Selasa, 17 April 2018

Peretas Rusia Ancam Bobol Jutaan Sistem di Seluruh Dunia


Peretasan. Ilustrasi
Peretasan. Ilustrasi
Foto: PC World


AS dan Inggris menduga Rusia merencanakan serangan masif terhadap sistem komputer




CB, WASHINGTON -- Peringatan publik dirilis oleh Gedung Putih, agen Amerika Serikat (AS), Pusat Kemananan Nasional Inggris mengenai kemungkinan peretasan global yang dilakukan peretas Rusia. Peringatan itu muncul setelah AS dan Inggris sama-sama memonitor ancaman peretas selama setahun terakhir.

Dikutip dari Washington Post, Senin (16/4), pemerintah AS dan Inggris menduga Rusia sedang merencanakan serangan terhadap sistem komputer secara masif di seluruh dunia. Komputer rumah hingga penyedia internet disebut sebagai sasaran para peretas untuk tujuan mata-mata dan kemungkinan sabotase.

"Kami meyakini Rusia merancang serangan siber yang menyasar rumah tangga dan bisnis. Apa yang saya dan anda miliki di rumah bisa jadi sasaran peretas," kata koordinator keamanan siber Gedung Putih Rob Joyce pada Senin (16/4). Jutaan pengguna komputer di seluruh dunia juga dikabarkan tak luput dari ancaman peretas Rusia.

Ciaran Martin selaku kepala di National Cyber Security Centre (NCSC), bagian dari agen intelijen Inggris GCHQ, menyatakan Rusia adalah musuh berat dalam dunia siber. Dalam wawancara dengan Independent dan sejumlah media lain, Ciaran Martin mengatakan ancaman siber Rusia pertama kali diungkap badan keamanan siber AS.

Ancaman serangan tersebut diyakini juga berpengaruh ke Inggris dan dapat mengacaukan sektor energi. "Ini adalah serangan berkelanjutan yang menargetkan sederet entitas, kami percaya Rusia ada di balik ancaman serangan siber," katanya.

"Tujuan peretasan bisa saja untuk keperluan spionase dan digunakan untuk kepentingan mereka. Jutaan perangkat di seluruh dunia terancam dan peretas bisa mengambil alih kontrol konektivitas," papar Martin.





Credit  republika.co.id





Rahasia Trump tidak ngawur ketika Barat merudal Suriah


Rahasia Trump tidak ngawur ketika Barat merudal Suriah
Presiden Prancis Emmanuel Macron. (REUTERS)




Jakarta (CB) - Presiden Prancis Emmanuel Macron mengaku telah meyakinkan Presiden Amerika Serikat Donald Trump untuk mempertahankan tentaranya di Suriah dalam jangka panjang dan membatasi serangan rudal ke Suriah Sabtu pekan lalu hanya menyasar fasilitas-fasilitas senjata kimia.

Dalam wawancara dengan The Guardian kemarin, Macron menyatakan membatasi serangan peluru kendali ke target-target khusus tadinya tidak dipikirkan Trump.

"Kami juga membujuk dia bahwa kami perlu membatasi serangan ke (situs-situs) senjata kimia, setelah segala sesuatu disampaikan lewat cuitan," kata dia.

Presiden Prancis itu melanjutkan, "Sepuluh hari lalu, Presiden Trump telah berkata bahwa 'Amerika Serikat meski menarik diri dari Suriah'. Kami berhasil meyakinkan dia bahwa penting tetap (ada di Suriah). Kami berhasil meyakinkan dia adalah penting tetap ada (di Suriah) untuk jangka panjang."

Kendati kerap berseberangan di Timur Tengah, Macron dan Trump menjalin hubungan yang bersahabat setahun terakhir ini. Macron mengundang Trump menghadiri Hari Bastille tahun lalu dan sebaliknya dia akan mengunjungi Gedung Putih bulan ini.


Keputusan Macron memerintahkan peluncuran rudal-rudal Prancis ke Suriah bersama AS dan Inggris telah menandai fase baru dalam masa pemerintahannya. Ini kali pertama presiden paling muda dalam sejarah modern Prancis itu menggunakan mandat konstitusi sebagai panglima tertinggi angkatan bersenjata untuk memerintahkan serangan militer.

Menanggapi klaim Macron, Sekretaris Gedung Putih Sarah Sanders mengatakan, "Misi AS tidak berubah, presiden sudah jelas bahwa dia ingin pasukan kami pulang secepat mungkin.  Kami telah menuntaskan tugas menghancurkan ISIS dan menciptakan kondisi yang mencegah ISIS kembali. Sebagai tambahan kami mengharapkan sekutu dan mitra kawasan kami untuk mengambil tanggung jawab lebih besar lagi baik secara militer maupun finansial dalam mengamankan kawasan."

Serangan rudal sekutu ke Suriah Sabtu pekan lalu itu telah memuntahkan 105 peluru kendali AS, Inggris dan Prancis yang menyasar tiga fasilitas senjata kimia sebagai balasan atas serangan gas di Douma pada 7 April. Serangan ini juga menjadi operasi militer besar Prancis pertama sejak Macron terpilih Mei tahun lalu, demikian The Guardian.




Credit  antaranews.com





Militer Arab Saudi tunjukkan bukti keterlibatan Iran


Militer Arab Saudi tunjukkan bukti keterlibatan Iran
Perwira militer Arab Saudi Kolonel Turki S. Al Maliki memaparkan perihal serangan rudal balistik milisi Houthi ke wilayah Arab Saudi dari Yaman dan dukungan Iran dengan memasok rural dan pesawat nirawak "Ababil" kepada milisi Houthi dalam menyerang wilayah Arab Saudi. Kolonel Turki memaparkan dan memberikan bukti keterlibatan Iran itu dalam konferensi pers di Al Khobar, Senin Malam (16/7). (Rahmad Nasution)



Al Khobar, Arab Saudi (CB) - Angkatan Bersenjata Arab Saudi, Senin (16-4-2018) malam, menunjukkan bukti keterlibatan Iran dalam serangan-serangan rudal balistik dan pesawat tanpa awak milisi Houthi Yaman ke wilayah negara itu dalam beberapa tahun terakhir.

Bukti berupa sisa-sisa rudal dan "drone AUV Ababil" buatan Iran yang berhasil dirontohkan sistem pertahanan militer Arab Saudi itu ditunjukkan kepada puluhan wartawan Arab Saudi dan mancanegara, termasuk Antara, dalam sebuah konferensi pers.

Dalam konferensi pers yang dilangsungkan di Hotel Le Meridien Al Khobar itu, perwira militer Arab Saudi, Kolonel Turki S. Al Maliki, menegaskan rudal dan pesawat nirawak Ababil itu diluncurkan milisi Houthi untuk menyerang Jazan dan Bandar Udara Abha.

Serangan milisi Houthi yang didukung Iran dengan rudal balistik dan AUV Ababil ke Jazan dan Bandara Abha, Arab Saudi, itu terjadi pada tanggal 11 April 2018, katanya.


(foto : Rahmad Nasution)


Menurut Turki, kelompok milisi Houthi tak mungkin memiliki kemampuan menyerang dengan alat utama sistem senjata rudal balistik dan AUV Ababil ke wilayah Arab Saudi dari Yaman tanpa bantuan pasokan dari Iran.

"Kemampuan yang sama juga diberikan Iran kepada Hizbullah dan Hamas," katanya.

Ia mengatakan bahwa serangan rudal milisi Houthi itu tidak hanya mengancam Arab Saudi, tetapi juga masyarakat internasional.

Kolonel Turki S. Al Maliki lebih lanjut mengatakan bahwa pihaknya tidak membalas serangan balasan ke sasaran Houthi di wilayah Yaman karena Arab Saudi menghormati etika dan hukum internasional serta mempertimbangkan keselamatan warga sipil di negara itu.

Sejauh ini, Arab Saudi lebih mengandalkan pasukan pemerintah Yaman yang sah dalam menghadapi milisi Houthi di negaranya karena mempertimbangkan keselamatan jiwa rakyat Yaman, katanya.

Perihal keterlibatan Iran yang mendukung Houthi di Yaman dan ancaman rudal balistik milisi ini sempat disinggung oleh Raja Salman bin Abdulaziz Al Saud dalam pidatonya di Konferensi Tingkat Tinggi Ke-29 Liga Arab yang berlangsung di Dhahran, Minggu (15-4-2018).

