Perdana Menteri Australia, Tony Abbott bersalaman dengan Presiden Joko Widodo di Gedung Parlemen di Brisbane. (15/11/2014) (REUTERS/David Gray)
CB - Kendaraan khusus baracuda dan rantis
milik Brimobda Polda Bali akhirnya tiba di Lembaga Pemasyarakakatan
Kerobokan, Denpasar, pada Rabu, 4 Maret 2015 sekitar pukul 04.29 WITA
untuk menjemput terpidana mati Andrew Chan dan Myuran Sukumaran. Para
napi lain langsung berteriak riuh rendah ketika kendaraan itu masuk ke
dalam lapas.
Chan dan Sukumaran pun mulai meninggalkan lapas
pukul 05.18 WITA. Mereka diantar menuju ke Bandara Ngurah Rai dengan
dikawal ratusan petugas polisi. Pesawat charter Lion Air jenis ATR 72
telah menanti mereka di bandara.
Kepala Divisi Pemasyarakatan
Kantor Wilayah Hukum dan HAM Provinsi Bali, Nyoman Putra Surya,
menuturkan jelang eksekusi tidak sedikit pun ada raut takut terlihat
dari wajah Chan dan Andrew. Keduanya tetap tersenyum sumringah walau
ajal siap menjemput.
"Tadi, saat diajak masuk ruangan bertemu
Kapolda, Wagub, dan pemimpin lainnya. Dia malah senyum-senyum," ujar
Putra di Lapas Kerobokan pada Rabu pagi kemarin.
Dia menambahkan
kedua pria asal Sydney itu terlihat siap menghadapi eksekusi mati.
"Mereka begitu siap. Tidak ada ketakutan sama sekali. Itu yang saya
lihat," imbuh dia.
Putra mengatakan tak ada perlakuan khusus
kepada keduanya. Tangan Chan dan Sukumaran diborgol di depan. "Tak
dipakaikan penutup kepala dan lainnya. Tidak ada perlakuan khusus," kata
dia.
Chan dan Sukumaran akan bergabung dengan delapan terpidana
mati lainnya yang juga akan diterbangkan ke Pulau Nusakambangan. Di
sana, mereka akan menghadapi regu tembak untuk dieksekusi.
Namun,
berita pemindahan ini menjadi mimpi buruk bagi Pemerintah Australia.
Kekecewaan terlihat jelas dari raut wajah Menteri Luar Negeri Australia,
Julie Bishop. Tak mengherankan jika Bishop kecewa, lantaran
lobi-lobinya selama ini ke Pemerintah Indonesia tidak digubris.
"Saya
kecewa mendengar laporan Andrew dan Myuran telah dipindahkan dalam
persiapan eksekusi mereka," ujar Bishop ketika diwawancarai Fairfax
Media.
Dia semakin kecewa, karena informasi mengenai pemindahan
dan hari eksekusinya tidak diinformasikan oleh otoritas Indonesia. Bagi
Pemerintah Australia, sosok gembong narkoba sudah menjadi masa lalu.
Selama hampir 10 tahun tertunda pelaksanaan eksekusinya, Bishop mengatakan Chan dan Sukumaran telah menjadi orang yang berbeda.
"Dengan
adanya fakta bahwa mereka telah menjadi individu yang berubah,
sementara eksekusi tetap dijalankan, ini sungguh perbuatan keji," kata
dia.
Respon kecewa juga diungkap oleh Perdana Menteri Tony Abbott. Saat diwawancarai oleh radio
ABC,
pemimpin Partai Liberal itu mengatakan jutaan penduduk Australia muak
dengan perkembangan kabar mengenai eksekusi mati kedua warganya.
"Kami
membenci kejahatan narkoba, tetapi kami juga benci hukuman mati yang
kami pikir tak pantas dilakukan untuk negara seperti Indonesia," kata
Abbott.
Tidak MemburukIni merupakan
ujian ke sekian kalinya bagi hubungan bilateral Australia dan Indonesia.
Hubungan diplomatik keduanya kembali tegang usai berhasil pulih akibat
terbongkarnya skandal penyadapan oleh Badan Intelijen Australia, ASIO,
terhadap ponsel mantan Presiden SBY dan Ibu Ani Yudoyono.
