Jumat, 27 April 2018

Dogfight, F-35 AS Masih Kalah dengan F-15 Buatan 1970-an


Dogfight, F-35 AS Masih Kalah dengan F-15 Buatan 1970-an
Pesawat jet tempur generasi kelima F-35 Amerika Serikat. Foto/ US Air Force, Airman 1st Class Isaac Johnson


TOKYO - Pesawat jet tempur generasi kelima Amerika Serikat (AS), F-35, masih kalah dengan jet tempur F-15 Eagle dalam latihan pertempuran udara atau dikenal dengan dogfight di Kadena, Jepang. Jet tempur F-15 Eagle yang masih unggul itu merupakan jet tempur generasi keempat buatan tahun 1970-an.

Militer AS tak merinci kapan simulasi dogfight di Pangkalan Angkatan Udara Kadena itu berlangsung. Namun pejabat militer mengatakannya kepada Defense News baru-baru ini.

Sejak 12 unit jet tempur F-35A tiba di Pangkalan Udara Kadena November lalu bersama dengan 300 penerbang, skuadron jet tempur tersebut telah melakukan pelatihan penerbangan setiap hari. Pada bulan Februari, seorang sersan dari pangkalan udara setempat mengatakan 12 pesawat bergabung untuk latihan terbang dalam misi simulasi serangan antara 12 dan 14 kali per hari.

Dua pengawas pemerintah AS secara terpisah menguraikan masalah mesin yang digunakan jet tempur F-35. Satu pengawas menemukan adanya sistem yang tidak dapat diandalkan dan pengawas yang lain mengutip data lusinan pelanggaran dalam pemeriksaan jaminan kualitas mesin tersebut.

"Maksud saya, kadang-kadang," kata Kapten Brock McGehee, pilot F-15 Eagle ketika ditanya apakah F-15 masih bisa mengalahkan jet tempur F-35 yang berteknologi tinggi tersebut.

"Bagian dari itu adalah pesawat dan sebagian dari itu adalah manusia di dalam pesawat. Kami punya beberapa pilot yang sangat berbakat di sini yang bisa mendapatkan serangan pada banyak pilot lainnya. Seorang pilot yang memahami pesawat ini dengan sangat baik dan sangat terampil dalam hal itu cukup mematikan tidak peduli apa yang dia terbangkan, jadi itu mungkin," lanjut pilot tersebut yang dilansir Rabu (25/4/2018) malam.

Terlepas dari masalah keterampilan pilot, F-35 kerap dibanggakan para pejabat militer Pentagon dan produsennya, Lockheed Martin. Jet tempur generasi kelima ini kerap dipuji soal kemampuan serangan air-to-ground dan tentu saja fitur stealth-nya.

Masalah yang dialami jet tempur F-35 sejatinya bukan hal baru. Tiga tahun yang lalu, yakni pada 2015 situs  War is Boring menerbitkan rincian pengalaman pilot yang menguji coba F-35.

"Jet dengan stealth baru yang mahal tidak bisa berputar atau menanjak cukup cepat untuk menabrak pesawat musuh selama pertempuran udara atau untuk menghindari tembakan musuh," ungkap pilot kepada situs itu yang identitasnya dilindungi.

Pensiunan Marinir AS Letnan Kolonel David Berke mengatakan kepada Business Insider bahwa jet tempur yang lebih tua mendapat manfaat dari pembuatan dan pelatihan selama puluhan tahun, di mana pilot baru saat ini telah membuat praktik terbaik. Sedangkan F-35 masih di hari-hari permulaan.

"Keterbatasan terbesar untuk F-35 adalah pilot tidak terbiasa dengan cara menerbangkannya. Mereka mencoba menerbangkan F-35 seperti pesawat lama mereka," kata Berke.

Menurut Berke, para  pilot di Kadena yang melakukan dogfighting terhadap F-15 tidak pernah menerbangkan jet warisan sebelumnya. Mereka akan belajar bagaimana menerbangkan F-35 seperti pesawat yang unik.

Justin Bronk, seorang ahli pesawat tempur di Royal United Services Institute kepada Business Insider meremehkan kemampuan F-35 dalam kasus ketika terlibat pertempuran udara dengan jet tempur Typhoon Eropa maupun Su-35 Rusia. 

"F-35 tidak bisa keluar dari pertempuran udara Typhoon (atau pun Su-35), tidak pernah dalam satu juta tahun," kata Bronk.

Alasan dari argumen Bronk itu adalah bahwa F-35 bukan dogfighter. Desain siluman F-35 menempatkan tuntutan berat pada bentuk pesawat, yang membatasi dalam beberapa dimensi. Akibatnya, ini bukan jet paling dinamis yang mungkin bisa dibangun AS.

Sebaliknya, F-35 mengandalkan teknologi siluman. F-35, yang digunakan dengan benar dalam pertempuran, akan mencetak sebagian besar pembunuhan mereka dengan rudal jarak jauh yang ditembakkan dari jangkauan visual.

"Jika Anda terlibat dalam pertempuran udara dengan F-35, seseorang membuat kesalahan, ini seperti melakukan pertarungan pisau di bilik telepon," imbuh pilot sipil F-16 Adam Alpert dari Vermont Air National Guard yang pernah mengikuti pelatihan tentang simulator F -35.



Credit  sindonews.com




Musuh Miterius Menjamming Senjata Tempur AS di Suriah


Musuh Miterius Menjamming Senjata Tempur AS di Suriah
AC-130 close air support (CAS) gunships yang digunakan militer Amerika Serikat dalam operasi di Suriah. Foto/US Air Force/REUTERS


WASHINGTON - Seorang jenderal terkemuka Amerika Serikat (AS) mengungkap bahwa musuh misterius men-jamming senjata tempur Washington saat operasi di Suriah. Media-media Barat menunjuk jari ke Rusia sebagai pelaku, namun Pentagon menahan diri untuk tidak menuduh Moskow.

Gangguan dari musuh misterius yang bisa mempermalukan AS ini diungkap Kepala Komando Operasi Khusus AS (SOCOM), Jenderal Tony Thomas dalam acara "US Geospatial Intelligence Foundation's 2018 GEOINT Symposium" hari Selasa.

Menurutnya, gangguan itu terjadi nyaris tiap hari. Selain senjata tempur yang di-jamming, sistem komunikasi militer AS juga diganggu.

"Saat ini di Suriah, kami berada di lingkungan EW (electronic warfare/peperangan elektronik) paling agresif di planet ini dari musuh kami," kata Thomas. "Mereka menguji kami setiap hari, menjatuhkan komunikasi kami, mematikan AC-130, dan sebagainya," papar Jenderal Thomas.

