Bambang Purwoko, Ketua Kelompok Kerja
Papua UGM, meminta warga Yogya berempati kepada orang Papua. (CNN
Indonesia/Martahan Sohuturon)
Yogyakarta, CB
--
Bambang Purwoko sudah menuju Bandara Sentani,
Jayapura, ketika telepon selulernya berdering. Panggilan itu tak bisa
diabaikan, berasal dari orang nomor satu di provinsi tersebut. Gubernur
Papua Lukas Enembe memintanya menghadap. Bambang langsung putar balik ke
rumah sang Gubernur, menunda setengah hari kepulangannya ke Yogya.
Sebagai
Ketua Kelompok Kerja Papua Universitas Gadjah Mada, Bambang menjadi
tempat bertanya Lukas Enembe. Ia juga sering dimintai pendapat oleh
Kantor Staf Presiden dan Keraton Yogyakarta terkait isu Papua.
Papua
bak rumah kedua bagi Bambang. Ia kerap bolak-balik Yogya-Papua,
menjelajah Papua dari pantai hingga pegunungan, mencurahkan waktu untuk
masyarakat timur Indonesia itu.
Ketika wartawan
CNNIndonesia.com,
Anggi Kusumadewi dan Martahan Sohuturon, menyambangi kediamannya di
Condongsari, Yogyakarta, Minggu pagi (31/7), Bambang baru tiba dari
Jayapura. Gurat lelah sama sekali tak terlihat di wajahnya.
Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UGM itu kemudian bercerita banyak hal tentang Papua. Berikut petikan wawancaranya.
Anda ikut “sibuk” waktu terjadi insiden di Asrama Mahasiswa Papua Kamasan I?Saya
jadi tempat bertanya beberapa pihak, termasuk dari Jakarta. Sebab salah
satu tugas pokok dan fungsi Pokja Papua ialah memberi masukan terkait
kebijakan apa yang seharusnya diambil Jakarta untuk Papua.
Saya
ingin tekankan, dalam melihat permasalahan yang terjadi di Asrama Papua
dan insiden-insiden lain terkait Papua, kita tidak bisa menggunakan
logika kita sebagai orang Jawa, Jakarta, dan Yogya yang bagaimanapun
hidup dalam tradisi berbeda.
Penting sekali untuk mengedepankan
hati dan empati, terlepas dari rasa kesal yang mungkin ada. Oleh sebab
itu jargon Pokja Papua UGM adalah membangun dengan hati.
Berempatilah
dengan melihat orang Papua dari latar belakang sosial dan budayanya.
Tolong juga pahami bahwa orang Papua itu tidak satu tipe. Ada 320
subetnis dengan 300-an lebih suku dan bahasa di Papua. Satu kampung bisa
terdiri dari beberapa kelompok penutur bahasa yang berbeda.
Kita
kerap tidak bisa membedakan dia orang pantai atau gunung. Sesama orang
pantai pun bisa merasa beda meski sama-sama Papua. Sementara sesama
orang gunung juga saling membedakan antara satu suku dengan lainnya.
Mereka bahkan kadang bilang bahwa suku tertentu cenderung lebih keras
dibanding sukunya. Ada istilah kepala batu.
Orang Jayapura,
daerah pantai, mungkin tahu lika-liku jalan di Jakarta, tapi tidak tahu
soal distrik-distrik di gunung seperti Ilaga. Sebaliknya orang gunung
tidak terlalu paham budaya kota Jayapura walaupun mereka tahu Jakarta.
Demikian
pula mahasiswa Papua yang datang ke sini bisa berasal dari berbagai
daerah. Maka mahasiswa Papua di UGM dari daerah pantai yang ingin
mengetahui wilayah pegunungan Papua, kerap ikut program KKN (kuliah
kerja nyata) ke sana.
Kita juga harus cek para mahasiswa Papua
yang datang ke Yogya, apakah mereka masih aktif kuliah, apa frustasi
karena tidak ada pendamping, apakah dia tak pernah datang kuliah lagi
tapi beasiswa diterima terus dari pemerintah daerah? Sebab pemda
menghabiskan banyak dana untuk beasiswa, termasuk bagi mereka yang tidak
kuliah.
Ada 1.028 mahasiswa asal Papua di dalam dan luar negeri
yang dibiayai dengan dana otonomi khusus. Itu pun tak semua kualitasnya
bagus.
Mereka, mahasiswa Papua belum lama ini kumpul di sini.
Cukup banyak, termasuk yang non-UGM. Kami tanya apa permasalahan yang
mereka hadapi. Untuk yang kuliah di UGM, di mana 90 persen berasal dari
wilayah pantai, bisa dikatakan tidak ada masalah setelah lewat tahun
pertama belajar. Memang IP (indeks prestasi) tidak bisa dibandingkan
dengan mahasiswa daerah lain, tapi rata-rata mata kuliah bisa selesai
dengan baik.
