Selasa, 09 April 2019

5 Hal Penting Soal Korps Garda Revolusi Iran


Anggota Garda Revolusi Iran menjaga pesawat mata-mata tanpa awak RQ 170 milik Amerika Serikat yang jatuh di Iran (8/12). Iran menyatakan bahwa mereka berhasil menembak pesawat tersebut di Iran Timur. REUTERS/Sepah News.ir
Anggota Garda Revolusi Iran menjaga pesawat mata-mata tanpa awak RQ 170 milik Amerika Serikat yang jatuh di Iran (8/12). Iran menyatakan bahwa mereka berhasil menembak pesawat tersebut di Iran Timur. REUTERS/Sepah News.ir

CB, Teheran -- Nama pasukan elit Iran yaitu Korps Garda Revolusi Iran muncul ke permukaan pada awal pekan ini setelah Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, menyebutnya sebagai organisasi teroris.

Ini adalah perkembangan terbaru konflik antara Amerika Serikat dan Iran dan menandai sikap Trump yang semakin keras terhadap negeri mullah itu. Sebelum ini, Trump telah menyatakan keluar dari perjanjian nuklir Iran dan mengenakan lagi sejumlah sanksi ekonomi dan politik terhadap Teheran.
“Langkah ini terkait realita bahwa Iran bukan hanya negara yang mensponsori terorisme tapi IRGC berpartisipasi secara aktif, membiayai, dan mempromosikan terorisme sebagai alat negara,” kata Trump seperti dilansir CNN pada Senin, 8 April 2019.
Iran membalas dengan menyebut AS sebagai negara sponsor terorisme. Dewan Keamanan Nasional Tertinggi Iran juga menyebut pasukan Komando Sentral AS di Timur Tengah sebagai organisasi teroris.
“Republik Islam Iran menyatakan sikap reprositas terhadap tindakan AS yang melanggar hukum dan tidak masuk akal hari ini,” begitu pernyataan Dewan Keamanan seperti dilansir CNN dengan mengutip kantor berita Iran IRNA pada Senin, 8 April 2019.

 
Dewan Keamanan Nasional melanjutkan,”Mempertimbangkan AS sebagai pemerintahan sponsor teroris dan Komando Sentral AS atau CENTCOM dan semua pasukan afiliasinya sebagai organisasi teroris.”
Berikut ini sejumlah hal mengenai IRGC atau Korps Garda Revolusi Islam Iran seperti dilansir media DW:
  1. Revolusi Islam Iran
IRGC dibentuk menjelang akhir Revolusi Islam Iran pada 1979 sebagai milisi elit bersenjata, yang bertugas melindungi embrio rezim ulama Syiah di Iran. Rezim ini menggantikan rezim Shah Iran, yang berhaluan Barat.
Unit ini dibentuk sebagai penyeimbang atas pasukan militer konvensional Iran, yang banyak pemimpinnya diyakini mendukung atau bersimpati terhadap Shah Iran yang menjadi ekxil.

 
  1. Invasi Saddam Hussein
IRGC awalnya dibentuk sebagai kekuatan keamanan domestik. Namun, perannya berkembang pesat setelah Presiden Irak, Saddam Hussein, memerintahkan pasukannya menginvasi Iran pada 1980an. Perang kedua negara berlangsung selama sekitar delapan tahun. Saat itu, Ayatullah Khamenei memberikan kewenangan pembentukan pasukan darat, laut dan udara kepada IRGC.
  1. Kewenangan Luas


Sejak saat itu, kewenangan IRGC berkembang pesat dan menjadi semacam kekuatan negara di dalam negara. Di negara yang bukan penganut otoriterianisme, kekuatan semacam ini sering disebut sebagai “deep state”.

 
  1. Setia pada Ayatullah
Pasukan IRGC ini memiliki kewenangan yang diatur di dalam konstitusi Iran. Unit ini juga hanya menjalankan perintah dari Ayatullah Ali Khamenei. Ini membuatnya memiliki kekuasaan sangat besar hingga mencakup bidang politik, ekonomi, hukum dan kekuasaan keagamaan.
  1. Program Rudal Balistik
Korps Garda Revolusi Iran menjalankan program pengembangan rudal balistik Iran, yang saat ini diklaim mampu menjangkau target hingga 2000 kilometer untuk mengenai sasaran di Israel dan markas AS di kawasan Timur Tengah. Pada 2016, korps ini meluncurkan rudal balistik pertama dengan tulisan Ibrani yaitu Israel harus dihapus.



Credit  tempo.co



Sistem Rudal Rusia Intai Kapal-kapal Perang NATO di Laut Hitam



Sistem Rudal Rusia Intai Kapal-kapal Perang NATO di Laut Hitam
Sistem rudal Bastion Rusia. Foto/Kementerian Pertahanan Rusia


MOSKOW - Rusia menugaskan, pesawat, kapal pengintai dan sistem rudal untuk memantau latihan kapal-kapal perang NATO di Laut Hitam. Pusat Kontrol Pertahanan Nasional Rusia mengonfirmasi pengerahan perangkat keras militer tersebut kepada kantor berita TASS, Senin (8/4/2019).

Pesawat, kapal dan sistem rudal yang dikerahkan berasal dari Armada Laut Hitam Rusia. Menurut Pusat Kontrol Pertahanan Nasional pemantauan itu dilakukan untuk menentukan reaksi cepat terhadap kemungkinan keadaan darurat.

"Di wilayah-wilayah yang ditunjuk dari kapal-kapal pengintai Laut Hitam dan juga kelompok (kapal) serang angkatan laut, sistem rudal pantai Bastion dan Bal serta pesawat-pesawat Angkatan Laut sedang bertugas," kata Pusat Kontrol Pertahanan, badan di bawah Kementerian Pertahanan Rusia.

Latihan Sea Shield-2019 NATO telah dimulai di bagian barat daya Laut Hitam pada hari Senin. Kapal-kapal perang dan pesawat dari Amerika Serikat, Bulgaria, Yunani, Kanada, Belanda, Rumania dan Turki mengambil bagian dalam latihan dengan perwakilan angkatan bersenjata Georgia dan Ukraina.

Pada pekan lalu, kapal-kapal militer dari Armada Laut Hitam Rusia telah menembakkan beberapa rudal supersonik P-270 Moskit selama uji coba misil. Beberapa kapal yang terlibat dalam latihan Angkatan Laut Rusia itu antara lain korvet Ivanovets kelas Tarantul-III dan R-60.

Zvezda TV, saluran berita resmi Kementerian Pertananan Rusia melaporkan uji tembak rudal-rudal supersonik itu berjalan sukses dengan manghantam target yang jaraknya sekitar 55 km.

Kapal-kapal dengan bobot 500-ton dan panjang 56 meter tersebut adalah bagian dari armada korvet warisan Soviet yang tetap beroperasi di tiga dari empat armada Rusia.

P-270 Moskit adalah rudal supersonik ramjet yang dirancang untuk menghancurkan kapal perang musuh yang berjarak hingga 90 km. Moskit dalam bahasa Rusia bermakna nyamuk.

Misil itu terbang dekat ke permukaan untuk menghindari deteksi radar dan mengandalkan kecepatan tinggi. Pada fase akhir terbangnya, misil itu melakukan manuver yang cepat dengan tujuan mengalahkan sistem pertahanan anti-rudal musuh.

Dalam latihan itu, satu korvet kelas Tarantul membawa empat rudal P-270 Moskit, yang masing-masing memiliki 150kg bahan peledak di hulu ledaknya. Hulu ledak seperti itu cukup untuk menenggelamkan kapal musuh berbobot 20.000 ton. 