Beberapa laporan, seperti dari Breaking Defense, menunjukkan bahwa Thomas merujuk pada EC-130H Compass Call. EC-130H adalah pesawat yang dirancang khusus untuk melawan dan mengobarkan peperangan elektronik.

Dalam sebah cuplikan pidatonya, Thomas secara jelas berbicara tentang AC-130 close air support (CAS) gunships yang berada di bawah komando SOCOM. Jenderal AS ini tidak menuduh militer mana pun yang menganggu senjata tempur Washington.

Menteri Pertahanan James Norman Mattis kepada Komite Angkatan Bersenjata Senat AS pada hari Kamis mengaku tidak siap untuk menyalahkan serangan elektronik di Suriah kepada Rusia. Sebab, selain Moskow, pasukan pemerintah Suriah dan tentara Iran juga aktif di sana.

Moskow sendiri dengan tegas menolak tuduhan terlibat dalam serangan elektronik tersebut. "Rusia memiliki hal-hal lain untuk dilakukan di Suriah daripada mengutak-atik senjata AS," kata Wakil Kepala Komite Pertahanan Dewan Federasi Rusia, Yevgeniy Serebrennikov.

Menurutnya tugas Rusia adalah membantu warga Suriah untuk mencapai dan mempertahankan kehidupan yang damai.

"Saya tidak tahu siapa yang mereka sebut 'musuh' sebenarnya, tetapi Rusia tidak ada hubungannya dengan itu, dan semua tuduhan itu tidak dibuktikan kebenarannya," katanya, seperti dikutip Russia Today, Jumat (27/4/2018). 





Credit  sindonews.com






Mattis: AS Akan Menyesal Tarik Pasukan dari Suriah


Mattis: AS Akan Menyesal Tarik Pasukan dari Suriah
Menteri Pertahanan AS Jim Mattis. Foto/Istimewa


WASHINGTON - Menteri Pertahanan (Menhan) Amerika Serikat (AS) Jim Mattis mengatakan AS "mungkin menyesal" akan tidak mempertahankan pasukan di Suriah untuk memastikan bahwa militan ISIS tidak muncul kembali. Pernyataan ini merupakan tanda terbaru bahwa penarikan total pasukan AS tidak mungkin terjadi.

Presiden AS Donald Trump pada hari Selasa mengatakan ia ingin menarik pasukan Amerika dari Suriah segera. Namun ia juga menegaskan keinginannya untuk meninggalkan jejak yang kuat dan abadi.

Jejak kaki, dalam bahasa militer, biasanya mengacu pada kehadiran pasukan AS.

Mattis tidak memberikan indikasi yang jelas tentang berapa lama pasukan AS akan tetap berada di Suriah atau mengisyaratkan peningkatan pasukan di masa depan. Ia hanya menekankan misi yang sedang berlangsung untuk melatih pasukan lokal guna memerangi ISIS.

"Kami harus menciptakan kekuatan lokal yang dapat menjaga tekanan pada setiap upaya ISIS untuk mencoba (muncul kembali)," kata Mattis pada sidang Komite Bersenjata Senat, menggunakan akronim untuk Negara Islam.

Ketika ditanya apakah akan berisiko memiliki mitra lokal tanpa pasukan AS, Mattis mengatakan: "Saya yakin bahwa kami mungkin akan menyesalinya," seperti dikutip dari Reuters, Jumat (27/4/2018).

Pentagon dan Departemen Luar Negeri telah menyatakan bahwa upaya jangka panjang AS akan diperlukan untuk memastikan kekalahan yang abadi dari ISIS. Kelompok ini merebut sebagian besar wilayah Suriah dan Irak tetapi secara bertahap kehilangan wilayahnya sejak AS dan sekutunya memulai serangan militer pada tahun 2014.

Beberapa kritikus paling keras dari potensi penarikan militer AS dari Suriah berasal dari partai Republik sendiri, yang mengecam Presiden Barack Obama ketika ia menarik pasukan AS dari Irak pada 2011. Pasukan Irak mulai terurai dan akhirnya ambruk dalam menghadapi kemajuan ISIS ke negara itu pada tahun 2014.

"Kami belajar bahwa pasukan Irak tidak mampu memberikan keamanan di dalam negeri dan memberi musuh kesempatan untuk bangkit kembali, di sanalah benar-benar ISIS memiliki ruang untuk tumbuh," kata Jenderal Marinir AS Joseph Dunford, Kepala Staf Gabungan, pada sidang.

Serangan udara AS, pasukan dan milisi Suriah yang didukung AS telah memberikan pukulan berat kepada ISIS di Suria. Tetapi kelompok itu masih menguasai sejumlah kantong wilayah dan secara luas diperkirakan akan kembali ke taktik gerilya jika sisa-sisa terakhir dari "khilafah" tidak ditangkap.

Mattis mengatakan ia mengharapkan upaya "re-energi" terhadap militan ISIS di Suriah timur dalam beberapa hari mendatang.

“Anda akan melihat upaya energi kembali terhadap Lembah Sungai Eufrat tengah di hari-hari mendatang dan melawan sisa geografis kekhalifahan,” tukas Mattis. 




Credit  sindonews.com






PBB Tunjuk Utusan Khusus untuk Myanmar



Logo PBB (ilustrasi)
Logo PBB (ilustrasi)
Foto: VOA


PBB ingin menyelesaikan masalah Rohingya di Myanmar.




CB, YANGON -- Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa Sekretaris Antonio Guterres menunjuk Duta Besar Swiss untuk Jerman, Christine Schraner Burgener, menjadi utusan khususnya mengenai Myanmar.


Myanmar menghadapi kecaman dunia atas tindakan keras tentaranya, yang membuat hampir 700 ribu warga Rohingya lari ke Bangladesh. Perserikatan Bangsa-Bangsa, Amerika Serikat, Inggris dan lain-lain menggambarkan gerakan itu sebagai pembersihan suku. Tuduhan itu ditolak Myanmar.

Pada Desember, Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa menyetujui resolusi, yang meminta Guterres menunjuk utusan khusus badan dunia itu mengenai Myanmar. Majelis memberi perhatian khusus agar lembaga dunia tersebut menyelesaikan kemelut Myanmar.

Duta Besar Myanmar untuk Perserikatan bangsa-Bangsa Hau Do Suan belum menjawab permintaan untuk memberi tanggapan pada Rabu tentang rencana Guterres menunjuk Schraner Burgener, yang sebelumnya duta besar Swiss untuk Thailand.

Juru bicara Perserikatan Bangsa-Bangsa Stephane Dujarric pada Rabu (25/4) memperkirakan pengumuman penunjukan itu akan disampaikan dalam beberapa hari mendatang. Perutusan Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa akan berangkat ke Bangladesh dan Myanmar untuk menilai keadaan.