Raja Salman mengatakan bahwa milisi Houthi di Yaman yang didukung Iran merupakan ancaman nyata dan tiga dari 119 misil yang telah ditembakkannya bahkan diarahkan ke Mekah, kota tersuci umat Islam.

"Realitas ini kembali menunjukkan kepada dunia bahaya perilaku Iran di kawasan, pelanggaran atas prinsip-prinsip hukum internasional dan pengabaian atas nilai-nilai, etika, dan bertetangga baik," kata Raja Salman dalam pidatonya.

Pemimpin Arab Saudi yang menyandang gelar pelayan dua tempat suci umat Islam dunia ini menyambut baik pernyataan PBB yang mengutuk keras serangan misil milisi Houthi ke sejumlah kota di Arab Saudi tersebut.

Milisi Houthi yang didukung Iran ini bertanggung jawab penuh atas munculnya dan berlanjutnya krisis Yaman dan penderitaan kemanusiaan di negeri itu. Oleh karena itu, Arab Saudi meminta PBB bersikap tegas atas perilaku Iran ini.

Dalam Deklarasi Dhahran yang dihasilkan KTT Ke-29 Liga Arab itu, para pemimpin dan ketua delegasi negara-negara anggota Liga Arab menegaskan penolakan mereka pada campur-tangan Iran dalam urusan dalam negeri negara-negara Arab.

Iran juga dituntut untuk menarik milisi-milisi dan elemen-elemen bersenjata yang didukungnya dari semua negara Arab, khususnya Suriah dan Yaman, demikian isi Deklarasi Dhahran KTT Ke-29 Liga Arab itu.







Credit  antaranews.com





Militer Israel Kembali Hancurkan Terowongan Hamas


Terowongan Gaza-Israel yang dibangun pejuang Palestina.
Terowongan Gaza-Israel yang dibangun pejuang Palestina.
Foto: AP


Penghancuran terbaru merupakan terowongan kelima yang dirusak oleh Israel.



CB, TEL AVIV -- Militer Israel, pada Ahad (15/4), mengatakan telah menghancurkan terowongan Hamas yang membentang dari Jalur Gaza hingga ke teritorialnya. Hal itu merupakan terowongan kelima yang dihancurkan Israel dalam beberapa bulan terakhir.

Juru bicara militer Israel Jonathan Conricus mengungkapkan, terowongan yang baru saja dihancurkan belun memiliki titik keluar. "Terowongan itu telah melintasi wilayah Israel beberapa meter, tetapi belum memiliki titik keluar," katanya, dikutip laman Asharq Al-Awsat.

Ia memperkirakan terowongan itu berasa dari daerah Jabaliya di Jalur Gaza dan sedang digali ke arah komunitas Nahal Oz di Israel. Kendati demikian, Conricus sendiri belum dapat memastikan seberapa panjang terowongan tersebut. "Menurut penilaian awal kami, terowongan ini mencapai beberapa kilometer (panjangnya) ke Jalur Gaza," ujarnya.

Menteri Pertahanan Israel Avigdor Lieberman mengatakan terowongan yang baru saja dihancurkan tersebut merupakan yang terpanjang dan terdalam yang ditemukan Israel. "Ini adalah terowongan yang menghabiskan jutaan dolar untuk menggali. Uang yang alih-alih akan mengurangi kesulitan warta Gaza tenggelam di pasir," ucap Lieberman.

Ia pun mencela Hamas karena dinilai telah menyelewengkan dana untuk warga Gaza demi membangun terowongan tersebut. Hamas sendiri belum memberi pernyataan resmi terkait hal ini.

Daerah perbatasan Gaza-Israel baru-baru ini tengah bergolak. Ribuan warga Palestina di wilayah tersebut menggelar aksi demonstrasi. Mereka menuntut Israel mengembalikan tanah dan desa yang didudukinya setelah Perang Arab-Israel tahun 1948 kepada para pengungsi Palestina.

Namun, aksi tersebut direspons secara brutal oleh pasukan Israel. Mereka tak ragu melepaskan tembakan ke arah demonstran guna membubarkan aksi tersebut. Menurut Kementerian Kesehatan Gaza, aksi brutal Israel telah menyebabkan 34 warga Palestina tewas dan lebih dari 1.000 lainnya luka-luka.

Aksi demonstrasi di perbatasan Gaza-Israel telah digelar sejak akhir Maret lalu. Aksi tersebut rencananya akan dilakukan selama berpekan-pekan. Adapun aksi puncak akan dilaksanakan pada 15 Mei mendatang, yakni ketika Israel memperingati hari kelahirannya.





Credit  republika.co.id




Suriah Cegat Tiga Rudal yang Mengarah ke Bandara Militer


Dalam gambar yang diambil oleh Angkatan Laut AS, kapal penjelajah kendali-rudal USS Monterey (CG 61) menembakkan rudal Tomahawk ke Suriah, Sabtu, (14/4). Donald Trump mengumumkan serangan udara ke Suriah sebagai tanggapan atas dugaan serangan senjata kimia.
Dalam gambar yang diambil oleh Angkatan Laut AS, kapal penjelajah kendali-rudal USS Monterey (CG 61) menembakkan rudal Tomahawk ke Suriah, Sabtu, (14/4). Donald Trump mengumumkan serangan udara ke Suriah sebagai tanggapan atas dugaan serangan senjata kimia.
Foto: Letnan john Matthew Daniels / Angkatan Laut AS melalui AP


Bandara Dumair digunakan dalam kampanye militer merebut Ghouta Timur.



CB, DAMASKUS -- Media pro-Iran-Hezbollah melaporkan pada Selasa (17/4), pertahanan udara Suriah telah mencegat tiga rudal yang ditujukan ke bandara militer Dumair di timur laut Damaskus.

Pasukan oposisi mengatakan Bandara Dumair telah digunakan dalam kampanye militer untuk merebut kembali Ghouta timur, daerah kantong pemberontak di pinggiran Damaskus. Tentara Suriah, yang didukung oleh kekuatan udara Rusia, telah berhasil merebut kembali Ghouta timur setelah serangan bom tanpa henti.

Media pemerintah Suriah tidak menyebutkan penyerangan di Dumair. Tetapi sebelumnya mengatakan pertahanan udara Suriah telah menembak jatuh rudal di atas pangkalan utama Shuyrat di provinsi Homs.








Televisi pemerintah Suriah memperlihatkan gambar-gambar rudal yang ditembakkan di udara di atas pangkalan udara hanya beberapa hari setelah serangan AS, Inggris, dan Prancis terhadap Suriah. Negara-negara tersebut melakukan penyerangan atas dugaan penggunaan bahan kimia oleh Suriah di kota Douma.

Seorang juru bicara Pentagon mengatakan tidak ada kegiatan militer AS di daerah itu pada saat Suriah menembakan rudalnya.





Credit  republika.co.id



Rusia Halangi Tim Penyidik Senjata Kimia Masuk ke Douma


Seorang anak dan pria memperoleh penanganan medis setelah terpapar gas beracun di  Douma, Ghouta Timur, Damascus, Syria, Ahad (25/2).
Seorang anak dan pria memperoleh penanganan medis setelah terpapar gas beracun di Douma, Ghouta Timur, Damascus, Syria, Ahad (25/2).
Foto: Bassam Khabieh/Reuters


AS dan Prancis mengklaim memiliki bukti kuat penggunaan gas beracun di Douma



CB, BEIRUT -- Penyidik independen yang menginvestigasi senjata kimia Suriah dihalangi oleh pihak berwenang Suriah dan Rusia pada Senin (16/4). Hal ini dilaporkan seorang pejabat berwenang, beberapa hari setelah sekutu AS, Prancis dan Inggris memborbardir area yang diduga terkait dengan program senjata kimia Suriah.

Tim dari penyidik independen mengakui  mereka kurang mendapat akses masuk ke kota Douma. Organisasi pelarangan senjata kimia (OPCW), telah meninggalkan pertanyaan terkait serangan ke warga sipil pada 7 April lalu yang hingga kini tidak dijawab pihak berwenang.

Direktur Jendral OPCW, Ahmet Uzumcu mengatakan pejabat Suriah dan Rusia menyebut ada persoalan keamanan yang tertunda, sehingga menahan inspekturnya masuk ke kota Douma. "Tim belum dikerahkan ke Douma," kata Uzumcu, kepada Dewan Eksekutif OPCW di Den Haag, dua hari setelah dari Suriah.

