CB, Moskow- Kementerian
Pertahanan Rusia menyebut Amerika Serikat dan sekutu sedang menyiapkan
serangan rudal presisi baru terhadap Suriah. Serangan serupa pernah
terjadi pada April 2018 dengan menggunakan 103 rudal penghancur presisi.
Serangan
rudal presisi ini akan dilancarkan setelah kelompok militan anti
Presiden Suriah, Bashar Al Assad, melancarkan serangan bom klorin untuk
menjebak militer Suriah sebagai pelakunya.
“Serangan bom kimia itu menjadi alasan bagi AS, Inggris dan Prancis untuk menyerang sejumlah target di Suriah,” kata Mayor Jenderal Igor Konashenkov, juru bicara kementerian Pertahanan Rusia, seperti dilansir Russia Today, Ahad, 25 Agustus 2018 waktu setempat.
Konashenkov mengatakan kapal perang The Sullivans,
yang merupakan kapal perang kelas Arlegih Burke dengan senjata rudal
presisi penghancur, telah berangkat menuju Teluk Persia dua hari lalu.
Kapal perang ini membawa sekitar 56 rudal. Pada saat yang sama, sebuah pesawat terbang pengebom Rockwell B-1 Lancer, yang mampu terbang dengan kecepatan supersonik, telah bersiaga di pangkalan militer Bandara Udara Al Udeid di Qatar. Pesawat ini membawa sekitar 24 rudal penjelajah presisi.
Seorang kameramen mengambil gambar gumpalan asap dari kota Kobani setelah serangan udara pasukan koalisi Amerika Serikat menyerang yang terlihat dari perbatasan Turki-Suriah, 9 Oktober 2014. Emin Menguarslan/Anadolu Agency/Getty Images
Militer Rusia menuding sejumlah upaya provokasi sedang disiapkan oleh kelompok militan Al-Nusra Front, yang sekarang dikenal dengan nama Tahrir Al-Sham, di Provinsi Idlib, yang terletak di barat laut Suriah.
Intelijen
militer Rusia menemukan informasi bahwa serangan bom klorin jebakan itu
akan dilakukan terhadap kota Jisr al-Sughur, yang terletak di Idlib.
Ada delapan bom klorin yang disiapkan oleh kelompok militan ini.
Pada saat yang sama, militer Rusia menuding, sebuah kelompok militan lainnya disiapkan oleh perusahaan keamanan asal Inggris Olive. Kelompok militan ini telah tiba di lokasi.
Mereka akan menyamar sebagai kelompok petugas kemanusiaan Helm Putih atau White Helmets dan bakal menggelar operasi bantuan bagi para korban yang terkena serangan bom klorin itu.
Sistem pertahanan udara jarak menengah buatan Rusia, Buk-M2, merupakan salah satu andalan Suriah saat menghadapi serangan udara Amerika Serikat, Inggris, dan Prancis, pada 14 April 2018. Rudal Buk-M2 dapat menghancurkan rudal balistik taktis dan rudal jelajah pada jarak 20 km. Rusia mengirim delapan Buk-M2 ke Suriah, pada 2010-2013. sputniknews.com
Seperti dilansir Reuters sebelumnya, AS dan sekutu menyerang sejumlah target militer Suriah termasuk sebuah pos komando pasukan khusus Suriah pada April 2018.
Serangan
itu melibatkan sejumlah pesawat jet tempur, dan kapal perang AS dan
sekutu. Serangan dilakukan setelah militer Suriah dituding menyerang
Kota Douma menggunakan bom klorin, yang menyebabkan puluhan warga sipil
meninggal dunia.
Militer AS dan sekutu, menurut Russia Today, menggelar serangan itu hanya beberapa jam sebelum tim dari Organisasi Pencegah Senjata Kimia (OPCW) tiba di Kota Douma untuk memulai investigasi. Investigasi itu digelar untuk mengetahui siapa pelaku penyerangan bom klorin itu sebenarnya.
Militer AS dan sekutu menembakkan sekitar 103 rudal pengebom presisi saat itu. Sistem pertahanan anti serangan udara Suriah, yang diback-up Rusia, menembak jatuh setidaknya 71 rudal.
Menurut Russia Today, kemenhan Rusia menuding AS mengetahui rencana serangan bom klorin oleh kelompok militan ini dan bakal memanfaatkannya untuk menyerang Suriah lagi.
Pada 22 Agustus 2018 ini, penasehat keamanan nasional Gedung Putih, John Bolton, mengatakan,”Jika rezim Suriah melakukan serangan senjata kimia lagi, kami akan merespon sangat kuat dan ini akan membuat mereka berpikir soal ini untuk waktu yang lama.”
Pernyataan Bolton itu dianggap sebagai konfirmasi terselubung soal adanya rencana serangan bom klorin dan serangan rudal presisi sekutu tadi.