Hau Do Suan kepada Reuters pada awal bulan ini menyatakan negaranya menyambut setiap keterlibatan dan nasihat membangun dalam bentuk apa pun dari masyarakat dunia untuk memajukan hak asasi manusia. Namun, ia menyatakan Myanmar tidak yakin bahwa pengangkatan utusan khusus akan menyelesaikan keadaan rumit dan banyak segi di Myanmar kecuali mandatnya dilaksanakan berdasarkan atas asas menghormati kedaulatan dan martabat negara bersangkutan, objektif, dan tidak berpihak. Ia mencatat bahwa kedudukan itu memerlukan kerja sama penuh pemerintah dan rakyat Myanmar agar berhasil.




Credit  republika.co.id





Uni Eropa Perpanjang Embargo Senjata Terhadap Myanmar



Uni Eropa
Uni Eropa


Sanksi ini diberlakukan menyusul adanya pelanggaran hak asasi manusia di negara itu



CB, BRUSSELS -- Uni Eropa (UE) memperpanjang embargo senjata terhadap Myanmar. UE juga sedang mempersiapkan sanksi terhadap pejabat militer Myanmar yang terlibat dalam pelanggaran.

Sanksi ini diberlakukan menyusul adanya pelanggaran hak asasi manusia di negara itu. Dewan UE mengatakan embargo meliputi senjata, peralatan yang dapat digunakan untuk penindasan, penyediaan pelatihan militer serta produk yang digunakan untuk memantau komunikasi.

Dewan menambahkan mereka juga telah menyetujui kerangka kerja untuk pemberian sanksi terhadap para pejabat Angkatan Bersenjata Myanmar dan polisi penjaga perbatasan. Sanksi akan diberlakukan jika pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di negara itu terus berlanjut.

Menurut Dewan UE sanksi pribadi ini bisa termasuk larangan perjalanan dan pembekuan aset.

Uni Eropa menuduh Myanmar melakukan pelanggaran hak asasi manusia serius dan sistemik dalam operasi militer di barat laut negara itu tahun lalu. Ini membuat hampir 700 ribu Muslim Rohingya melarikan diri ke negara tetangga Bangladesh.

Langkah ini mengikuti langkah-langkah serupa oleh Amerika Serikat (AS) dan Kanada.



Credit  republika.co.id







Disambut Moon Jae-in, Kim Jong-un Jejakkan Kaki di Korsel


Disambut Moon Jae-in, Kim Jong-un Jejakkan Kaki di Korsel
Perdana dalam sejarah, pemimpin Korut menjejakkan kaki di Korsel, ketika Kim Jong-un melintasi perbatasan disambut Moon Jae-in sebelum memulai pertemuan. (Host Broadcaster via Reuters TV)



Jakarta, CB -- Untuk pertama kalinya dalam sejarah, pemimpin Korea Utara menjejakkan kakinya di tanah Korea Selatan ketika Kim Jong-un melintasi garis perbatasan setelah menjabat tangan Presiden Moon Jae-in yang menyambutnya sebelum melakukan pertemuan di Desa Panmunjom, Jumat (27/4).

Setelah jabat tangan bersejarah itu, dengan senyum mengembang, Moon berkata kepada Kim, "Saya senang bertemu Anda."

Kedua pemimpin negara kemudian berjalan di atas gelaran karpet merah menuju kompleks Plaza Rumah Perdamaian diiringi gegap gempita marching band.


Setelah melakukan penghormatan di podium di tengah lapangan, Kim dan Moon berjalan ke arah gedung Rumah Perdamaian.


Moon lantas memperkenalkan jajaran pejabatnya yang sudah bersiap di sebelah kiri Rumah Perdamaian.

Setelah itu, giliran Kim yang mengajak Moon bersalaman dengan delegasi negaranya, termasuk sang adik, Kim Yo-jong.

Usai berfoto bersama, Moon dan Kim berjalan berdampingan ke arah Rumah Perdamaian sambil sesekali bercakap-cakap dan saling melempar senyum.

Setibanya di Rumah Perdamaian, Kim mengisi buku tamu didampingi Moon, yang kemudian mengantarnya masuk ke ruang pertemuan.


Pintu ruangan tersebut kemudian ditutup, tanda perbincangan bersejarah kedua kepala negara siap dimulai.

Setelah sesi dialog pertama, Kim dan Moon akan makan siang secara terpisah sebelum menggelar upacara penanaman pohon di sore harinya.

Pohon pinus itu akan ditanam di garis demarkasi untuk menandakan "perdamaian dan kemakmuran," menggunakan tanah dari Gunung Paektu di Korut dan Gunung Halla di Korsel.


Kim dan Moon kemudian akan menyiram pohon dengan air yang dibawa dari Sungai Taedong di Korut dan Sungai Han di Korsel.

Setelah itu, Moon dan Kim akan berjalan bersama di Panmunjom kemudian memulai sesi pembicaraan selanjutnya.

Di akhir pembicaraan, Kim dan Moon akan meneken pakta dan membuat pernyataan. Pertemuan bersejarah ini lantas akan ditutup dengan makan malam di wilayah Korsel dan menonton video bertema 'Musim Semi Kesatuan.





Credit  cnnindonesia.com






Kim Jong-un ke Korsel, NATO Minta Sanksi Dipertahankan


Kim Jong-un ke Korsel, NATO Minta Sanksi Dipertahankan
Sekjen NATO Jens Stoltenberg meminta dunia mempertahankan sanksi terhadap Korut hingga ada perubahan konkret. (REUTERS/Francois Lenoir)



Jakarta, CB -- Sekretaris Jenderal Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) Jens Stoltenberg mengatakan dunia mesti mempertahankan sanksi terhadap Korea Utara hingga ada "perubahan konkret," jelang pertemuan tingkat tinggi negara terisolasi itu dengan tetangganya di selatan.

Stoltenberg menyambut baik rencana pertemuan pemimpin Korea Utara, Kim Jong-un dan Presiden Korea Selatan Moon Jae-in yang akan digelar Jumat (26/4) di wilayah selatan perbatasan kedua negara. Namun, menurutnya Korut masih belum bisa diberikan kelonggaran.


"Hingga kita melihat perubahan konkret pada tindakan Korea Utara kita mesti terus menekan Korea Utara dan melanjutkan sanksi-sanksi," kata Stoltenberg di Markas Besar NATO di Brussels, dikutip AFP.

Pertemuan yang digelar di perbatasan kedua negara Jumat ini merupakan yang ketiga kalinya sepanjang sejarah, setelah perisrwa serupa di Pyongyang pada 2000 dan 2007 lalu.