Pihak berwenang Suriah menawarkan 22 orang untuk diwawancarai sebagai saksi. Dan dikatakan apa yang dibutuhkan akan diatur demi memasukkan tim ke kota Douma secepat mungkin. AS dan Prancis mengklaim memiliki bukti kuat dimana gas beracun telah digunakan saat menyerang kota Douma dan di timur Damaskus telah menewaskan belasan orang.

Dan diduga pihak militer dibawah Presiden Bashar Assad berada dibelakang kekejian ini. Walaupun belum didapat satu pun bukti yang diketahui publik. Suriah dan sekutunya Rusia telah membantah ancaman serangan kimia itu telah terjadi.

Wakil Menteri Luar Negeri Rusia, Sergei Ryabkov menyalahkan serangan udara Sekutu yang terjadi pada Sabtu pagi sehingga menahan misi oleh tim OPCW ke Douma. Dikatakan Sergei kepada wartawan di Moskow, inspektur tidak dapat pergi ke lokasi tersebut karena memerlukan izin dari Departemen Keamanan AS.

Juru Bicara Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) Stephane Dujarric mengatakan izin telah diberikan pada OPCW. PBB telah memberikan izin yang diperlukan untuk melakukan pekerjaan. "Perserikatan Bangsa-Bangsa telah memberikan izin yang diperlukan bagi tim OPCW untuk melakukan pekerjaannya di Douma. Kami belum menolak permintaan tim itu untuk pergi ke Douma," kata Dujarric.

Baik Rusia dan pemerintah Suriah ia menyambut baik kunjungan OPCW. Tim tiba di Suriah tak lama sebelum serangan udara dan bertemu dengan pejabat Suriah, namun demikian pasukan pemerintah dan pasukan Rusia telah dikerahkan di Douma, yang sekarang telah berada dalam kendali Suriah.

Oposisi dan aktivis Suriah telah mengkritik penyebaran militer Rusia di kota Douma tersebut. Oposisi mengatakan bisa jadi bukti penggunaan senjata kimia mungkin tidak lagi ditemukan. Namun Menteri Luar Negeri Rusia Sergey Lavrov membantah bahwa Rusia menghilangkan bukti apa pun di area yang terindikasi penggunaan senjata kimia.





Credit  republika.co.id



UE Desak Rusia Cegah Serangan Senjata Kimia di Suriah



UE Desak Rusia Cegah Serangan Senjata Kimia di Suriah
UE mendesak Rusia dan Iran untuk menggunakan pengaruh mereka pada rezim Assad guna mencegah terjadi kembali serangan dengan menggunakan senjata kimia. Foto/Istimewa



BRUSSELS - Uni Eropa (UE) mendesak dua sekutu dekat Suriah, Rusia dan Iran untuk menggunakan pengaruh mereka pada rezim Bashar al-Assad guna mencegah terjadi kembali serangan dengan menggunakan senjata kimia.

"UE menyerukan kepada semua negara, terutama Rusia dan Iran, untuk menggunakan pengaruh mereka untuk mencegah penggunaan lebih lanjut senjata kimia, terutama oleh rezim Suriah," kata UE dalam sebuah pernyataan, seperti dilansir Reuters pada Senin (16/4).

Sementara itu, di tempat terpisah, Sekretaris Jenderal NATO, Jens Stoltenberg menuturkan bahwa serangan yang dilancarkan oleh Amerika Serikat (AS), Prancis dan Inggris adalah untuk memberikan peringatan kepada Suriah, Rusia dan Iran untuk tidak lagi menghalangi proses penyelidikan terhadap dugaan serangan senjata kimia.

"Operasi ini bertujuan untuk mengurangi kemampuan Damaskus untuk menggunakan senjata kimia, investigasi senjata kimia oleh PBB terhalang oleh Rusia. Ini adalah sinyal yang jelas bagi rezim Bashar al-Assad, Rusia dan Iran," ucap Stoltenberg.

Stoltenberg kemudian menuturkan, meskipun mereka memiliki perbedaaan pandangan di semua hampir bidang dengan Rusia, NATO tidak pernah menutup pintu untuk melakukan dialog  mengenai apapun, termasuk mengenai perbaikan hubungan kedua pihak atau mengenai Suriah. 





Credit  sindonews.com




NATO: Serangan di Suriah Adalah Peringatan untuk Damaskus dan Moskow


NATO: Serangan di Suriah Adalah Peringatan untuk Damaskus dan Moskow
Stoltenberg menuturkan serangan di Suriah adlah peringatan kepada Suriah, Rusia dan Iran untuk tidak menghalangi proses penyelidikan serangan senjata kimia. Foto/Reuters


BRUSSELS - Sekretaris Jenderal NATO, Jens Stoltenberg menuturkan bahwa serangan yang dilancarkan oleh Amerika Serikat (AS), Prancis dan Inggris adalah untuk memberikan peringatan kepada Suriah, Rusia dan Iran untuk tidak lagi menghalangi proses penyelidikan terhadap dugaan serangan senjata kimia.

"Operasi ini bertujuan untuk mengurangi kemampuan Damaskus untuk menggunakan senjata kimia, investigasi senjata kimia oleh PBB terhalang oleh Rusia. Ini adalah sinyal yang jelas bagi rezim Bashar al-Assad, Rusia dan Iran," ucap Stoltenberg, seperti dilansir Sputnik pada Senin (16/4).

Stoltenberg kemudian menuturkan, mereka memiliki perbedaaan pandangan di semua hampir bidang, NATO tidak pernah menutup pintu untuk melakukan dialog  mengenai apapun, termasuk mengenai perbaikan hubungan kedua pihak atau mengenai Suriah.

Sebelumnya, Stoltenberg menuturkan, NATO percaya bahwa aksi militer yang dilakukan Prancis, Inggris, dan AS di Suriah tidak akan mengancam penyelesaian politik di negara Timur Tengah tersebut.

Dirinya menambahkan bahwa semua negara anggota NATO mendukung penuh serangan yang dilancarkan oleh ketiga negara itu terhadap fasilitas militer Suriah.

"Negara anggota NATO menyatakan dukungan penuh untuk tindakan yang dimaksudkan untuk menghancurkan senjata kimia rezim Suriah dan mencegah serangan senjata kimia lebih lanjut terhadap rakyat Suriah," kata Stoltenberg.





Credit  sindonews.com



Prancis: Serangan ke Suriah Sah karena Dilakukan Anggota DK PBB


Prancis: Serangan ke Suriah Sah karena Dilakukan Anggota DK PBB
Presiden Perancis, Emmanuel Macron mengatakan bahwa serangan yang dipimpin Amerika Serikat (AS) terhadap Suriah adalah sah. Foto/Reuters


PARIS - Presiden Perancis, Emmanuel Macron mengatakan bahwa serangan yang dipimpin Amerika Serikat (AS) terhadap Suriah adalah sah. Tetapi dia lalu menuturkan, sejarah akan menilai apakah operasi itu dibenarkan atah tidak.

Dalam sebuah wawancara dengan BFMTV, radio RMC dan Mediapart, Macron menyatakan serangann yang dilancarakan ke Suriah sah karena dilakukan oleh tiga negara anggota tetap Dewan Keamanan (DK) PBB.

"Kami memiliki legitimasi internasional untuk bertindak dalam kerangka ini. Tiga anggota DK telah campur tangan," kata Macron dalam wawancara tersebut, seperti dilansir Russia Today pada Senin (16/4).

Dia kemudian menyatakan bahwa Presiden Suriah Basha al- Assad telah berbohong dari awal tentang dugaan penggunaan senjata kimia oleh pasukan di bawah kendalinya dan menyatakan bahwa pemerintah Prancis memiliki bukti bahwa senjata kimia, terutama gas klorin, digunakan di Suriah.

Macron menambahkan, serangann yang dilakukan Prancis, AS, dan Inggris bukan ditujukan untuk melawan suatu negara dan serangan terbaru yang dilakukan adalah sesuatu yang terpaksa dilakukan.

"Prioritas untuk intervensi militer Prancis tetap dalam perang melawan ISIS dan bahwa serangan presisi tidak menimbulkan kerusakan pada pasukan Rusia," tukasnya. 




