yang selama ini membela Palestina, kata dia,
diancam Saudi bahwa ekonominya akan dicekik. Wafa Bani Mustafa yang
merupakan anggota parlemen Yordania itu mengungkap intimidasi
tetangga-tetangga Arabnya kepada Al Jazeera.
Motif Riyadh ini belum jelas. Namun, dia menduga Yerusalem menjadi alat negosiasi Saudi dengan Israel untuk menghadapi Iran.
Mustafa
mengatakan, selain Saudi, negara antagonis utama dalam kasus ini adalah
Uni Emirat Arab. Dia menyebut, Putra Mahkota Arab Saudi Mohammed bin
Salman telah mengambil peran yang dominan dalam melancarkan tekanan
tersebut.
Yordania komitmen berpihak pada Palestina dan menolak
keputusan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump yang mengakui
Yerusalem sebagai Ibu Kota Israel pada 6 Desember lalu. Trump, dalam
pengumumannya juga memerintahkan pemindahan kedutaan AS dari Tel Aviv ke
Yerusalem segera.
”Bin Salman dan Uni Emirat Arab berusaha untuk
mencekik ekonomi Yordania sampai menyetujui persyaratan mereka, tunduk
pada kepemimpinan mereka di wilayah tersebut, dan menyetujui apa yang
disebut 'kesepakatan akhir' Trump,” kata Mustafa, merujuk pada rencana
baru Presiden AS untuk wujudkan perdamaian Israel dan Palestina yang
belum dapat dijelaskan.
Saudi sejak awal menjadi pusat kecurigaan terkait langkah nekat Trump untuk mengakui Yerusalem sebagai Ibu Kota Israel.
Pemerintah
Saudi dalam pernyataan resmi memang mengutuk keputusan Trump yang
menggambarkannya sebagai “langkah yang tidak dapat dibenarkan dan tidak
bertanggung jawab".
Namun, sebuah laporan yang dilansir kantor
berita Reuters, mengungkap bahwa Putra Mahkota Mohammed bin Salman
disebut telah bertindak atas nama penasihat senior Gedung Putih Jared
Kushner dan telah mempresentasikan rencana perdamaian Timur Tengah
kepada Presiden Palestina Mahmoud Abbas.
Skema AS yang dipaparkan
itu mencakup pembentukan sebuah negara Palestina yang terdiri dari
Jalur Gaza dan bagian-bagian yang terputus dari Tepi Barat tanpa
Yerusalem Timur sebagai ibukotanya. Skema ini juga menyelesaikan hak
pengembalian pengungsi Palestina yang mengungsi ketika Israel didirikan
pada tahun 1948.
Al Jazeera mengonfirmasi laporan itu
kepada tiga pejabat yang dekat dengan pimpinan Otoritas Palestina.
Mereka membenarkan bahwa Putra Mahkota Mohammed bin Salman menekan Abbas
untuk menerima status negara versi yang dia paparkan tanpa Yerusalem
Timur sebagai ibu kotanya.
Mustafa mengatakan AS dan mitra
regionalnya tidak memasukkan Yordania dari kesepakatan mengenai sebuah
negara Palestina versi baru itu. Dia juga mengungkap bahwa Yordania
tidak diundang oleh Mesir untuk berpartisipasi dalam perundingan
rekonsiliasi Palestina antara Fatah dan Hamas Oktober lalu. Diplomasi Ekonomi
Yordania
adalah satu-satunya negara Arab yang terkena dampak langsung
kesepakatan damai antara Israel dan Palestina. Namun, kata Mustafa, baik
negara-negara Arab maupun AS tak mengundang negaranya ke meja
perundingan.
Yordania sendiri menjadi rumah bagi beberapa juta
pengungsi Palestina. Raja Yordania Abdullah II yang berpredikat sebagai
penjaga tempat suci Yerusalem selama ini membayar gaji pegawai
Palestina.
Mustafa melanjutkan, sekutu paling dekat Yordania di
Gulf Cooperation Council (GCC/Dewan Kerja Sama Teluk), yakni Arab Saudi,
UEA, dan Kuwait tidak memperpanjang program bantuan keuangan lima tahun
dengan Amman senilai USD3,6 miliar yang berakhir pada 2017.
Bantuan AS ke Yordania berjumlah sekitar USD1,6 miliar per tahun;
sekitar USD800 juta untuk bantuan militer dan USD800 juta untuk bantuan
ekonomi. Bagian dari bantuan ekonomi tiba sebagai transfer moneter
langsung, sedangkan sisanya datang dalam bentuk proyek USAID di negara
tersebut. Anggaran Yordania 2018 mencakup hibah langsung USD400 juta
dari Amerika Serikat.
Raja Abdullah II telah bertemu dengan Raja
Salman di Arab Saudi pada hari Selasa pekan lalu dan diskusi terfokus
pada implikasi bahaya dari keputusan AS soal Yerusalem.
Pada hari
Rabu, Raja Abdullah II berada di Istanbul untuk pertemuan darurat 57
negara Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) untuk menentang keputusan
Trump.