Stoltenberg mengatakan pertemuan itu adalah "langkah pertama menuju solusi damai ternegosiasi atas krisis di Semenanjung Korea."

"Salah satu alasan mengapa kita melihat perkembangan dalam beberapa pekan terakhir adalah karena ada tekanan kuat terhadap Korea Utara, termasuk sanksi yang diadopsi PBB."

"Saya menyambut bagaimana PBB bisa sepakat menjatuhkan sanksi lebih keras pada Korut, tapi juga kita melihat bahwa sanksi-sanksi itu telah diimplementasikan hingga tingkat yang lebih tinggi daripada sebelumnya."

Ketegangan di Semenanjung Korea mereda dalam beberapa pekan terakhir, sejak Moon menggunakan Olimpiade Musim Dingin Pyeongchang sebagai kesempatan untuk menggelar dialog dengan Pyongyang.





Credit  cnnindonesia.com






Saksi Douma: Tidak Ada Serangan, Korban, Tidak Ada Senjata Kimia


Saksi Douma: Tidak Ada Serangan, Korban, Tidak Ada Senjata Kimia
Hassan Diab (11) bocah Suriah yang muncul dalam dugaan serangan senjata kimia di Douma memberikan kesaksian terkait insiden tersebut di markas OPCW. Foto/Istimewa


THE HAGUE - Para saksi dari dugaan serangan kimia di Douma, termasuk Hassan Diab (11) dan staf rumah sakit, mengatakan video White Helmets hanyalah akting belaka. Belakangan, video tersebut digunakan sebagai dalih dalam serangan terhadap Suriah yang dipimpin oleh Amerika Serikat (AS).

“Kami berada di ruang bawah tanah dan kami mendengar orang-orang berteriak bahwa kami harus pergi ke rumah sakit. Kami melewati terowongan. Di rumah sakit mereka mulai menuangkan air dingin pada saya,” tutur Hasan pada konferensi pers di markas Organisasi untuk Larangan Senjata Kimia (OPCW), Den Haag, Belanda.


Hasan termasuk di antara "korban" yang terlihat sedang dicuci oleh selang air dalam sebuah video yang dirilis oleh kelompok White Helmets pada 7 April lalu. Bocah itu dan keluarganya kemudian berbicara kepada media dan mengungkapkan bahwa ia bergegas ke tempat kejadian oleh orang-orang yang mengklaim bahwa serangan kimia telah terjadi. Mereka mulai menuangkan air dingin pada anak itu dan yang lain, merekam anak-anak yang ketakutan.

“Ada orang-orang yang tidak kami kenal yang merekam perawatan darurat, mereka merekam kekacauan yang terjadi di dalam, dan memfilmkan orang-orang yang disiram dengan air. Instrumen yang mereka gunakan untuk menyiram mereka dengan air pada awalnya digunakan untuk membersihkan lantai sebenarnya,” terang Ahmad Kashoi, administrator ruang gawat darurat.

“Itu terjadi selama sekitar satu jam, kami memberikan bantuan kepada mereka dan mengirim mereka pulang. Tidak ada yang tewas. Tidak ada yang menderita paparan kimia,” imbuhnya seperti dikutip dari Russia Today, Jumat (27/4/2018).

Halil al-Jaish, seorang resuscitator yang merawat orang-orang di rumah sakit Douma hari itu, mengatakan beberapa pasien memang mengalami masalah pernapasan. Namun, gejala itu disebabkan oleh debu berat, yang melanda daerah itu karena serangan udara baru-baru ini, dan tidak ada yang menunjukkan tanda-tanda keracunan akibat senjata kimia.

Sementara paramedis lain, Muwaffak Nasrim mengatakan rumah sakit menerima orang-orang yang menderita asfiksia asap dan debu pada hari dugaan serangan kimia dilakukan.

"Kepanikan yang terlihat dalam rekaman White Helmets itu terutama disebabkan oleh orang-orang yang berteriak tentang dugaan penggunaan senjata kimia, " ujar Nasrim, yang menyaksikan adegan kacau tersebut, menambahkan.

"Tidak ada pasien, bagaimanapun, menunjukkan gejala paparan senjata kimia," imbuhnya.

Ahmad Saur, seorang paramedis darurat Bulan Sabit Merah Suriah, mengatakan bahwa bangsal tempat ia bekerja tidak menerima pasien yang terkena senjata kimia pada hari insiden tersebut atau setelahnya.

"Semua pasien membutuhkan perawatan medis umum atau bantuan atas cedera," katanya.

Saur mengatakan kepada wartawan bahwa dia datang untuk berbicara di Den Haag secara independen dari Bulan Sabit Merah, dan dia memberikan kesaksian dengan bebas dan tanpa tekanan. 


Seorang wartawan bertanya apa yang akan terjadi pada saksi mata dan apakah mereka akan tinggal di Eropa untuk bersaksi.

“Kami akan pulang ke rumah, dan tidak ada masalah dengan itu. Situasinya jauh lebih baik sekarang. Kami penduduk Douma, seperti banyak lainnya,” kata Hassan Ayoun, seorang dokter di departemen gawat darurat.

Perwakilan permanen Rusia untuk OPCW, Aleksandr Shulgin, mengatakan enam dari saksi Douma yang dibawa ke Den Haag telah diwawancarai oleh para ahli teknis OPCW.

“Yang lain juga siap, tetapi para ahli tetap berpegang pada pedoman mereka sendiri. Mereka telah memilih enam orang, berbicara dengan mereka, dan mengatakan bahwa mereka benar-benar puas dengan laporan mereka dan tidak memiliki pertanyaan lebih lanjut," ujar Shulgin.

Ia menambahkan bahwa tuduhan negara-negara Barat tertentu menjelang jumpa pers bahwa Moskow dan Damaskus berusaha menyembunyikan para saksi dari para ahli OPCW tidak terbukti.



Credit  sindonews.com



Rusia Hadirkan Saksi Serangan Kimia, Barat Boikot Pertemuan OPCW



Rusia Hadirkan Saksi Serangan Kimia, Barat Boikot Pertemuan OPCW
Duta Besar Rusia Alexander Shulgin (kiri) dan seorang anak lelaki tak dikenal dari Douma, Suriah, saat sebuah konferensi pers di Den Haag, Belanda. Foto/REUTERS/Michael Kooren



THE HAGUE - Rusia dan sekutunya, Suriah, menghadirkan belasan orang yang tidak terluka dari Ghouta, Suriah, ke markas Organisasi untuk Larangan Senjata Kimia (OPCW). Kehadiran mereka untuk mendukung klaim Rusia dan Suriah bahwa tidak ada serangan kimia di Douma seperti yang dituduhkan selama ini.