Credit  sindonews.com


Pasukan Pemerintah Libya Pukul Mundur Pasukan Jenderal Haftar



Kendaraan militer pasukan Misrata, di bawah perlindungan pasukan Tripoli, terlihat di lingkungan Tajura, sebelah timur Tripoli, Libya 6 April 2019. [REUTERS / Hani Amara]
Kendaraan militer pasukan Misrata, di bawah perlindungan pasukan Tripoli, terlihat di lingkungan Tajura, sebelah timur Tripoli, Libya 6 April 2019. [REUTERS / Hani Amara]

CBTripoli – Pasukan pemerintah Libya dukungan Perserikatan Bangsa-Bangsa atau PBB memukul mundur pasukan Jenderal Khalifa Haftar dari Bandara Internasional Tripoli.

Bandara ini sudah lama tidak berfungsi sejak terjadinya konflik di Libya pasca jatuhnya diktator Muammar Gaddafi pada 2011. Sejak pekan lalu, pasukan pimpinan Haftar merangsek masuk dari arah selatan lalu menguasai bandara ini sebelum melanjutkan serangan ke ibu kota Tripoli.
“Pasukan sekutu yang mendukung pemerintahan Tripoli terlihat berada di dalam bandara,” begitu dilansir Reuters pada Senin, 8 April 2019.

Saat berita ini diturunkan, pasukan dari Pemerintah Kesepakatan Nasional atau Government National Accord, yang berbasis di Tripoli dan didukung PBB, masih bertempur dengan pasukan Libyan National Army pimpinan Haftar di sebelah selatan bandara.
Pasukan Haftar mulai menyerang ke arah Tripoli dari arah selatan, yang mayoritas merupakan padang pasir, sejak pertengahan pekan lalu.

Serangan pasukan Haftar ini, seperti dilansir CNN, mendapat kecaman dunia internasional. Ini karena Haftar, yang sempat berjanji akan mendukung digelarnya pemilu yang difasilitasi PBB, justru mengerahkan pasukan menyerang Tripoli saat PBB bakal menggelar konferensi persiapan pemilu pada pertengahan April 2019.
Menteri Luar Negeri Amerika Serikat, Mike Pompeo, misalnya, telah meminta pasukan LNA untuk mundur.
“Serangan militer sepihak terhadap Tripoli membahayakan warga sipil dan melemahkan prospek untuk masa depan lebih baik bagi semua warga Libya,” kata Pompeo seperti dilansir Al Jazzera pada Senin, 8 April 2019.

Pompeo mendesak semua pihak untuk melakukan deeskalasi konflik dengan mengatakan tidak ada solusi militer terhadap kondisi di Libya. Semua pihak agar kembali ke meja perundingan.
“Kami telah menegaskan bahwa kami menolak serangan militer oleh pasukan Khalifa Haftar dan mendesak serangan militer terhadap Tripoli segera diakhiri,” kata Pompeo.

Jenderal Khalifa Haftar dari Kota Benghazi, bekas anak buah pemimpin Libya, Moammar Gaddafi. Middle East Monitor


LNA melansir sebanyak 19 tentaranya tewas dalam serangan ke arah Tripoli. Sedangkan kementerian Kesehatan di Tripoli melansir jumlah korban lebih banyak yaitu 25 orang baik dari tentara dan warga sipil dengan 80 orang terluka.

Bandara lainnya yang berada di sebelah timur dari Tripoli yaitu Mitiga juga terkena pengeboman. Utusan PBB untuk Libya, Ghassan Salae mengecam serangan udara itu sebagai pelanggaran hukum kemanusiaan.



Credit  tempo.co


Satu-satunya Bandara di Tripoli Jadi Target Serangan Udara


Satu-satunya Bandara di Tripoli Jadi Target Serangan Udara
Satu-satunya bandara yang beroperasi di Tripoli dilaporkan menjadi sasaran serangan udara salah satu pihak bertikai di Libya pada Senin (8/4). (Reuters/Hani Amara)



Jakarta, CB -- Satu-satunya bandara yang beroperasi di Tripoli dilaporkan menjadi sasaran serangan udara salah satu pihak bertikai di Libya pada Senin (8/4).

Seorang sumber keamanan berkata kepada AFP bahwa satu pesawat melakukan serangan udara yang menargetkan landasan pacu di Bandara Mitiga.

Sumber tersebut memastikan tak ada korban dalam serangan tersebut. Namun, ia belum dapat memastikan pihak yang bertanggung jawab atas gempuran tersebut.


Sejak Kamis pekan lalu, dua poros politik di Libya berseteru, yaitu prajurit pro-pemerintah yang diakui Perserikatan Bangsa-Bangsa, GNA, dan pasukan Panglima Khalifa Haftar selaku pendukung pemerintahan di Benghazi.


Pertikaian bermula ketika Haftar mengerahkan Pasukan Nasional Libya (LNA) untuk menguasai Tripoli dengan bantuan pasukan pemerintah Benghazi. Pasukan pro-GNA pun menggelar operasi Gunung Api Amarah untuk melawan.

Baku hantam yang mengejutkan banyak pihak ini sudah menewaskan setidaknya 32 orang, sementara 50 lainnya luka-luka.

Serangan Haftar kali ini membuyarkan permintaan PBB agar pemerintah Libya di Benghazi dan Tropoli berunding pada 14-16 April mendatang untuk menentukan pemilihan umum.


Haftar selama ini dianggap sebagai sosok diktator baru pengganti mendiang Muammar Khadaffi yang meninggal ditembak pemberontak, setelah tertangkap saat melarikan diri di gorong-gorong.

Selama empat dasawarsa, rezim Khadaffi menyiksa, membunuh dan menghilangkan paksa para penentang dan lawan politiknya. Meski demikian, Haftar menyatakan memusuhi kelompok bersenjata dan militan. 




Credit  cnnindonesia.com




Perang Sipil Libya, Pasukan Jenderal Haftar Rebut Kamp Militer




Anggota Tentara Nasional Libya (LNA), diperintahkan oleh Khalifa Haftar, keluar dari Benghazi untuk memperkuat pasukan yang maju ke Tripoli, di Benghazi, Libya 7 April 2019. [REUTERS / Esam Omran Al-Fetori]
Anggota Tentara Nasional Libya (LNA), diperintahkan oleh Khalifa Haftar, keluar dari Benghazi untuk memperkuat pasukan yang maju ke Tripoli, di Benghazi, Libya 7 April 2019. [REUTERS / Esam Omran Al-Fetori]

CB, Jakarta - Pasukan Tentara Nasional Libya (LNA) pimpinan Jenderal Khalifa Haftar merebut kamp militer Yarmuk di selatan Tripoli.
Hal ini diungkapkan sumber dari jajaran komando LNA kepada sputnik, 8 April 2019, ketika pasukan Haftar bertempur dengan tentara pemerintah dukungan PBB.
"Pasukan Angkatan Darat Libya telah menguasai kamp Yarmouk di selatan ibukota Tripoli," kata sumber.

Pekan lalu, Haftar mengumumkan serangan terhadap Tripoli dalam upaya untuk mengusir milisi dari ibu kota.
Pada 7 April, pasukan yang setia pada Government of National Accord (GNA), pemerintah yang didukung PBB, mengatakan bahwa mereka meluncurkan operasi serangan balik, yang dijuluki Volcano of Rage.

Sekjen PBB Antonio Guterres menemui pemimpin Pasukan Nasional Libya (LNA), Jenderal Khalifa Haftar. REUTERS
Sejak awal serangan, Tentara Nasional Libya, telah menguasai beberapa kota di dekat Tripoli dan Bandara Internasional Tripoli. GNA kemudian mengatakan bahwa bandara telah diambil kembali oleh pasukannya, tetapi LNA membantah klaim tersebut.

