Foto: Febri Angga Palguna
Jakarta - Produk sawit Indonesia tengah jadi sorotan. Dalam
sebuah resolusi yang dikeluarkan Parlemen Uni Eropa (UE), komoditas
andalan ekspor Indonesia ini dikaitkan dengan isu pelanggaran HAM,
korupsi, pekerja anak, dan penghilangan hak masyarakat adat.
Menteri
Perdagangan (Mendag), Enggartiasto Lukita, menyebut pihaknya sudah
menyampaikan keberatan kepada Menteri Perdagangan UE saat bertemu di
Manila, Filipina. Resolusi tersebut, menurut dia, erat kaitannya dengan
persaingan dagang tak sehat.
"Masalah sawit sekarang kalau
bicara deforestasi, apa bedanya sawit dengan minyak nabati lain? Apa
bedanya dengan vegetable oil di Eropa?" kata Enggar di Jakarta, Rabu
(12/4/2017).
"Itu pasti dimulai dengan digundulkan dulu sebelum ditanam, apakah enggak ada
double standard
di sana, apakah tidak ada kepentingan dagang di sana? Disalurkan
melalui Parlemen Eropa, ini yang saya sampaikan protes," katanya lagi.
Diungkapkannya,
tudingan tersebut tidak berdasar. Sawit Indonesia sendiri sudah
menerapkan standar lingkungan berkelanjutan lewat Indonesian Sustainable
Palm Oil System (ISPO). Sawit juga selama ini jadi penggerak petani
rakyat dan industri kecil menengah.
"Bahwa kami keberatan, kita sudah melalukan
sustainable
seperti ISPO dan sebagainya, ini akan ganggu perjanjian kita dengan UE
kalau hal-hal seperti ini didiamkan, kita sekarang juga sampaikan ini
menyangkut sekian banyak petani, sekian banyak industri kecil,
menyatakan mari kita konsentrasi dan bantu UKM, tapi langkah ini tidak
mencerminkan hal itu," jelas Enggar.
Dia melanjutkan, jika memang resolusi tersebut bisa jadi genderang perang dagang yang bisa saja dibalas Indonesia.
"Kalau terjadi
retaliation
(pembalasan) apakah ini bukan perang dagang. Anda minta jangan perang
dagang tapi Anda memulai ini, benar-benar ingatkan pada parlemen Eropa,
kalau mau benar-benar dagang tanpa
double standard, kami sudah
mulai dengan ISPO. Kayu pun mereka terapkan (standar) SLVK, tapi tidak
semua. Parlemen kami pun bisa lalukan hal yang sama," ucapnya.
Credit
finance.detik.com
Eropa Sentimen Soal Sawit RI, Mentan: Jangan Mau Didikte!
Foto: Dok. Kementan
Semarang - Menteri Pertanian (Mentan) Andi Amran Sulaiman berang
dengan Parlemen Uni Eropa. Amran mengancam akan mengevaluasi ekspor
sawit dan biodiesel berbasis sawit ke negara-negara Eropa.
"Kalau ada kerja sama yang telah kami tandatangani, kami evaluasi," ujar Amran dalam keterangan tertulis, Rabu (12/4/2017).
Amran
menegaskan, pasar sawit Indonesia bukan cuma di Eropa. Karena itu, dia
tidak gentar jika negara-negara Uni Eropa sepakat melarang sawit
Indonesia beredar di pasar-pasar Eropa. Bahkan sebaliknya, Amran akan
meminta eksportir kelapa sawit menghentikan pasokannya ke Eropa.
"Indonesia jangan mau didikte sama Uni Eropa! Kalau perlu hentikan ekspor sawit kita ke sana!" kata Amran.
Amran
menambahkan, hingga kini Indonesia mengkonversi kelapa sawit ke biofuel
B-20 sebanyak 3,2 juta ton. Sedangkan Eropa mengimpor 7 juta ton.
"Kami
telah minta ke seluruh eksportir jatah yang dikonversi biofuel enggak
usah ekspor ke sana. Berikutnya kita masih punya B-30 dan itu kita butuh
13 juta ton. Artinya ekspor kita nanti berkurang karena kita jadikan
biodiesel," tambah Amran.