Raja Abdullah II bergabung dengan pemimpin lain, termasuk
Presiden Otoritas Palestina Mahmoud Abbas, Presiden Iran Hassan Rouhani,
dan Presiden Lebanon Michel Aoun. Sedangkan kepala negara Arab Saudi
dan UEA tidak hadir dan hanya mewakilkan utusan.
AMMAN
- Yordania dilaporkan telah mengirimkan nota diplomatik kepada
pemerintah Israel terkait dengan situasi di al-Aqsa. Pengiriman nota
diplomatik adalah salah bentuk protes keras yang disampaikan satu negara
ke negara lain.
Nota diplomatik tersebut diketahui dikirim ke
Kementerian Luar Negeri Israel oleh Menteri Urusan Media, sekaligus juru
bicara pemerintah Yordania, Muhammad al-Momani.
Dalam nota
diplomatik itu, seperti dilansir Anadolu Agency pada Senin (4/12),
Yordania menuduh Israel mengizinkan ekstremis memasuki halaman Masjid
Al-Aqsa setiap hari di bawah perlindungan polisi Israel.
"Tindakan
provokatif dan tidak bertanggung jawab semacam itu dikutuk dan ditolak
dan melanggar kewajiban Israel sebagai penguasa pendudukan di Yerusalem
Timur di bawah hukum internasional dan hukum humaniter internasional,"
kata Al-Momani dalam nota diplomatik yang dikirim ke Tel Aviv.
Menteri
tersebut mengatakan bahwa tindakan ini melanggar semua norma dan piagam
internasional yang menekankan perlunya menghormati tempat-tempat
pemujaan bagi semua agama, dan dapat menimbulkan amarah umat Islam.
"Pemerintah
Israel telah mengizinkan para ekstrimis untuk naik ke atap Masjid
Qubbat al-Sakhrah (Dome of the Rock) pada hari Minggu, dalam upaya untuk
mengubah situasi historis dan hukum di Masjid al-Aqsa," ungkapnya.
Dia
menambahkan langkah provokatif semacam itu perlu segera dihentikan, dan
status sejarah masjid dipertahankan. Menteri tersebut juga menekankan
perlunya menghormati peran Yordania sebagai penanggung jawab
tempat-tempat suci di Yerusalem Timur, sesuai dengan sebuah perjanjian
damai antara kedua negara.
CB, AMMAN -- Pemerintah Yordania mengutuk keras
aksi kekerasan yang dilakukan Israel di kompleks Masjid al-Aqsha. Kantor
berita Petra, Ahad (3/12), melaporkan sejumlah perusuh dibiarkan aparat Israel memasuki lapangan Masjid al-Aqsha sehingga memicu keributan.
Juru
bicara menteri komunikasi Muhammad al-Momani mengatakan telah
mengirimkan surat protes kepada kementerian luar negeri Israel.
Menurutnya, tindakan aparat kepolisian Israel di sekitar Masjid al-Aqsha
begitu provokatif dan gegabah serta tidak mengindahkan norma-norma
hubungan internasional.
Hasutan Israel itu dapat menyulut kebencian besar dari kaum Muslim di
mana pun berada. Al-Momani menegaskan, para ekstremis Yahudi berupaya
mencapai Masjid Qubbat al-Sakhrah (Dome of the Rock). Upaya ini, lanjut
dia, tidak lepas dari propaganda Israel menghapus jejak sejarah umat
Islam atas Masjid al-Aqsha.
"Mereka harus segera menghentikan
cara-cara provokatif demikian. Mereka harus menjaga status historis dan
menghormati peran Yordania terhadap kompleks suci itu di Yerusalem
Timur, yang mana telah diakui melalui perjanjian damai di antara kedua
negara," demikian pernyataan Al-Momani.
CB, JAKARTA -- Anggota Komisi I DPR RI Fraksi
PAN Hanafi Rais menanggapi kabar niatan Presiden AS Donald Trump
mengakui Yerussalem sebagai ibu kota Israel. Tentu menurutnya ini akan
membahayakan dan merusak segala proses perdamaian antara Israel dan
Palestina.
"Sebaiknya Trump membatalkan niat ini, kalau mau membawa perdamaian antara Palestina dan Israel," kata dia kepada Republika.co.id, Senin (4/12).
Dia
mengatakan, dalam setiap proses perdamaian dari berbagi macam putaran,
isu Yerussalem yang paling dihindari karena memang sangat sensitif. Maka
kalau tiba-tiba Trump hendak mengumumkan pengakuan ini, jelas akan
menyulut konflik baru. Bahkan tidal hanya konflik, tetapi juga perang
dengan dunia Arab dan Islam.
Menurutnya, pengakuan itu bisa
membahayakan dan makin memperparah ketidakstabilan politik global,
karena ini meyangkut tempat suci umat Islam. "Saya kira kita tunggu
saja, telah muncul protes dari berbagai pihak, bahkan yang ada di
Amerika," ujarnya.