Pasukan Nasional Libya (LNA) timur Khalifa Haftar, seorang mantan perwira di pasukan Gaddafi, mengatakan 19 tentara mereka tewas dalam beberapa hari terakhir ketika mereka menyerbu pemerintahan yang diakui PBB di Tripoli, seperti dilaporkan Reuters.
PBB mengatakan 2.800 orang mengungsi akibat konflik dan banyak lagi yang melarikan diri, meskipun beberapa di antaranya terjebak.

Pandangan udara menunjukkan kendaraan militer di jalan di Libya, 4 April 2019.[TV Reuters/REUTERS]


LNA telah mengumumkan zona larangan terbang di atas bagian barat Libya, yang diperintah oleh Government of National Accord (GNA) yang didukung PBB, dan telah memperingatkan bahwa semua pesawat, selain penerbangan komersial, yang melanggar pembatasan akan ditargetkan oleh LNA, kata juru bicara pasukan, Ahmed Al-Mismari.
"Kami menerapkan #NoFlyZone di atas #Libya barat, jet militer apa pun akan dianggap sebagai target serta lokasi lepas landasnya. Ini termasuk foto udara dan tidak termasuk penerbangan komersial," kicau Twitter juru bicara pada Ahad.
Sebagai akibat dari konflik sipil yang telah berlangsung bertahun-tahun, tidak ada pemerintah tunggal di Libya, karena bagian timur dan barat negara itu dikendalikan oleh kekuatan yang terpisah.


Parlemen yang berbasis di Tobruk, yang dipilih pada tahun 2014 dan didukung oleh LNA, memerintah bagian timur Libya, sementara pemerintah Government of National Accord (GNA), yang didirikan pada 2015, mengendalikan bagian barat Libya dari Tripoli.
Pada akhir 2015, pihak-pihak yang terlibat konflik menandatangani Perjanjian Politik Libya di kota Maroko Skhirat, menguraikan pendirian GNA sebagai pemerintah sementara Libya yang sah. Namun, kesepakatan itu tidak sepenuhnya dilaksanakan karena ketidaksetujuan parlemen yang berbasis di timur Libya mengenai beberapa isi perjanjian.




Credit  tempo.co



Perang Sipil Libya Buat Ribuan Warga Tripoli Mengungsi


Perang Sipil Libya Buat Ribuan Warga Tripoli Mengungsi
Ilustrasi pasukan Libya. (REUTERS/Hani Amara)



Jakarta, CB -- Sekitar 2,800 warga sipil di Tripoli, Libya, dilaporkan mengungsi akibat penyerbuan yang dilakukan oleh pasukan kelompok oposisi dari Benghazi dipimpin Jenderal Khalifa Haftar. Sedangkan sejumlah lainnya disebut masih terperangkap dalam pertempuran.

"Pengerahan pasukan secara besar-besaran bisa membuat warga sipil mengungsi," demikian laporan kantor bantuan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), seperti dilansir Reuters, Senin (8/4).

Haftar yang memimpin Pasukan Nasional Libya (LNA) memutuskan menyerbu Tripoli sejak akhir pekan lalu. Pertempuran sengit membuat korban tewas saat ini mencapai 32 orang, dan 50 luka-luka.


LNA dibantu pasukan pemerintah poros Benghazi merebut kawasan ladang minyak di wilayah selatan Libya pada awal tahun ini. Serangan ke Tripoli mengejutkan banyak pihak, termasuk pemerintah yang didukung PBB dan Blok Barat (GNA).

Haftar selama ini dianggap sebagai sosok diktator baru pengganti mendiang Muammar Khadaffi. Khadaffi meninggal ditembak pemberontak, setelah tertangkap saat melarikan diri di gorong-gorong.

Selama empat dasawarsa, rezim Khadaffi menyiksa, membunuh dan menghilangkan paksa para penentang dan lawan politiknya. Meski demikian, Haftar menyatakan memusuhi kelompok bersenjata dan militan.

Ada tiga pihak yang mendukung Haftar. Yaitu Mesir, Uni Emirat Arab dan Rusia. Dalam serangan ke Tripoli, Haftar dibantu sekutu mereka di Misrata.

Haftar mempunyai pasukan sebanyak 85 ribu orang. Sedangkan 3500 di antaranya adalah anggota pasukan elite berjuluk Saiqa (kilat).

PBB sudah meminta supaya pemerintah Libya di Benghazi dan Tripoli berunding pada 14 sampai 16 April mendatang untuk menentukan pemilihan umum. Namun, rencana itu sepertinya buyar setelah Haftar memutuskan menyerbu pemerintah yang didukung PBB.

Pertempuran sengit terjadi sejak Minggu (7/4) pekan lalu. Misi PBB untuk Libya (UNSMIL) meminta kedua pasukan melakukan gencatan senjata demi kemanusiaan, pada pukul 16.00 sampai 18.00 waktu setempat.

Sejak pasukan pemberontak yang didukung Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) berhasil menumbangkan Khadaffi pada 2011, Libya justru kacau balau.

Pemerintahan Perdana Menteri Fayez al-Sarraj pun tidak efektif. Sebab, dia tidak mampu menjaga wilayahnya karena sejumlah suku mempersenjatai diri dan menguasai ladang-ladang minyak. Di samping itu beberapa kelompok bersenjata saling serang memperebutkan banyak hal.

Sejumlah persenjataan pasukan Libya di masa mendiang Khadafi juga dicuri dan dijual di pasar gelap. Karena konflik terus-terusan terjadi, juga menjadi lahan subur kelompok bersenjata dan persembunyian teroris seperti ISIS, Libya dianggap sebagai negara gagal (failed state).


Sebelum pecah pertempuran, Sekretaris Jenderal PBB, Antonio Guterres, sudah berupaya membujuk Haftar supaya mengurungkan niatnya menyerbu Tripoli. Namun, upaya itu tidak membuahkan hasil.




Credit  cnnindonesia.com



Kapal Perang Rusia Hujani Idlib Suriah dengan Rudal Jelajah



Kapal Perang Rusia Hujani Idlib Suriah dengan Rudal Jelajah
Kapal perang Rusia saat melancarkan serangan rudal. Foto/Al Masdar News


DAMASKUS - Kapal perang Rusia di lepas pantai Laut Tengah melakukan serangkaian serangan rudal jelajah di wilayah barat Idlib, Suriah. Militer Moskow mengklaim serangan ditargetkan terhadap kelompok pemberontak Hay'at Tahrir Al-Sham dan Turkestan Islamic Party di pedesaan Jisr Al-Shughour.

Serangan rudal jelajah pada Senin malam oleh Angkatan Laut Rusia ini terjadi hanya 24 jam setelah kelompok pemberontak menyerang kota besar Masyaf di sebuah pedesaan barat Hama.

Mengutip Al Masdar News, Selasa (9/4/2019), setidaknya tujuh warga sipil tewas selama serangan kelompok pemberontak jihadis terhadap wilayah Masyaf, termasuk dua perawat yang bekerja di Rumah Sakit Nasional. Kelompok pemberontak Suriah itu dilaporkan merupakan kelompok yang didukung Turki.

Menurut laporan media Turki, Anadolu, serangan rudal Rusia di Idlib, menghatam sebuah sekolah. Sebanyak 12 warga sipil terluka, termasuk 10 anak-anak.

Kelompok White Helmets di Idlib mengatakan serangan rudal Moskow menargetkan zona de-eskalasi Idlib meskipun ada kesepakatan antara Turki dan Rusia yang diteken di Sochi. Tim pencarian dan penyelamatan dari kelompok relawan itu masih melanjutkan pekerjaan mereka untuk mengevakuasi para korban serangan.

