Selasa, 18 Desember 2018

Bashir, Pemimpin Arab Pertama yang Kunjungi Suriah sejak Perang Pecah


Bashir, Pemimpin Arab Pertama yang Kunjungi Suriah sejak Perang Pecah
Presiden Suriah Bashar al-Assad menyambut kunjungan Presiden Sudan Omar al-Bashir di bandara Damaskus, Minggu (16/12/2018). Al-Bashir jadi pemimpin Arab pertama yang kunjungi Suriah sejak perang sipil pecah. Foto/SANA

DAMASKUS - Presiden Sudan Omar al-Bashir menjadi pemimpin Liga Arab pertama yang mengunjungi Suriah sejak perang dimulai hampir delapan tahun lalu.

Kantor berita pemerintah Damaskus, SANA, melaporkan al-Bashir disambut Presiden Suriah Bashar al-Assad saat tiba di bandara Damaskus hari Minggu. Mereka kemudian menuju ke istana presiden.

"Kedua pemimpin membahas hubungan bilateral serta situasi dan krisis yang dihadapi oleh banyak negara Arab," kata kepresidenan Suriah, dalam sebuah pernyataan, yang dilansir Senin (17/12/2018).

Foto-foto yang dirilis SANA menunjukkan kedua pemimpin berjabat tangan di bandara, tepatnya di depan jet Rusia yang membawa presiden Sudan ke Suriah. Rusia, sekutu penting Assad, mengoperasikan sebuah pangkalan di Latakia.

Al-Bashir dalam pertemuannya dengan Assad berharap Suriah akan memulihkan peran pentingnya di kawasan Arab sesegera mungkin. Dia juga menegaskan kesiapan Sudan untuk menyediakan semua yang dapat mendukung integritas teritorial Suriah.

Sedangkan Assad berterima kasih kepada al-Bashir atas kunjungannya. Menurut Assad, kunjungan tersebut akan memberikan momentum yang kuat untuk memulihkan hubungan antara kedua negara.

Suriah diusir dari Liga Arab yang beranggotakan 22 negara setelah perang sipil pecah pada 2011. Negara-negara Arab telah mengutuk Assad atas tuduhan menggunakan kekuatan militer yang luar biasa dan gagal bernegosiasi dengan kubu oposisi.

Rezim Assad sempat kerepotan saat menghadapi perang sipil yang diperparah dengan munculnya kelompok ekstremis ISIS. Namun, dengan bantuan Rusia, Iran serta milisi pro-Assad lainnya, pasukan Suriah meraih banyak kemenangan.

Pada bulan Oktober, Assad mengatakan kepada surat kabar Kuwait bahwa Suriah telah mencapai "pemahaman utama" dengan negara-negara Arab setelah bertahun-tahun terlibat permusuhan. Dia tidak menyebutkan negara-negara Arab tersebut dalam wawancara. Namun, dia mengatakan bahwa para delegasi Arab dan Barat telah mulai mengunjungi Suriah untuk mempersiapkan pembukaan kembali diplomatik dan misi lainnya.

Hanya seminggu sebelum itu, menteri luar negeri Bahrain mengejutkan para pengamat karena merangkul menteri luar negeri Suriah di sela-sela pertemuan Majelis Umum PBB di New York. Pertemuan hangat itu menimbulkan pertanyaan tentang apakah beberapa negara Teluk—sebagian besar dari mereka adalah musuh sekutu Assad, Iran—sedang mempertimbangkan kembali hubungan mereka dengan Suriah.

Yordania juga membuka kembali penyeberangan Nassib ke Suriah pada bulan Oktober. Sedangkan Israel telah mengambil langkah-langkah untuk meningkatkan hubungan dengan pemerintah Assad, termasuk membuka persimpangan di dekat Quneitra di Dataran Tinggi Golan yang diduduki Israel. Persimpangan itu dibuka kembali pada bulan Oktober  di bawah pengawasan militer Rusia.

Sementara itu, Turki yang merupakan pendukung utama oposisi Suriah mengatakan siap untuk berhubungan dengan Damaskus jika pemerintah Assad mengadakan dan memenangkan pemilu yang bebas dan adil.

"Jika itu adalah pemilihan demokratis, dan jika itu adalah yang kredibel maka setiap orang harus mempertimbangkan (bekerja dengan dia)," kata Menteri Luar Negeri Turki Mevlut Cavusoglu di Forum Doha, ketika ditanya apakah Turki akan bekerja dengan Assad atau tidak.

"Pada akhirnya, rakyat Suriah harus memutuskan siapa yang akan memerintah negara itu setelah pemilu tersebut," ujar Cavusoglu.

Nader Hashemi, direktur Pusat Studi Timur Tengah di University of Denver, mengatakan negara-negara Arab berusaha untuk memainkan peran dalam rekonstruksi Suriah. 

"Saya pikir mereka mencoba, mungkin, mengusir Assad dari aliansinya dengan Iran," katanya kepada Al Jazeera.

"Prioritas nomor satu untuk rezim Assad hari ini, setelah menghancurkan semua penentangan terhadap pemerintahannya adalah rekonstruksi ekonomi. Barat tidak akan berinvestasi dalam rekonstruksi ekonomi tetapi ada negara Arab yang sangat kaya yang memang memiliki sumber daya keuangan, jadi saya menduga bagian dari agenda di sini adalah untuk melihat apakah Bashar al-Assad dapat dipengaruhi secara finansial dengan bantuan rekonstruksi sebagai ganti melemahnya aliansinya dengan Iran," imbuh dia.

Perang jangka panjang Suriah telah menewaskan ratusan ribu orang dan memaksa jutaan orang melarikan diri dari rumah mereka.

Sekadar diketahui, Presiden Sudan Omar al-Bashir telah menjadi pemimpin di negaranya sejak 1989 dan dicari oleh Pengadilan Kriminal Internasional (ICC) di Belanda untuk menghadapi tuduhan kejahatan perang yang berasal dari konflik di negaranya sendiri.



Credit  sindonews.com