CB, Jakarta - Laporan
tim pencari fakta PBB terkait pejabat tinggi militer Myanmar yang
terlibat dalam pembantaian terhadap etnis minoritas Rohingya,
meminta ASEAN agar mengambil langkah-langkah. ASEAN secara tak langsung
di desak untuk mengambil sikap agar peristiwa serupa tidak terulang
lagi.
Vitit Muntarbhorn, pakar HAM dan profesor hukum dari Universitas Chulalongkorn, Thailand, mengatakan situasi yang terjadi di negara bagian Rakhine, Myanmar, sangat kritis bagi masyarakat Rohingya, khususnya setelah peristiwa pembantaian pada Agustus 2017. Muntarbhorn menilai kebijakan pemerintah Myanmar terkait pembantaian pada satu tahun lalu itu, berbeda dengan kebijakan saat suku Rohingya mengalami tindak kekerasan pada 1970-an dan 1990-an.
"ASEAN diundang untuk melihat kasus ini dan langkah apa yang akan dilakukan selanjutnya agar kekerasan serupa tidak terulang lagi," kata Muntarbhorn, saat ditemui dalam seminar dialog nasional Indonesia dalam kerangka PBB tentang analisis risiko yang diselenggarakan oleh CSIS, Rabu, 29 Agustus 2018.
Vitit Muntarbhorn, kiri, pakar hak asasi manusia internasional dan profesor hukum di Universitas Chulalongkorn di Bangkok. Sumber: TEMPO/Suci Sekar
Sebelumnya tim pencari fakta PBB pada 27 Agustus 2018 mempublikasi hasil investigasi yang memperlihatkan adanya keterlibatan pejabat tinggi militer Myanmar dalam pembantaian suku Rohingya pada Agustus 2017. Tindak pembantaian itu telah mendesak masyarakat Rohingya mengungsi ke Bangladesh.
Menurut Makarim Wibisono, diplomat senior Indonesia, inti permasalahan dari pembantaian dan tindak kekerasan yang dialami etnis Rohingya di negara bagian Rakhine, Myanmar, adalah karena kelompok masyarakat minoritas ini tidak dikategorikan sebagai warga negara Myanmar.
"Jadi, permasalahannya adalah kewarganegaraan," kata Makarim.
Myanmar saat ini dipimpin oleh pemerintahan sipil di bawah kepemimpinan Aung San Suu Kyi, mantan peraih Nobel perdamaian 1991. Namun begitu, terlihat militer masih mengendalikan pemerintahan.
"Mendiskusikan pembantaian yang dialami etnis Rohingnya di lingkup ASEAN akan sulit karena ada prinsip tidak saling mencampuri urusan dalam negeri anggota ASEAN," kata Makarim.
Nilai penting dari komunitas ASEAN adalah menciptakan masyarakat yang saling peduli dan solidaritas antar anggota ASEAN. Namun pada kenyataannya, sulit memperlihatkan solidaritas kepada masyarakat Rohingya, Myanmar. Ini terlihat dari sulitnya akses kemanusiaan bagi suku Rohingya ditembus hingga jalan paling mudah ditembus untuk membantu para pengungsi hanya lewat Bangladesh. Dengan begitu, pembantaian di negara bagian Rakhine adalah tantangan bagi seluruh negara anggota ASEAN.
Vitit Muntarbhorn, pakar HAM dan profesor hukum dari Universitas Chulalongkorn, Thailand, mengatakan situasi yang terjadi di negara bagian Rakhine, Myanmar, sangat kritis bagi masyarakat Rohingya, khususnya setelah peristiwa pembantaian pada Agustus 2017. Muntarbhorn menilai kebijakan pemerintah Myanmar terkait pembantaian pada satu tahun lalu itu, berbeda dengan kebijakan saat suku Rohingya mengalami tindak kekerasan pada 1970-an dan 1990-an.
"ASEAN diundang untuk melihat kasus ini dan langkah apa yang akan dilakukan selanjutnya agar kekerasan serupa tidak terulang lagi," kata Muntarbhorn, saat ditemui dalam seminar dialog nasional Indonesia dalam kerangka PBB tentang analisis risiko yang diselenggarakan oleh CSIS, Rabu, 29 Agustus 2018.
Vitit Muntarbhorn, kiri, pakar hak asasi manusia internasional dan profesor hukum di Universitas Chulalongkorn di Bangkok. Sumber: TEMPO/Suci Sekar
Sebelumnya tim pencari fakta PBB pada 27 Agustus 2018 mempublikasi hasil investigasi yang memperlihatkan adanya keterlibatan pejabat tinggi militer Myanmar dalam pembantaian suku Rohingya pada Agustus 2017. Tindak pembantaian itu telah mendesak masyarakat Rohingya mengungsi ke Bangladesh.
Menurut Makarim Wibisono, diplomat senior Indonesia, inti permasalahan dari pembantaian dan tindak kekerasan yang dialami etnis Rohingya di negara bagian Rakhine, Myanmar, adalah karena kelompok masyarakat minoritas ini tidak dikategorikan sebagai warga negara Myanmar.
"Jadi, permasalahannya adalah kewarganegaraan," kata Makarim.
Myanmar saat ini dipimpin oleh pemerintahan sipil di bawah kepemimpinan Aung San Suu Kyi, mantan peraih Nobel perdamaian 1991. Namun begitu, terlihat militer masih mengendalikan pemerintahan.
"Mendiskusikan pembantaian yang dialami etnis Rohingnya di lingkup ASEAN akan sulit karena ada prinsip tidak saling mencampuri urusan dalam negeri anggota ASEAN," kata Makarim.
Nilai penting dari komunitas ASEAN adalah menciptakan masyarakat yang saling peduli dan solidaritas antar anggota ASEAN. Namun pada kenyataannya, sulit memperlihatkan solidaritas kepada masyarakat Rohingya, Myanmar. Ini terlihat dari sulitnya akses kemanusiaan bagi suku Rohingya ditembus hingga jalan paling mudah ditembus untuk membantu para pengungsi hanya lewat Bangladesh. Dengan begitu, pembantaian di negara bagian Rakhine adalah tantangan bagi seluruh negara anggota ASEAN.
Credit tempo.co