Kamis, 06 Oktober 2016

Kala Roket Tewaskan Juara Renang Suriah di Aleppo

 
 
Independent Mireille Hindoyan.
ALEPPO, CB - Di hari kematian menjemputnya, bintang renang Suriah Mireille Hindoyan memutuskan untuk melewatkan latihannya di sebuah kolam renang di kota yang dikoyak perang itu.

Dia memilih untuk membantu bekerja di toko kelontong milik keluarganya yang terletak di dekat garis depan pertempuran di kota kedua terbesar di Suriah tersebut.

Naas, tak lama setelah Mireille tiba di toko itu, sebuah roket yang ditembakkan pemberontak di seberang garis depan menghantam toko itu.

Ledakan roket mengakibatkan gadis berusia 20 tahun itu dan adiknya Arman (12) tewas seketika.

Di kediaman keluarga Mireille, sang ibu, Betty hanya bisa termangu, masih mengenakan pakaian serba hitam pertanda perkabungan, dia memandang lokasi ledakan yang menewaskan kedua anaknya pada 30 September lalu.

"Mereka pergi ke pangkuan Tuhan, mungkin hidup bersama Tuhan jauh lebih baik ketimbang hidup di tengah peperangan," ujar Betty sambil berlinang air mata.

Satu anaknya yang lain, Movses (19) lolos dari maut tetapi mengalami luka yang cukup berat.

Mireille adalah seorang atlet berbakat dan sedang memasuki tahun ketiganya di universitas. Dia adalah juara nasional renang jarak pendek dan bercita-cita menjadi ahli gizi.

Keluarganya, keturunan Armenia, tinggal dan bekerja di sebuah permukiman yang terletak di dekat garis depan yang membelah Aleppo menjadi daerah pemberontak dan daerah yang dikuasai pemerintah di sisi barat.

"Mireille biasanya berlatih ke kolam renang setiap hari sekitar pukul 11.00, tapi hari itu dia datang ke toko dan mengatakan dia sedang tak ingin berenang," kenang ibunya yang berusia 42 tahun.

"Saya sudah menyuruhnya pulang tetapi dia menolak," tambah Betty dengan suara bergetar.

Hanya berselang beberapa menit setelah Betty mencoba menyuruh Mireille pulang, ledakan dahsyat mengguncang toko itu, menghancurkan semua lampu dan melemparkan ketiga anak Betty.

"Ibu..ibu, tangan saya hilang," kata Movses mengerang menahan sakit.
Betty kemudian memanggil nama Mireille dan Arman untuk tetap dekat dengan dia karena mengira mereka masih hidup. Sayangnya mereka tetap diam, terbaring di tanah.

"Saat debu mulai menghilang, saya melihat ke sekeliling, lalu melihat Arman, anak bungsu saya tergeletak di lantai. Dia sudah tewas," ujar Betty.

Betty kemudian memanggi putri sulungnya itu.

"Saya menemukan dia di lantai. Kedua tangan dan kakinya putus. Saya tak bisa mengangkat dia karena saya juga terluka dan tak bisa bergerak," tambah dia.

Mireille dan adiknya adalah bagian dari ribuan orang di Aleppo yang tewas sejak perang pecah di kota itu.

Di hari Mireille tewas, kantor berita Suriah SANA menyebut 13 orang lainnya tewas akibat serangan pasukan pemberontak itu.

Di sisi timur yang dikuasai pemberontak kondisinya bahkan jauh lebih parah karena pasukan pemerintah menggunakan bom curah dan artileri untuk menghujani posisi-posisi pemberontak.

Mireille mendapat perhatian internasional sejak dia nyaris tenggelam dan bisa tiba di Jerman. Namanya makin dikenal setelah ikut berlaga bersama tim pengungsi di Olimpiade Rio yang baru saja berlalu.

"Dia sangat ambisius. Dia tetap menjadi atlet bahkan setelah perang pecah," kata sang pelatih Wanis Salahiyan yang sudah mengasuh Mireille sejak dia berusia lima tahun.

Ayah Mireille, Viken (56) berusaha tetap tegar di hadapan istrinya saat mereka memandangi foto kedua anak mereka yang tewas mengenaskan.

"Kami sudah banyak kehilangan, kami kehilangan toko dan gudang kami. Namun, kali ini kehilangan kami sangat besar, kami kehilangan putra dan putri," ujar Viken.






Credit  KOMPAS.com