Kontak senjata nan mencekam pada Senin (18/7/2016) petang, terjadi selama 30 menit.
Kapolri Jenderal (Pol) Tito Karnavian memastikan bahwa jenazah yang ditemukan di hutan belantara itu 100 persen adalah Santoso. Dia tewas bersama Muchtar, anak buahnya.
Tim Disaster Victim Identification (DVI) Polri menyebutkan, sejumlah ciri fisik pada jenazah itu identik dengan Santoso. Salah satunya yakni tanda tahi lalat di dahinya.
Tanda tahi lalat pada jenazah itu berukuran 0,7 sentimeter, persis seperti ukuran tahi lalat milik Santoso. Selain itu, ada pula bekas luka tembak di bagian paha yang bersarang pada 2007 lalu.
Sidik jari jenazah tersebut pun identik dengan milik Santoso.
"Informasi yang saya dapat, sidik jarinya identik dengan sidik jari dia (Santoso) yang kami punya. Sudah bisa kami simpulkan 100 persen yang bersangkutan Santoso," ujar Tito, di Kantor Presiden, Jakarta, Selasa (19/7/2016).
Namun, masih ada satu tes yang belum dijalani, yakni tes DNA. Polisi akan mengambil sampel DNA itu dari anak Santoso.
Penguasa Gunung Biru
Selama persembunyiannya, Santoso diketahui menguasai kawasan Gunung Biru di Kecamatan Tangkura, Kabupaten Poso.
Pegunungan tersebut merupakan hamparan hutan belantara yang luas dan berbukit-bukit. Medan yang dilalui untuk bisa masuk ke sana saja sulit.
Di sana pula Santoso melatih kemampuan menembak para anggotanya. Menurut Tito, mencari Santoso ibarat mencari jarum di tumpukan jerami.
Wajar saja Satuan Tugas Tinombala yang terdiri dari gabungan personil Polri dan TNI membutuhkan waktu cukup lama untuk memburu kelompok ini.
Kepala Divisi Humas Polri Boy Rafli Amar mengakui kemampuan Santoso menjadi panglima di kelompoknya. Santoso mampu merekrut puluhan orang untuk bergabung di kelompoknya. Tak hanya orang Indonesia, tapi juga bangsa Uighur.
"Kelompok Santoso ini cukup kuat. Luar biasa, bagaimana caranya orang Uighur bisa percaya ke dia," kata Boy.
Bahkan, ada warga di kaki Gunung Biru yang menjadi simpatisan kelompok ini. Mereka diam-diam memasok makanan dan logistik. Kelompok teroris lain seperti Mujahidin Indonesia Barat pun terafiliasi dengan kelompok ini.
"Semacam memberikan support kepada mereka (Santoso) yang berjuang di sana. Sepertinya mereka dijadikan basis latihan," kata Boy.
Berganti-ganti Sandi Operasi
Operasi pengejaran kelompok Santoso sempat berkali-kali berganti sandi. Mulanya operasi pengejaram itu dinamakan "Camar Maleo".
Camar Maleo I dimulai pada 26 Januari 2015 hingga 26 Maret 2015. Kemudian dilanjutkan dengan sandi Camar Maleo II hingga 7 Juni 2015.
Sandi berganti lagi menjadi Camar Maleo III yang dimulai sejak 9 September 2015 itu. Camar Maleo IV berlangsung setelah itu dan berakhir 9 Januari 2016.
Setelah itu, sandi Camar Maleo tak lagi digunakan, berganti operasi Tinombala. Operasi dengan sandi baru ini dimulai sejak 10 Januari 2016 dan berakhir 8 Mei 2016 lalu dan diperpanjang hingga 8 Agustus 2016.
Setelah dievaluasi, tim gabungan merombak beberapa personil mereka dengan orang-orang baru dan mengganti strategi.
"Targetnya bagaimana mereka yang melakukan pelatihan di kawasan atau daerah yang saat ini dilakukan pengejaran, kami bisa menghentikan pelatihan itu dan bahkan kembali ke masyarakat," kata Boy.
Muncul Friksi
Satu per satu anggota kelompok Santoso berhasil ditangkap dan juga menyerahkan diri. Sebagian alasannya karena mereka kelaparan akibat diputusnya pasokan logistik.
Di sisi lain, ternyata ada gesekan di internal.
Menurut Analis Kebijakan Madya Divisi Humas Polri Brigadir Jendeal (Pol) Rikwanto, ada kecemburuan sosial dari para anggota terhadap Santoso yang mengistimewakan keluarganya.
Anggota keberatan dengan perintah Santoso untuk melindungi keluarganya dan memperlakukan istrinya secara khusus. "Padahal mereka lagi berjuang, tapi mereka juga disuruh menjaga keluarga Santoso. Ini yang membuat mereka terpecah," kata Rikwanto.
Operasi Belum Berakhir
Tewasnya Santoso tak berarti operasi Tinombala berakhir. Setidaknya 19 anggota kelompok tersebut masih berkeliaran di hutan belantara Poso, termasuk istri Santoso.
Bahkan, kelompok ini memiliki "panglima" cadangan yang diduga kuat akan menggantikan Santoso memimpin kelompok. Mereka adalah Basri dan Ali Kalora, dua orang kepercayaan Santoso.
"Di antara mereka tumbuh saling kepercayaan berlandaskan kemampuan, semangat, dan pemahaman dalam perjuangan," kata Boy.
Basri disebut memiliki kemampuan yang tidak jauh berbeda dengan Santoso. Sementara Ali Kalora dianggap tak memiliki kemampuan, kompetensi, dan kepemimpinan layaknya Basri dan Santoso.
Kedekatan mereka lantaran kesamaan nasib sebagai orang-orang yang terjebak dalam konflik Poso. Boy mengatakan, mereka kemudian dibina oleh Abu Sayyaf dan mengakar di Poso.
Credit KOMPAS.com