Credit  sindonews.com





Rusia Tegaskan Akan Respon Cepat Sanksi AS



Rusia Tegaskan Akan Respon Cepat Sanksi AS
Rusia menegaskan, Moskow akan segera merespon, jika sanksi itu benar-benar dijatuhkan. Foto/Istimewa



MOSKOW - Rusia angkat bicara mengenai kemungkinan adanya sanksi baru yang dijatuhkan Amerika Serikat (AS) terhadap mereka. Rusia menegaskan, Moskow akan segera merespon, jika sanksi itu benar-benar dijatuhkan.

"Rusia tidak akan menunda-nunda untuk mengadopsi sebuah undang-undang sebagai tanggapan terhadap sanksi baru AS," kata Wakil Menteri Luar Negeri Rusia, Sergei Ryabkov dalam sebuah pernyataan, seperti dilansir Russia Today pada Senin (16/5).

Ryabkov mengatakan, Moskow sedang mendiskusikan apa yang dia sebut penyalahgunaan status dolar Washington sebagai mata uang cadangan global.

Sebelumnya diwartakan, Duta Besar AS untuk PBB, Nikki Haley menuturkan, harga yang dibayar Suriah untuk menggunakan senjata kimia pada warganya adalah serangan militer. Sedangkan Rusia akan membayar dengan ekonominya untuk dukungannya terhadap rezim Presiden Suriah Bashar al-Assad.

Haley mengatakan, Menteri Keuangan Steven Mnuchin akan mengumumkan rincian sanksi pada hari awal pekan ini. "Mereka akan pergi langsung ke perusahaan apa pun yang berurusan dengan peralatan yang berkaitan dengan Assad dan penggunaan senjata kimia," kata Haley.

"Kami ingin teman-teman mereka, Iran dan Rusia, mengetahui bahwa kami bersungguh-sungguh, dan bahwa mereka akan merasakan rasa sakit dari ini juga," imbuhnya. 







Credit  sindonews.com



Protes Washington, China Latihan Perang di Selat Taiwan


Protes Washington, China Latihan Perang di Selat Taiwan
Presiden China Xi Jinping memerintahkan militer untuk menggelar latihan perang di Selat Taiwan sebagai protes atas kedekatan Washington dengan Taipei. (Reuters/Tyrone Siu)


Jakarta, CB -- Presiden China Xi Jinping memerintahkan militer untuk menggelar latihan perang atau live-fire exercise di Selat Taiwan. Latihan yang rencananya berlangsung pada Rabu (18/4) dilakukan sebagai pesan tegas Beijing atas relasi Amerika Serikat dan Taiwan yang kian erat.

Simulasi perang yang melibatkan latihan tembak-menembak dengan amunisi tajam ini merupakan yang pertama kalinya dilakukan Angkatan Laut China di perairan itu sejak 2015 lalu.

"China ingin mempertegas bahwa militer kami selalu siap. Kedua, latihan ini memberi sinyal kepada pemerintahan di Taipei untuk tidak melakukan hal yang tidak semestinya lebih jauh lagi," kata seorang peneliti dari program studi keamanan maritim S. Rajaratnam School of International Studies, Collin Koh, Senin (16/4).


Hubungan China dan Taiwan terus merenggang terutama setelah Presiden Tsai-ing Wen menjabat pada 2015 lalu. Di tangan Tsai, Taiwan terus berupaya memerdekakan diri dari China dengan mencoba mendapat pengakuan dari negara lain termasuk AS.



Sejak Trump duduk di Gedung Putih pada Januari 2017 lalu, AS juga terus memperkuat hubungannya dengan Taiwan. Washington dan Taipei bahkan menandatangani perjanjian yang memperbesar peluang bagi pejabat publik keduanya untuk saling berkunjung.

Awal April pemerintahan AS juga sepakat menjual teknologi kapal selamnya kepada Taiwan. Menteri luar negeri AS yang baru, Mike Pompeo, bahkan menekankan pentingnya mempertahankan kebijakan penjualan senjata ke Taiwan saat berbicara kepada Kongres pada Kamis (12/4).

Hal itu membuat geram China yang selama ini menganggap Taiwan sebagai wilayah pembangkang. China juga kerap memprotes negara-negara yang memiliki hubungan dengan Beijing tapi juga berupaya menjalin kedekatan dengan Taiwan.

Presiden Xi bahkan tak segan merespons setiap upaya separatis dengan agresi militer.

"Latihan ini merupakan peringatan yang sangat berguna terhadap Taiwan dan AS untuk tidak menantang kepentingan China terkait kedaulatannya. Simulasi perang ini juga memperingatkan agar semua pihak tidak melewati batas ketika berhubungan dengan Taiwan," ucap Direktur China Power Project CSIS, Bonnie Glaser kepada CNN.

Tentara Taiwan dalam sebuah latihan perang.
Foto: Reuters/Tyrone Siu
Tentara Taiwan dalam sebuah latihan perang.


Simulasi perang pekan ini juga dilakukan setelah China menggelar latihan militer terbesar di Laut China Selatan pada 10 dan 11 April lalu. Presiden Xi bahkan turun langsung meninjau latihan tersebut dari dek kapal penghancur Changsha.

Sehari setelahnya, Presiden Tsai dikabarkan langsung meninjau latihan angkatan lautnya. Menurut media pemerintah Taiwan, CNA, itu merupakan pertama kalinya Tsai menaiki kapal perang dan ikut serta dalam latihan militer sejak menjabat sebagai presiden.

Menanggapi latihan militer China pekan ini, Kementerian Pertahanan Taiwan meyakinkan warganya untuk tidak panik karena simulasi perang itu berlangsung di zona militer rutin.

Taipei juga meyakinkan bahwa pasukan militer nasionalnya mampu melindungi warga dari  segala ancaman apapun, termasuk China."Kepada warga kami, mohon untuk tetap tenang," bunyi pernyataan kementerian pertahanan Taiwan.






Credit  cnnindonesia.com





Senin, 16 April 2018

Terjerat Skandal Kronisme, PM Jepang Disebut akan Mundur

Terjerat Skandal Kronisme, PM Jepang Disebut akan Mundur
PM Jepang Shinzo Abe disebut bakal mengundurkan diri dari jabatannya karena terjerat skandal. (Reuters/Toru Hanai)


Jakarta, CB -- Mantan Perdana Menteri Jepang Junichiro Koizumi menyebut penerusnya, Shinzo Abe, akan mengundurkan diri dari jabatan karena terjerat skandal kronisme dan pemalsuan data penjualan lahan sekolah.

Kepada majalah mingguan Aera, Koizumi mengisyaratkan bahwa Abe akan mengundurkan diri saat masa reses parlemen 20 Juni mendatang, setelah popularitasnya anjlok dan terus menurun.

"Situasinya semakin berbahaya. Bukankah Abe akan mengundurkan diri ketika masa sidang parlemen berakhir?" kata Koizumi dalam wawancaranya dengan Aera, dikutip Reuters Senin (16/4).


Tingkat kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah terus turun setelah Abe diduga memberi perlakukan istimewa terhadap lembaga pendidikan Kake Gakuen milik kerabat dekatnya, Kotaro Keke.

Abe juga dituding menjual tanah negara seharga 10 persen dari harga pasar kepada lembaga pendidikan Moritomo Gakuen. Moritomo Gakuen merupakan operator sekolah yang dijalankan oleh teman dekat istri Abe, Akie Abe.

Kasus ini pertama kali terungkap pada 2017. Sejak terendus media, nama Akie Abe langsung dihapus dari dokumen resmi jual-beli tanah tersebut. Menteri Keuangan Taro Aso bahkan mengaku sudah mengubah sejumlah dokumen terkait penjualan kontroversial itu.

Selain itu, skandal pelecehan seksual terhadap wartawan perempuan yang diduga dilakukan wakil Aso, Junichi Fukuda, juga disebut memperburuk citra pemerintahan Abe.

Jajak pendapat yang dilakukan Stasiun televisi Nippon TV pada akhir pekan lalu menunjukkan popularitas Abe hanya mencapai 26,7 persen, terendah sejak menjabat pada Desember 2012 lalu.

Sementara itu, survey yang dilakukan surat kabar Asahi menunjukkan popularitas Abe di angka 31 persen.

Sedikitnya 50 ribu warga disebut turun ke jalan dalam aksi demonstrasi mendesak Abe mundur, pekan lalu. Para warga berdemonstrasi membawa poster bertuliskan "Abe sudah Tamat" dan "Abe Keluar!"