Publik
kemudian menduga hubungan kedua negara berpotensi kembali ke titik
nadir akibat isu pelaksanaan hukuman mati. Namun, prediksi itu
dimentahkan oleh Julie Bishop. Walaupun dia kecewa terhadap sikap
Indonesia yang bergeming untuk melaksanakan eksekusi mati, Bishop tidak
berniat menarik Duta Besar terpilih, Paul Grigson.
Harian
Sydney Morning Herald (SMH)
Rabu kemarin melansir, Bishop bercermin dari kasus serupa yang pernah
terjadi di Singapura dan Malaysia. Di kedua negara itu, warga Negeri
Kanguru juga dieksekusi akibat kasus narkoba.
"Dalam dua
peristiwa sebelumnya yang berkaitan di Singapura dan Malaysia, tak ada
penarikan diplomat. Namun, memang ada beberapa pertemuan dan inisiatif
yang bisa ditunda hingga waktu yang tepat," ujar Bishop.
Kendati
eksekusi tinggal menunggu hari, namun Bishop tidak putus harapan. Dia
akan tetap mencoba untuk menghubungi para Menteri di Indonesia agar
eksekusi mati dibatalkan.
Tony Abbott pun setali tiga uang.
Sikapnya yang semula begitu agresif, terlihat mulai melunak jelang
eksekusi mati. Abbott mengakui walaupun hubungan bilateral tetap
terjalin, namun akan ada masa-masa sulit yang harus dilalui paska
eksekusi.
Dia pun meminta warga Negeri Kanguru tidak melampiaskan kemarahan mereka akibat eksekusi Chan dan Sukumaran secara berlebihan.
"Saya
harus mengatakan kemarahan bukan menjadi dasar yang baik untuk
menentukan kebijakan nasional suatu negara dan kemarahan yang
berkepanjangan juga tidak bisa dijadikan alasan yang baik untuk
menentukan bagaimana Anda bertindak nanti," ungkap Abbott.
Dia
pun mengakui, hubungan baik yang terjalin dengan Indonesia sangat
penting bagi Negeri Kanguru. Apa pun yang mungkin terjadi dalam beberapa
hari ke depan dengan Indonesia, lanjut Abbott harus dapat diatasi.
Menyikapi
perubahan respons itu, pengajar dari Departemen Hubungan Internasional
Universitas Indonesia, Tirta Mursitama, menilai ada pelunakan sikap dari
Pemerintah Australia jelang pelaksanaan eksekusi. Dia berpendapat
Negeri Kanguru menyadari dunia tidak lantas akan kiamat jika dua orang
ini dieksekusi.
"Australia semula kan berniat melakukan
psy war
dengan mengeluarkan semua jurus dan manuver yang mereka miliki. Tetapi,
Indonesia tetap bergeming dan Australia menyadari pelaksanaan hukuman
mati merupakan otoritas Pemerintah RI," ujar Tirta yang dihubungi
VIVA.co.id melalui telepon pada Rabu, 4 Maret 2015.
Dia
mengatakan jika melihat pola pikir Abbott, maka apa yang dilakukannya
selama ini hanya untuk membela warganya. Abbott berpikir dengan cara
demikian, maka negara lain bisa menghormati Australia.
Walaupun
begitu, Tirta menolak cara-cara pendekatan yang digunakan Bishop dan
Abbott yang semakin agresif, bahkan hingga mengungkit isu masa lalu
seperti bantuan tsunami. Padahal, ketika bantuan tsunami diberikan tahun
2004 lalu, Abbott belum menduduki kursi PM.
Guru besar Hubungan
Internasional itu juga melihat kecil kemungkinan isu eksekusi mati akan
berpengaruh terhadap bidang kerjasama kedua negara. Pengusaha Australia
sadar betul, ujar Tirta, segala konsekuensi yang harus ditanggung jika
karena isu ini, maka kerjasama juga ikut bubar.
"Hubungan
perdagangan dan bisnis kan merupakan sebuah komitmen panjang. Indonesia
merupakan pasar besar khususnya untuk produk olahan berbahan dasar
susu," kata Tirta.
Melihat fakta tersebut, Tirta menilai, jika
pengusaha Australia tidak akan gegabah untuk memutus kontrak bisnis
dengan pengusaha RI.
Dalam kesempatan itu, dia pun turut
menyebut, hubungan kedua negara sejak awal memang tidak pernah mulus.
Tercatat, dua Dubes RI yang pernah bertugas di Australia pernah
dipanggil pulang ke Jakarta di saat sedang bertugas.
