Aksi pembersihan etnis Rohingya dilakukan secara terencana.
CB,
JAKARTA -- Tim Misi Pencari Fakta Independen PBB telah menerbitkan
laporan tentang krisis Rohingya di Negara Bagian Rakhine, Myanmar. Dalam
laporan tersebut dipaparkan tentang penganiayaan dan kekejaman yang
dilakukan Tatmadaw (pasukan keamanan Myanmar) terhadap berbagai etnis di
Rakhine, termasuk Rohingya.
Anggota Misi Pencari Fakta PBB melakukan wawancara dengan sejumlah
etnis yang tinggal di Rakhine. Mereka semua adalah korban pelanggaran
hak asasi manusia (HAM) serius dari pasukan keamanan Myanmar. Menurut
Misi Pencari Fakta PBB pelanggaran HAM yang dialami satu etnis dengan
etnis lainnya memiliki kesamaan.
Hal itu misalnya, mereka
diusir secara paksa dari tanahnya, ditahan secara sewenang-wenang, dan
lainnya. Kemudian kaum perempuan mengalami kekerasan seksual. Salah satu
korban mengungkapkan, pada 2017, dia dipukuli dan diperkosa Tatmadaw di
sebuah pangkalan militer.
Hal-hal itu pula yang dialami
Rohingya. "Di Negara Bagian Rakhine, umat Muslim seperti di penjara,
mereka tidak bisa bepergian keluar. Tidak ada HAM untuk Muslim Rakhine.
Saya tidak tahu mengapa Allah mengirim kita ke sana," kata salah satu
Muslim Rohingya yang diwawancara Misi Pencari Fakta PBB.
Menurut
Misi Pencari Fakta PBB, salah satu faktor yang mendorong diskriminasi
terhadap Rohingya adalah kebijakan kewarganegaraan. Kebanyakan Rohingya,
secara de facto, tak memiliki kewarganegaraan. Hak kewarganegaraan
mereka dirampas secara sewenang-wenang.
Hal itupun tak
dapat diselesaikan melalui Undang-Undang Kewarganegaraan Myanmar pada
1982. Dalam UU itu dijelaskan tentang proses verifikasi yang harus
dilalui sebelum mendapatkan kartu kewarganegaraan. Masalahnya terletak
pada konsep "ras nasional" dan retorika eksklusif yang berasal di bawah
kediktatoran perdana menteri Myanmar Ne Win pada 1960.
Etnis
Rohingya dianggap sebagai imigran gelap Bengal oleh masyarakat dan
pemerintah Myanmar. "Hubungan antara ras nasional dan kewarganegaraan
memiliki konsekuensi yang menghancurkan bagi Rohingya," kata Misi
Pencari Fakta PBB dalam laporannya.
Kemudian apa yang
terjadi pada Agustus 2017 sebenarnya tak dapat dipisahkan dari
penindasan sistematis terhadap Rohingya pada 2012 yang telah menyebabkan
disintegritas komunitas masyarakat di Rakhine. Hal itu kemudian
dipantik kembali oleh aksi penyerangan pos militer Myanmar di luar
Rakhine oleh gerilyawan Arakan Rohingya Salvation Army (ARSA) pada 25
Agustus 2017.
Hanya berselang beberapa jam setelah
penyerangan itu, pasukan keamanan Myanmar segera melancarkan operasi
brutal ke Rakhine. Dengan dalih merespons ancaman terorisme ARSA,
pasukan Myanmar menggeruduk ratusan desa di Maungdaw, Buthidaung, dan
Rathedaung.
Operasi yang semula mengincar gerilyawan ARSA,
akhirnya turut berimbas pada seluruh warga sipil Rohingya. Otoritas
Myanmar menyebut operasi itu sebagai "operasi pembersihan". Ribuan
Rohingya tewas terbunuh pascaoperasi tersebut. Banyak pula
perempuan-perempuan Rohingya yang diperkosa secara brutal. Sementara 725
ribu Rohingya melarikan diri dan mengungsi ke Bangladesh.
"Semua
orang hanya berlari untuk hidup mereka. Saya bahkan tidak bisa membawa
anak-anak saya," kata salah satu Rohingya yang diwawancara Misi Pencari
Fakta PBB.
Citra satelit pun telah menggambarkan bagaimana
kondisi permukiman dan desa di Rakhine pascaoperasi militer Myanmar.
Setidaknya 392 desa atau 40 persen dari seluruh permukiman di Rakhine
hancur sebagian dan hancur total. Sebanyak 80 persen di antaranya
dibakar pasukan Myanmar.
Sebanyak 70 persen desa yang
dibakar berada di Maungdaw, tempat mayoritas Rohingya tinggal. Pasar,
sekolah, dan masjid adalah termasuk bangunan-bangunan yang dibakar
pasukan keamanan Myanmar. "Daerah-daerah yang dihuni oleh Rohingya
secara khusus ditargetkan, dengan pemukiman yang berdekatan atau di
dekatnya (Rakhine) aman tanpa diserang," ujar laporan itu.
Atas
temuan-temuan tersebut, Misi Pencari Fakta PBB menyebut bahwa militer
Myanmar memiliki niat untuk melakukan genosida terhadap Rohingya. Sebab
apa yang disebut sebagai "operasi pembersihan" tak dilakukan secara
spontan, tapi terencana.
Misi Pencari Fakta menyerukan
agar para pejabat tinggi militer Myanmar, termasuk Panglima Tertinggi
Min Aung Hlaing, dibawa ke Pengadilan Pidana Internasional (ICC).
Sementara
itu Komisioner Tinggi Hak Asasi Manusia PBB Zeid Ra'ad Al Hussein
mengatakan, pemimpin de facto Myanmar seharusnya mundur dari jabatannya.
Sebab dia dianggap membiarkan pembantaian Rohingya terjadi. "Dia berada
dalam posisi yang seharusnya bisa melakukan sesuatu. Dia bisa saja
untuk terus diam, atau lebih baik mengundurkan diri," ujarnya pada Kamis
(30/8), dikutip laman
BBC.
Menurut Al Hussein,
Suu Kyi tak perlu lagi menjadi juru bicara militer Myanmar dan
menyangkal tentang pembantaian Rohingya di Rakhine. "Dia tidak perlu
mengatakan bahwa ini adalah gunung es dari misinformasi. Ini adalah
rekayasa," katanya.
Pada November 2017, Myanmar dan Bangladesh telah menyepakati proses repatriasi pengungsi dan pembentukan tim
Joint Wroking Group. Namun pelaksanaan kesepakatan itu belum optimal. Cukup banyak pengungsi Rohingya di Bangladesh yang enggan kembali ke Rakhine.
Mereka
mengaku masih trauma atas kejadian yang menimpanya pada Agustus tahun
lalu. Selain itu, kesepakatan repatriasi pun tak menyinggung perihal
jaminan keamanan dan keselamatan bagi warga Rohingya yang kembali.