Meski Abe sudah meminta maaf secara terbuka soal skandalnya, dua pertiga warga disebut tidak mempercayai penjelasan orang nomor satu di Jepang itu.

Popularitas Abe yang terus menurun membuat kemampuan pria 64 tahun dikhawatirkan tak bisa mengamankan periode ketiganya sebagai pemimpin partai berkuasa Liberal Democratic Party (LDP) pada pemilu partai September mendatang.

Abe harus bisa menang jika ingin bertahan sebagai perdana menteri.

Koizumi mengatakan jika Abe berkeras untuk tetap berada di pemerintahan, hal itu akan mempersulit bahkan merugikan kandidat LDP dalam pemilu parlemen pada musim panas mendatang.





Credit  cnnindonesia.com






Mantan bos FBI buka-bukaan, Trump tak pantas jadi presiden


Mantan bos FBI buka-bukaan, Trump tak pantas jadi presiden
Presiden Amerika Serikat Donald Trump. (REUTERS/Yuri Gripas)



Washington (CB) - Mantan direktur FBI James Comey, dalam wawancara ABC News Minggu waktu Amerika Serikat, mengatakan bahwa Presiden AS Donald Trump adalah pemimpin yang secara moral tidak layak dan berbahaya karena menciptakan kerusakan luar biasa terhadap norma-norma kelembagaan.

Comey, dipecat Trump Mei tahun lalu, mengkhawatirkan presiden AS ini menjadi terbuka untuk diperas Rusia berdasarkan klaim bahwa Trump hadir ketika pelacur-pelacur Rusi saling mengencingi satu sama lain sewaktu Trump mengunjungi Moskow pada 2013.

Comey dipecat ketika FBI sedang menyelidiki dugaan hubungan antara tim kampanya kepresidenan Trump 2016 dengan intervensi Rusia dalam Pemilu AS.

Rusia sendiri membantah telah mencampuri urusan Pemilu AS dan Trump juga membantah telah berkolusi atau melakukan aktivitas yang tidak layak.

Comey mengatakan dalam wawancara eksklusif dengan George Stephanopoulos dari ABC News yang mengudara pukul 22.00 waktu setempat bahwa "mungkin saja tetapi saya tak tahu pasti" apakah Rusia memiliki bukti yang mendukung tuduhan adanya kunjungan Trump ke Rusia itu.

"Orang yang berbicara dan memperlakukan wanita seperti seonggok daging semata yang terus-terusan berbohong mengenai hal besar dan kecil serta yakin rakyat Amerika mempercayai kebohonganya itu, maka orang itu tidak layak menjadi presiden Amerika Serikat, dari sisi moral. Dan itu bukan pernyataan politik," kata Comey.

"Secara moral dia tidak layak menjadi presiden," imbuh dia.

Comey berencana membeberkan itu semua dalam sebuah buku berjudul "Higher Loyalty" yang segera dipublikasikan Selasa waktu AS ini, demikian Reuters.





Credit  antaranews.com






Cuma dua hari menjabat, pembantu keamanan nasional Mike Pence mundur


Cuma dua hari menjabat, pembantu keamanan nasional Mike Pence mundur
Wakil Presiden Amerika Serikat, Mike Pence, berdiri di belakang Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, yang memegang proklamasi yang ia tanda tangani bahwa Amerika Serikat mengakui Yerusalem sebagai ibukota Israel dan akan memindahkan kedutaanya kesana, saat berpidato dari Gedung Putih di Washington, Amerika Serikat, Rabu (6/12/2017). (REUTERS/Kevin Lamarque)

... bahwa Trump marah saat diberitahu kesalahan, Lerner sebelumnya adalah seorang Never Trumper...



Washington (CB) - Jon Lerner, pembantu keamanan nasional baru untuk Wakil Presiden Amerika Serikat, Mike Pence, mengundurkan diri, Minggu, hanya dua hari setelah secara resmi ditunjuk untuk jabatan itu.

Undur diri itu terjadi setelah pembahasan rahasia Gedung Putih menjadi berita utama, kata pejabat Gedung Putih. Ini menambah panjang daftar nama pejabat penting Amerika Serikat yang mengundurkan diri pada pemerintahan Donald Trump.

Penunjukan Lerner ke dalam kelompok Pence adalah salah satu jabatan personel sangat singkat di Gedung Putih, yang belakangan dikenal atas pergantian staf akibat gejolak dan pertikaian internal, serta menjadi peristiwa pertama untuk menutupi wakil presiden, yang bekerja keras untuk terhindar dari drama itu.

Kantor Pence, Jumat, mengumumkan, Lerner, pembantu senior untuk Duta Besar Amerika Serikat di PBB, Nikki Haley, akan menjadi penasihat utama Pence mengenai masalah kebijakan luar negeri.

Lalu, pada Minggu malam, kantor Pence mengeluarkan pernyataan kedua: Lerner ditarik.

Masalah itu memuncak pada Jumat, saat Pence dan staf seniornya berada dalam penerbangan delapan jam ke Peru untuk menghadiri KTT Amerika.

Menurut pejabat Gedung Putih, bahwa Trump marah saat diberitahu kesalahan, Lerner sebelumnya adalah seorang Never Trumper, istilah untuk menggambarkan pendukung Partai Republik anti-Trump.

Lerner telah mendukung senator Republik, Marco Rubio, selama perlombaan utama untuk memilih kandidat partai menjelang Pemilu 2016.

Pence menelepon Trump dan membereskan ketegangan, kata pejabat itu. Tapi drama yang berumur pendek mencuat ke publik pada Minggu dalam laporan Axios, yang mengatakan, Trump pada awalnya mengatakan kepada kepala stafnya, John Kelly, untuk membatalkan pengangkatan dan mempertanyakan mengapa Pence membuat pilihan itu.

Lerner kemudian menawarkan untuk mundur, Minggu malam, "demi meminimalkan jumlah konflik dan drama internal," kata pejabat Gedung Putih, dan Pence pun memutuskan bahwa itu adalah pilihan terbaik.

Untuk selanjutnya, Lerner akan terus bekerja untuk Haley, kata pejabat itu.





Credit  antaranews.com





Saudi Sumbang Rp2,7 Triliun untuk Al-Aqsa dan Palestina



Saudi Sumbang Rp2,7 Triliun untuk Al-Aqsa dan Palestina
Raja Salman bin Abdulaziz Al Saud mengumumkan bahwa Arab Saudi memberikan donasi sebesar US$150 juta atau Rp2 triliun untuk Palestina dan Yerusalem Timur. (CNN Indonesia/Andry Novelino)



Jakarta, CB -- Raja Salman bin Abdulaziz Al Saud mengumumkan bahwa Arab Saudi memberikan donasi sebesar US$150 juta atau Rp2 triliun untuk Palestina dan pemeliharaan situs-situs umat Islam di Yerusalem Timur, termasuk Masjid Al-Aqsa.

"Arab Saudi telah menghibahkan US$150 juta dana untuk membantu kepengurusan warisan suci agama Islam di Yerusalem," ucap Salman dalam pembukaan Konferensi Tingkat Tinggi Liga Arab di Dhahran, Minggu (15/4).

"Saya mendedikasikan pertemuan di Dhahran ini sebagai Pertemuan Tinggi Yerusalem sehingga seluruh dunia tahu bahwa Palestina dan warganya tetap berada di hati dan perhatian negara Arab," lanjutnya.


Selain itu, dalam kesempatan itu Salman juga mengulangi kritiknya terhadap keputusan Presiden Amerika Serikat Donald Trump yang berkeras memindahkan kedutaan besarnya untuk Israel dari Tel Aviv ke Yerusalem.

Keputusan AS itu telah memicu amarah warga Palestina yang selama ini menganggap kota suci tiga agama itu sebagai ibu kota negaranya di masa depan.



Tak hanya dunia Islam, negara Barat seperti Perancis, Jerman, dan Inggris bahkan turut mengecam keputusan Trump itu yang dianggap mengancam perdamaian di Timur Tengah.

Meski Israel menduduki sebagian besar Yerusalem Timur sejak memenangkan Perang Enam Hari pada 1967 lalu, komunitas internasional tidak pernah mengakui tanah itu milik Tel Aviv.

Sebab, status kota Yerusalem telah lama menjadi salah satu sumber konflik berkepanjangan antara Israel dan Palestina.