Kejadian
pertama berlangsung pada 2006 lalu. Saat itu, Dubes Hamzah Thayeb
dipanggil pulang sebagai bentuk protes atas pemberian visa tinggal
sementara bagi 42 warga Papua yang mencari suaka. Selanjutnya, Dubes
Nadjib Riphat Kesoema dipanggil pulang pada akhir 2013 lalu gara-gara
skandal penyadapan ASIO dibocorkan oleh agen NSA, Edward J. Snowden.
Hubungan
kedua negara yang pasang surut itu juga kerap tegang karena isu manusia
pencari suaka. Pemerintah Indonesia geram karena sikap Australia yang
mendorong perahu pencari suaka ke perairan RI. Sikap itu sering kali
diprotes Indonesia karena dilakukan sepihak.
Menurut Tirta, jika
kedua negara bisa melewati momen sulit usai eksekusi mati, Indonesia
perlu mencari cara-cara baru terhadap hubungan ini.
Opini Terbelah Di
dalam negeri Australia pun, tidak sepenuhnya publik mereka menolak
eksekusi mati. Pendapat tersebut bisa terlihat dari survei yang
dilakukan oleh Lembaga Riset, Roy Morgan pada pertengahan Januari lalu.
Mereka melakukan survei pada periode 23-27 Januari 2015 dan berhasil memperoleh 2.123 responden.
Laman
The New Daily Australia
melansir, mayoritas warga Negeri Kanguru berpikir gembong Bali Nine
seharusnya dieksekusi mati. Sementara, total sebanyak 52 persen
responden bahwa warga Australia yang divonis hukuman mati di negara lain
karena menyelundupkan narkoba, harus segera dieksekusi.
Sebanyak
64 persen responden mengatakan Pemerintah Negeri Kanguru berhenti
melakukan berbagai upaya supaya eksekusi terhadap Chan dan Sukumaran
batal terlaksana.
Pemerintah Australia geram terhadap hasil
survei ini dan menyayangkan sikap pejabat Indonesia yang kerap mengutip
hasilnya. Di mata Julie Bishop, hasil survei Roy Morgan justru dijadikan
pembenaran bagi Indonesia untuk tetap melakukan eksekusi mati.
Hasil
survei ini dibalas dengan riset yang dilakukan institusi lainnya. Kali
ini organisasi New Lowy Institute pada pertengahan lalu turut merilis
hasil survei versi mereka. Sebanyak 62 persen menolak eksekusi mati
terhadap Chan dan Sukumaran.
Bahkan, sebanyak 69 persen warga
Australia berdasarkan survei itu meyakini secara umum eksekusi mati
tidak seharusnya digunakan sebagai sebuah hukuman untuk kasus narkoba.
Direktur
Eksekutif Lowy Institute, Michael Fullilove, mengatakan jelang eksekusi
terhadap Chan dan Sukumaran, sikap publik Australia dan oposisi kian
jelas.
"Survei Lowy Institute merupakan pernyataan yang kuat
dari publik Australia terhadao eksekusi Chan dan Sukumaran," kata
Fullilove.
Namun, diduga kelompok pendukung Chan dan Sukumaran
menyampaikan dukungan dalam bentuk ancaman. Gangguan itu dialami oleh
Gedung KJRI Sydney pada Senin malam kemarin.
Menurut informasi pejabat KJRI bidang sosial dan budaya, Nicolas Manoppo kepada
VIVA.co.id, pada Senin malam, pelaku membawa sekitar 10 balon berisi cairan berwarna merah menyerupai darah.
Sebagian
dari balon itu diinjak-injak, sementara sisanya dilemparkan ke gedung
KJRI. Kendati diplomat yang akrab disapa Nico itu menyebut cairan itu
merupakan cat, sementara Konsul Jenderal RI di Sydney, Yayan GH Mulyana,
menyebut cairan merah berasal dari pewarna.
Berdasarkan rekaman
kamera pengawas (CCTV), ujar Yayan, diduga pelaku merupakan wanita.
Pengamanan di depan gedung KJRI diperketat dan mereka mengeluarkan
imbauan kepada WNI di negara bagian New South Wales.
Kendati
secara eksplisit belum diketahui apakah gangguan itu terkait penolakan
eksekusi mati, namun aksi serupa juga pernah terjadi sebanyak dua kali.