Pada Minggu malam, Hama juga diguncang oleh tujuh serangan udara berturut-turut yang ditembakkan oleh tiga pesawat Rusia. Seorang warga sipil tewas dan tujuh lainnya terluka. Pada bulan Maret, 135 warga sipil kehilangan nyawa dalam serangan udara berat yang menargetkan zona de-eskalasi.

Perjanjian Sochi dicapai pada 17 September oleh Presiden Recep Tayyip Erdogan dan Presiden Rusia Vladimir Putin. Kesepakatan itu membentuk gencatan senjata di wilayah Idlib, yang merupakan kubu terakhir oposisi atau pemberontak, dengan syarat senjata berat dan kelompok-kelompok ekstremis akan ditarik dari wilayah tersebut. 

Sebelum perjanjian disepakati, rezim pemerintah Presiden Suriah Bashar al-Assad melakukan operasi militer besar-besaran terhadap Idlib, yang memicu kekhawatiran di masyarakat internasional akan krisis kemanusiaan baru.

Sejalan dengan perjanjian Sochi, patroli terkoordinasi Rusia-Turki pertama dilakukan pada 8 Maret. Namun, terlepas dari kesepakatan itu, serangan rezim Suriah terhadap kantong oposisi terakhir telah meningkat untuk beberapa waktu dan telah menewaskan lebih dari tiga lusin warga sipil serta banyak lainnya terluka. 




Credit  sindonews.com




Narendra Modi Ingin Hapus Status Khusus Kashmir


Perbatasan Kashmir yang memisahkan India dan Pakistan.
Perbatasan Kashmir yang memisahkan India dan Pakistan.
Foto: Zee Media Bureau

Status khusus Jammu dan Kashmir dinilai PM India menghambat integrasi negara.





CB, NEW DELHI -- Perdana Menteri India Narendra Modi berjanji akan menghapus status khusus wilayah Jammu dan Kashmir jika memenangkan pemilu India yang dijadwalkan digelar pada Kamis (11/4). Menurutnya, status tersebut menghambat integrasi negara.

"Nasionalisme adalah inspirasi kami," kata Modi dalam manifesto pemilu yang dirilis partainya, Bharatiya Janata Party (BJP), pada Senin (8/4).

Dia meyakini status khusus Jammu dan Kashmir yang diatur dalam Pasal 35A amandemen konstitusi tahun 1954 sudah tak relevan. "Kami percaya bahwa Pasal 35A merupakan hambatan dalam pengembangan negara," ujar Modi.

Pasal 35A diperkenalkan melalui perintah kepresidenan pada 1954. Pasal tersebut melanjutkan peraturan wilayah yang lama berdasarkan Pasal 370 Konstitusi India.

Pasal 370 menyangkal tentang hak kepemilikan orang luar atau asing, seperti properti, misalnya, di wilayah tersebut. Pasal itu juga memungkinkan Kashmir memiliki konstitusi sendiri. Dalam realisasinya, undang-undang konstitusional seperti Pasal 35A dan Pasal 370 melarang warga India atau warga asing memasuki Kashmir tanpa izin.

BJP secara konsisten mengadvokasi untuk mengakhiri status konstitusional khusus Kashmir. Sebab, hal itu dianggap menghambat integrasi Kashmir dengan negara bagian lain di India.

Para pemimpin politik di Kashmir, yang berpenduduk mayoritas Muslim, telah memperingatkan bahwa mencabut status khusus wilayah tersebut dapat memicu kerusuhan dan aksi huru-hara. Di sisi lain, India memang memerangi kelompok bersenjata yang dianggap sebagai pemberontak di wilayah tersebut selama tiga dekade terakhir.

"Dalam lima tahun terakhir, kami telah melakukan semua upaya yang diperlukan untuk memastikan perdamaian di Jammu dan Kashmir melalui tindakan dan kebijakan yang tegas," kata BJP dalam manifestonya.

"Kami berkomitmen untuk mengatasi semua hambatan dalam cara pembangunan dan menyediakan sumber daya keuangan yang memadai untuk semua wilayah negara bagian," ujar BJP.

Presiden Partai Konferensi Nasional Kashmir Farooq Abdullah mengatakan rencana Modi dan BJP mencabut status khusus Kashmir adalah sebuah kekeliruan. Dia bersumpah tak akan membiarkan hal itu terjadi. "Mereka keliru. Kami akan berjuang melawannya," kata dia.

Pada 14 Februari lalu, insiden bom bunuh diri di Pulwama, Kashmir nyaris menyeret India ke dalam konfrontasi dengan Pakistan. India menuding Islamabad terlibat dalam serangan yang menewaskan 44 personel militernya tersebut.

Tuduhan itu dilayangkan meskipun kelompok Jaish-e-Mohammad telah mengkalim bertanggung jawab dan menjadi dalang di balik insiden bom bunuh diri di sana. Pemerintah Pakistan sendiri membantah tegas tudingan India.

Sebagai iktikad baik Perdana Menteri Pakistan Imran Khan menawarkan bantuan kepada India untuk menyelidiki insiden tersebut. Alih-alih menerima tawaran Khan, India justru melancarkan serangan udara ke Kashmir.

Pakistan menembak jatuh dua tempur India yang melewati Garis Kontrol Kashmir, yakni perbatasan de facto kedua negara. Satu pilot India ditangkap dan ditahan. Belakangan Pakistan memutuskan memulangkan pilot tersebut guna meredakan ketegangan dan mencegah berlanjutnya eskalasi.

Kashmir merupakan sebuah wilayah di Himalaya dengan penduduk mayoritas Muslim yang dipersengketakan India dan Pakistan. Beberapa kelompok di Jammu dan Kashmir telah berperang melawan India guna meraih kemerdekaan. Kalaupun tidak berhasil merdeka, mereka ingin berpisah dari India dan bergabung dengan Pakistan.




Credit  republika.co.id




Trump Sebut Korps Garda Revolusi Iran sebagai Organisasi Teroris



Presiden Amerika Serikat, Donald Trump. Reuters
Presiden Amerika Serikat, Donald Trump. Reuters

CBWashington --- Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, mengatakan dia akan memasukkan pasukan elit Iran Korps Garda Revolusi Islam ke dalam kategori organisasi teroris.

Tindakan ini memancing kecaman dari Iran dan menimbulkan kekhawatiran adanya serangan balasan terhadap pasukan AS.
Ini pertama kalinya AS secara resmi memberi label organisasi militer negara lain sebagai kelompok teroris. Sebelumnya, AS pernah mengenakan sanksi kepada unit militer Cina karena pembelian sistem anti-rudal S-400 dari Rusia.

“Langkah ini terkait realita bahwa Iran bukan hanya negara yang mensponsori terorisme tapi IRGC berpartisipasi secara aktif, membiayai, dan mempromosikan terorisme sebagai alat negara,” kata Trump seperti dilansir CNN pada Senin, 8 April 2019.
IRGC adalah singkatan dari Iran Revolutionary Guard Corps atau Korps Garda Revolusi Iran. Trump juga menyebut IRGC sebagai alat utama pemerintah Iran untuk mengarahkan dan mengimplementasikan kampanye teroris global.
Menurut Reuters, keputusan Trump ini merupakan lanjutan dari sikap garis keras Trump terhadap Iran sejak menyatakan AS keluar dari perjanjian nuklir Iran pada 2015. Ini dilanjutkan dengan pengenaan kembali sejumlah sanksi ekonomi termasuk pelarangan penggunaan dolar dan ekspor minyak oleh Iran.

Langkah AS ini bakal mulai berlaku pada 15 April 2019.
Mengeni ini Menteri Luar Negeri AS, Mike Pompeo, mengatakan,”Ini dilakukan sebagai respon langsung rezim yang di luar hukum dan seharusnya tidak mengejutkan semua orang.”