Namun, langkah itu ditolah oleh Inggris dan menyebutnya sebagai aksi akrobat. Inggris juga mengatakan bahwa kekuatan sekutu Baratnya, termasuk Prancis dan Amerika Serikat (AS), telah memboikot pertemuan tertutup OPCW.

"OPCW bukanlah sebuah teater," cetus utusan Inggris untuk OPCW, Peter Wilson, dalam sebuah pernyataan.

"Keputusan Rusia untuk menyalahgunakannya adalah upaya lain Rusia untuk merongrong pekerjaan OPCW, dan khususnya temuan dari Fact Finding Mission (misi pencari fakta) yang tengah menyelidiki penggunaan senjata kimia di Suriah," imbuhnya seperti dikutip dari Reuters, Jumat (27/4/2018).

Sementara Duta Besar Prancis untuk OPCW Philippe Lalliot menyebut kemunculan orang-orang Suriah di The Hague “tidak senonoh.”

"Ini tidak datang sebagai kejutan dari pemerintah Suriah, yang telah membantai dan menggasak rakyatnya sendiri selama 7 tahun terakhir," katanya kepada Reuters.

Dia mengatakan hal itu lebih mengejutkan karena datang dari Rusia.

"Seseorang tidak bisa tetapi bertanya-tanya apakah yang lebih lemah (Suriah) tidak mengambil yang lebih kuat (Rusia) di jalan di luar kepentingannya, jika bukan martabatnya."

Sebagaimana diketahui, OPCW tengah menyelidiki kematian puluhan orang di Douma, sebuah daerah kantong di Ghouta, pada 7 April lalu. AS dan sekutunya mengatakan hal itu disebabkan oleh senjata kimia, mungkin zat syaraf, yang digunakan oleh pasukan pemerintah Presiden Bashar al-Assad dengan dukungan Rusia.

Dugaan serangan kimia itu menyebabkan serangan udara oleh AS, Prancis dan Inggris terhadap situs-situs di Suriah. Baik Suriah maupun Rusia telah membantah tuduhan itu dan mengatakan pasukan pemberontak yang melancarkan serangan.

Rusia dan Suriah kemudian membawa 15 warga Suriah ke konferensi pers di Den Haag yang mengatakan mereka tidak melihat bukti senjata kimia digunakan di Ghouta.

Seorang anak, yang diidentifikasi oleh transelator pemerintah Suriah sebagai Hasan Diab yang berusia 11 tahun dari Ghouta, mengatakan ia telah ke rumah sakit setelah serangan itu.

“Mereka mulai menuangkan air ke saya di rumah sakit. Saya tidak tahu mengapa,” katanya. 


Bocah itu mirip dengan anak yang terlihat dalam video yang ditayangkan secara luas di stasiun televisi Barat setelah dugaan serangan.


Duta besar Rusia untuk Belanda mengatakan video itu "dipentaskan" oleh White Hemets, sebuah kelompok bantuan Suriah yang menerima dana dari AS dan pemerintah Barat lainnya.

Saat ini investigator OPCW di Douma mengunjungi situs kedua di Ghouta pada hari Rabu untuk mengambil sampel.




Credit  sindonews.com




Rusia: Bobol Gedung Konsulat di Seattle, AS Lewati Batas


Rusia: Bobol Gedung Konsulat di Seattle, AS Lewati Batas
Wamenlu Rusia, Sergei Ryabkov menyatakan, AS telah melintasi batas merah ketika para pejabat mereka memaksa masuk ke gedung konsulat Rusia di Seattle. Foto/Sputnik


MOSKOW - Wakil Menteri Luar Negeri Rusia, Sergei Ryabkov menyatakan, Amerika Serikat (AS) telah melintasi batas merah ketika para pejabat Kementerian Luar Negeri mereka memaksa masuk ke gedung konsulat Rusia di Seattle.

"Rekan-rekan di Washington telah melewati batas merah dan melampaui apa yang diizinkan dan masuk akal," kata Ryabkov, dengan menyebut pembobolan tersebut adalah salah satu hal terburuk dalam sejarah hubungan internasional dan berencana menyeret otoritas AS ke pengadilan.

"Ini adalah pertanyaan lain, apa reaksi peradilan AS mengenai hal ini. Rusia berada dalam percobaan tentang masalah yang tidak memiliki preseden," sambungnya dalam sebuah pernyataan, seperti dilansir Sputnik pada Kamis (26/4).

Seperti diketahui, gedung diplomatik itu dievakuasi awal pekan ini karena perintah dari Washington, yang mengusir 60 diplomat Rusia. Washington mengatakan kepada kedutaan Rusia untuk menutup konsulat di Seattle sebagai pembalasan atas serangan racun mantan agen ganda di Inggris.

Setelah para diplomat pergi pada hari Selasa, mereka mengunci gedung tersebut. Para pejabat AS kemudian pada hari Rabu menerobos masuk ke kompleks.

Juru bicara Departemen Luar Negeri AS Heather Nauert mengatakan, ia percaya tidak ada hukum yang dilanggar dalam tindakan pihak berwenang yang masuk ke konsulat Rusia.







Credit  sindonews.com






Ketika peluk cium Macron diakhiri cercaan terhadap filosofi politik Trump


Ketika peluk cium Macron diakhiri cercaan terhadap filosofi politik Trump
Presiden Prancis Emmanuel Macron berbicara di Kongres Amerika Serikat dalam rangkaian lawatan ke Amerika Serikat (25/4/2018) (REUTERS/BRIAN SNYDER)



Jakarta (CB) - Selasa, Presiden Prancis Emmanuel Macron dan Presiden Amerika Serikat Donald Trump sangat akrab dengan saling berbalas ciuman, pelukan, pegangan tangan dan mengusap pundak masing-masing.

Sehari kemudian, Rabu waktu AS, di depan sidang pleno Kongres, pemimpin Prancis yang kharismatis itu putar arah dengan menggugat filosofi dan padangan politik Presiden Trump.

Macron terang-terangan menyatakan tekad mempertahanan tatanan dunia dari nasionalisme "First America" ala Donald Trump.

Macron ingin mengikat pemerintahan Donald Trump ke dalam sistem internasional Barat yang sudah ada, meyakinkan Amerika untuk terikat pada upaya-upaya multilateral dalam mematikan program nuklir Iran, memerangi perubahan iklim, dan mengawal globalisasi serta perdagangan bebas.

Seperti ditulis laman CNN.com, Macron ingin memposisikan Prancis sebagai kanal antara Amerika dan Uni Eropa akibat retaknya posisi politik Kanselir Jerman dan keluarnya Inggris dari Uni Eropa.

