EPA Para aktivis menganggap AungSanSuuKyi tak berbuat banyak untuk mengakhiri krisis kemanusiaan diRakhine.
Jakarta - Komite
Hadiah Nobel Perdamaian di Oslo diminta mengubah peraturan internal
sehingga Nobel Perdamaian untuk Aung San Suu Kyi bisa dicabut karena
dianggap tak berbuat banyak untuk mengatasi krisis Rohingya di Rakhine,
Myanmar.
Petisi pencabutan Nobel yang diterima Aung San Suu Kyi
pada 1991 tersebut hingga Senin (11/09) siang mencapai hampir 500.000
tanda tangan.
Rencananya petisi ini akan disampaikan ke Komite di
Oslo begitu melewati batas setengah juta pendukung, kata salah seorang
inisiator petisi Agus Sari.
"Kami berencana menyerahkan langsung
petisi ini ke Komite Nobel pada saatnya nanti. Kami sadar bahwa mereka
sudah mengatakan tidak bisa mencabut Nobel (untuk Aung San Suu Kyi),
tapi yang ingin kami sampaikan adalah Aung San Suu Kyi tidak layak
menerimnya," kata Agus kepada BBC Indonesia.
"Yang
penting ada kesadaran publik bahwa perlu ada tekanan besar kepada Aung
San Suu Kyi dan penguasa militer untuk menghentikan krisis kemanusiaan
di Rakhine," katanya.
Sebelumnya, Jonna Petterson dari Kantor Komite Nobel, kepada BBC Indonesia mengatakan, "Berdasarkan anggaran dasar kami, Hadiah Nobel tidak dapat dicabut."
'Terlibat kejahatan kemanusiaan'
Reuters Dalam demonstrasi diJakarta, pemimpin Myanmar AungSanSuuKyi dikatakan sebagai penjahat kemanusiaan.
Selain tak dapat dicabut, mantan anggota komite, Gunnar Stalsett, mengatakan komite juga tidak mengeluarkan kecaman.
"Hadiah
(Nobel) Perdamaian tak pernah dicabut dan Komite tidak mengeluarkan
kecaman atau mengkritik penerima hadiah," kata Stalsett, mantan
politikus yang menjadi anggota komite pada 1991, saat Suu Kyi menerima
penghargaan.
"Prinsip yang kami anut adalah bahwa keputusan
(pemberian Hadiah Nobel) bukan deklarasi seorang yang suci," kata
Stalsett seperti dikutip The New York Times.
"Saat keputusan telah dibuat dan hadiah diberikan, itulah akhir tanggung jawab Komite," tambahnya.
Agus
Sari mengatakan pihaknya menghormati Anggaran Dasar atau aturan
internal Komite Nobel. Tapi ada baiknya Komite sekarang melakukan kajian
atau evaluasi untuk mencerminkan situasi yang berkembang di lapangan.
"Mereka
harus melihat ke diri sendiri, me-review secara internal, jangan-jangan
ada kriteria atau mekanisme (pemberian Hadiah Nobel) yang harus mereka
ubah," kata Agus.
Salah satu pendukung petisi adalah kolumnis surat kabar Inggris The Guardian, Gerge Monbiot.
Menurut
Monbiot, Komite Nobel harus bertanggung jawab atas penghargaan yang
mereka berikan dan mencabut penghargaan jika dianggap para penerima
melanggar prinsip-prinsip yang mereka pegang.
Terbuka kemungkinan,
tulis Monbiot, 'kita berada dalam situasi luar biasa di mana penerima
hadiah Nobel Perdamaian terlibat kejahatan terhadap kemanusiaan'.
Credit
detik.com
Hadiah Nobel Aung San Suu Kyi tak bisa ditarik walau banyak yang tuntut
foto AFP
Image caption Pengungsi Rohingya melewati Sungai Naf untuk menuju Bangladesh.
Di tengah krisis
kemanusiaan yang menimpa Muslim Rohingnya, para aktivis mendesak Komite
Nobel mencabut hadiah untuk Aung San Suu Kyi, namun permintaan itu tak
bisa dipenuhi berdasarkan anggaran dasar komite.
Pemimpin de fakto
Myanmar, Aung San Suu Kyi dikritik oleh pelapor khusus PBB untuk hak
asasi di Myanmar karena dianggap tidak melindungi minoritas Muslim
Rohingya.
Petisi melalui change.org dengan judul - Ambil Kembali
Nobel Perdamaian Aung San Suu Kyi - telah ditandatangani lebih dari
300.000 sebelum diajukan ke Komite Nobel bila telah mencapai angka
500.000 tanda tangan. Petisi serupa juga dilakukan melalui online lain
termasuk avaaz.org dengan ribuan pendukung.
Sejumlah aktivis lain termasuk penerima Hadiah Nobel Perdamaian
lain, Malala Yousafzai, juga mengkritik Suu Kyi terkait penanganan
Muslim Rohingya.
"Dalam beberapa tahun terakhir, saya berulang
kali mengecam perlakukan tragis dan memalukan (terhadap Muslim
Rohingya). Saya masih menunggu rekan penerima Hadiah Nobel Aung San Suu
Kyi untuk melakukan hal yang sama. Dunia menunggu dan Muslim Rohingya
juga menunggu," cuit Melala melalui akun Twiternya.