Soal in, Deputi Menteri Luar Negeri Rusia, Sergey Ryabkov, memperingatkan Washington agar menghentikan rencana serangan sembrono baru terhadap Suriah itu.
“Kami mendengar ultimatum dari Washington, termasuk yang dibuat di ruang publik,” kata Ryabkov seperti dilansir RIA Novosti dari Rusia. Ryabkov menuding pemerintah Amerika berupaya menggoyang stabilitas keamanan Suriah dan menciptakan alasan baru untuk pergantian rezim di Damaskus. “Lagi, kita menyaksikan eskalasi serius situasi di Suriah,” kata Ryabkov.
“Serangan bom kimia itu menjadi alasan bagi AS, Inggris dan Prancis untuk menyerang sejumlah target di Suriah,” kata Mayor Jenderal Igor Konashenkov, juru bicara kementerian Pertahanan Rusia, seperti dilansir Russia Today, Ahad, 25 Agustus 2018 waktu setempat.
Kapal perang ini membawa sekitar 56 rudal. Pada saat yang sama, sebuah pesawat terbang pengebom Rockwell B-1 Lancer, yang mampu terbang dengan kecepatan supersonik, telah bersiaga di pangkalan militer Bandara Udara Al Udeid di Qatar. Pesawat ini membawa sekitar 24 rudal penjelajah presisi.
Seorang kameramen mengambil gambar gumpalan asap dari kota Kobani setelah serangan udara pasukan koalisi Amerika Serikat menyerang yang terlihat dari perbatasan Turki-Suriah, 9 Oktober 2014. Emin Menguarslan/Anadolu Agency/Getty Images
Militer Rusia menuding sejumlah upaya provokasi sedang disiapkan oleh kelompok militan Al-Nusra Front, yang sekarang dikenal dengan nama Tahrir Al-Sham, di Provinsi Idlib, yang terletak di barat laut Suriah.
Pada saat yang sama, militer Rusia menuding, sebuah kelompok militan lainnya disiapkan oleh perusahaan keamanan asal Inggris Olive. Kelompok militan ini telah tiba di lokasi.
Mereka akan menyamar sebagai kelompok petugas kemanusiaan Helm Putih atau White Helmets dan bakal menggelar operasi bantuan bagi para korban yang terkena serangan bom klorin itu.
Sistem pertahanan udara jarak menengah buatan Rusia, Buk-M2, merupakan salah satu andalan Suriah saat menghadapi serangan udara Amerika Serikat, Inggris, dan Prancis, pada 14 April 2018. Rudal Buk-M2 dapat menghancurkan rudal balistik taktis dan rudal jelajah pada jarak 20 km. Rusia mengirim delapan Buk-M2 ke Suriah, pada 2010-2013. sputniknews.com
Seperti dilansir Reuters sebelumnya, AS dan sekutu menyerang sejumlah target militer Suriah termasuk sebuah pos komando pasukan khusus Suriah pada April 2018.
Militer AS dan sekutu, menurut Russia Today, menggelar serangan itu hanya beberapa jam sebelum tim dari Organisasi Pencegah Senjata Kimia (OPCW) tiba di Kota Douma untuk memulai investigasi. Investigasi itu digelar untuk mengetahui siapa pelaku penyerangan bom klorin itu sebenarnya.
Militer AS dan sekutu menembakkan sekitar 103 rudal pengebom presisi saat itu. Sistem pertahanan anti serangan udara Suriah, yang diback-up Rusia, menembak jatuh setidaknya 71 rudal.
Menurut Russia Today, kemenhan Rusia menuding AS mengetahui rencana serangan bom klorin oleh kelompok militan ini dan bakal memanfaatkannya untuk menyerang Suriah lagi.
Pada 22 Agustus 2018 ini, penasehat keamanan nasional Gedung Putih, John Bolton, mengatakan,”Jika rezim Suriah melakukan serangan senjata kimia lagi, kami akan merespon sangat kuat dan ini akan membuat mereka berpikir soal ini untuk waktu yang lama.”
Pernyataan Bolton itu dianggap sebagai konfirmasi terselubung soal adanya rencana serangan bom klorin dan serangan rudal presisi sekutu tadi.
Soal in, Deputi Menteri Luar Negeri Rusia, Sergey Ryabkov, memperingatkan Washington agar menghentikan rencana serangan sembrono baru terhadap Suriah itu.
“Kami mendengar ultimatum dari Washington, termasuk yang dibuat di ruang publik,” kata Ryabkov seperti dilansir RIA Novosti dari Rusia. Ryabkov menuding pemerintah Amerika berupaya menggoyang stabilitas keamanan Suriah dan menciptakan alasan baru untuk pergantian rezim di Damaskus. “Lagi, kita menyaksikan eskalasi serius situasi di Suriah,” kata Ryabkov.
Credit tempo.co