Rabu, 13 Juli 2016

Pengadilan Arbitrase Tolak Klaim China di Laut China Selatan


Pengadilan Arbitrase Tolak Klaim China di Laut China Selatan Nine-dash line, garis imajiner yang digunakan China untuk mengklaim wilayah di Laut China Selatan yang dipersengketakan sejumlah negara Asia, menjorok hingga teritori Indonesia di perairan Natuna. (CNN Indonesia/Fajrian)
 
Jakarta, CB -- Hasil keputusan pengadilan arbitrase atas sengketa Laut China Selatan akhirnya dirilis pada Selasa (12/7). Salah satu hasil keputusan itu menyebutkan bahwa pengadilan menolak klaim China atas hak ekonomi di wilayah yang selama ini ditandai dengan sembilan garis putus-putus atau nine-dash line.

"Tak ada dasar hukum bagi China untuk mengklaim hak berdasarkan sejarah terhadap sumber daya di wilayah perairan yang termasuk di dalam 'nine-dash line,'" demikian bunyi keputusan pengadilan tersebut seperti dikutip Reuters.

Klaim China ditandai dengan sembilan garis putus-putus, atau nine-dash line, meliputi ratusan pulau, terumbu karang dan wilayah perairan yang tumpang-tindih dengan Filipina, Taiwan, Malaysia, Brunei, dan Vietnam.

China kerap menangkap ikan di wilayah yang masuk dalam garis imajiner itu atas dasar historis, meskipun daerah tersebut masuk dalam zona ekonomi eksklusif negara lain.

Dalam siaran pers berisi rangkuman hasil keputusan tersebut, para hakim mengatakan bahwa klaim China atas sumber daya berdasarkan sejarah itu tidak sesuai dengan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa atas Hukum Laut (UNCLOS).

Dilansir Reuters, keputusan ini dapat dianggap sebagai kemenangan bagi Filipina yang mengajukan tuntutan ini ke Pengadilan Arbitrase Permanen (PCA) di Den Haag pada 2013 lalu.

Dalam keputusan setebal 497 halaman tersebut, para hakim juga menyebutkan bahwa patroli aparat penegak hukum di sekitar wilayah sengketa Laut China Selatan juga dapat berisiko kecelakaan dengan kapal penangkap ikan Filipina.

Akibatnya, terjadi kerusakan terhadap terumbu karang. Kerusakan ini tidak dapat diperbaiki dengan konstruksi.

China sebagai pihak yang sejak awal sudah memboikot kasus ini, mengatakan tidak akan mematuhi keputusan pengadilan tersebut.

Menteri Luar Negeri Filipina, Perfecto Yasay, pun meminta semua pihak untuk menahan diri dan tenang dalam menanggapi keputusan ini.

"Para ahli kami mempelajari keputusan ini dengan hati-hati dan teliti. Kami meminta semua pihak untuk menahan diri dan tenang. Filipina menekankan penghormatan kami terhadap keputusan penting ini," ujar Yasay dalam jumpa pers.



Credit  CNN Indonesia




PCA: China tak miliki hak sejarah atas Laut China Selatan

PCA: China tak miliki hak sejarah atas Laut China Selatan
Peta konflik klaim wilayah antar-negara di Laut Tiongkok Selatan (inquirer.net)
 
Amsterdam/Beijing (CB) - Pengadilan Tetap Arbitrase (PCA) pada Selasa mengeluarkan keputusan bahwa China tak memiliki hak sejarah atas perairan Laut China Selatan dan bahwa negara itu telah melanggar hak-hak kedaulatan Filipina dengan aksi-aksinya yang dilakukannya.

Keputusan itu membuat marah Beijing yang menolak kasus tersebut dan menyebutnya sebuah lelucon, lapor Reuters.

China yang memboikot dengar pendapat di PCA di Den Haag berjanji lagi tidak akan mematuhi keputusan tersebut dan menyatakan angkatan bersenjatanya akan pertahankan kedaulatan dan kepentingan maritimnya.

Kantor berita China Xinhua melaporkan beberapa saat sebelum keputusan itu diumumkan bahwa sebuah pesawat sipil China sukses melakukan pengujian kalibrasi di dua bandar udara baru di Kepulauan Spratly yang disengketakan.