Kemenlu AS mengatakan iRGC Iran telah terlibat dalam aktivitas teroris sejak pembentukannya. Misalnya, IRGC dituding terlibat dalam pengeboman Khobar Towers pada 1996 di Arab Saudi, yang menewaskan 19 orang AS. Juga ada rencana serangan terhadap dubes Saudi di AS, yang gagal.



Credit  tempo.co


Iran Deklarasikan AS Sebagai Negara Sponsor Terorisme


Iran Deklarasikan AS Sebagai Negara Sponsor Terorisme
Ilustrasi CENTCOM. (AFP Photo/Mandel Ngan)



Jakarta, CB -- Dewan Keamanan Nasional Iran mendeklarasikan Amerika Serikat sebagai negara sponsor terorisme pada Senin (8/4).

"Mendeklarasikan bahwa kami menganggap rezim AS sebagai negara sponsor terorisme dan Komando Pusat Amerika atau CENTCOM dan semua pasukannya terkait dengan kelompok teroris," demikian pernyataan dewan tersebut yang dilansir di kantor berita IRNA.


CENTCOM sendiri merupakan komando militer AS yang meliputi sejumlah zona perang, seperti Afghanistan, Irak, Suriah, dan Yaman.

Lebih jauh, dewan tersebut kemudian menyatakan bahwa mereka mengambil langkah ini sebagai tanggapan atas keputusan AS untuk memasukkan Korps Garda Revolusi Iran (IRGC) sebagai "organisasi teroris."


"[Keputusan itu] ilegal dan konyol," demikian bunyi pernyataan Dewan Keamanan Nasional Iran sebagaimana dikutip AFP.


Menteri Luar Negeri Iran, Javad Zarif, menganggap AS sengaja mengambil keputusan itu menjelang pemilihan umum yang akan diikuti Perdana Menteri Benjamin Netanyahu.

"Lagi-lagi hadiah sebelum pemilu yang salah untuk Netanyahu. Langkah berbahaya AS untuk kawasan," tulis Zarif melalui Twitter.

Ini memang kali pertama AS menyematkan predikat kelompok teroris pada entitas pemerintah asing. Sebelumnya, mereka selalu memberikan label tersebut kepada kelompok gerilya atau entitas informal lainnya.




Credit  cnnindonesia.com




Erdogan Lakukan Pertemuan dengan Putin di Moskow


Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan bersama Presiden Rusia Vladimir Putin.
Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan bersama Presiden Rusia Vladimir Putin.
Foto: Kremlin Pool Photo via AP

Erdogan dan Putin membahas soal rencana pembangunan pabrik nuklir di Turki




CB, MOSKOW -- Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan bertemu Presiden Rusia Vladimir Putin di Moskow, Senin (8/4). Peningkatan kerja sama bilateral menjadi topik utama yang dibahas dalam pertemuan tersebut.

"Saya mengusulkan agar kita membahas bidang-bidang kerja sama khusus, pelaksanaan proyek-proyek bersama yang paling penting, dan garis besar pedoman untuk perluasan lebih lanjut dari ikatan yang saling menguntungkan dalam cara bisnis serta konstruktif yang sama dengan partisipasi pemerintah," kata Putin, dikutip laman Anadolu Agency.

Terkait kerja sama ekonomi, Putin mengatakan Rusia dan Turki sedang meningkatkan perdagangan bilateral serta arus investasi. "Tahun lalu volume perdagangan naik hampir 16 persen menjadi 25 miliar dolar AS, volumen investasi bersama mendekati 20 miliar dolar AS," ungkapnya.

"Saya percaya perluasan perdagangan akan terbantu dengan mengangkat pembatasan di bidang ini, diversifikasi berbagai produk, peluncuran proyek bersama baru di industri, metalurgi, pertanian, dan teknologi informasi," ujar Putin.

Di bidang energi, saat ini Rusia merupakan pemasok gas alam terbesar ke Turki. Tahun lalu, Moskow mengekspor 24 miliar kubik gas alam ke Ankara. "Ini mencakup hampir setengah dari kebutuhan negara," kata Putin.

Proyek strategis lainnya adalah pembangunan pabrik nuklir Akkuyu di Turki. Peluncuran unit pertama ditetapkan pada 2023. "Pada tahap ini perlu untuk menarik dana tambahan dan menyimpulkan kesepakatan dengan investor potensial Turki," ucap Putin.

Selain itu, Putin juga menggadang-gadang kerja sama militer antara negaranya dan Turki. Ia mengklaim pembahasan tentang pembelian sistem pertahanan udara Rusia S-400 telah dibahas dengan Erdogan.

"Ada proyek-proyek menjanjikan lainnya dalam pekerjaan yang terkait dengan pasokan produk militer Rusia ke Turki," kata Putin.

Selain kerja sama bilateral, Putin dan Erdogan juga membahas tentang krisis Suriah. Kedua negara tersebut diketahui memiliki peran langsung dalam konflik di negara tersebut.

"Kami sedang mengoordinasikan upaya untuk merevitalisasi proses politik Suriah, termasuk dengan pandangan untuk membentuk komite konstitusional sesegera mungkin," ujar Putin.



Credit  republika.co.id


Erdogan: Tepi Barat adalah Milik Palestina!



Erdogan: Tepi Barat adalah Milik Palestina!
Presiden Turki, Recep Tayyip Erdogan mengecam pernyataan Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu atas pernyataan terbarunya mengenai Tepi Barat, Palestina. Foto/Reuters


ANKARA - Presiden Turki, Recep Tayyip Erdogan mengecam pernyataan Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu atas pernyataan terbarunya mengenai Tepi Barat, Palestina. Netanyahu mengatakan akan memperluas aneksasi Israel atas Tepi Barat jika memenangkan pemilu yang akan digelar 9 April mendatang.

Berbicara jelang bertolak ke Rusia, Erdogan mengatakan bahwa Tepi Barat adalah milik Palestina. Pernyataan Netanyahu, lanjut Erdogan, tidak akan mengubah apapun dan merupakan pelanggaran terhadap hukum internasional.

"Segala sesuatu yang dilakukan negara itu bertentangan dengan hukum internasional dan resolusi PBB. Tepi Barat milik Palestina dan kami akan terus mendukung Palestina," kata Erdogan, seperti dilansir Xinhua pada Senin (8/4).

Sebelumnya diwartakan, Netanyahu bersumpah untuk sepenuhnya mencaplok Tepi Barat, jika ia memenangkan pemilihan umum Israel. Dia mengatakan akan memberlakukan kedaulatan atas permukiman di Yudea dan Samaria di Tepi Barat, jika dia menang dalam pemilihan umum pekan depan.

Pria yang merupakan pemimpin partai sayap kanan Israel, Likud, mengatakan pemerintahannya berikutnya tidak akan memisahkan antara blok permukiman besar Israel dan pos-pos kecil di Tepi Barat.

Israel merebut Tepi Barat dalam perang 1967 dan telah membangun permukiman di sana. Saat ini, setidaknya terdapat 650 ribu pemukim Yahudi yang hidup dan tinggal di lebih dari 100 permukiman di Tepi Barat dan juga Yerusalem Timur. 




Credit  sindonews.com


Inggris Kecam Rencana Israel Perluas Permukiman di Tepi Barat




Inggris Kecam Rencana Israel Perluas Permukiman di Tepi Barat
Menteri Negara Urusan Timur Tengah Inggris, Mark Field melemparkan kecaman keras atas rencana Israel untuk memperluas permukiman Yahudi di wilayah Tepi Barat. Foto/Istimewa


LONDON - Menteri Negara Urusan Timur Tengah Inggris, Mark Field melemparkan kecaman keras atas rencana Israel untuk memperluas permukiman Yahudi di wilayah Tepi Barat, Palestina. Dunia internasional menilai permukiman Yahudi di wilayah Palestina adalah sesuatu yang ilegal.