Tetapi Macron tidak dapat mencapai semua tujuan itu tanpa membawa serta Trump, dan sekaligus meyakinkan pemimpin AS itu untuk mengompromikan posisi-posisi yang dia rasakan dengan intensitas yang mendalam dan tulus atau paling tidak mencegah Trump merusak sistem global yang memang kerap dia lakukan.

Itulah mengapa Macron membangun pola hubungan emosional yang menyentuh dengan Trump, yang terlukiskan dari ciuman, pelukan dan jabat tangan seperti antara bapak pendiri Amerika Benjamin Franklin dan filsuf Prancis Voltaire.

Perbedaan mencolok filosofi dan ofensif anggun Macron dengan Trump yang tersirat dalam pidatonya  itu telah membuat para wakil rakyat AS berulang kali memberikan standing ovation dan bersorak.

Menurut CNN, gaya teatrikal Macron saat berpidato di depan Kongres AS dalam Bahasa Inggris yang fasih dengan menjabarkan kebijakan-kebijakan yang dia usung, membuat sang presiden Prancis terlihat seperti presiden Amerika dari Partai Demokrat yang tengah menyampaikan pidato kenegaraan.


Macron menyinggung pengorbanan bersama Prancis dan AS dalam dua perang dunia dan dalam perang melawan terorisme baik di dalam negeri maupun di luar negeri, seperti Suriah.

Tetapi sejurus kemudian dia menampar filosofi nasionlis populis yang dianut Trump yang ditiru oleh gerakan-gerakan politik antikemapanan di seantero Eropa.

"Kita boleh memilih isolasionisme, penarikan diri dan nasionalism. Ini pilihan. Itu bisa membuat kita merasai obat sementara untuk ketakutan-ketakutan kita," kata Macron.

"Tetapi menutup pintu terhadap dunia tidak akan menghentikan evolusi dunia. Itu tidak akan memadamkan, sebaliknya mengobarkan ketakutan warga negara kita."

Macron memperingatkan bahwa internasionalisme liberal tengah dikepung sehingga membersitkan kebutuhan akan tatanan dunia baru Abad 21 yang didasarkan kepada nilai-nilai fundamental, aturan hukum dan hak asasi manusia.

"Kekuatan lain dengan strategi dan ambisi yang lebih kuat akan mengisi kekosongan akibat kita tinggalkan. Kekuatan lain tidak akan lagi ragu-ragu mengagungkan model mereka dalam membentuk tatanan dunia Abad 21."

"Jika Anda tanya saya, saya tidak terkagum-kagum kepada penguasa kuat, kepada pengabaian kebebasan dan ilusi nasionalisme," kata Macron.

Pernyataan ini sangat berbalikkan dengan sikap Trump yang justru memuja orang-orang kuat seperti Presiden Rusia Vladimir Putin dan Presiden China Xi Jinping.

Macron menyeru Amerika Serikat untuk kembali kepada multilateralisme. Dia menyoroti sistem global yang telah ditemukan Amerika dan dibela mati-matian pada Perang Dunia II, serta memperingatkan keadaan kritis di masa kini dengan mengingatkan bahaya isolasionisme, penarikan diri dan nasionalisme.

"Ini semua membutuhkan keterlibatan Amerika Serikat karena peran Anda semua menentukan dalam menciptakan dan mengawal dunia bebas ini," kata Macron.  "Amerika Serikat adalah salah satu yang menemukan multilateralisme ini. Anda adalah pihak yang sekarang harus menolongnya demi melestarikan dan memperbaruinya."





Credit  antaranews.com





Mike Pompeo dikukuhkan sebagai Menlu Amerika Serikat


Mike Pompeo dikukuhkan sebagai Menlu Amerika Serikat
Mantan Direktur Badan Sandi Negara Amerika Serikat (Central Intelegence Agency) Mike Pompeo. (cia.gov)




Washington (CB) - Senat Amerika Serikat pada Kamis mengukuhkan Mike Pompeo sebagai Menteri Luar Negeri di bawah Pemerintahan Presiden Donald Trump.

Pompeo, yang merupakan mantan direktur Badan Intelijen Pusat (CIA), akan segera melakukan perjalanan untuk bertemu dengan sekutu-sekutu kunci AS di Eropa dan Timur Tengah.

Mantan perwira Angkatan Darat itu pernah menjadi anggota Kongres dari Partai Republik.

Pompeo sudah terlebih dulu terlibat secara mendalam dalam diplomasi. Trump mengutusnya tiga pekan lalu ke Korea Utara untuk bertemu dengan pemimpin negara itu, Kim Jong Un, menjelang pertemuan puncak antara Kim dan Trump --yang akan membahas program nuklir Pyongyang.

Beberapa saat setelah Pompeo disumpah sebagai menteri luar negeri, Departemen Luar Negeri AS mengatakan Menlu baru itu akan melakukan lawatan ke Arab Saudi, Jordania dan Israel selama akhir pekan ini. Sebelum lawatan tersebut, ia dijadwalkan menghadiri pertemuan Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) pada Jumat di Brussel.

Pompeo memilih tiga negara di Timur Tengah itu untuk dikunjungi karena melihat perkembangan semua hal yang sedang terjadi, menurut juru bicara Departemen Luar Negeri AS, Heather Nauert, kepada para wartawan.

Iran kemungkinan akan masuk dalam agenda pembicaraan selama lawatannya di Timur Tengah.

Trump, paling lambat pada 12 Mei, akan memutuskan apakah AS akan menerapkan kembali sanksi-sanksi ekonomi atas Iran. Langkah itu akan menjadi pukulan terhadap kesepakatan nuklir yang dicapai pada 2015 antara Iran dan enam negara kuat.

Pompeo akan melakukan pertemuan dengan Raja Saudi Salman, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu dan Raja Jordania Abdullah, kata Nauert.

Ia akan diharuskan untuk segera menangani berbagai tantangan internasional, termasuk konflik-konflik yang telah berlangsung lama di Suriah, Iran dan Afghanistan, serta politik perluasan China di Asia dan ketegasan Rusia.

Washington sedang bekerja sama dengan sekutu-sekutu Eropa, seperti dengan Presiden Prancis Emmanuel Macron dan Kanselir Jerman Angela Merkel, menyangkut kemungkinan untuk memperkeras perjanjian nuklir dengan Iran, demikian Reuters.






Credit  antaranews.com









Kamis, 26 April 2018

Jepang Incar Proyek Pesawat Maritim Eropa


Jepang Incar Proyek Pesawat Maritim Eropa
Jepang Incar Proyek Pesawat Maritim Eropa. (Reuters).