Dan Kementerian Pertahanan China mengumumkan bahwa sebuah kapal penghancur baru yang dilengkapi peluru kendali diresmikan di sebuah pakalan di Provinsi Hainan, pulau di bagian selatan China, yang mempunyai tanggung jawab atas wilayah LCS.

"Putusan ini merupakan sebuah tamparan hukum yang menghancurkan atas klaim-klaim yurisdiksi China di Laut China Selatan," kata Ian Storey, dari ISEAS Yusof Ishak Institute, Singapura, kepada kantor berita Reuters.

"China akan menanggapi dengan amarah, tentu dengan retorika dan barangkali melalui aksi-aksi agresif di laut."

China mengklaim sebagian besar perairan yang kaya minyak itu. Perdagangan sekitar 5 trilun dolar AS yang diangkut dengan kapal-kapal melintasi perairan tersebut tiap tahun. Tetangga-tetangga China, Brunei, Malaysia, Filipina, Taiwan dan Vietnam juga merupakan para pihak yang turut mengklaim.

Panel di PCA mengatakan tak ada basis hukum bagi China untuk mengklaim hak sejarah atas sumber daya di dalam apa yang disebut garis putus-putus sebanyak sembilan yang mencakup banyak wilayah LCS.

Dikatakan, China telah mencampuri hak-hak mencari ikan tradisional Filipina di Scarborough Shoal, salah satu dari ratusan pulau karang di laut itu, dan telah melanggar hak-hak kedaulatan Filipina dengan melakukan eksplorasi minyak dan gas dekat Reed Bank, tempat lain di kawasan tersebut.

Tak satu pun dari pulau karang China di Kepulauan Spratly masuk dalam kategori zona ekonomi ekslusif 200 mil, tambahnya.

Kementerian Luar Negeri China menolak dengan tegas keputusan itu, dengan menyatakan rakyatnya telah memiliki sejarah lebih 2.000 tahun di LCS, bahwa pulau-pulaunya mempunyai zona ekonomi eksklusif dan pihaknya telah mengumukan ke dunia peta garis bintik-bintiknya pada tahun 1948.

"Kedaulatan teritorial dan hak-hak maritim dan kepentingan China di Laut China Selatan tak akan terpengaruh oleh putusan-putusan itu. China menentang dan tak akan pernah menerima setiap klaim atau aksi atas dasar keputusan-keputusan tersebut," katanya.

Namun, kementerian itu juga mengulangi bahwa China menghormati dan menjunjung tinggi kebebasan navigasi dan terbang dan China siap menyelesaikan perselisihan secara damai melalui pembicaraan dengan negara-negara yang terkait langsung.

Kementerian Pertahanan China menyatakan dalam sebuah pernyataan berbahasa Inggris dan China beberapa saat sebelum keputusan PCA diumumkan bahwa angkatan bersenjata China akan "mempertahankan kedaulatan nasional, keamanan dan kepentingan dan hak-hak maritim, menjunjung tinggi perdamaian dan stabilitas regional, dan siap menghadapi segala bentuk ancaman dan tantangan".

Menteri Luar Negeri China Wang Yi menyatakan kasus itu telah menjadi lelucon sejak awal hingga akhir dan membuat perselisihan itu ke dalam wilayah bahaya, memperburuk ketegangan dan konfrontasi.

Tetapi Wang dalam komentar yang disiarkan media mengeluarkan suara yang tak memicu konflik, dengan menyatakan bahwa sudah waktunya untuk menempatkan segala sesuatu di lintasan yang tepat dan menggarisbwahi ketulusan pemerintah baru Filipina dalam mangambil langkah-langkah untuk memperlihatkan kesediaan memperbaiki hubungan.

Putusan itu juga menyatakan China telah menyebabkan kerusakan permanen atas ekosistem terumbu karang di Spratlys, tuduhan-tuduhan yang ditolak China.

Panel itu mengakui penolakan China untuk berperan serta, tetapi mengatakan mereka berusaha untuk mempertimbangkan posisi China atas dasar pernyataan-pernyataan dan korespondensi diplomatiknya.

Credit  ANTARA News