Tanpa bermaksud melakukan dikotomi, hal berbeda
misal dialami oleh teman-temannya yang berasal dari daerah pegunungan.
Mereka pergi studi ke Yogya, semester awal diperlakukan sama seperti
mahasiswa lain oleh dosennya, ‘Minggu depan
review bab ini dan ini, kumpulkan.’
Dia
tidak punya tempat konsultasi ke mana dan ke siapa, tidak ada yang
membimbing, lantas frustasi. Salah satu akibat rasa frustasi itu, malam
minggu mabuk-mabukan dan hari Minggu pagi terlihat bergelimpangan di
stadion.
Itu karena tidak ada pendampingan untuk mereka. Adaptasi
jadi amat sulit. Belum lagi secara sosial bermasalah karena ada
stereotip. Cari kos juga susah. Kasihan sekali.
Apa salah satu perhatian utama Anda soal Papua?Ketertinggalan
di bidang pendidikan. Itu berdampak sangat serius pada rendahnya
kualitas birokrasi dan etos kerja. Pendidikan yang buruk merusak
semuanya.
Anak-anak SMA belum bisa baca tulis itu hal wajar di Papua. Lulus SMA, punya ijazah tapi tidak bisa baca tulis. Ini realita.
Sudah
umur 18 tahun tapi belum sekolah. Atau sudah 16 tahun tapi belum
sekolah, lantas dimasukkan ke SD, daftar langsung kelas enam. Tapi dia
tidak pernah pergi ke sekolah, dan nanti tahu-tahu datang menjelang
ujian. Minta ikut ujian dan harus lulus.
Masyarakat memaksa,
guru-guru tak berdaya, ya dia diluluskan. Dapat ijazah SD, dipakai
mendaftar ke SMP, masuk langsung kelas tiga karena umur sudah tua.
Setelah itu sama, tidak pernah masuk, tiba-tiba datang ikut ujian dan
minta lulus. SMA begitu juga.
Lulus SMA, dia memaksa masuk ke
perguruan tinggi di Jayapura dengan sistem kuota. Harus masuk. Tapi
lagi-lagi tidak pernah belajar. Mereka yang seperti ini kerap memalang
pintu Uncen (Universitas Cenderawasih). Tahun 2014 atau 2015 misalnya,
dalam setahun gerbang Uncen dipalang 40 kali oleh mahasiswa.
Mereka
tidak mau belajar, tapi harus lulus. Seorang mahasiswa mendatangi
dosennya suatu malam. “Bapak mau hidupkah? Mau kasih saya nilai B-kah?
Kalau teman satu kampung dapat B, saya juga.
Sa tra berani pulang kampung kalau tidak dapat B.”
Ini
bukan cerita dulu, tapi masih kejadian sampai sekarang. Jelek sekali
kondisi pendidikan di Papua. Generasi yang tua ini sudah sulit
diapa-apakan. Perbaikan harus dari dasar. Maka Pokja Papua UGM mulai
tahun 2013 mengirim guru-guru perintis ke Kabupaten Puncak, bekerja sama
dengan pemerintah daerah setempat.
Tahap pertama kami mengirim
60 orang, tahap kedua 40 orang. Tahap ketiga kami kirim guru ke
Kabupaten Intan Jaya sebanyak 40 orang. Total sudah 140 guru kami kirim.
Mereka bertugas di distrik-distrik pedalaman yang selama ini bahkan
tidak ada guru PNS (pegawai negeri sipil) yang bertugas di sana karena
berbagai alasan.
Sekarang setelah tiga tahun program guru
perintis berjalan, hasilnya terlihat. Pendidikan di wilayah pegunungan
Papua mulai hidup. Kalau ini dipertahankan, Puncak dan Intan Jaya akan
memiliki SDM (sumber daya manusia) paling maju di seluruh Papua karena
pendidikan ditangani dengan baik.
Apa yang Anda bicarakan dengan Gubernur Papua Lukas Enembe di Jayapura?Pak
Lukas ingin mahasiswa tak tinggal di asrama, agar mereka berinteraksi
dengan masyarakat. Itu juga imbauan Pemprov DIY, dan Pemprov Papua
sepakat.
Intinya berbaur. Gubernur mengatakan, asrama-asrama itu
tidak diperlukan lagi karena menyebabkan tidak ada pembauran. Mereka
yang sudah tidak aktif kuliah masih ada yang tinggal di situ, dan
terkoneksi dengan Gerakan Pembebasan (Papua).
Bagi Pak Gubernur,
itu sesuatu yang tidak benar juga. Mereka itulah yang kemarin (15 Juli)
melakukan gerakan. Mereka tidak merepresentasikan mahasiswa Papua di
Yogya. Mereka membangun struktur oligarki. Semua ikatan mahasiswa Papua
di daerah, juga asrama daerah, harus tersubordinasi dan tunduk pada
Kamasan.