"Inggris mengecam keras pernyataan pemerintah Israel pada 5 April atas rencana dan tender untuk lebih banyak permukiman di Tepi Barat," kata Field dalam sebuah pernyataan, seperti dilansir Anadolu Agency pada Senin (8/4).

Field mengatakan, rencana baru-baru ini mengungkapkan permukiman baru, sebagai tindak lagi dari pengumuman yang dibuat Israel pada bulan Desember. Saat itu, Israel mengatakan akan mebangun lebih dari 2.000 unit rumah baru di Tepi Barat.

"Permukiman ilegal di bawah hukum internasional dan merusak kelayakan fisik solusi dua negara," ungkapnya.

Mendesak Israel untuk menghentikan tindakan kontraproduktif, dia menyerukan semua pihak untuk berkomitmen pada upaya lebih lanjut untuk mengurangi ketegangan saat ini dan menciptakan lingkungan yang tepat untuk perdamaian yang adil dan abadi.

Saat ini setidaknya terdapat 650 ribu pemukim Yahudi yang hidup dan tinggal di lebih dari 100 permukiman di wilayah pendudukan, yakni di Tepi Barat dan juga Yerusalem Timur. 





Credit  sindonews.com






Hamas Kecam Pernyataan Menlu Oman Soal Israel



Hamas Kecam Pernyataan Menlu Oman Soal Israel
Hamas melemparkan kecaman keras atas pernyataan yang dibuat oleh Menteri Luar Negeri Oman, Yusuf bin Alawi bin Abdullah soal Israel. Foto/Istimewa


GAZA - Hamas melemparkan kecaman keras atas pernyataan yang dibuat oleh Menteri Luar Negeri Oman, Yusuf bin Alawi bin Abdullah soal Israel. Yusuf mengatakan, negara-negara Arab harus bekerja untuk mengakhiri ketakutan Israel mengenai keberadaannya.

Dalam sebuah pernyataan, Hamas menggambarkan pernyataan yang dibuat oleh Yusuf adalah sesuatu yang bertentangan dengan semua fakta yang ada di lapangan dan juga logika.

"Di bawah logika moral atau politik mana kita harus meminta korban meyakinkan algojo dan penjajah tentang masa depannya? tanya Hamas, seperti dilansir Anadolu Agency pada Senin (8/4).

"Israel adalah perampas kekuasaan, yang memiliki pasukan paling kuat di kawasan itu, melakukan pembunuhan sistematis dan penghancuran terhadap rakyat kami, Yahudisasi Yerusalem, menodai situs-situs suci, mengancam seluruh wilayah dan mengabaikan hukum internasional," sambungnya.

Sebelumnya diwartakan, di sela-sela Forum Ekonomi Dunia di Yordania, Yusuf mengatakan ketika Israel menerima dukungan politik, ekonomi dan militer dari komunitas internasional, mereka masih tidak merasa aman tentang masa depannya sebagai negara non-Arab di kawasan.
Negara-negara Arab, papar Yusuf harus mampu melihat ke dalam masalah ini dan berusaha untuk mengakhiri ketakutan Israel tersebut.

Pernyataan Yusuf sendiri muncul di tengah-tengah pemulihan hubungan antara Oman dan Israel. Hubungan kedua negara membaik setelah Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu mengunjungi negara Teluk itu pada Oktober lalu untuk bertemu dengan Sultan Qaboos bin Said. 




Credit  sindonews.com


Netanyahu Galang Suara Pemilu dengan Kebijakan Permukiman


Perdana Menteri Israel, Benyamin Netanyahu.
Perdana Menteri Israel, Benyamin Netanyahu.
Foto: Ronen Zvulun/Pool Photo via AP

Netanyahu ingin menguasai wilayah Tepi Barat



CB, YERUSALEM -- Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu menentukan syarat-syarat untuk menerima rencana damai Amerika Serikat (AS) yang disebut 'kesepakatan abad ini'. Sebuah langkah yang menurut para pakar bertujuan untuk mendapatkan suara dalam pemungutan suara pada Selasa (9/4).

Dalam wawancaranya dengan surat kabar Israel Hayom, Netanyahu yang juga pemimpin partai sayap kanan Likud mengatakan ia belum berkoordinasi dengan Presiden AS Donald Trump tentang kesepakatan tersebut. Tapi ia sudah menentukan 'tiga syarat dasarnya'.

"Tidak ada satu pun pemukiman yang digusur dari Tepi Barat. Tepi Barat tetap dalam kuasa Israel, dan Yerusalem tidak dipecah," kata Netanyahu, dilansir di Anadolu Agency, Senin (6/4).

Mengomentari tentang keberadaan Otoritas Palestina (PA) di Tepi Barat dan pergerakan Hamas di Jalur Gaza, Netanyahu mengatakan ia menolak kekuasaan PA di Gaza. Alasannya karena Israel mendapatkan manfaat dari sisi Palestina.

PA langsung mengutuk dan menolak pernyataan Netanyahu tersebut. Kantor berita WAFA melaporkan PA menyebut komentar itu 'tidak bertanggung jawab'.

Kepada Anadolu Agency, dosen ilmu politik dan hubungan internasional Birzeit University, Nabil al-Khatib mengatakan pernyataan Netanyahu menunjukan sikap pemerintah Israel yang sudah lama diketahui. "Kesepakatan abad ini tidak akan jauh dari posisi Israel," kata Khatib.

Ia menekankan posisi Palestina terhadap pemerintah AS. Menurutnya, Palestina harus terus menolak mediasi yang dilakukan Amerika dan menolak untuk proposal apa pun yang AS ajukan.

Partai sayap kanan Likud dan koalisi Biru dan Putih yang dipimpin Benny Gantz diprediksi akan menjadi rival utama dalam pemilu tahun ini. Khatib tidak yakin hubungan Trump dan Netanyahu akan retak karena kesepakatan abad ini.

"Nada pernyataan Netanyahu didorong pemilih, dia ingin menunjukkan dirinya sebagai orang yang mengajukan syarat terhadap Amerika," kata Khatib.

Menurutnya di masa depan, rencana AS mungkin akan sesuai dengan posisi Israel. Perbedaan-perbedaannya pun hanya ada di rincian-rincian yang sangat terbatas. 

Namun ia menekankan jika AS mengajukan persyaratan dalam rencana damai maka akan sulit bagi Netanyahu untuk menolaknya. Menurut Khatib sangat memalukan bagi Netanyahu untuk menolaknya karena hubungannya yang luar biasa baik dengan Trump.

Khatib yakin Trump dapat menghindari Netanyahu dari tekanan politik internal sebelum pemilu. Caranya dengan 'menunda memperkenalkan' kesepakatan damai yang ia ajukan.

Kepala Pusat Hubungan Israel dan Palestina Al-Quda yang bermarkas di Tepi Barat, Emad Abu Awwad mengatakan pernyataan Netanyahu 'menegaskan' kebijakan permukiman di Tepi Barat. Awwad mengatakan perdana menteri itu akan mendapatkan suara dari pernyataan tersebut.

"Ia sudah mengadopsi kebijakan itu di lapangan sejak ia mulai menjabat, kebijakannya sudah mapan dan sistematis tapi dia juga ingin menekankannya kembali agar (kebijakan itu) memberikannya banyak suara," kata Awwad. 

Berhentinya proses perdamaian sejak 2014 lalu, kata Awwad, tema kampanye Netanyahu dalam pemilu 2015 lalu 'menegaskan tidak akan ada perdamaian'. Awwad menunjukkan video saat Netanyahu mengatakan hal itu.

"Perdamaian tidak ada dalam agenda Likud tapi menghilangkan mimpi negeri Palestina secara bertahap tanpa mengungkapkannya kepada publik dunia," kata Awwad.