Untuk itu, Amran menegaskan, masalah
sawit merupakan urusan pertanian dalam negeri. Karena itu, dia
mewanti-wanti agar negara-negara Eropa tidak mencampuri kebijakan
pertanian Indonesia. Pasalnya, Indonesia saat ini telah memiliki standar
sertifikasi produk sawit dan turunannya atau yang dikenal Indonesian
Sustainable Palm Oil (ISPO).
Selain memiliki ISPO, Indonesia
juga telah melakukan kerja sama dalam hal sertifikasi produk sawit
dengan Malaysia melalui Roundtable Sustainable Palm Oil (RSPO).
"Indonesia
punya standar sendiri, yakni Indonesian Sustainable Palm Oilm (ISPO).
Masa (sawit) kita yang punya, dia yang mau buat standarnya. Itu cerita
mana?" tegasnya.
Amran tidak takut jika harus mengevaluasi
beberapa kerja sama dengan negara-negara Eropa khususnya Prancis.
Pasalnya Indonesia memiliki posisi yang kuat dalam hal produsen minyak
sawit dunia. Bahkan, jika digabung maka Indonesia dengan Malaysia
menguasai 80 produksi CPO dunia.
Indonesia sendiri memiliki
kedaulatan terhadap sawit. Karena itu, Indonesia berhak melakukan ekspor
sawit kepada negara-negara yang memang membutuhkan termasuk
menghentikan ekspor ke negara-negara Eropa.
"Palm oil Indonesia
dan Malaysia gabung itu 80 persen (dari produksi CPO dunia). Negara
Eropa kita supply hanya 3,2 juta ton per tahun untuk biodiesel, itu
kecil," tegas Amran.
Lebih lanjut, Amran menjelaskan, salah satu
yang dipermasalahkan oleh Uni Eropa juga yakni adanya perluasan
perkebunan sawit yang akan menyebabkan kerusakan hutan. Padahal setiap
kebijakan yang dikeluarkan pemerintah Indonesia selalu berupaya menjaga
kelestarian lingkungan termasuk kesejahteraan manusia di dalamnya.
"Masih
ingat, Presiden melakukan moratorium untuk sawit di lahan gambut. Jadi
luar biasa perhatian Presiden kepada lingkungan," jelasnya.
Terkait
hal ini, Mentan balik menuding resolusi terhadap sawit Indonesia ini
merupakan upaya kampanye hitam yang bertujuan untuk menjatuhkan harga
sawit Indonesia di tingkat Internasional. Dia pun memastikan akan
melawan kebijakan Uni Eropa tersebut mengingat resolusi ini telah
mengancam kelestarian hutan di Indonesia.
"Kalau Negara Eropa
selalu melakukan black campaign kepada palm oil Indonesia dan Malaysia
ini berbahaya. Sebab secara tidak langsung mereka (Uni Eropa) yang
memicu kerusakan hutan. Kenapa? karena ada community di bawah sawit, ada
pekerja sawit, kurang lebih ada komunitas sebanyak 11 juta hingga 30
juta jiwa. Kalau harga CPO jatuh, petani pasti cari penghasilan lain.
Kalau cari penghasilan lain, pasti pergi babat hutan. Siapa yang bisa
tahan itu," katanya.
Amran mencatat, ada beberapa negara seperti
Prancis yang selalu getol melakukan kampanye hitam terhadap sawit
Indonesia. Mereka ini mengimpor sawit dalam skala kecil, yakni 200 ribu
ton. Amran memastikan pihaknya kini tengah mengevaluasi kerja sama di
bidang pertanian dengan Prancis.
Tidak hanya itu, Amran juga
heran terhadap kebijakan Uni Eropa yang seakan-akan menganggap lebih
penting menyelamatkan Orang Utan di Kalimantan ketimbang manusia yang
hidup di dalamnya.
"Mereka menaruh perhatian pada Orang Utan di
Kalimantan, sementara di bawah sawit ini orang benaran. Bukan Orang Utan
yang cari hidup. Jadi ingat pendekatan (CPO) bukan hanya environment,
tapi kesejahteraan," tuturnya.
Oleh karena itu, Amran pemerintah
akan mendorong eksportir CPO dalam negeri agar fokus pada pasar besar
yang tidak mempersoalkan CPO. Negara yang dimaksud Amran yakni India,
China, Pakistan, Bangladesh, Turki dan negara lainnya.