Saat Keluarga Mahasiswa Papua Gadjah Mada tahun 2015 mau
mengadakan kegiatan, kami ingin merangkul mereka (mahasiswa Papua di
Kamasan), tapi ketua asrama tidak mau. Akhirnya acara kami, Corak Tanah
Papua, tetap sukses.
Corak Tanah Papua dengan tema ‘Mengenal
dan Memahami Papua dari Beragam Perspektif’ digelar 30-31 Oktober 2015
di kampus UGM sebagai bagian dari Dies Natalis UGM ke-66. Acara ini
bertujuan antara lain untuk memperbaiki citra negatif mahasiswa Papua di
mata masyarakat Yogya.Meski begitu, mereka (mahasiswa Papua di Kamasan) harus dikasihi dan dipahami, mengapa mereka seperti itu.
Asrama
Kamasan I di Jalan Kusumanegara, Yogyakarta, menjadi pusat kegiatan
Aliansi Mahasiswa Papua. (CNN Indonesia/Anggi Kusumadewi)
|
Mereka marah pada ormas yang melontarkan kata-kata binatang dan rasialis pada insiden di Asrama Kamasan 15 Juli.Sangat disayangkan. Mestinya ormas-ormas di Yogya belajar memahami bagaimana kita semua bersaudara dengan baik. Tidak perlu
overacting. Bagaimana mau hidup bersama secara humanis jika tidak mau belajar.
Kita
harus belajar bagaimana menerima saudara-saudara Papua dengan baik di
sini, seperti kita juga diterima baik ketika berada di Papua.
Perilaku
berlebihan ormas-ormas juga akan berdampak pada relasi antarwarga.
Bukan hanya warga di Yogya, tapi juga di Papua. Apa yang terjadi di
Yogya menimbulkan sentimen di Papua. Apalagi kita hidup di era yang
bikin orang cepat meletup.
Bagi Gerakan Pembebasan Papua,
nothing to lose jika di Yogya ribut. Semakin ribut, semakin menguntungkan untuk ekspose.
Jangan
karena kepentingan masing-masing, mengorbankan hal lebih luas seperti
masyarakat, relasi antarwarga, termasuk teman mereka sendiri.
Kuncinya adalah pendampingan, pendekatan dari hati, empati.
Membangun
Papua juga dengan hati, dan komitmen. Pemerintah pusat, dalam hal ini
Presiden Jokowi, punya komitmen tinggi membangun Papua. Sayang hal itu
tidak diikuti dengan komitmen yang sama tingginya dari para menterinya.
Banyak
sekali kebijakan-kebijakan Presiden tentang Papua yang sebetulnya sudah
jelas, akhirnya malah tidak jalan. Anggaran triliunan terserak di
kementerian, tapi sering dialokasikan untuk hal-hal yang secara riil
tidak dibutuhkan masyarakat Papua.
Pemerintah pusat harus
mendahulukan kepentingan masyarakat Papua. Cermati apa sebetulnya
kebutuhan mereka. Tanpa itu, kekecewaan rakyat Papua akan terus
berlanjut dan terakumulasi.
Menurut Anda pemerintah tak cermat soal Papua?Negara
memang tidak hadir di hadapan masyarakat Papua. Kehadiran negara di
tanah Papua mestinya ditandai dengan tersedianya pelayanan publik dasar,
yaitu pendidikan, ekonomi, dan infrastruktur.
Masyarakat Papua
bukan hanya tertindas dalam arti fisik. Mereka mungkin bebas, tapi sulit
mengakses pelayanan publik dasar. Fasilitas kesehatan belum menjangkau
daerah terpencil. Jika pun tersedia, akses ke sana sulit.
Harga
di wilayah pegunungan Papua sangat mahal. Semen Rp2 juta, air mineral
600 mililiter Rp30 ribu, air mineral 300 mililiter Rp20 ribu, beras Rp50
ribu. Masyarakat miskin jadi dipaksa membayar mahal untuk kebutuhan
dasarnya.
Negara tidak hadir untuk masyarakat Papua.
Kami
(Pokja Papua UGM) berupaya memperjuangkan Papua dari ketertinggalan
pendidikan, kesulitan mengakses layanan kesehatan, harga yang mahal. Ini
berkali-kali dikomunikasikan ke Presiden dan beliau paham. Tapi
menteri-menterinya, tak semua punya komitmen sama.
Kalau tidak
ditangani serius, efek-efek kekecewaan akan meletup. Merdeka bukan cuma
persoalan ideologi, tapi juga terpenuhi atau tidak terpenuhinya
kebutuhan dasar.
Credit
CNN Indonesia