Sebelumnya Trump dikabarkan akan mengumumkan
pengakuan tersebut pada Rabu (6/12) mendatang. Dalam pidato di sebuah
lembaga pada Ahad kemarin, Jared Kushner, penasihat utama sekaligus
menantu Trump menyatakan keleluasaan presiden untuk mengumumkan
niatannya pada waktu yang tepat.
Turki: Pengakuan Yerusalem sebagai Ibu Kota Israel Akan Sebabkan Bencana
ANKARA
- Turki menuturkan, jika Amerika Serikat (AS) akhirnya mengakui
Yerusalem sebagai Ibu Kota Israel, maka hal ini akan menimbulkan bencana
di kawasan. Menurut Ankara, konflik baru akan muncul di kawasan yang
sudah subur akan konflik tersebut.
Wakil Perdana Menteri Turki,
Bekir Bozdag menyatakan, status Yerusalem telah ditentukan oleh
kesepakatan internasional, dan bahwa pelestarian akan hal itu penting
untuk perdamaian di wilayah tersebut.
"Status Yerusalem dan Bukit
Bait Suci telah ditentukan oleh kesepakatan internasional. Penting
untuk mempertahankan status Yerusalem demi melindungi perdamaian di
wilayah ini," kata Bozdag.
"Jika langkah lain diambil, dan
kesepakatan ini dicabut, maka hal tersebut akan menjadi malapetaka
besar," sambungnya dalam sebuah pernyataan, seperti dilansir Reuters
pada Senin (4/12).
Sebelumnya, Yordania telah menyatakan hal
serupa. Menteri Luar Negeri Yordania Ayman Safadi kepada Menteri Luar
Negeri AS Rex Tillerson, saat keduanya berbicara melalui telepon
menegaskan bahwa sangat penting untuk mempertahankan status Yerusalem
untuk menghindari terjadinya ketegangan lebih lanjut.
Safadi
kemudian memperingatkan konsekuensi serius dari keputusan apapun untuk
mengakui Yerusalem sebagai ibukota Israel, mengingat status khusus
keagamaan, sejarah, dan nasional kota ini, tidak hanya penting bagi
orang Yordania dan Palestina, tapi juga di seluruh dunia Arab dan
Muslim.
Langkah tersebut, lanjut Safadi juga akan merusak upaya
Amerika untuk menghidupkan kembali perundingan perdamaian antara Israel
dan Palestina, dengan memperingatkan bahwa hal itu akan mengobarkan
kekerasan.
Palestina peringatkan AS agar tak pindahkan kedutaan besar ke Jerusalem
Mesjid Al Aqsa dilihat dari udara. Dia terletak di kota tua Jerusalem. (wikipedia.org)
Ramallah, Palestina (CB) - Seorang pejabat senior Palestina
pada Senin (4/12) menyeru Amerika Serikat (AS) agar menghindari setiap
tindakan yang akan mempengaruhi status quo atas Jerusalem.
Memindahkan Kedutaan Besar AS ke Jerusalem dan pengakuan AS atas
Jerusalem sebagai Ibu Kota Israel takkan diterima dan akan membawa
resiko, kata Wakil Perdana Menteri Palestina Ziad Bu Amr selama
pertemuannya dengan Konsul Jenderal AS di Jerusalem.
Tindakan itu akan "menjadi pelanggaran dan bertolak-belakang dengan
peran Pemerintah AS sebagai penengah dan penjaga proses perdamaian",
kata pejabat Palestina tersebut.
"Itu akan membatalkan Amerika Serikat dari memainkan peran dalam
proses perdamaian dan akan menutup semua pintu bagi perundingan serius,
serta akan mendorong seluruh wilayah ini ke dalam ketidak-stabilan dan
ketegangan lebih besar," ia menambahkan.
Pemimpin Palestina akan terpaksa menghancurkan setiap kesepahaman
yang telah dicapainya dengan Amerika Serikat, kalau Pemerintah AS
memutuskan untuk mengubah pendiriannya mengenai Jerusalem, demikian
peringatan Amr, sebagaimana dilaporkan Xinhua --yang dipantau Antara di
Jakarta, Selasa pagi.
Pemerintah AS juga akan dianggap bertanggung-jawab bagi setiap
konsekuensi yang muncul akibat tindakannya mengenai Jerusalem, katanya.
Ia juga mendesak Amerika Serikat agar mempertimbangkan kembali
posisinya dan memelihara "sisa peluang" untuk mewujudkan perdamaian
antara Palestina dan Israel.
Media AS menyatakan Presiden AS Donald Trump sedang mempertimbangkan
untuk mengakui Jerusalem sebagai Ibu Kota Isrel dan mungkin
mengumumkannya pada Rabu.
Penasehat Trump, Jared Kushner, pada Ahad mengatakan presiden AS tersebut belum membuat keputusan mengenai pengakuan itu.