TOKYO - Dalam penawaran terbaru untuk memenangkan kesepakatan persenjataan asing terbesar pertama sejak Perang Dunia II, Jepang mengajukan proposal pemburu maritim P-1 untuk proyek Jerman-Prancis mengembangkan pesawat pengintai maritim.

Diskusi antara tiga negara dimulai tahun lalu. Pejabat Jepang juga meminta Kawasaki Heavy Industries yang membuat P-1 untuk membahas kemungkinan kemitraan dengan Dassault Aviation asal Prancis dan Thales SA.

“Jika mereka mencoba dan membangunnya dari awal, itu akan membutuhkan biaya banyak dan pasar potensial mereka kecil, bahkan jika Spanyol atau negara-negara Eropa lain membelinya,” kata seorang sumber dari pemerintah Jepang tentang proyek Eropa tersebut.

Meski demikian, P-1 mungkin sulit terjual karena persaingan sangat ketat dengan perusahaan lain. Airbus menyatakan sedang mengeksplorasi aplikasi militer untuk jet penumpang A320neo, termasuk versi patroli maritim.

Dua sumber pertahanan Eropa menjelaskan, perusahaan pesawat Prancis, Dassault Aviation, telah mengadaptasi jet bisnis Falcon 8X untuk misi semacam itu. Boeing juga menawarkan P-8A Poseidon.

“Kami telah mengenalkan P-1 pada negara-negara lain dengan dukungan Kementerian Pertahanan Jepang. Meski demikian, kami tidak dapat membahas kasus satu per satu,” ungkap juru bicara Kawasaki Heavy.

Juru bicara Kementerian Pertahanan Jepang di Tokyo menjelaskan, pihaknya melihat beberapa cara untuk bekerja sama dengan Prancis dan Jerman dalam teknologi pertahanan setelah menandatangani kesepakatan kerja sama terpisah. Meski demikian, juru bicara itu menambahkan, “Kami tidak membahas tujuan pengembangan bersama dan tidak berencana mengonsep proyek tiga pihak.”

Jerman ingin menggantikan armada pesawat pengintai maritim yang telah tua demi merespon peningkatan patroli maritim Rusia ke level yang belum pernah ada sejak akhir Perang Dingin. Kementerian Pertahanan Jerman dan Prancis akan menandatangani dokumen saat Berlin Airshow pekan ini untuk mengeksplorasi pengembangan bersama pesawat pengintai maritim baru.

Juru bicara Kementerian Pertahanan Jerman menolak berkomentar tentang diskusi itu. “Jerman dan Prancis mempertimbangkan banyak kemungkinan untuk memperluas kerja sama yang ada antara militer dua negara,” ujarnya.

Dua negara sedang mengeksplorasi beberapa kesepakatan bersama atau proyek pengembangan bersama, termasuk jet tempur baru dan drone militer. 






Credit  sindonews.com




Pentagon Remehkan Klaim Suriah 'Tangkap' Rudal Tomahawk


Pentagon Remehkan Klaim Suriah Tangkap Rudal Tomahawk
Kompleks kantor Pentagon atau Departemen Pertahanan Amerika Serikat. Foto/REUTERS


WASHINGTON - Departemen Pertahanan Amerika Serikat (AS) atau Pentagon meremehkan klaim militer Rusia bahwa pasukan Suriah memperoleh beberapa rudal jelajah yang nyaris utuh saat agresi singkat 14 April lalu. Beberapa senjata itu salah satunya, rudal jelajah Tomahawk.

Juru bicara Pentagon Eric Pahon kepada Sputnik hari Rabu mengatakan, AS tidak melihat bukti soal klaim tersebut.

"Atas klaim pihak Rusia yang memiliki Tomahawk yang 'utuh', kami tidak melihat bukti yang dapat diverifikasi, selain pernyataan yang dibuat untuk media milik negara Rusia," kata Pahon. "Jika klaim seperti itu benar, kami pasti akan melihat buktinya sekarang," ujar Pahon, yang dilansir Kamis (26/4/2018).



Sebelumnya pada Rabu, Kepala Direktoral Operasional Staf Umum Militer Rusia, Sergey Rudskoy mengumumkan bahwa ahli Moskow sedang memeriksa rudal dari koalisi pimpinan AS yang "ditangkap" di Suriah, termasuk rudal jelajah Tomahawk, yang telah diserahkan kepada militer Rusia. Dalam pengumuman tersebut, pihaknya merilis beberapa foto rudal jelajah Barat yang diperoleh nyaris utuh.

Pahon mengatakan Rusia menggunakan kampanye disinformasi untuk mengalihkan perhatian dari keterlibatan moral dalam mendukung pemerintah Presiden Suriah Bashar Assad. "Dan kekejaman rezim serta pembantaian sipil di Suriah barat," ujarnya.

Pahon menganggap klaim tersebut hanya modus operandi dari mesin propaganda Rusia. Menurutnya, Rusia telah membuang-buang waktunya dengan melakukan analisis serangan oleh Amerika Serikat dan sekutu-sekutunya pada pertengahan April lalu.

Dia mendesak Moskow untuk fokus pada upaya yang memungkinkan pengiriman bantuan kemanusiaan serta mendorong Assad ke jalur penyelesaian konflik Suriah secara damai.

Seperti diketahui, pada 14 April, Amerika Serikat, Prancis, dan Inggris melakukan serangan ratusan rudal terhap Suriah dengan dalih membalas serangan senjata kimia di kota Douma. Barat menuduh serangan senjata kimi dilakukan rezim Assad, namun Suriah dan Moskow membantah tuduhan tersebut. 





Credit  sindonews.com





Pembunuhan Ilmuwan Palestina di Malaysia Direncanakan 4 Bulan


Pembunuhan Ilmuwan Palestina di Malaysia Direncanakan 4 Bulan
Polisi Diraja Malaysia merilis foto salah satu tersangka pembunuh ilmuwan Palestina Dr Fadi al-Batsh. Foto/Al Jazeera


KUALA LUMPUR - Pembunuhan terhadap ilmuawan Palestina yang juga ahli roket Hamas, Dr Fadi al-Batsh, di Kuala Lumpur, Malaysia, sudah direncanakan setidaknya dalam empat bulan. Hal itu diungkap Kepolisian Diraja Malaysia.

Menurutu polisi, salah satu dari dua tersangka pembunuh al-Batsh telah berada di Malaysia sejak akhir Januari 2018. "Kami berhasil mendapatkan gambar tersangka berdasarkan keterangan saksi mata," kata Kepala Polisi Diraja Malaysia Jenderal Polisi Tan Sri Mohamad Fuzi Harun.