"Eropa
minta macam-macam standar, tapi belinya cuma sedikit. Kita minta ke
negara eksportir CPO jangan ekspor ke Eropa lagi. Kami sudah sampaikan,
ada community di bawah CPO, ada pedagang, petani, ini jauh lebih
penting. Orang Utan saja diperhatikan, ini orang asli. Jadi
pendekatannya jangan deforestasi, tapi community welfare
(kesejahteraan). Ini masalah harga diri bangsa, masalah Merah Putih,
kita jangan mau diatur Eropa," ucap Amran.
Sebelumnya Parlemen
Uni Eropa menilai, sawit di Indonesia masih menciptakan banyak masalah
mulai dari deforestasi, korupsi, pekerja anak-anak, sampai pelanggaran
hak asasi manusia (HAM). Indonesia oleh parlemen Uni Eropa bahkan
dilarang untuk mengekspor sawit dan biodiesel ke negara lain.
Credit
finance.detik.com
Eropa Keluarkan Resolusi Sawit, Mentan: Jangan Campuri Pertanian RI
Foto: Febri Angga Palguna
Jakarta - Menteri Pertanian, Amran Sulaiman, meminta Parlemen Uni
Eropa untuk tidak mencampuri kebijakan Indonesia, khususnya dalam
standarisasi
crude palm oil (CPO).
Parlemen Uni Eropa
mengeluarkan resolusi soal sawit dan pelarangan biodiesel berbasis sawit
karena dinilai masih menciptakan banyak masalah dari deforestasi,
korupsi, pekerja anak, sampai pelanggaran HAM.
"Jangan
mencampuri urusan pertanian dalam negeri. Kita punya standar ISPO, kita
sudah kerja sama dengan Malaysia RSPO, kita sudah join, kita punya
standar sendiri untuk pertanian berkelanjutan. Silahkan diurus
standarnya sendiri, Indonesia punya standar sendiri dan kita sudah
sepakat dengan Malaysia," kata Amran usai acara Rapimnas HKTI di Balai
Kartini, Jakarta, Senin (10/4/2017).
Amran mengatakan, jika Uni
Eropa terus melakukan kampanye hitam maka akan memberikan dampak secara
langsung kepada kelompok petani sawit yang jumlahnya sekitar 30 juta.
Dampak
yang dimaksud, kata Amran, kampanye hitam jika terus dilakukan maka
akan menurunkan harga CPO. Ketika harga CPO turun, maka kelompok tani
CPO yang jumlahnya 30 juta orang ini akan mencari pendapatan lain.
"Jika
CPO ini turun harganya, komunitas petani ada 30 juta, ini bisa
meninggalkan sawit, tapi sawitnya tetap, bergerak ke hutan untuk mencari
pendapatan baru. Artinya merusak hutan, merambah hutan karena mencari
kehidupan baru. Siapa yang bisa halangi kalau 30 juta bergerak,"
tambahnya.
Lanjut Amran, pemerintah terus melakukan nego dengan
beberapa negara Eropa soal resolusi sawit tersebut. Pemerintah telah
berbicara dengan Jerman, Spanyol dan Denmark.
"Kami sudah bicara,
Kami sudah sampaikan, ada community di bawah CPO, ada pedagang, petani,
ini jauh lebih penting. Orang utan saja diperhatikan, ini orang
beneran. Jadi pendekatannya jangan deforestasi, tapi community welfare,
kalau harga turun CPO karena mereka
black campaign, yang
terjadi hutan semakin rusak karena mereka tinggalkan (sawit), tidak
mungkin sawitnya ditebang. Pasti bergerak ke hutan mencari sumber
pendapatan baru," ungkapnya.
Amran
mengimbau, kepada seluruh eksportir yang melakukan pengiriman ke
negara-negara yang mengganggu kebijakan Indonesia soal CPO, maka harus
dikurangi volume ekspornya.
"Untuk Indonesia, sekarang kita sudah
mengalihkan CPO untuk biofuel, B20 7 juta, B30 13 juta. Kami himbau ke
seluruh eksportir negara-negara yang mengganggu dikurangi ekspornya ke
sana. Hitung-hitungan, ke Eropa berapa pasarnya, yang Prancis itu 200
ribu ton, enggak berpengaruh," tutupnya.
Credit
finance.detik.com