Juru bicara AU China menyatakan bahwa
patroli udara di kawasan Laut China Selatan ini akan dilakukan secara
rutin di masa mendatang. (Reuters/CSIS Asia Maritime Transparency
Initiative)
Angkatan Udara Tentara Pembebasan Rakyat (PLA), nama lain untuk militer China, pada Senin (18/7) menerbangkan "jet patroli udara baru-baru ini."
Juru bicara AU China, Shen Jinke, memaparkan bahwa sejumlah pesawat tempur dan pengawas itu akan melakukan tugas patroli, pertempuran udara, serta pengawasan pulau dan terumbu karang.
"Angkatan Udara bertujuan untuk mempromosikan pelatihan tempur yang sebenarnya di atas laut, meningkatkan kemampuan tempur terhadap berbagai ancaman keamanan dan menjaga kedaulatan dan keamanan nasional," kata Shen, dikutip dari kantor berita Xinhua.
Shen mengklaim bahwa patroli semacam ini akan dilakukan secara rutin di masa mendatang. "Untuk secara efektif memenuhi misinya, Angkatan Udara akan terus melakukan patroli tempur secara teratur di Laut China Selatan," ujarnya.
Dalam laporan Xinhua, Shen kembali menegaskan bahwa seluruh kepulauan di Laut China Selatan merupakan bagian dari wilayah China sejak zaman dahulu sehingga, hak dan kepentingan China di perairan itu tidak boleh dilanggar.
"Angkatan Udara PLA tegas akan membela kedaulatan nasional, keamanan dan kepentingan maritim, menjaga perdamaian dan stabilitas regional, dan mengatasi berbagai ancaman dan tantangan," katanya.
Pengumuman patroli udara ini, disertai dengan pernyataan terpisah bahwa China akan melakukan latihan militer di lepas pantai Pulau Hainan di Laut China Selatan menyusul keputusan pengadilan arbitrase permanen pekan lalu, yang mengatakan klaim China di laut sengketa yang termaktub dalam sembilan garis putus, atau nine-dash line, tidak sah.
Pengumuman ini juga bertepatan dengan kunjungan Laksamana John M. Richardson, Kepala Operasi Laut AS ke Beijing untuk mendiskusikan sengketa Laut China Selatan dan isu lainnya yang merebak usai keputusan pengadilan itu, menurut laporan New York Times.
China sendiri menyatakan tidak peduli pada keputusan itu dan menilai pengadilan yang berbasis di Den Haag, Belanda, tidak memiliki jurisdiksi yang relevan terkait sengketa Laut China Selatan.
Sementara, Menteri Luar Negeri Filipina Perfecto Yasay mengaku telah menolak tawaran China untuk memulai perundingan terkait saling klaim di Laut China Selatan. Alasannya, China ingin agar perundingan itu tidak menyinggung hasil pengadilan arbitrase permanen.
Tawaran tersebut disampaikan kepada Yasay oleh Menlu China Wang Yi dalam pertemuan di sela KTT Asia-Eropa akhir pekan lalu. Yasay mengatakan Yi mengajukan perundingan bilateral terkait masalah tersebut, namun pembicaraan nanti "di luar keputusan arbitrase."
Filipina, kata Yasay, menolak tawaran itu karena tidak sesuai dengan kepentingan nasional mereka.
Credit CNN Indonesia