Trump pada Juni mengeluarkan keputusan untuk mempertahankan Kedutaan
Besar AS di Tel Aviv, tapi tidak jelas apakah ia akan mengulangi
keputusannya atau tidak.
Memindahkan Kedutaan Besar ke Jerusalem dipandang oleh Palestina sebagai provokasi dan penghancuran proses perdamaian.
Pembicaraan perdamaian antara Palestina dan Israel telah macet sejak
April 2014. Pembicaraan yang ditaja AS tersebut yang berlangsung selama
sembilan bulan saat itu tak memberi hasil nyata.
Yordania Wanti-wanti AS Soal Pengakuan Yerusalem Ibu Kota Israel
AMMAN
- Yordania mewanti-wanti Amerika Serikat (AS) mengenai rencana
pengakuan Yerusalem sebagai Ibu Kota Israel. Menurut Amman, pengakuan
tersebut akan menimbulkan konsekuensi yang amat serius.
Menteri
Luar Negeri Yordania Ayman Safadi kepada Menteri Luar Negeri AS Rex
Tillerson, saat keduanya berbicara melalui telepon menegaskan bahwa
sangat penting untuk mempertahankan status Yerusalem untuk menghindari
terjadinya ketegangan lebih lanjut.
"Perlu untuk menjaga status
historis dan legal Yerusalem dan menahan diri dari keputusan apapun yang
bertujuan untuk mengubah status tersebut," kata Safadi kepada
Tillerson, seperti dilansir Channel News Asia pada Senin (4/12).
Safadi
kemudian memperingatkan konsekuensi serius dari keputusan apapun untuk
mengakui Yerusalem sebagai ibukota Israel, mengingat status khusus
keagamaan, sejarah, dan nasional kota ini, tidak hanya penting bagi
orang Yordania dan Palestina, tapi juga di seluruh dunia Arab dan
Muslim.
Langkah tersebut, lanjut Safadi juga akan merusak upaya
Amerika untuk menghidupkan kembali perundingan perdamaian antara Israel
dan Palestina, dengan memperingatkan bahwa hal itu akan mengobarkan
kekerasan.
Sementara itu, Liga Arab dikabarkan akan menggelar
pertemuan luar biasa untuk membahas rencana AS tersebut. Asisten
Sekretaris Jenderal Liga Arab, Hossam Zaki, mengatakan bahwa perwakilan
Liga Arab akan segera mengadakan pertemuan mengenai Yerusalem pada hari
Selasa. Pertemuan ini digelar berdasarkan permintaan Palestina.
Akui Yerusalem Milik Israel, AS akan Picu Kemarahan Besar
Yerusalem
CB, WASHINGTON -- Menteri luar negeri Yordania
Ayman Safadi memperingatkan Amerika Serikat (AS)mengenai konsekuensi
berbahaya jika mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel. Safadi
mengaku telah memberi tahu Menlu AS Rex Tillerson bahwa deklarasi besar
itu dapat memicu kemarahan besar dari dunia Arab dan Muslim.
"Keputusan
semacam itu akan memicu kemarahan di dunia Arab, menjadi bahan bakar
ketegangan dan membahayakan usahaperdamaian," kata Safadi di Twitter
seperti dikutip BBC, Senin (4/12).
Tidak ada tanggapan langsung dari Departemen Luar Negeri AS.
Spekulasi Presiden AS Donald Trump akan memenuhi janji kampanyenya untuk
mengakui Yerusalem milik Israel itu semakin menguat. Namun menantu
Trump, Jared Kushner,mengatakan tidak ada keputusan yang dibuat.
Selama kampanye pemilihannya, Trump berjanji akan memindahkan
kedutaan AS dari Tel Aviv ke Yerusalem. Sementara Presiden Palestina
Mahmoud Abbas sedang menggalang dukungan internasional untuk meyakinkan
Trump agar tidak membuat pengumumanseperti itu.
Otoritas Palestina mengungkapkan bahwa Abbas menelepon para pemimpin
dunia pada Ahad (3/12), termasuk Presiden Prancis Emmanuel Macron dan
Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan.
"Dia ingin menjelaskan
bahaya dari keputusan apapun untuk memindahkan kedutaan AS ke
Yerusalematau menjadikan Yerusalem sebagai ibu kota Israel," kata
penasihat Abbas, Majdial-Khalidi.
Sebelumnya para pemimpin
Palestina telah memperingatkan langkah tersebut akan mengancam solusi
dua negara. Israel telah menduduki Yerusalem Timur sejak perang
TimurTengah pada 1967.
Israel mencaplok area tersebut pada 1980. Di bawah hukum
internasional, daerah ni dianggap sebagai wilayah yang diduduki. Israel
juga menetapkan bahwa Yerusalem adalah ibu kota abadi dan tak dapat
dibagi. Tapi Palestina ingin Yerusalem Timur menjadi ibu kota negara di
masa depan.
Polisi Israel berjaga di luar kompleks Masjid Al Aqsha di Kota Tua Yerusalem.
