Film dokumenter "Jihad Selfie"
mengungkapkan alasan para pemuda Indonesia bergabung dengan ISIS.
Alasannya sangat sederhana, jauh dari kata ideologis. (CNN
Indonesia/Hanna Azarya Samosir)
Jakarta, CB
--
Alasan Teuku Akbar Maulana, pelajar Indonesia di
Turki, ingin bergabung dengan ISIS sederhana saja, bahkan terdengar
remeh.
"Saya lihat teman saya ikut ISIS, berfoto pakai AK-47, kok macho sekali? Banyak yang
like
itu fotonya di Facebook, dikomentari ukhti-ukhti. Saya tertarik ikut,"
ujar Akbar saat ditemui di Kementerian Luar Negeri RI, Jakarta, Senin
(22/8).
Berusia 16 tahun dan tinggal jauh dari rumah, remaja asal
Aceh ini mencari jati dirinya dengan menyelami dunia internet. Layaknya
pemuda masa kini, sosial media merupakan jendela dunia yang mungkin
dapat menjadi segalanya bagi hidup remaja.
Meskipun beruntung bisa mendapatkan beasiswa untuk belajar di Turki,
Akbar yang memiliki otak cemerlang merasa bosan dengan kehidupannya.
"Saya
galau karena pelajaran terlalu mudah, itu-itu saja. Saya merasa hampa.
Lalu saya ingat pelajaran waktu SMP, dibilang bahwa hiduplah mulia atau
mati syahid. Nanti bisa dapat surga dikelilingi 72 bidadari," tutur
Akbar.
Berangkat dari pemikiran itu, sampailah Akbar ke khayalan
impian ketika membuka akun media sosial salah satu temannya yang sudah
menjadi militan ISIS.
"Saya juga ingin terlihat maskulin. Di
video-video ISIS itu banyak dibilang bahwa ini tanah lelaki. Seakan
kalau kita tidak di sana, berarti kita bukan lelaki. Saya pikir, keren
juga. Saya semakin ingin membantu jihad," kata Akbar.
Satu sore
di tahun 2014, Akbar bertemu dengan seorang pengamat asal Indonesia di
sebuah kedai kebab. Noor Huda Ismail namanya. Ia sedang bertandang ke
Turki untuk melanjutkan penelitiannya mengenai pola baru perekrutan
militan kelompok teror melalui jejaring sosial.
"Saya sempat
cerita, saya mau pergi jihad dan ada teman sudah mau bantu. Saya sampai
dikasih 100 Lyra sama dia untuk pergi, tapi setelah ngobrol dua hari,
saya sadar dan saya batalkan perjalanan itu," kata Akbar.
Akbar
pun semakin mantap untuk mengurungkan niatnya karena ia berpikir, banyak
misinterpretasi ayat-ayat Al-Quran yang diyakini oleh teman-temannya.
Teuku Akbar Maulana dalam pemutaran film Jihad Selfie. (CNN Indonesia/Hanna Azarya Samosir)
|
Huda, seorang pengamat terorisme yang tengah menempuh studi studi PhD di
Monash University, Australia, menyadari ada kejanggalan dalam motivasi
Akbar untuk ikut bertempur bersama ISIS. Hal ini menginspirasi Huda
untuk menggarap film dokumenter bertajuk Jihad Selfie.
"Kalau
didengar alasannya, itu di mana letak ideologisnya? Tidak ada. Semuanya
karena galau anak-anak alay yang masalahnya itu karena sosial media,
banyak like atau tidak. Itu kan masalah anak zaman sekarang," ucap Huda.
Aspek maskulinitasHuda
pun mengamini adanya aspek maskulinitas dalam problematika masyarakat,
terutama remaja pria, di Indonesia. Bahayanya, masalah ini dapat membawa
para remaja terjerembab dalam liang terorisme.
Merujuk pada data
Badan Nasional Penanggulangan Terorisme, ada 500 WNI yang kini sudah
hijrah ke Suriah dan Irak untuk bertempur dengan ISIS. Di antara 500
orang tersebut, Huda menceritakan Wildan, Yazid, dan Fauzan, tiga remaja
yang tewas dalam medan perang ISIS di Irak dan Suriah.
Menurut Huda, Wildan menjadi pengebom bunuh diri karena ada masalah di keluarganya. Ayahnya melakukan poligami.
Sementara
itu, Yazid tidak dekat dengan ayahnya. Bapak dari Yazid merupakan
anggota angkatan bersenjata sehingga hubungan dengan anaknya sangat
kaku.
Begitu pula dengan Fauzan yang tidak terlalu mengenal sosok ayahnya karena sudah meninggal dunia sejak lama.
"Mereka
punya passion untuk terlihat heroik. Mereka tidak ingin di-bully
terus-terusan. Ada gelora untuk tidak dianggap perempuan, tidak macho.
Ingin dilihat maskulin," kata Huda.
Geopolitik memakan korbanDari
pengalamannya menggarap film berdurasi 49 menit ini, Huda menarik
kesimpulan bahwa terorisme ini sebenarnya adalah permainan geopolitik
yang memakan korban nyata.
"Kasusnya di Suriah, tapi Turki punya
kepentingan. Begitu pula Rusia, China, AS, dan Arab Saudi. Banyak orang
yang kembali dari sana, cerita ke saya bahwa senjata mereka buatan
China, semua amir mereka dari Saudi punya uang dolar banyak. Terorisme
itu sebenarnya permaianan geopolitik, tapi korbannya anak-anak alay
seperti ini yang matinya beneran," ujar pendiri Yayasan Prasasti
Perdamaian ini.
Kini, kata Huda, tantangannya bagi pemerintah
adalah untuk mencari cara yang modern guna menggaet perhatian anak-anak
muda agar tidak terpengaruh dengan propaganda kelompok teror di
internet.
"Gunakan digital literacy. Seperti saya ini contohnya,
buat film agar menarik perhatian. Jika dilihat itu saya bikin cut to
cut-nya cepat supaya anak muda tidak cepat bosan. Harus cari cara untuk
mendapatkan perhatian mereka bahwa mereka tidak perlu seperti itu,"
katanya.
Film Jihad Selfie digarap pada Maret 2015 hingga Mei
2016 dengan berbagai lokasi, seperti Melbourne, Istanbul, Kayseri,
Kairo, Bali dan Jakarta. Film ini akan diputar di berbagai universitas,
LSM, lembaga pemerintah dan penjara di seluruh Indonesia. Pemutaran film
akan diikuti dengan diskusi seputar radikalisme di Indonesia.
Credit
CNN Indonesia