PBB mencatat
angka sekitar 123.000 orang yang telah mengungsi ke Bangladesh menyusul
konflik yang kembali pecah akhir Agustus lalu menyusul serangan ke
paling tidak 20 kantor polisi oleh kelompok gerilyawan Rohingya yang
menamakan diri Arakan Rohingya Salvation Army (ARSA).
Serangan ini dilakukan ARSA sebagai respons terhadap hal
yang mereka katakan upaya untuk mencegah persekusi lebih lanjut terhadap
Rohingnya oleh militer Myanmar. Langkah ini memicu operasi militer
yang menyebabkan warga Rohingnya mengungsi dari desa-desa mereka.
Akhir Desember 2016, beberapa penerima Hadiah Nobel, termasuk Muhammad Yunus, Malala dan Desmond Tutu dan 11 penerima lain, menandatangani surat terbuka terkait Rohingya dan "memperingatkan terjadinya potensi genosida."
Tuntutan cabut Hadiah Nobel
Surat
terbuka ini dan unggapan Malala pada Senin (04/09) ditanggapi dengan
kritikan terhadap Aung San Suu Kyi, dan tuntutan agar hadiah Nobel yang
ia terima ditarik kembali.
Salah seorang pengguna @HumzaYousaf, menanggapi
dengan menulis, "(Pernyataan (kuat) dari @Malala - dengan tepat
menyerukan kepada Aung San Suu Kyi terkait tanggapan tak atas perlakukan
buruk terhadap Rohingnya yang terjadi di bawah pemerintahanya."
Melalui
Facebook, akun atas nama Ebrahim Mohammad, menyebutkan ,"Aung San Suu
Kyi bukan orang seperti yang diperkirakan dunia, Hadiah Nobel Perdamaian
harus dicabut. Ia tak mengindahkan pembunuhan massal oleh militernya."
Namun
ada juga pengguna lain yang meminta untuk tidak mengaitkan dengan
agama, Annie @anniesehar1, yang menulis, "Saya harap Dunia akan
mengerti ini semua bukan karena agama. Keberutalan ini harus dihentikan.
Hargai hidup manusia dan ciptakan Dunia yang damai."
Dalam
wawancara dengan wartawan BBC Fergal Keane April lalu, Suu Kyi menolak
definisi genosida dan menyebutkan sebagai dua komunitas yang terpecah.
Penerima
Nobel asal Bangladesh, Muhammad Yunus dalam surat terbukanya yang
diterbitkan Selasa (05/09) melalui Twitter berisi desakan kepada Dewan
Keamanan PBB untuk "turun tangan menangani krisis kemanusiaan di
Rakhine."
Mungkinkah Hadiah Nobel dicabut?
Komite Nobel yang terdiri dari warga Norwegia dan
diangkat oleh parlemen negara itu, tidak pernah mencabut hadiah dan
demikian pula halnya dengan yang diterima Aung San Suu Kyi.
Jonna
Petterson dari Kantor Komite Nobel - dalam jawaban pertanyaan BBC
Indonesia - menulis, "Berdasarkan anggaran dasar kami, Hadiah Nobel
tidak dapat dicabut."
Selain tak dapat dicabut, mantan anggota komite, Gunnar Stalsett, mengatakan komite juga tidak mengeluarkan kecaman.
"Hadiah
(Nobel) Perdamaian tak pernah dicabut dan komite tidak mengeluarkan
kecaman atau mengkritik penerima hadiah," kata Stalsett, mantan
politikus yang menjadi anggota komite pada 1991, saat Suu Kyi menerima
penghargaan.
"Prinsip yang kami anut adalah keputusan (pemberian
hadiah) bukan deklarasi seorang yang suci," kata Stalsett seperti
dikutip New York Times.
"Saat keputusan telah dibuat dan hadiah diberikan, itulah akhir tanggung jawab komite," tambahnya.
Emerson Yuntho, aktivis kemanusiaan Indonesia, yang
mengawali petisi di change.org, mengatakan Komite Nobel seharusnya
"membuat terobosan" terkait dengan perkembangan yang terjadi ini.
Menteri
Luar Negeri Retno Marsudi bertemu dengan Aung San Suu Kyi Senin (04/09)
dan meminta pemerintah Myanmar menghentikan kekerasan.
Pelapor
khusus hak asasi manusia PBB untuk Myanmar, Yanghee Lee, mengkritik
penerima Nobel ini karena dianggap gagal melindungi Muslim Rohingya.
Sejumlah
penerima Hadiah Nobel lain juga menghadapi silang pendapat. Para
aktivis juga pernah menuntut ditariknya hadiah untuk Henry Kissinger dan
Barack Obama.
Pada 1994, salah seorang anggota komite
mengundurkan diri menyusul Hadiah Nobel yang diberikan kepada pemimpin
Israel dan Palestina, Shimon Perez, Yitzhak Rabin serta Yasser Arafat.
Kaare Kristiansen, anggota komite Nobel, saat itu menyebut Arafat "teroris" yang tak pantas mendapat Nobel.
Credit
bbc.com