CB, AMMAN -- Yordania telah memulai persiapan
mengadakan pertemuan darurat Liga Arab dan Organisasi Kerja Sama Islam
(OKI) mengenai Yerusalem. Pertemuan ini akan diadakan sebelum Presiden
AS Donald Trump mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel.
Seorang pejabat senior pemerintah AS pada Jumat (1/12)
lalu mengatakan Trump kemungkinan akan membuat pernyataan kontroversial
tersebut dalam sebuah pidato pada Rabu (6/12). Pengakuan terhadap
Yerusalem akan membalikkan kebijakan lama Amerika dan mungkin akan
mengobarkan ketegangan di Timur Tengah.
Yordania akan mengundang anggota kedua lembaga tersebut
untuk bersidang jika pengakuan tersebut diperpanjang. Mereka akan
membahas cara menangani konsekuensi dari keputusan semacam itu yang
dapat menimbulkan kekhawatiran.
"Hal ini pada akhirnya dapat menghambat semua upaya
perdamaian dan pasti akan provokatif bagi negara-negara Arab dan Muslim
serta masyarakat Muslim di seluruh Barat," kata seorang diplomat
Yordania, secara anonim.
"Tidak ada masalah yang bisa menggerakkan orang Arab dan Muslim secara serentak seperti masalah Yerusalem," tambah dia.
Dinasti Hashemite Raja Abdullah adalah penjaga tempat
suci umat Islam di Yerusalem sehingga Amman peka terhadap perubahan
status kota yang disengketakan itu. Para pejabat khawatir langkah
tersebut dapat memicu kekerasan di wilayah Palestina dan tumpah ke
Yordania. Yordania merupakan sebuah negara tempat keturunan pengungsi
Palestina tinggal setelah pembentukan Israel pada 1948.
"Gelombang kemarahan yang luar biasa akan menyebar ke
seluruh dunia Arab dan Muslim," kata sumber diplomatik regional lainnya.
Ketegangan di kompleks Al Aqsha, situs tersuci ketiga umat Islam di
Yerusalem, awal tahun ini juga memicu kerusuhan.
Orang-orang Palestina menginginkan Yerusalem Timur
sebagai ibu kota negara masa depan mereka. Masyarakat internasional juga
tidak mengakui klaim Israel atas kota yang telah menjadi tempat suci
bagi agama Yahudi, Muslim, dan Kristen.
Yordania kehilangan Yerusalem Timur dan Tepi Barat oleh
Israel selama perang Arab-Israel pada 1967. Yordania mengatakan nasib
kota ini hanya boleh diputuskan pada penyelesaian akhir.
Raja Abdullah memperingatkan dampak dari langkah Trump.
Trump awal tahun ini mengatakan dia terbuka terhadap solusi baru untuk
mencapai perdamaian Timur Tengah, bahkan jika negara Palestina tidak
dibentuk.
Palestina Serukan Liga Arab dan OKI Selamatkan Yerusalem
Yerusalem
CB, YERUSALEM -- Menteri Luar Negeri Palestina
Riad al-Maliki pada Ahad (3/12) mendesak Liga Arab dan Organisasi Kerja
Sama Islam (OKI) segera menggelar rapat untuk membahas situasi politik
terkini di Yerusalem. Seruan tersebut ia sampaikan menyusul laporan yang
menyebutkan bahwa Presiden AS Donald Trump kini sedang bersiap untuk
mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel.
Kementerian Luar
Negeri Palestina lewat pernyataan resminya mengungkapkan, al-Maliki
belum lama ini telah melakukan komunikasi via sambungan telepon dengan
pemimpin Liga Arab Ahmad Abul Ghait dan Sekretaris Jenderal OKI Yusuf
al-Utsaimin. Kepada mereka berdua, al-Maliki meminta agar Liga Arab dan
OKI segera mengadakan pertemuan darurat untuk menolak rencana AS terkait
masa depan Yerusalem.
Al-Maliki memperingatkan bahwa langkah AS
(mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel) itu bakal menimbulkan
konsekuensi serius dan akan meledakkan situasi politik di wilayah
Palestina dan wilayah sekitarnya, tulis Kemenlu Palestina lewat
pernyataan yang dilansirlaman Wworld Bulletin, Ahad (3/12).
Status
Yerusalem sendiri sampai hari ini masih menjadi inti persoalan utama
konflik antara Israel dan Palestina. Pasalnya, masyarakat Palestina
menginginkan Yerusalem Timur yang saat ini sedang diduduki Israel
menjadi ibu kota Palestina. Sementara, selama musim Pemilihan Umum
Presiden (Pilpres) AS tahun lalu, Trump telah berjanji untuk memindahkan
kedutaan AS dari Tel Aviv ke Yerusalem, sebagai bentuk pengakuannya
terhadap kepimilikan kota itu oleh Israel.
Bahayanya Jika AS Akui Yerusalem Jadi Ibu Kota Israel
Yerusalem
CB, KAIRO -- Liga Arab (AL) pada Ahad (3/12)
memperingatkan mengenai konsekuensi berbahaya jika Amerika Serikat
mengakui Yerusalem sebagai Ibu Kota Israel.