Credit  republika.co.id


Trump Ungkap Sosok Pembisik Soal Keputusan Akui Golan Milik Israel



Trump Ungkap Sosok Pembisik Soal Keputusan Akui Golan Milik Israel
Trump sebut Jared Kushner, menantu sekaligus penasihatnya, sebagai sosok pembisik dalam keputusannya untuk mengakui Golan sebagai milik Israel. Foto/Istimewa


WASHINGTON - Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump mengungkap sosok di balik kebijakannya membuat keputusan untuk mengakui Dataran Tinggi Golan sebagai milik Israel. Sosok tersebut adalah Jared Kushner, menantu sekaligus penasihat Trump.

Berbicara saat pertemuan Koalisi Yahudi Republik di Las Vegas, Trump mengatakan dia membuat keputusan itu dengan sangat cepat, setelah sebelumnya mendapatkan pelajaran sejarah singkat dari Kushner.

Trump mengatakan, pelajaran itu dia dapat saat menggelar dalam diskusi mengenai sambungan telepon dengan Kusher, Duta Besar AS untuk Israel David Friedman, serta penasihat Gedung Putih untuk Israel Jason Greenblatt, mengenai situasi Golan.

"Saya katakan kepada mereka, bantu saya, beri aku sedikit sejarah, cepat. Saya Ingin cepat, saya punya banyak hal yang sedang saya kerjakan, mulai dari China hingga Korea Utara. Beri saya penjelasan singkat," kata Trump, seperti dilansir PressTV pada Senin (8/4).

Pasca diskusi tersebut, Trump kemudian mengatakan, dia langsung mengusulkan untuk mengakui Golan sebagai milik Israel. Usulan ini, papar Trump, mengejutkan Friedman dan juga Grenbalt.

"Saya membuat keputusan, itu sudah selesai. Kami membuat keputusan cepat dan kami membuat keputusan yang baik," ungkapnya.

Seperti diketahui, pada 25 Maret Trump menandatangi sebuah dokumen yang berisi pengakuan atas kedaulatan Israel di Dataran Tinggi Golan. Dokumen ini diteken saat Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu mengunjungi Washington. 



Credit  sindonews.com


S-300 Rusia Dilaporkan Gagal Jatuhkan F-35 Israel saat Gempur Aleppo



S-300 Rusia Dilaporkan Gagal Jatuhkan F-35 Israel saat Gempur Aleppo
Wilayah Aleppo, Suriah, saat diserang jet-jet tempur Israel pada malam 27 Maret 2019. Foto/Abody Ahfad Khaled via REUTERS


DAMASKUS - Militer Suriah dilaporkan mengaktifkan sistem rudal S-300 Rusia selama pesawat jet tempur F-35 Israel membombardir wilayah Aleppo pekan lalu. Namun, senjata pertahanan Moskow itu disebut tidak mampu mendeteksi apalagi menembak jatuh jet tempur siluman buatan Amerika Serikat tersebut.

DEBKAfile, situs berita intelijen dan keamanan Israel, melaporkan hal itu dalam laporannya. Namun, Suriah, Rusia maupun Israel belum berkomentar atas laporan tersebut. Jet-jet tempur menggempur Aleppo pada Maret lalu dengan klaim menargetkan aset-aset militer Iran.

"Pada malam 27 Maret, Angkatan Udara Israel meluncurkan serangan udara ke sasaran di pinggiran Aleppo, Suriah, menggunakan pesawat tempur F-35. Sistem pertahanan udara Suriah dan, khususnya, sistem rudal pertahanan udara yang dikembangkan Rusia tidak dapat memperbaiki pendekatan mereka, dan terlebih lagi, untuk menjatuhkan target udara," bunyi laporan tersebut yang dikutip Sabtu (6/4/2019).

"Berdasarkan data pendekatan Israel untuk mengebom target, serta kemampuan teknis radar S-300 Rusia, dapat disimpulkan bahwa jet-jet tempur Israel dengan percaya diri tidak memasuki zona deteksi dan, bahkan lebih, menghindari sistem SAM," lanjut laporan tersebut, yang menambahkan bawa pesawat tempur F-35 dalam serangan itu dilengkapi dengan bom terpandu, GBU-39.

Laporan lain dari situs Avia.Pro lebih kritis lagi dengan menuduh sistem rudal S-300 buatan Rusia yang dioperasikan militer Suriah gagal melacak pesawat tempur Israel.

"Meskipun gagal melindungi wilayah udara Suriah, Kementerian Pertahanan Federasi Rusia belum menjawab mengapa radar yang sama untuk S-300 Suriah tidak dapat mendeteksi pesawat Israel," klaim publikasi tersebut, mengutip para ahli militer.

Laporan itu juga meremehkan teknologi militer Rusia di Pangkalan Udara Khmeimim, di barat daya Latakia, tidak dapat melacak pesawat tempur Israel.

Kendati demikian, seorang sumber militer Suriah mengatakan kepada Al-Masdar tak lama setelah serangan pekan lalu bahwa unit pertahanan udara Damaskus hanya menggunakan sistem rudal S-200, bukan S-300, untuk mencoba mengusir serangan Israel.

Menurut sumber tersebut, Suriah memang memiliki sistem pertahanan udara S-300 buatan Rusia, namun personel militernya masih menjalani pelatihan untuk menggunakannya dalam operasi yang berhubungan dengan pertempuran. 



Credit  sindonews.com


Ribuan Penduduk Inggris di Perancis Terancam Dideportasi



Bendera Uni Eropa dan bendera Inggris yang ditinggalkan demonstran pro-Brexit di Parliament Square di London, 29 Maret 2019.
Bendera Uni Eropa dan bendera Inggris yang ditinggalkan demonstran pro-Brexit di Parliament Square di London, 29 Maret 2019.
Foto: AP Photo/Matt Dunham

Lebih dari 14 ribu warga Inggris membangun rumah mereka di pinggiran Perancis



CB, HUELGOAT -- Sarah Waddington mungkin akan benci dengan Inggris setelah adanya referendum British Exit (Brexit). Pada 2016, ia telah meninggalkan kehidupannya di Cornwall, menjual rumahnya dan pindah ke Brittany, daerah pesisir di Barat Laut Prancis.

"Saya suka Perancis," kata Waddington (66 tahun) yang merupakan pensiunan pegawai negeri sipil. "Perancis lebih berorientasi pada komunitas, lebih peduli. Lebih peduli pada orang tua dari pada di Inggris," kata dia seperti dikutip Washington Post, 7 April 2018.

Beberapa tahun belakakangan, lebih dari 14 ribu warga Inggris membangun rumah mereka di pinggiran Perancis. Mereka merehab rumah-rumah granit, membuka toko kecil dan aktif di klub catur dan berbagai organisasi komunitas.

Di desa ini, ekspatriat Inggris David Neal membuka Brittany Pub, yang menyediakan ikan dan kentang, dan menyediakan tontonan dengan Channel Inggris.

Namun, kini warga Inggris di tempat itu dan penghujung Eropa lainnya menghadapi ketidakjelasan. Jika Perdana Menteri Theresa May tidak dapat meyakinkan Pimpinan Eropa untuk menjamin perpanjangan masa Brexit pekan ini, Inggris Raya dijadwalkan keluar dari Uni Eropa tanpa syarat pada 12 April. Dengan begitu, maka warga Inggris di seluruh Eropa harus pulang ke negaranya.

Tiap negara yang tergabung di Uni Eropa sejatinya sudah menyiapkan rencana masing masing dalam mengurus para penduduk Inggris yang terkatung-katung pasca-Brexit ini. Sebanyak 11 dari 27 negara, warga Inggris tetap diperbolehkan tinggal selama yang mereka inginkan. Tetapi di 17 negara lainnya, para warga Inggris harus mengurus kependudukan.

