Suasana penutupan public hearing yang membahas
gugatan Filipina terhadap Cina atas Laut Cina Selatan di Pengadilan
Arbitrase Internasional, Den Haag, Belanda, 30 November 2015. Tampak
kursi yang seharusnya diduduki delegasi Cina kosong. (Foto/Permanent
Court of Arbitration)
Keputusan mendadak dan berdampak besar oleh Mahkamah Arbitrase Internasional yang didukung Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) itu memberikan dasar diplomatik kokoh kepada Filipina yang mengajukan gugatan atas sengketa dengan Cina di perairan yang kaya dengan sumber laut.
Kemarahan Cina terhadap keputusan itu dilakukan dengan mengeluarkan beberapa peringatan keras kepada Amerika Serikat dan negara lain yang mengkritiknya.
"Jangan jadikan Laut Cina Selatan sebagai medan perang," kata Wakil Menteri Luar Liu Zhenmin di Beijing sambil menyebut keputusan itu sebagai kertas sampah. "Tujuan Cina adalah untuk menjadikan Laut Cina Selatan sebagai laut perdamaian, persahabatan, dan kerja sama."
Lui mengatakan Cina juga memiliki hak membentuk zona pertahanan udara (ADIZ) di perairan itu yang bakal memberikan tentara Cina kekuasaan terhadap setiap pesawat asing. Satu zona serupa didirikan pada 2013 di Laut Timur Cina menimbulkan kemarahan Jepang, Amerika Serikat, dan beberapa negara sekutunya.
"Apakah kita perlu membentuk ADIZ di Laut Cina Selatan atau tidak akan tergantung pada tingkat ancaman yang kami terima," katanya. "Kami berharap negara lain tidak menangguk di air yang keruh untuk mengancam Cina."
Duta Besar Cina untuk Amerika Serikat, Cui Tiankai, bahkan mengatakan bahwa konsekuensi dari putusan itu akan mengintensifkan konflik dan bahkan konfrontasi.
Mahkamah Arbitrase Internasional (PCA) di Den Haag, Belanda, memutuskan Cina tidak punya hak di kawasan Laut Cina Selatan. Pemerintah Cina geram dengan keluarnya keputusan yang dianggap tidak berdasar itu.
Cina bersikukuh bahwa sumber daya laut di wilayah sembilan garis demarkasi (nine dash line) itu ditemukan sejak 1940-an lalu pada peta wilayah Cina. Klaim tersebut tumpang-tindih dengan klaim dari Filipina, Vietnam, Malaysia, dan Brunei.
Credit TEMPO.CO