Rabu, 01 Juli 2015

Eksodus Pekerja China di Angola Jangan Sampai Terjadi di Indonesia



Eksodus Pekerja China di Angola Jangan Sampai Terjadi di IndonesiaFoto: Rengga Sencaya


Jakarta  (CB) - Di Angola, eksodus pekerja asal China mendominasi proyek-proyek infrastruktur. Para pekerja lokal termarjinalkan dengan alasan efisiensi kerja. Hal ini jangan sampai terjadi di Indonesia.

BBC melaporkan, puluhan ribu pekerja China datang ke Angola untuk bekerja dalam proyek-proyek pembangunan kota setelah perang saudara yang sempat melanda beberapa tahun. Ibu kota Luanda yang terus berbenah, mengundang para investor dari China. Namun ada konsekuensinya: para pekerja yang dibawa juga harus dari negeri tirai bambu.

Para pekerja China yang berbaju seragam biru tersebut sibuk membangun jalan, bangunan, rel kereta dan sekolah. Mereka bahkan memiliki fasilitas kesehatan sendiri yang dikelola oleh dokter asal China.

"Saya berusaha sebaik mungkin menangani mereka (para pekerja)," kata Dr Wang yang menangani para pekerja.

Nyaris tak ada pekerja lokal di pabrik-pabrik di Angola, kecuali petugas keamanan dan dua wanita yang bertugas mencuci sayuran.

China masuk ke Angola dengan barter minyak. Pemerintah Angola menjual minyak, sebagi gantinya China membangun sejumlah infrastruktur di sana.

Kelompok LSM HAM di Angola menyoroti masalah eksodus ini. Mereka mengakui banyak generasi muda Angola yang belum mengenyam pendidikan tinggi. Namun bukan berarti harus mengimpor tenaga kerja dari China.

Akibat hal ini, muncul kecemburuan sosial di Angola. Ada sejumlah kasus penyerangan warga lokal terhadap para pekerja China. Bahkan sebagian ada yang menimbulkan korban.

Setelah merebaknya isu eksodus pekerja China di Indonesia terkait pembangunan pabrik semen -- yang telah disangkal oleh Menaker Hanif Dhakiri --  banyak kalangan yang mengaitkan hal itu dengan Angola. Sejumlah kalangan mewanti-wanti agar masalah pekerja China di Indonesia tidak sampai membawa implikasi buruk bagi perluasan lapangan kerja di Tanah Air.

"Kita tidak boleh condong ke China. Sebagai negara poros, dengan prinsip bebas-aktif, Indonesia harus membangun hubungan berimbang dengan semua kekuatan besar. Karena kita juga kekuatan besar di antara dua samudera, Pasifik dan Samudera Hindia," terang peneliti dari CSIS, Rizal Sukma, kepada detikcom, Selasa (30/6/2015).

"Dua samudera itu akan menjadi arena rivalitas antar negara besar di abad ke-21 ini. Kerjasama dengan China harus jelas terms of agreementnya. Jangan sampai investasi China di sini tidak membawa implikasi apapun bagi perluasan lapangan kerja bagi indonesia. China ini suka bawa pekerjanya untuk mengerjakan proyek-proyek mereka, termasuk tenaga kerja kasar. Kita harus berani bilang ke China bahwa kita bukan Angola, Zimbabwe atau Sri Lanka," tegasnya.


Credit  Detiknews