Di Perancis, mereka hanya punya waktu satu tahun mengurus dokumen mereka, atau mereka akan kehilangan fasilitas kesehatan hingga ancaman deportasi. Seperti diberitakan Washington Post, para warga Inggris itu sebenarnya ingin tinggal di Perancis. Bahkan, banyak di antara mereka yang sudah mengurus dengan Perancis untuk mengurus izin tinggal tetap itu.

Christina Jones (71 tahun) butuh waktu enam minggu untuk dirinya dan suaminya untik mendapat izin tinggal, untuk melamar sebagai Warga tetap Perancis. "Kami punya kehidupan yang baik di sini," ujarnya. Meski ia pun menyadari Brexit pada 2016 lalu menyulitkna dirinya dan ekspat-ekspat lainnya.

Nasib para warga Inggris di Perancis ini pun masih tergantung pada bagaimana finalisasi keputusan Inggris untuk keluar dari Uni Eropa.

Yang menjadi perhatian lain, sejak Juni 2016, Poundsterling terus melemah dari 1,28 Euro ke 1,17 Euro. Kondisi ini pun makin memperburuk keadaan warga Inggris yang berada di berbagai belahan Eropa, khususnya di Perancis.


Terlebih lagi, para penduduk Inggris itu menggantungkan nasib pada uang pensiunan dengan mata uang Inggris. Mereka khawatir mereka akan berada di bawah garis kemiskinan Perancis.

Seorang agen real estate di Huelgoat, Sylvie Mayer (60 tahun) mengaku sudah merasakan efek Brexit. Hal ini ditandai dari berkurangnya warga Inggris yang membeli properti di kawasan Brittany. Pada musim panas 2016, 80 persen kliennya orang Inggris. Saat ini, hanya setengahnya uang merupakan orang Inggris.

Maud Camus (33 tahun) bekerja di Huelgoat Cafe La Pailotte. Ia mengatakan, 40 persen kliennya adalah orang Inggris. Ia membayangkan masa depan di mana Brexit semakin menyulitkan orang Inggris untuk tinggal di Perancis.

"Kalau warga Inggris tidak di sini, pasti tempat ini semakin sepi. Tanpa mereka, Hidup semakin runyam," ujar dia. 



Credit  republika.co.id


Tiga Tentara AS dan Satu Kontraktor Tewas Terkena Bom di Afghanistan


Tiga Tentara AS dan Satu Kontraktor Tewas Terkena Bom di Afghanistan
Seorang tentara Amerika Serikat saat bertugas di Afghanistan. Foto/REUTERS/Thomson Reuters/File Photo

KABUL - Tiga tentara Amerika Serikat (AS) dan seorang kontraktor tewas terkena ledakan bom di dekat pangkalan utama Amerika di dekat Kabul, Afghanistan. Serangan bom pada hari Senin itu diklaim kelompok Taliban sebagai ulah mereka.

Menurut militer AS, ledakan di dekat Lapangan Terbang Bagram yang merupakan fasilitas militer AS terbesar di negara tersebut.

Dalam sebuah pernyataan, militer Washington juga mengakui bahwa tiga tentara AS lainnya terluka dalam ledakan itu dan sedang menerima perawatan.

Kelompok Taliban, seperti dikutip Al Jazeera, Selasa (9/4/2019), mengklaim bertanggung jawab atas serangan itu dan menggambarkannya sebagai bom bunuh diri dengan mobil.

Kelompok itu mengatakan seorang penyerang meledakkan kendaraan bermuatan bahan peledak di dekat pangkalan militer di provinsi Parwan.

Ini adalah salah satu serangan paling mematikan baru-baru ini terhadap personel AS. Pada November, ledakan bom di pinggir jalan menewaskan tiga tentara AS di dekat kota Ghazni, Afghanistan tengah.

Bulan lalu dua tentara Amerika juga tewas di Afghanistan saat melakukan operasi. Kendati demikian, perang di negara tersebut telah mengambil korban yang jauh lebih besar pada pasukan keamanan Afghanistan dan warga sipil.

Presiden Ashraf Ghani, saat berbicara di Forum Ekonomi Dunia pada Januari, mengatakan bahwa sekitar 45.000 pasukan keamanan Afghanistan telah terbunuh sejak dia menjabat pada September 2014. Menurutnya, rata-rata korban tewas mencapai 849 orang per bulan.

Saat ini, ada sekitar 14.000 pasukan AS di Afghanistan. Presiden Donald Trump berencana menarik pasukan Wasington dari negara tersebut, namun jadwal penarikannya belum pernah disampaikan pada publik. 




Credit  sindonews.com


8 Fakta Penting tentang Jenderal Khalifa Haftar




Komandan Libya yang berbasis di timur, Khalifa Haftar menghadiri konferensi Keamanan Umum, di Benghazi, Libya, 14 Oktober 2017. [REUTERS / Esam Omran]
Komandan Libya yang berbasis di timur, Khalifa Haftar menghadiri konferensi Keamanan Umum, di Benghazi, Libya, 14 Oktober 2017. [REUTERS / Esam Omran]

CB, Jakarta - Jenderal Khalifa Haftar dilaporkan sebagai pemain kunci bagi perdamaian dan stabilitas keamanan di Libya.
Pasukan Nasional Libya yang dibentuk Haftar secara gencar melakukan serangan ke arah kota Tripoli dengan maksud menguasainya. Tripoli merupakan pusat pemerintah Libya yang diakui dunia internasional.

Haftar telah bertemu dengan Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres pada Sabtu, 6 April 2017 untuk membahas penyelesaian politik secara damai di Libya. Namun ajakan damai sepertinya diabaikan.
Seperti apa sepak terjang pria bernama lengkap Khalifa Belqasim Haftar berusia 75 tahun ini.
Berikut 6 fakta menarik tentang Haftar yang dilansir dari Deutsche Welle, The Independent, dan Aljazeera.

1. Haftar dulunya merupakan sosok yang setia kepada kolonel Muammar Gaddafi. Haftar yang pernah mengecap pelatihan militer di Uni Sovyeet dan Mesir ikut serta melakukan kudeta menjatuhkan raja Idris tahun 1960. Kudeta ini membawa Kolonel Muammar Gaddafi berkuasa di Libya.
2. Haftar sebagai komandan pasukan Libya dalam perang melawan Chad tahun 1987. Libya kalah dalam perang ini. Haftar ditangkap pasukan Chad dan dikirim ke AS tahun 1990.
3. Selama tinggal di AS, Haftar bekerja untuk CIA yang menentang pemerintahan Gaddafi.
4. Haftar bermukim di utara Virginia. Dari sini Haftar selama 2 dekade merancang cara untuk menjatuhkan dan membunuh Gaddafi.
5. Haftar kembali ke Libya tahun 2011 saat terjadi unjuk rasa besar-besaran, Arab Spring, yang didukung NATO untuk menjatuhkan kekuasaan Gaddafi dan membunuhnya.

6. Haftar naik daun menjadi komandan tertinggi militer yang memimpin para pemberontak setelah kematian Gaddafi.
7. Sejak 2014, pasukan Haftar telah merebut kendali atas area bulan sabit minyak Libya dari sebagian besar milisi pro pmerintah dan kelompok Islam di timur yang merupakan lokasi ladang minyak dan terminal ekspor.
8. Pekan lalu, pasukan Khalifa Haftar melakukan serangan bertubi-tubi untuk menguasai Tripoli. Serangan ini dilakukan saat PBB sedang memediasi penyelesaian politik melalui pemilu untuk mengakhiri kemelut politik di Libya.






Credit  tempo.co