Selain donasi untuk Al-Aqsa, Raja Salman juga mengatakan kerajaan telah menyumbang dana sebesar US$50 juta atau Rp700 miliar bagi Badan Pengungsi Perserikatan Bangsa-Bangsa Palestina (UNRWA).

Organisasi yang menangani lebih dari tiga juta pengungsi Palestina itu belakangan tengah menghadapi kesulitan finansial. Sebab, AS sebagai terbesar memutuskan untuk memotong sebagian donasinya kepada lembaga tersebut.

Dilansir AFP, pada pertengahan Maret lalu, UNRWA menyebut bahwa lembaganya hanya memiliki dana yang cukup membiayai operasional organisasi hingga musim panas mendatang.

Kepala UNRWA, Pierre Krahenbuhl, mengatakan organisasinya membutuhkan setidaknya US$441 juta agar bisa tetap beroperasi. Namun, dana yang terkumpul dari donasi hingga kini baru mencapai US$100 juta.





Credit  cnnindonesia.com



AS Serang Suriah, Indonesia Minta Semua Pihak Tahan Diri


AS Serang Suriah, Indonesia Minta Semua Pihak Tahan Diri
Jet tempur yang digunakan menyerang Suriah. Indonesia mengimbau semua pihak menahan diri usai serangan Barat ke negara yang dirundung konflik tujuh tahun itu. (UK MOD Crown 2018/Handout via REUTERS)


Jakarta, CB -- Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Luar Negeri meminta semua pihak yang berkonflik di Suriah menahan diri, menyusul serangan Amerika Serikat, Inggris dan Perancis akhir pekan lalu.

"Indonesia mengimbau agar semua pihak menahan diri dan mencegah terjadinya eskalasi memburuknya situasi di Suriah," bunyi pernyataan Kemlu RI yang diterima CNNIndonesia.com, Minggu (15/4).

AS, Inggris dan Perancis membombardir sejumlah titik yang diduga terkait senjata kimia di Damaskus, Sabtu, sebagai respons atas serangan gas yang disebut diotaki pemerintah Suriah di Douma, sepekan sebelumnya.


Dalam pernyataan yang sama, Kemlu RI juga menegaskan kecaman keras terhadap penggunaan senjata kimia "oleh pihak manapun."

Pemerintah Indonesia meminta semua pihak menghormati nilai dan hukum internasional, khususnya piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai keamanan dan perdamaian internasional.

"Indonesia juga meminta semua pihak untuk menjaga keamanan dan keselamatan masyarakat sipil, terutama wanita dan anak-anak harus selalu merupakan prioritas.

"Indonesia kembali menekankan pentingnya penyelesaian konflik di Suriah secara komprehensif melalui negosiasi dan cara-cara damai."

Perang saudara yang telah berlangsung selama tujuh tahun di Suriah diikuti oleh banyak pihak, termasuk Rusia dan Iran yang mendukung pemerintahan Bashar al-Assad.

Presiden AS Donald Trump menyatakan serangan akhir pekan lalu berjalan sukses. Sementara Presiden Rusia Vladimir Putin memperingatkan serangan lanjutan Barat akan membawa kekacauan pada hubungan internasional.

Pernyataan Putin itu disampaikan dalam percakapan telepon dengan Presiden Iran Hassan Rouhani, Minggu.

Kremlin menyatakan Putin dan Rouhani setuju bahwa serangan Barat telah merusak kesempatan untuk mencapai penyelesaian politik dalam konflik Suriah.





Credit  cnnindonesia.com





Negara-Negara Ini Diduga Pasok Senjata dalam Perang Suriah


Suasana kota di Suriah yang hancur akibat perang saudara yang melanda negara tersebut.
Suasana kota di Suriah yang hancur akibat perang saudara yang melanda negara tersebut.
Foto: EPA/STR


Pemerintah Suriah mengandalkan aliran senjata dari sekutu asingnya.



CB, DAMASKUS -- Salah satu isu kunci dalam konflik Suriah, yakni pasokan persenjataan bagi kedua pihak yang bertikai, yakni antara pemerintah Suriah dan pemberomtak. Isu ini semakin ramai dibahas dalam dua tahun terkahir.

Dilansir di BBC, Sabtu (14/4), pemerintah Suriah mengandalkan aliran senjata dari sekutu asingnya. Sementara pemberontak telah menerima senjata dan bantuan dengan cara yang lebih rahasia.

Sebelum dimulainya pemberontakan, tentara Suriah memiliki berbagai senjata berat, termasuk tank, kendaraan lapis baja, sistem artileri dan roket, dan rudal balistik. Angkatan udara juga memiliki jet tempur dan helikopter tempur.

Setelah dua tahun pertempuran, pasukan pemerintah masih dipersenjatai dan diorganisir lebih baik daripada para pemberontak. Tetapi para pejabat Barat mengatakan persediaan senjata dan amunisi Suriah telah habis. Suriah harus bergantung pada bantuan asing.

Berikut beberapa negara yang diduga memberikan dukungan senjata pada Suriah maupun pemberontak.

Rusia
Rusia terus memasok militer Suriah dengan senjata dan peralatan selama konflik. Moskow menegaskan itu hanya untuk memenuhi kontrak yang sudah ada sebelumnya. Menurut Rusia, kesepakatan itu tidak melanggar sanksi internasional.

Meskipun ada tekanan Barat, Moskow bersikeras awal tahun ini mereka akan menghormati kontrak yang disepakati sebelumnya dengan Damaskus untuk memasok sistem pertahanan rudal canggih S-300. Namun diyakini rudal tersebut belum dikirimkan ke Suriah. Rusia telah dilaporkan mengirim rudal jelajah anti kapal Yakhont, SA-17, dan sistem rudal Pantsyr-S jarak dekat.

Iran
Iran telah meningkatkan dukungan militernya terhadap pasukan pemerintah Suriah sejak akhir 2012. Menurur pejabat Barat, Teheran diyakini telah menjadi pemasok utama roket, rudal anti-tank, granat roket, dan mortir.

Namun, pejabat Iran membantah telah melanggar sanksi PBB terkait ekspor senjata. Untuk menghindari sanksi, Teheran diduga mengangkut sebagian besar senjata melalui wilayah udara Irak di pesawat komersial.

Dan baru-baru ini, melalui jalur darat Irak dengan menggunakan truk. Namun hal ini disangkal pemerintah Irak. Foto dan video yang diterbitkan baru-baru ini menunjukkan bukti pengiriman senjata Iran.

Satu senjata diduga roket buatan Iran yang dibuat pada 2012. Satu lagi peti amunisi berisi mortir yang dibuat anak perusahaan Kementerian Pertahanan Iran pada 2012.

Adapun kelompok pemberontak Suriah diyakini telah memperoleh senjata dan amunisi mereka melalui berbagai cara, termasuk pasar gelap, medan perang, pabrik improvisasi, dan pengiriman yang dibayar oleh individu, kelompok dan pemerintah asing.

Suriah
Perwakilan dari kelompok pemberontak utama, Free Syria Army (FSA), telah mengatakan sebagian besar persenjataan mereka telah dibeli di pasar gelap atau disita dari fasilitas pemerintah. Kelompok pemberontak telah merebut sejumlah pangkalan militer sejak 2011, termasuk di Atareb, Taftanaz, Jirah dan Tiyas. Ini telah menyediakan sumber-sumber amunisi dan senjata yang berguna, khususnya sistem rudal anti-pesawat dan kendaraan lapis baja.

Qatar
Hingga saat ini, Qatar secara luas diyakini sebagai pemasok utama senjata untuk para pemberontak. Namun Qatar membantah menyediakan senjata apa pun, meskipun berjanji untuk mendukung oposisi dengan apa pun yang dibutuhkan.

Sebagian besar senjata diperkirakan telah diberikan kepada kelompok pemberontak Islam garis keras, terutama yang selaras dengan Ikhwanul Muslimin yang telah bertindak sebagai perantara. Ini dilaporkan mengundang kecaman dari pejabat Barat yang mengatakan banyak dari kelompok itu ekstrimis.

Menurut New York Times, pesawat pengangkut Angkatan Udara Qatar Emiri terbang ke Turki dengan pasokan untuk pemberontak Suriah pada awal Januari 2012. Pada musim gugur 2012, pesawat Qatar mendarat di bandara Esenboga, dekat Ankara, setiap dua hari. Pejabat Qatar bersikeras mereka membawa bantuan yang tidak membahayakan.