Aksi diwujudkan dalam bentuk unjuk rasa sambil membawa poster
bertuliskan "pengampunan bagi Andrew Chan dan Myuran Sukumaran".
Yayan mengatakan kini operasional KJRI tetap berjalan seperti biasa walau sempat diganggu.
"Kami
tetap memberikan pelayanan keimigrasian dan kekonsuleran. Hari ini pun
cukup ramai orang meminta pengurusan visa," kata Yayan yang dihubungi
VIVA.co.id pada Rabu malam kemarin.
Terkait
dengan gangguan di depan gedung KJRI, Tirta berpendapat hal tersebut
masih dalam kategori wajar dan tidak perlu dilebih-lebihkan.
"Kedua
negara merupakan negara demokrasi, sehingga penyampaian pendapat
dipersilakan, asal dalam cara yang wajar. Jika ada pelanggaran, maka ada
mekanisme tertentu yang berjalan," kata dia.
Yang terpenting, lanjut Tirta, para diplomat di KJRI Sydney bisa merespon dengan cara elegan.
Tidak BahagiaGencarnya
pemberitaan mengenai pelaksanaan eksekusi mati di Indonesia turut
mengubah perspektif publik internasional. Mereka mengira Indonesia yang
semula negara cinta damai, seolah melakukan pembunuhan massal dan
diberitakan secara blak-blakan.
Publik internasional pun seolah
menilai Indonesia tengah bertepuk tangan dan bahagia bisa mengeksekusi
mati para bandar dan kurir narkoba. Namun, anggapan itu ditepis oleh
Dubes Nadjib.
Stasiun berita
ABC News Rabu kemarin melansir tidak mudah bagi Indonesia untuk melakukan eksekusi mati.
"Ini
bukan sesuatu yang mudah untuk dilakukan. Kami pun tidak bahagia
melakukan itu dan eksekusi dilakukan karena ada alasan yang kuat," tegas
Nadjib dalam di acara pertemuan bisnis di Perth Rabu kemarin.
Mantan
Dubes RI untuk Kerajaan Belgia itu juga mengaku sedih dengan situasi di
mana lebih dari 1.500 warga Indonesia meninggal akibat narkoba setiap
bulan. Pelaksanaan hukuman mati di Indonesia pun, kata Nadjib, tengah
menjadi perbincangan.
"Berikan kami waktu dan ruang untuk
mendiskusikan isu ini secara internal. Indonesia kini tenang melakukan
diskusi dan masih terjadi perdebatan mengenai masalah ini," papar
Nadjib.
Dia menambahkan hasil dari pembahasan mengenai hukuman
mati akan terlihat di masa mendatang. Australia sendiri, lanjut Nadjib,
baru bisa menghapus hukuman mati 80 tahun kemudian.
Sementara di
mata Tirta, selama hukuman mati masih diberlakukan di Indonesia untuk
pelaku tindak kejahatan narkoba, maka aturan itu harus ditegakkan.
Dengan bertindak tegas, ujar Tirta, Indonesia mengirimkan sinyal positif
ke dunia negara ini tidak bisa dibeli.
Dia pun tidak
mempermasalahkan adanya cap munafik yang menempel di Indonesia. Sebab,
Pemerintah RI pun turut memohon pengampunan dari negara lain bagi WNI
yang terancam hukuman mati di sana.
"Kalau suatu negara dicap
hipokrit lalu kenapa? Yang namanya pemberian grasi merupakan kewenangan
tiap kepala negara. Indonesia harus tegas menghukum siapa pun warga
asing yang terbukti melakukan tindak kejahatan di teritori RI," kata
dia.
Tirta menambahkan di dunia ini tidak hanya Indonesia saja
yang masih memberlakukan hukuman mati. Beberapa negara bagian di Amerika
Serikat pun, ujar Tirta, juga masih memberlakukan hukuman mati.
Justru
dari kasus ini, bisa menjadi tantangan dan pelajaran bagi para diplomat
Indonesia untuk mengkomunikasikan hal ini kepada dunia. Selain itu,
turut memberikan masukan berharga untuk revitalisasi diplomasi
Indonesia.
"Selama ini diplomasi Indonesia kan terlihat
low profile. Tetapi, para diplomat perlu bersikap asertif ketika kepentingan nasional RI diganggu," kata dia.
Credit
VIVA.co.id