"Jika dilaksanakan,
itu akan menandai perubahan pendirian bersejarah Washington yang
memandang kota suci tersebut sebagai kota Palestina yang diduduki dan
bagian tak terpisahkan tanah Palestina yang diduduki," kata Saeed
Abu-Ali, Asisten Sekretaris Jenderal AL untuk Tanah Arab dan Palestina
yang Diduduki, di dalam satu pernyataan.
Pernyataan tersebut
dikeluarkan setelah media AS pada Jumat (1/12) melaporkan Presiden AS
Donald Trump sedang mempertimbangkan untuk mengakui Yerusalem sebagai
Ibu Kota Israel dan mungkin mengeluarkan satu pengumuman pada Rabu.
Trump
berikrar selama kampanye presidennya untuk memindahkan Kedutaan Besar
AS di Israel dari Tel Aviv ke Jerusalem, kota suci yang menjadi sengketa
dan diinginkan oleh rakyat Palestina sebagai ibu kota negara masa depan
mereka.
Abu-Ali, Senin pagi, mengatakan pengakuan AS semacam itu
akan memberi Israel lampu hijau untuk melanjutkan pelanggarannya atas
semua resolusi internasional dan pendudukannya atas tanah Palestina. Ia
mendesak Washington agar bertindak sebagai "penengah yang tak memihak"
dalam proses perdamaian.
Selama dua hari belakangan, Presiden
Palestina Mahmoud Abbas telah mengadakan kontak dengan dan berusaha
memperoleh dukungan dari para pemimpin Arab serta Barat, dan
memperingatkan potensi dampak yang menghancurkan dari pemindahan
Kedutaan Besar AS.
Arsip Foto. Pengungsi Suriah mencium
putrinya saat berjalan di tengah badai hujan menuju perbatasan
Yunani-Makedonia, dekat desa Idomeni, Yunani, 10 September 2015.
(REUTERS/Yannis Behrakis)
Amman, Yordania (CB) - Sekitar 1.000 warga Suriah yang
mencari perlindungan di Yordania telah pulang ke negara asal mereka
setiap bulan sejak Juli, ketika gencatan senjata untuk Suriah selatan
diberlakukan, kata Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Senin (27/11).
Gencatan
senjata yang diperantarai oleh Yordania, Rusia dan Amerika Serikat
untuk provinsi Daraa, Quneitra dan Suweida tersebut sebagian besar tetap
terlaksana sejak diberlakukan 9 Juli.
Sejak saat itu "jumlah
warga Suriah yang pulang ke negaranya secara sukarela bertambah," kata
Mohammed al-Hiwari, juru bicara badan pengungsi PBB UNHCR di Amman,
kepada AFP.
"Hari ini jumlahnya sudah meningkat menjadi sekitar 1.000 per bulan rata-rata," tambah Hiwari.
Menurut
Hiwari, jumlah pengungsi yang kembali secara sukarela ke Suriah naik
menjadi 1.203 pada Agustus dan 1.078 pada September.
Selama enam bulan sebelum gencatan, hanya 1.700 pengungsi Suriah yang kembali ke kampung halaman mereka, katanya.
Yordania
berbagi perbatasan bersama sepanjang lebih dari 370 kilometer dengan
Suriah, tempat lebih dari 340.000 orang tewas dan jutaan lainnya
terlantar sejak konflik pecah pada 2011.
PBB mengatakan Yordania
menampung lebih dari 650.000 pengungsi Suriah, namun otoritas di
kerajaan itu menyebutkan jumlah sebenarnya adalah 1,3 juta jiwa.
Menampung sedemikian banyak pengungsi menjadi beban berat bagi Yordania yang minim sumber daya alam.
Hiwari menekankan bahwa UNHCR "tidak menyarankan mereka kembali ke zona-zona di Suriah yang dianggap tidak aman."
Gencata
senjata di tiga provinsi Suriah bagian selatan itu merupakan bagian
dari rencana lebih luas yang didukung Rusia untuk menciptakan zona
"deeskalasi" di daerah-daerah yang dikuasai pemberontak di negara itu.
Rusia
dan Iran, sekutu utama pemerintah Suriah, dan pemberontak yang dibantu
Turki sepakat pada Mei untuk menciptakan empat zona semacam itu menuju
gencatan senjata abadi.
AMMAN
- Kepala Biro Politik Hamas Ismail Haniyeh membahas perkembangan
terakhir Palestina dengan Raja Jordania Abdullah II. Seperti diketahui,
kelompok Hamas dan Fatah telah sepakat untuk melakukan rekonsiliasi
setelah terlibat perseteruan panjang.
Dalam sebuah telpon,
Haniyeh menggariskan situasi politik dan isu persatuan Palestina. Dia
menekankan pada hubungan yang kuat antara orang-orang Palestina dan
Yordania, mengingat kejadian sejarah di mana Yordania berdiri di samping
Palestina.
