Jumat, 21 Oktober 2016

Pengusaha Smelter Duduk Bareng Kemenperin, Ini Hasilnya


Pengusaha Smelter Duduk Bareng Kemenperin, Ini Hasilnya
Foto: Yulida Medistiara

Jakarta - Kementerian Perindustrian dan pengusaha smelter menggelar diskusi Focus Group Disscussion (FGD) membahas tentang pemanfaatan nikel. Dalam diskusi itu terdapat beberapa usulan dari pengusaha smelter anggota AP3I (Asosiasi Perusahaan Industri Pengolahan dan Pemurnian Indonesia) untuk dikaji ulang Kementerian Perindustrian dan Kementerian ESDM.

Acara ini dihadiri oleh Direktur Jenderal Industri Logam, Mesin, Alat Transportasi, dan ElektronikaI Kemenperin Gusti Putu Suryawirawan, Deputi Bidang Perencanaan Penanaman Modal BKPM Tamba P Hutapea, Deputi Bidang Kordinasi Pengelolaan Energi, SDA dan Lingkungan Hidup Ridwan Djamaludin, dan Tenaga Ahli Menteri Perindustrian Sukhyar, serta anggota AP3I.

Direktur Jenderal Industri Logam, Mesin, Alat Transportasi, dan ElektronikaI Gusti Putu Suryawirawan mengatakan dalam diskusi tersebut terdapat beberapa usulan dari pengusaha yang dijadikan sebagai rekomendasi untuk dikaji pemerintah. Adapun rekomendasi itu diantaranya, meminta BKPM untuk memperjelas dan mempertegas perizinan IUI (izin usaha industri) dan IUP (izin usaha pertambangan) dan meminta kepada Kementerian ESDM untuk menyusun neraca cadangan mineral.

Rekomendasi ketiga, yaitu Kementerian ESDM dan Kemenperin untuk menyusun kriteria dan jumlah smelter. Hal itu karena saat ini izin pembangunan smelter tidak diatur, di samping itu muncul kekhawatiran ketersediaan bahan baku dari pengusaha smelter ini.

"Karena smelter ini jumlahnya akan banyak, ada kekhawatiran apakah nanti semuanya akan mendapatkan bahan baku sehingga perlu ada pedoman. Material balance harus ada, sebetulnya smelter itu seperti apa, ini menjadi salah satu rekomendasi," kata Dirjen ILMATE Kemenperin, Gusti Putu, di kantornya, Jl Jenderal Sudirman, Jakarta Selatan, Rabu (18/10/2016).

Kriteria yang dimaksud misalnya berapa batas jumlah smelter yang diberi izin, berapa kapasitasnya, lokasi hingga teknologi. Hal itu karena saat ini untuk pembuatan smelter tidak diberi batas sementara nanti akan berdampak pada lingkungan hingga ketersediaan bahan baku.

"Tadi kan sudah lihat kan jumlah smelter pasnya berapa, kapasitasnya berapa. Kalau nggak gitu nanti semua ajukan smelter atau nanti lingkungan kita rusak," ujar Putu.

Usulan tersebut disepakati peserta diskusi yang selanjutnya Kemenperin dan Kementerian ESDM akan membahas perizinan smelter baru untuk nikel. Ke depan, Putu menginginkan smelter tersebut dibatasi untuk komoditas lainnya seperti bauksit, bijih besi, dan lain-lain.

Selanjutnya hasil rekomendasi tersebut meminta Kementerian ESDM untuk segera merevisi PP 9 tahun 2012 tentang PNBP untuk kementerian ESDM. Revisi tersebut mengusulkan pemungutan royalti seharusnya dihasil akhir dalam bentuk mentah, bukan di level tambang karena jika di level tambang terkena Pajak Pertambahan Nilai (PPn).

"Ada pengusaha industri pengolahan dan pemurnian yang royaltinya dipungut di hasil akhirnya. Padahal royalti itu kalau berdasarkan aturan internasional hanya barang tambang yang dipungut royaltinya jadi setelah digali itu yg dipungut royalti. Proses berikutnya sudah proses industri. Pajaknya dalam bentuk PPn pajak pertambahan nilai," ujar Putu.

"Sementara mereka karena menggunakan PP yang lama, mereka itu dipungut royalti itu di hasil akhirnya bukan di level tambangnya. Padahal mereka ini ingtegrated punya tambang dan pengolah termasuk Antam dipungut dihasil akhirnya," imbuhnya.

Oleh karena itu, Putu mengatakan aturan tersebut harus direvisi, tetapi badan hukumnya tidak harus terpisah. Rekomendasi selanjutnya yaitu revisi Permen ESDM 8 tahun 2015 tentang peningkatan nilai tambah mineral yang mengatur soal besarnya kandungan nikel sebelum diekspor.

Di Permen tersebut disebutkan kandungan nikel minimal 4% untuk dapat diekspor. Dengan begitu kandungan nikel yang di bawah 4% tidak dapat diekspor, revisi tersebut misalnya akan mengatur nikel yang memiliki kandungan di bawah 4% dapat diolah dalam negeri.

"Supaya di bawah 2% itu bisa diolah dan tetap memiliki nilai jual maka kita perlu merevisi kadar nikelnya itu. Tapi pembahasan tadi kan berlanjut bahwa kadar nikel di bawah 4% sudah dalam bentuk logam bukan dalam bentuk tanah. Kalau nggak nanti cuma dimurni-murnikan saja di-benefisiasi istilah tambangnya dia harus dalam bentuk logam jadi sudah melalui proses industri/proses smelting," kata Putu.

Rekomendasi terakhir Putu menyebut BPPT untuk mengembangkan pusat unggulan mineral Indonesia. Hasil dari keenam rekomendasi tersebut akan dirapatkan dengan instansi terkait.

"Kami akan rapatkan dengan kawan-kawan instansi yang di atas supaya bisa lebih cepat, pak Tambah BKPM untuk bahas itu, perizinannya seperti apa, jadi kita sama-sama bahas," imbuh Putu.




Credit  detikFinance