Arab Saudi
Arab Saudi dilaporkan baru-baru ini juga telah memimpin penyaluran dukungan keuangan dan militer kepada para pemberontak. Tidak seperti Qatar, kerajaan Teluk diyakini mencurigai kelompok-kelompok pemberontak Islam, dan telah berfokus untuk mendukung faksi nasionalis dan sekuler FSA.

Pada akhir 2012, Riyadh dikatakan telah membiayai pembelian ribuan senapan dan ratusan senapan mesin, peluncur roket dan granat dan amunisi untuk FSA dari tumpukan senjata Yugoslavia yang dikuasai Kroasia. Ini dilaporkan diterbangkan, termasuk oleh transporter Angkatan Udara Kerajaan Saudi C-130 ke Yordania dan Turki dan diselundupkan ke Suriah. Para pejabat Saudi menolak berkomentar.

Libya
Negara Afrika Utara ini telah menjadi sumber utama senjata untuk para pemberontak. Kelompok Ahli Dewan Keamanan PBB, yang memantau embargo senjata yang dikenakan pada Libya selama pemberontakan 2011 mengatakan pada April 2013 telah terjadi pengalihan gelap senjata berat dan ringan. Hal itu termasuk sistem pertahanan udara portabel, senjata kecil dan terkait amunisi serta peledak dan ranjau.

"Ukuran signifikan dari beberapa pengiriman dan logistik yang terlibat menunjukkan bahwa perwakilan dari pemerintah lokal Libya mungkin setidaknya telah mengetahui transfer, jika tidak benar-benar terlibat langsung," katanya.

Eropa
Pada Mei 2011, Uni Eropa memberlakukan embargo senjata terhadap Suriah. Ketika pemberontakan memasuki tahun ketiganya, beberapa negara anggota - yang dipimpin oleh Inggris dan Perancis - melobi untuk dapat memasok senjata ke pasukan "moderat" dalam oposisi.

Meskipun terjadi perpecahan, para menteri luar negeri sepakat membiarkan waktu embargo pada Mei 2013. Meskipun negara-negara anggota Uni Eropa tampaknya tidak mengirim senjata langsung kepada para pemberontak, negara Eropa lainnya telah dikaitkan dengan pengangkutan udara rahasia berskala besar.

Pada Januari 2013, seorang blogger Inggris mulai memperhatikan senjata yang dibuat di bekas Yugoslavia muncul dalam video dan gambar yang diunggah oleh pemberontak yang bertempur di Suriah selatan. Senjata recoilless, senapan serbu, peluncur granat dan roket berbahan bakar bahu tampaknya berasal dari kelebihan yang tidak diumumkan dari perang Balkan 1990-an yang ditimbun Kroasia.


Pejabat Barat mengatakan kepada New York Times persenjataan itu telah dijual ke Arab Saudi, dan beberapa pesawat telah meninggalkan Kroasia sejak Desember 2012, menuju Turki dan Yordania. Perlengkapan tersebut dilaporkan diberikan kepada beberapa kelompok FSA Barat. Kementerian luar negeri dan agen ekspor senjata Kroasia membantah bahwa pengiriman semacam itu terjadi.

Amerika Serikat
AS telah berulang kali mengatakan enggan memasok senjata secara langsung kepada kelompok-kelompok pemberontak. AS mengaku khawatir senjata-senjata itu akan berakhir dengan kepemilikan bagi kelompok militan.

Namun pada 14 Juni 2013, Washington mengatakan akan memberi para pemberontak bantuan militer langsung setelah menyimpulkan pasukan Suriah menggunakan senjata kimia. CIA dilaporkan telah memainkan peran penting sejak 2012 dengan mengoordinasi pengiriman senjata kepada para pemberontak oleh sekutu AS.

Pada Juni 2012, pejabat AS mengatakan petugas CIA beroperasi di Turki. Ini untuk membantu memutuskan kelompok mana yang akan menerima senjata. CIA juga dilaporkan telah berperan dalam menyiapkan pengangkutan udara yang diduga senjata dari Kroasia.

Turki
Pemerintah Turki adalah pendukung kuat para pemberontak. Tetapi Turki belum secara resmi menyetujui pengiriman bantuan militer. Namun, laporan menunjukkan Turki telah memainkan peran penting dalam akselerasi tajam pengiriman senjata ke pemberontak sejak akhir 2012.

Yordania
Senjata buatan Yugoslavia yang pertama kali terlihat di tangan unit FSA di Suriah selatan pada awal 2013 diyakini diselundupkan di perbatasan dengan Yordania. Pemerintah Yordania membantah ada peran dan mengatakan berusaha mencegah penyelundupan.

Namun, New York Times menemukan bukti yang menunjukkan pesawat angkut Angkatan Udara Kerajaan Yordania dan pesawat komersial Yordania telah terlibat dalam dugaan pengangkutan udara dari Kroasia.

Irak
Pemberontak Suriah, yang sebagian besar diambil dari komunitas mayoritas Sunni, dikatakan telah memperoleh senjata, amunisi dan bahan peledak dari suku Sunni dan militan di negara tetangga Irak. Senjata dilaporkan diselundupkan di perbatasan dan dijual atau diberikan kepada para pemberontak. Alqaidah di Irak memainkan peran aktif dalam mendirikan Front al-Nusra dan memfasilitasi kelompok itu dengan uang, keahlian, dan pejuang.

Lebanon
Seperti halnya Irak, komunitas Sunni Lebanon dilaporkan telah membantu memasok pejuang pemberontak Suriah dengan senjata kecil yang dibeli di pasar gelap atau dikirim dari negara lain di kawasan itu, termasuk Libya.


Pihak berwenang Lebanon telah menyita pengiriman amunisi tanpa identitas, termasuk granat roket. Kota Qusair di Suriah, yang direbut kembali oleh pasukan pemerintah pada Juni 2013, adalah titik transit untuk senjata yang diselundupkan dari timur laut Lebanon.



Credit  republika.co.id

Tepis Macron, Trump Ingin Pasukan AS di Suriah Segera Pulang


Tepis Macron, Trump Ingin Pasukan AS di Suriah Segera Pulang
Gedung Putih menyebut Presiden Trump tetap ingin pasukan AS di Suriah bisa segera pulang. (REUTERS/Win McNamee/Pool)


Jakarta, CB -- Gedung Putih menyatakan Presiden Donald Trump tetap ingin pasukan Amerika Serikat di Suriah bisa pulang sesegera mungkin.

Hal ini disampaikan setelah Presiden Perancis Emmanuel Macron menyebut pihaknya telah meyakinkan Trump untuk terlibat di Suriah untuk jangka panjang.

"Misi AS tak berubah--presiden sudah menegaskan dia ingin pasukan AS pulang sesegera mungkin," kata juru bicara Gedung Putih Sarah Sanders dalam pernyataan yang dikutip Reuters, Senin (16/4).


"Kami bertekad sepenuhnya menghancurkan ISIS dan menciptakan kondisi yang bisa mencegah kebangkitannya. Selain itu, kami berharap sekutu dan rekan di kawasan mengambil tanggung jawab lebih besar, baik secara militer maupun finansial, dalam mengamankan kawasan."

Macron sebelumnya dikutip menyiratkan Perancis memainkan peran penting dalam mengubah pikiran Trump hingga tetap terlibat dalam konflik.

"Sepuluh hari lalu, Presiden Trump mengatakan Amerika Serikat wajib menarik diri dari Suriah," kata Macron.

"Saya yakinkan Anda, kami telah meyakinkannya bahwa penting untuk tetap terlibat dalam jangka panjang," kata Macron masih dalam wawancara BFMTV.

Merujuk pada pernyataan Trump terhadap Rusia di Twitter, Macron mengatakan "hal kedua yang kami yakinkan padanya adalah dia mesti membatasi serangannya pada senjata kimia, ketika terjadi kehebohan media via twit, saya yakin Anda mengetahuinya."

Serangan pada Sabtu mengincar tiga fasilitas diduga pabrik senjata kimia, sebagai respons atas insiden yang disebut negara-negara Barat sebagai serangan gas dengan korban puluhan jiwa di kota Douma.

Macron mengatakan AS, Perancis dan Inggris mengincar "situs yang sangat terarah pada penggunaan senjata kimia" dalam misi yang berlangsung "sempurna.