"Citra Raja Yordania saat menyumbangkan darah selama
serangan Israel di Gaza dan peran almarhum Raja Hussein dalam pembebasan
pemimpin Hamas terakhir Ahmed Yassin dari penjara Israel terukir di
benak orang Palestina," katanya seperti dikutip dari Middle East Monitor, Jumat (27/10/2017).
Dia
juga mengatakan bahwa Hamas menolak semua konspirasi dan usulan negara
alternatif untuk orang-orang Palestina. "Palestina adalah Palestina dan
Yordania adalah Yordania. Kita tidak akan menerima teori tentang negara
lain," katanya.
Pemimpin tertinggi Hamas mengulangi dukungan
gerakannya untuk stabilitas Yordania, mencatat bahwa keamanan nasional
Yordania adalah keamanan nasional Palestina. Dia juga memuji kustodian
Saudi di tempat-tempat suci di Yerusalem.
Sementara itu, Raja
Yordania menekankan dukungan negaranya untuk kepentingan Palestina,
terutama menjelang tantangan yang terus berlanjut.
Dia
mengucapkan selamat kepada Haniyeh atas rekonsiliasi tersebut dan
mengatakan bahwa kerajaannya akan berusaha mengembalikan penyebab
Palestina ke prioritas utama negara-negara Arab.
AMMAN
- Menteri Luar Negeri Indonesia Retno Marsudi menyerukan persatuan
dunia Islam untuk menghadapi tantangan yang ada demi kepentingan umat.
Seruan itu disampaikan Retno saat melakukan pertemuan dengan Raja
Yordania Abdullah II di Amman.
"Berbagai tantangan yang dihadapi
umat Islam saat ini memerlukan negara-negara Islam untuk bersatu dan
bekerja sama dalam mengatasinya," kata Retno, seperti tertuang dalam
siaran pers Kementerian Luar Negeri Indonesia pada Kamis (5/10).
Dalam
pertemuan itu, Retno dan Raja Abdullah II membahas banyaknya tantangan
yang dihadapi umat Islam yang membutuhkan kerja sama kuat antara negara
Islam. Untuk itu, lanjut Retno, toleransi dan saling pengertian
dibutuhkan dalam berinteraksi antar negara.
"Kenyataan saat ini banyak waktu dihabiskan untuk membahas penyelesaian berbagai konflik di antara negara Islam," ungkapnya.
Di
kesempatan yang sama, Retno juga menyampaikan undangan Presiden RI
kepada Raja Abdullah untuk hadir sebagai pembicara utama di Bali
Democracy Forum, di Bali 7-8 Desember 2017. Undangan tersebut diberikan
kepada Raja Abdullah II mengingat perannya dalam memajukan pluralisme,
toleransi, dan demokrasi.
Selain itu, keduanya juga memberi
perhatian terhadap tantangan dari terorisme dan radikalisme. Beberapa
kekhawatiran yang dibahas keduanya terkait Foreign Terrorist Fighters
(FTF) dan perkembangan regionalisasi kelompok terorisme, seperti di
Marawi. Dalam kaitan ini Raja Yordania menyambut baik komitmen dan
langkah Indonesia dalam upaya menanggulangi terorisme.
Lebih
lanjut, Raja Abdullah II menyampaikan kesiapan Yordania untuk melakukan
kerja sama khususnya terkait tukar informasi dan intelijen, program
de-redikalisasi dan peningkatan kapasitas aparat penegak hukum. Dalam
kaitan ini, Retno mengharapan agar MoU kerja sama dalam menanggulangi
terorisme dan redikalisme antara Indonesia dan Yordania dapat segera
diselesaikan.
"Terorisme dan radikalisme merupakan tantangan
nyata dan hanya dapat dihadapi dengan kerja sama yang efektif, baik di
tingkat bilateral, regional maupun internasional," ucap Retno.
Perjuangan
rakyat Palestina untuk merdeka juga menjadi pembahasan dalam pertemuan
itu. Pemimpin Yordania menyampaikan bahwa isu Palestina semakin kurang
mendapat perhatian masyarakat internasional, sehingga membutuhkan upaya
bersama untuk menempatkannya kembali di agenda masyarakat internasional.
Dalam kaitan ini Retnokembali menyampaikan komitmen Indonesia dalam
memperjuangkan kemerdekaan Palestina.
AMMAN
- Situasi Palestina menjadi salah satu pembahasan utama dalam pertemuan
antara Menteri Luar Negeri Indonesia Retno Marsudi dan Menteri Luar
Negeri Yordania Ayman Safadi. Keduanya melakukan pertemuan di ibukota
Yordania, Amman.
Dalam pertemuan itu Retno menekankan pentingnya
untuk terus menempatkan isu kemerdekaan Palestina dalam agenda utama
masyarakat internasional. Baik Retno, atau Safadii sepakat, bahwa tidak
ada solusi lain dalam penyelesaian isu Palestina, kecuali solusi dua
negara.
