Pesawat
N219 terbang perdana di Bandung, Jawa Barat, 16 Agustus 2017. Pesawat
buatan PT Dirgatara Indonesia dan LAPAN ini terbang sekitar 20 menit di
atas langit Bandung. TEMPO/Prima Mulia
CB, Tangerang Selatan - Pesawat
N219 garapan Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) bekerja
sama dengan PT Dirgantara Indonesia hanya membutuhkan landasan
sepanjang 400-600 meter. Nantinya, pesawat ini akan ada dua jenis, yakni
basic yang hanya bisa mendarat di darat dan amfibi yang bisa mendarat
di air.
"Tempat
yang cocok untuk pesawat N219 ketika mendarat di perairan yakni bisa di
sungai atau di lautan yang ombaknya tenang," kata Kepala Program
pesawat N219 LAPAN Agus Ariwibowo saat ditemui usai workshop Composite
Float Development For Amphibious Aircraft yang berlangsung di Puspiptek,
Jumat pekan lalu.
Misalnya, kata dia,
seperti sungai di Kalimantan. "Di sana sungainya lebar-lebar. Cukup bisa
untuk mendarat, kemudian di pantai yang ombaknya tidak terlalu tinggi,"
ujarnya. "Seperti di Wakatobi, Raja Ampat, Pulau Bawah (Kepulauan Riau)
dan Pulau Moyo (NTB) dengan ketinggian ombak tidak lebih dari 30
sentimeter."
Apabila
mendarat di sungai, kata Agus, pesawat ini bisa mendarat di sungai yang
mempunyai lebar minimal 20 sampai 30 meter. "Saya kira sungai di
Kalimantan jauh lebih lebar hanya kedalaman saja yang tidak boleh
terlalu dangkal. Bisa merusak pelampungnya," kata Agus.
Soal
ketahanan, pesawat akan lebih tahan jika mendarat di air tawar.
Sebaliknya, kata dia, kalau mendarat di laut, setelah dipakai harus
segera disiram. "Agar tidak terjadi korosi akibat garam," ujarnya.
Credit TEMPO.CO