Presiden AS Donald Trump tengah menghadapi
masa sulit dengan militer AS, usia menarik pasukan dari Suriah.
(REUTERS/Carlos Barria)
Jakarta, CB -- Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump dan ibu negara Melania Trump diam-diam mengunjungi tentara AS di Irak pada Rabu (26/12). Kunjungan liburan ini menuntaskan janjinya untuk mengunjungi salah satu zona perang AS.
Setelah
penerbangan diam-diam dari Washington, Trump dan sang istri mendarat di
jalur udara gelap di Pangkalan Udara Al Asad di sebelah barat Baghdad.
Situasi keamanan yang tidak pasti membuat Trump harus melakukan
kunjungan diam-diam di wilayah yang sudah diinvasi oleh AS lebih dari 15
tahun ini.
Dikutip dari CNN, sebuah foto yang diunggah di Twitter
oleh juru bicara Presiden menunjukkan Trump mengenakan mantel hitam dan
dasi merah, berpose untuk foto dengan pasukan berseragam. Sementara ibu
negara berdiri tersenyum di sampingnya, mengenakan blus berwarna
mustard.
Trump meninggalkan sejumlah masalah di Washington, termasuk penutupan sebagian pemerintah
(government shutdown)
dan ekonomi yang tidak stabil. Dia juga menghadapi kritik karena
serangkaian keputusan kebijakan luar negeri yang membuat tim keamanan
nasionalnya berselisih.
Trump telah berusaha untuk
menjauhkan diri dari keterikatan asing yang ia gambarkan sebagai
kesalahan bodoh yang dilakukan oleh para pendahulunya, termasuk perang
di Irak. Dia baru-baru ini memerintahkan penarikan 14 ribu tentara AS di
Afghanistan dan 2.000 tentara dari Suriah.
Dia belum menyatakan
rencananya untuk menarik lebih dari 5.000 pasukan Amerika di Irak yang
tengah memerangi ISIS. Menurut Reuters, Trump mengatakan bahwa ia tidak
memiliki rencana untuk menarik pasukan dari Irak.
Trump sebelumnya
telah berbicara dengan pasukan AS yang bertugas di luar negeri dari
gedung putih melalui konferensi video. "Kita (AS) sekarang adalah polisi
dunia dan AS membayar untuk itu. Kita bisa menjadi polisi dunia, tetapi
negara-negara lain harus membantu kita," ujarnya saat itu.
Pendahulu Trump, George W. Bush melakukan empat perjalanan ke Irak
setelah memerintahkan pasukan Amerika ke negara itu pada tahun 2003.
Barack Obama pernah berkunjung. Keduanya juga melakukan perjalanan
beberapa kali ke Afghanistan.
Kunjungan Trump dilakukan di
tengan masa sulitnya dengan militer. Sekretaris pertahanan Trump
mengundurkan diri pekan lalu setelah keputusan pasukan Suriah, menulis
dalam surat pengunduran dirinya bahwa Trump pantas bersanding dengan
pimpinan militer yang memiliki pandangan yang sama.
Penggantinya, mantan eksekutif Boeing, minim pengalaman kebijakan luar negeri maupun militer.
Trump
menghadapi sorotan karena menunda kunjungan ke pasukan AS. Secara
pribadi, dia bertanya-tanya apakah perjalanan seperti itu hanya akan
berfungsi untuk menyoroti perang yang tidak didukungnya dan ingin
diakhiri.
Namun, setelah menghadapi kritik karena membatalkan kunjungan ke
pemakaman militer di Prancis karena hujan, Trump mengumumkan bahwa ia
akan segera melakukan perjalanan ke zona perang pada November lalu.
Seperti
presiden sebelum dia, kunjungan Trump diselimuti kerahasiaan. Dia
meninggalkan Gedung Putih dengan tenang pada malam Natal dan detail
perjalanannya sangat erat dilakukan di Sayap Barat.
Satu setengah
tahun setelah dimulainya perang yang telah menewaskan hampir 5.000
tentara Amerika, Irak tetap menjadi tempat yang berbahaya.
Invasi
yang dipimpin AS pada 2003 menggulingkan Presiden Irak Saddam Hussein,
tetapi selama beberapa tahun kemudian pasukan AS terlibat dalam
pertempuran panjang di seluruh negara itu, memerangi pemberontakan dan
kemudian kekerasan sektarian.
Pada puncaknya, jumlah pasukan AS
di Irak hampir mencapai 166 ribu. Setelah misi tempur berakhir pada
2010, beberapa pasukan tetap tertinggal untuk membantu menstabilkan
negara.
Ribuan lainnya kembali empat tahun kemudian untuk
bertempur melawan ISIS. Irak secara resmi menyatakan kemenangan terhadap
kelompok teror itu setahun yang lalu, tetapi pasukan AS tetap membantu
menstabilkan wilayah negara itu dan melatih tentara Irak.
Trump mengkritik pendahulunya, Obama, karena menarik pasukan terlalu
cepat dari Irak, mengklaim itu memungkinkan ISIS bergerilya.
Pemerintahan
Obama tidak dapat mencapai kesepakatan dengan pemerintah Irak untuk
memungkinkan sisa pasukan AS menjaga stabilitas di negara itu. Namun,
dengan membawa pasukan pulang dan menyatakan akhir resmi untuk Perang
Irak, Obama memenuhi janji kepada pemilih untuk mengakhiri perang yang
dimulai Bush.
Trump sekarang mendapati dirinya bersemangat untuk
memenuhi janji-janjinya sendiri mengurangi keterlibatan AS di luar
negeri. Itulah yang mendorong keputusannya baru-baru ini untuk membawa
pasukan AS keluar dari Suriah dan Afghanistan.
Namun, keputusan
itu tidak populer di antara tim keamanan nasionalnya sendiri, termasuk
Menteri Pertahanan James Mattis, yang mengundurkan diri pekan lalu.
Mereka
dan pejabat lainnya memperingatkan Trump bahwa meninggalkan wilayah itu
sekarang akan memungkinkan ISIS, atau kelompok teror lain, untuk
mendapatkan kembali pijakan. Namun, Trump bersikeras bahwa sudah tiba
waktunya bagi personel AS untuk pulang.
Credit
cnnindonesia.com