Secara khusus, Menlu Yordania menyampaikan apresiasi
atas komitmen Indonesia dalam memperjuangkan dan mencari solusi terhadap
berbagai tantangan yang dihadapi Palestina, termasuk kejadian di Mesjid
Al’Aqsa baru baru ini.
“Indonesia akan selalu berada bersama
Palestina, karena Palestina berada di jantung politik luar negeri
Indonesia,” ungkap Retno, seperti tertuang dalam siaran pers Kementerian
Luar Negeri Indonesia yang diterima Sindonews pada Rabu (4/10).
Selain
membahas masalah Palestina, keduanya juga membahas tantangan besar yang
dihadapi kedua negara saat ini, yaitu terorisme dan radikalisme.
Keduanya sepakat bahwa tantangan ini semakin berat, dengan adanya
ancaman regionalisasi kelompok terorisme akibat banyaknya foreign
terrorist fighters (FTF) yang kembali dari beberapa negara di Timur
Tengah. Situasi di Marawi, Filipina merupakan salah satu contoh dari
regionalisasi kelompok teroris.
Dalam kaitan ini, kedua Menlu
menekankan pentingnya upaya bersama dalam bentuk kerjasama dan kemitraan
untuk penanggulangan terorisme dan radikalisme. Untuk itu, Retno
mendorong agar segera diselesaikan pembahasan MoU kerja sama
penanggulangan terorisme dan radikalisme.
Beberapa area kerja
sama yang disebut kedua Menlu penting untuk dilakukan antara lain
pertukaran informasi dan intelijen, pencegahan pendanaan bagi terorisme,
penanganan FTF, program diradikalisasi dan dialog interfaith, serta
peningkatan kapasitas.
Setya Novanto mengatakan, dokumen dari
Yordania tersebut akan dipelajari oleh DPR sebelum ditindaklanjuti
dalam bentuk pengambilan sikap bersama atas pelanggaran kemanusiaan yang
dilakukan Israel. (CNN Indonesia/Hesti Rika Pratiwi)
Jakarta, CB --
Dewan Perwakilan Rakyat RI akan mempelajari dokumen hasil
penyelidikan Yordania atas pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan
Israel di Palestina.
“Secara khusus, parlemen Yordania memberi
dokumen pelanggaran kemanusiaan Israel di Palestina. Kami ingin terus
satu barisan membela Palestina,” ujar Ketua DPR RI, Setya Novanto,
setelah dokumen itu diserahkan di sela Forum Parlemen Dunia di Nusa Dua,
Bali, Kamis (7/9).
Setya mengatakan, dokumen tersebut akan
dipelajari oleh DPR sebelum ditindaklanjuti dalam bentuk pengambilan
sikap bersama atas pelanggaran kemanusiaan yang dilakukan Israel.
Menurut Setya, pemberian dokumen tersebut merupakan bukti baiknya hubungan bilateral antara Indonesia dan Yordania.
Ia
berkata, kedua negara memiliki kesamaan pandangan dalam melihat
tantangan global, seperti dalam aspek penanggulangan terorisme dan
stabilitas di masing-masing negara.
Lebih lanjut, Ketum Golkar ini menyampaikan, Yordania juga menyampaikan
rasa prihatin atas konflik kemanusian yang menimpa etnis Rohingya di
Rakhine, Myanmar.
Yordania menilai, musibah yang menimpa etnis Rohingya sama dengan sejumlah warga Suriah akibat perang melawan ISIS.
Setya
berkata, Yordania merupakan salah satu negara di sekitar Suriah yang
saat ini menampung satu juta pengungsi dari negara pimpinan Bashar
al-Assad itu.
“Sama halnya dengan Indonesia yang menerima
pengungsi etnis Rohingya dari Myanmar, Yordania juga menerima pengungsi
dari Suriah,” ujarnya.
Berkaitan dengan Rohingya, Setya
mengklaim, DPR akan membawa dan menerbitkan resolusi dalam pertemuan
ASEAN Inter-Parliamentary Assembly yang digelar di Filipina pada 15
September mendatang.
Setya juga telah meminta parlemen Yordania untuk membawa tragedi yang
menimpa etnis Rohingya dalam sidang Inter-Parliamentary Union Oktober
2017.
“Dengan bersuara di berbagai forum internasional, kami
berharap pemerintah Myanmar segera dapat mewujudkan perdamaian di sana,”
ujar Setya.
Dalam kesempatan itu, Setya juga menyampaikan bahwa
pemerintah Yordania mengucapkan terima kasih atas kecaman Indonesia
terhadap kekerasan Israel di Masjid Al Aqsa beberpa bulan lalu lewat
berbagai forum internasional, khususnya Organisasi Kerja Sama Islam.
Sebaliknya,
Setya juga menyampaikan terima kasih kepada Yordania karena telah
memberi dukungan tertulis bagi pencalonan Indonesia sebagai anggota
tidak tetap Dewan Keamanan PBB periode 2019-2020.