Credit  cnnindonesia.com




Lembaga Ilmiah Suriah Bantah Miliki Fasilitas Senjata Kimia



Lembaga Ilmiah Suriah Bantah Miliki Fasilitas Senjata Kimia
Kepala Institut Pengembangan Industri Farmasi dan Kimia Suriah, Saeed Saeed, membantah lembaganya memiliki fasilitas senjata kimia. Foto/Istimewa


DAMASKUS - Seorang pejabat lembaga penelitian ilmiah Suriah membantah memiliki fasilitas senjata kimia. Lembaga penelitian ilmiah Suriah adalah salah satu fasilitas yang terkena serangan rudal pimpinan Amerika Serikat (AS) pada akhir pekan lalu.

Kepala Institut Pengembangan Industri Farmasi dan Kimia, Saeed Saeed mengatakan, pusat penelitian itu digunakan oleh Organisasi untuk Larangan Senjata Kimia (OPCW) pada 2013.

"OPCW telah mengunjungi gedung ini sejak 2013 hingga baru-baru ini dan melakukan pemeriksaan," katanya kepada wartawan setelah serangan yang menghancurkan fasilitas.

"Bangunan itu adalah basis kerja, di mana para ahli OPCW melakukan misi di Suriah. Mereka akan membawa semua sampel yang dicurigai dari lokasi yang berbeda ke gedung ini dan mereka telah mengeluarkan dua laporan yang menyatakan bahwa bangunan ini kosong dari bahan kimia untuk peperangan apa pun," tambahnya seperti dikutip dari Xinhua, Senin (16/4/2018).

Ia menekankan bahwa jika bangunan itu berisi senjata kimia, seperti yang diklaim oleh AS, ia dan rekan-rekannya tidak dapat berdiri di sana setelah serangan tanpa memakai topeng.

OPCW telah melakukan pekerjaannya pada akhir 2013 ketika tentara Suriah setuju untuk menyerahkan gudang senjata kimia. Pada Juni 2014, seluruh gudang senjata kimia dari tentara Suriah diserahkan ke OPCW.

Namun setelah tentara Suriah menyerahkan senjata kimia, negara-negara Barat terus menuduh pasukan pemerintah menggunakan senjata kimia, meskipun pemerintah Suriah berulang kali membantah bahwa mereka tidak pernah menggunakan senjata semacam itu.

Pada 7 April, para pemberontak di distrik Douma di desa Ghouta Timur, Damaskus, menuduh pasukan pemerintah Suriah menggunakan gas klorin dalam serangan di daerah itu, sebuah klaim yang tidak pernah diakui oleh tentara dan pemerintah Suriah.

Sebelumnya pada hari Sabtu, AS, Inggris dan Prancis meluncurkan serangan rudal terhadap posisi militer Suriah, termasuk pusat penelitian ilmiah di lingkungan Barzeh di timur laut Damaskus. 






Credit  sindonews.com




Media Israel Ketar-ketir Rusia Pasok S-300 ke Suriah


Media Israel Ketar-ketir Rusia Pasok S-300 ke Suriah
Sistem pertahanan udara S-300 Rusia. Foto/Istimewa


TEL AVIV - Pernyataan Kementrian Pertahanan Rusia bahwa Moskow mungkin mempertimbangkan kembali penjualan sistem S-300 ke Damaskus setelah serangan udara AS dan sekutunya, telah menimbulkan kekhawatiran di kalangan analis dan wartawan Israel. Mereka prihatin atas kemungkinan ancaman yang mungkin ditimbulkan terhadap negara Yahudi itu.

Jerusalem Post memperingatkan bahwa superioritas udara Israel berada pada risiko di salah satu wilayah yang paling sulit jika Rusia memutuskan untuk menjual sistem pertahanan udara yang lebih canggih ke Suriah.

Surat kabar itu telah menyuarakan kekhawatiran bahwa pilot Israel mungkin akan terbunuh jika Damaskus memiliki senjata yang lebih efektif. Unit yang dimaksud adalah S-300, sistem rudal jarak-jauh Rusia, yang dikembangkan untuk bertahan terhadap pesawat dan rudal jelajah. Sistem pertahanan ini adalah salah satu senjata paling canggih di kelasnya.

Analis dari penyiar berita I24 Ron Ben-Yishai mendukung kekhawatiran ini. Ia mengatakan bahwa negara Yahudi itu harus mengambil tindakan peringatan dan pencegahan yang belum diambil sejauh ini, seperti dikutip dari Sputniknews, Senin (16/4/2018).

Kepala Direktorat Operasional Utama Staf Umum Rusia Sergei Rudskoy mengatakan bahwa Rusia mungkin mempertimbangkan untuk menjual sistem S-300 ke Damaskus tak lama setelah serangan yang dipimpin AS pada 14 April.

Moskow telah memutuskan untuk tidak menjualnya ke Damaskus, Suriah, beberapa waktu lalu karena permintaan mendesak dari beberapa mitra Baratnya. Tapi jika situasi umum menyatakan lain, mengambil peristiwa terbaru, Rusia dapat mempertimbangkan permintaan tidak hanya untuk Suriah, tetapi untuk negara-negara lain.

Menurut media, sistem S-300 yang lebih baru bisa menjadi peningkatan yang diperlukan untuk pertahanan udara Suriah, yang sekarang terdiri dari senjata era Soviet. Menurut Jerusalem Post, sistem pertahanan udara Rusia paling canggih yang dimiliki Damaskus adalah sistem pertahanan udara jarak pendek yang Pantsir S-1, yang mampu menembak jatuh drone dan rudal di wilayah udara Suriah.

Sejak 2013, Israel telah mengkonfirmasi mengenai sekitar 100 target di Suriah, meski banyak lagi serangan yang dilaporkan telah diluncurkan oleh pasukan negara Yahudi, yang kemudian membantahnya.

Beberapa target berada di daerah perbatasan Suriah-Israel di Dataran Tinggi Golan. Dua pertiga wilayah, yang diakui secara internasional sebagai wilayah Suriah, dianeksasi oleh Israel pada tahun 80-an dan tetap diperdebatkan. Dataran Tinggi Golan timur, yang berada di tangan Suriah, telah menjadi target Front al-Nusra yang berafiliasi dengan al-Qaeda, serta militan ISIS dan pasukan oposisi Suriah lainnya.

Namun, Israel telah menargetkan lokasi dan dugaan konvoi senjata Hizbullah di Ibu Kota provinsi dan daerah lain. Pada 2017 Israel mengebom bandara militer dekat Damaskus. Seorang pejabat Suriah kemudian mengatakan kepada Sputnik bahwa hal itu dilakukan untuk mendorong dan mendukung teroris.

Pada tanggal 10 Februari 2018, sebagai pembalasan atas serangan pesawat tak berawak Iran yang diduga masuk wilayah Israel, IDF meluncurkan serangan udara terhadap posisinya di wilayah Suriah, dengan harga salah satu jet mereka. Hilangnya pesawat terbang di atas wilayah Suriah mendorong serangan lain terhadap negara itu, mengklaim menewaskan antara 6 dan 10 tentara, menurut berbagai sumber, dan merusak 12 situs.

Pada tahun 2016, Rusia mengirim S-300 ke kekuatan saingan Israel lainnya di Timur Tengah dan sekutu bagi pemerintah Suriah, Iran. Kesepakatan Moskow-Tehran senilai USD800 juta untuk mengirimkan sistem pertahanan udara S-300 buatan Rusia ke Iran pada awalnya ditandatangani pada 2007. Namun, kesepakatan itu telah ditangguhkan karena adopsi sanksi Dewan Keamanan PBB terhadap Iran pada pertengahan 2010.

Pada April 2015, Rusia melanjutkan kembali pembicaraan tentang pengiriman S-300 menyusul kesepakatan sementara tentang program nuklir Iran. 


Pada 2016, utusan khusus presiden Rusia ke Afghanistan mengatakan Teheran juga menunjukkan minat dalam pengiriman sistem pertahanan udara S-400 Rusia, tetapi kedua negara itu tidak sedang mengadakan perundingan mengenai topik itu.

S-400 adalah sistem pertahanan udara generasi mendatang Rusia. Sistem ini membawa tiga jenis misil yang berbeda yang mampu menghancurkan target udara pada jarak yang sangat pendek.



Credit  sindonews.com