"Kami percaya dia menggunakan dokumen identitas palsu untuk masuk ke negara ini," lanjut Mohamad Fuzi, yang dikutip The Star, Kamis (26/4/2018).

"Dia mungkin mengubah penampilannya tapi setidaknya kita punya fotonya. Kami berharap masyarakat dapat membantu kami melacak tersangka," ujar Mohamad Fuzi.

Al-Batsh ditembak mati saat hendak pergi ke sebuah masjid di Kuala Lumpur untuk salat Subuh pada Sabtu pekan lalu. Menurut rekaman CCTV di sekitar lokasi kejadian, dua tersangka beraksi dengan menaiki sepeda motor.

Keluarga al-Batsh menuduh agen Mossad Israel sebagai pelaku. Sedangkan Hamas menyalahkan Israel. Namun, Tel Aviv membantah terlibat dalam pembunuhan ilmuwan muda Palestina tersebut.

Meskipun pembunuhan sudah berselang lima hari, polisi Malaysia meyakini para tersangka masih berada di negara tersebut. "Kami telah memperketat keamanan di sepanjang perbatasan nasional kami," ujar Mohamad Fuzi.

"Kami juga bekerja dengan lembaga penegak hukum lainnya, termasuk Departemen Imigrasi, untuk memperketat jaringan di sekitar tersangka," imbuh dia.

Ditanya apakah para tersangka adalah agen asing, Mohamad Fuzi mengatakan dia tidak bisa mengonfirmasi atau membantahnya.

“Kami masih menyelidiki. Namun, kami percaya mereka sangat terlatih karena serangan itu dilakukan secara profesional," katanya, yang menambahkan bahwa 14 peluru dikumpulkan dari lokasi kejadian.

Sementara itu, istri korban, Enas al-Batsh, 31, mengatakan dia dan tiga anaknya yang masih kecil akan kembali ke tanah air mereka di Palestina untuk selamanya. Tapi, dia bertekad melanjutkan studi PhD-nya.

Enas menggambarkan almarhum suaminya sebagai seorang pria yang bersemangat tentang pendidikan.

"Saya ingat suami saya berkata, 'Anda telah bersabar menunggu saya untuk menyelesaikan PhD saya, dan saya akan menunggu Anda untuk melanjutkan tugas Anda'," katanya mengingat ucapan korban saat masih hidup. 


Berbicara melalui penerjemah, Enas mengatakan dia telah mendaftar untuk program PhD dengan Fakultas Pendidikan University of Malaya, dan akan melanjutkan studinya secara online.



Credit  sindonews.com


Yordania Akan Cabut Status Kewarganegaraan Mahmoud Abbas



https: img-k.okeinfo.net content 2018 04 25 18 1891437 yordania-akan-cabut-status-kewarganegaraan-mahmoud-abbas-vPxhddKtVM.JPG
Presiden Otoritas Palestina Mahmoud Abbas (Foto: Mohamad Torokman/Reuters)


AMMAN – Kerajaan Yordania dilaporkan memulai proses pencabutan kewarganegaraan terhadap sekira 30 orang pejabat Otoritas Palestina (PA) dan pejabat faksi Fatah beserta anggota keluarganya. Salah satu yang akan terkena dampaknya adalah Presiden PA, Mahmoud Abbas.
Selain Abbas, Yordania juga akan mencabut kewarganegaraan kepala negosiator Palestina, Saeb Erekat, dan Ahmed Qurei (Abu Ala). Otoritas Yordania akan megubah pemberian visa kepada para pejabat Palestina sehingga hanya akan mendapat izin masuk kunjungan sementara.

Melansir dari Jerusalem Post, Kamis (26/4/2018), banyak dari pejabat senior PA dan pejabat faksi Fatah, termasuk Abbas dan kedua putranya, yang diberikan kewarganegaraan Yordania lebih dari 10 tahun lalu. Mereka menerima paspor Yordania meski di saat bersamaan Amman mencabut kewarganegaraan ribuan warga sipil Palestina.
Presiden Palestina Mahmoud Abbas
Yordania saat itu beralasan bahwa pencabutan dilakukan demi ‘konsolidasi’ identitas Palestina ribuan orang tersebut. Dengan populasi mencapai 9,5 juta orang, di mana 2 juta di antaranya adalah pengungsi Palestina, Yordania sendiri menganggap kehadiran mereka sebagai ancaman demografi.
Pencabutan itu pertama kali diungkapkan oleh harian berbahasa Arab yang berbasis di London, Inggris, Railyoum. Menurut artikel dari Al Quds al Arabi pada 2011, para pemimpin Palestina itu mengajukan sendiri status kewarganegaraan Palestina satu dekade lalu.
“Mereka mengajukan sendiri status kewarganegaraan, bukan ditawarkan oleh Yordania, dan seharusnya malu kepada para pejabat senior Yordania atas permintaan tersebut. Yordania tidak bisa menolak permintaan saat itu atas dasar kemurahan hati,” tulis Al Quds al Arabi.

Namun, belum diketahui alasan pencabutan status kewarganegaraan tersebut. Pemerintah Yordania juga enggan berkomentar mengenai laporan dari Railyoum.        






Credit  okezone.com




Mumi Reza Shah, Pendiri Dinasti Pahlavi di Iran, Ditemukan Kembali



Mumi Reza Shah, Pendiri Dinasti Pahlavi di Iran, Ditemukan Kembali
Mumi yang diyakini Reza Shah (kiri) and jenazah Reza Shah (kanan) (TASNIM)


Teheran - Mumi yang ditemukan di dekat ibu kota Iran, Teheran, "sangat mungkin" adalah ayah dari raja terakhir Iran, kata keluarganya.
Mumi itu ditemukan Senin lalu saat dilakukan pembangunan di tempat suci Shahr-e Ray, di sebelah selatan Teheran.
Makamnya, yang juga berada di Shahr-e Ray, dihancurkan setelah revolusi Islam Iran tahun 1979 namun jenazahnya tidak pernah ditemukan.

Cucunya, Reza Pahlavi -yang merupakan tokoh oposisi Iran yang tinggal di Amerika Serikat- mengatakan jenazah itu 'amat mungkin' merupakan Reza Shah.
Lewat pesan Twitter, Reza mendesak pihak berwenang Iran untuk mengizinkan para ahli medis yang dipercaya oleh keluarga untuk mendapat akses ke jenazah itu dan memberi pemakaman yang sepatutnya di Iran.
"Kalaupun bukan sebagai bapak dari Iran modern atau sebagai Raja, namun sebagai seorang serdadu dan pengabdi negara serta rakyatnya, Reza Shah harus mendapat makam yang dikenal di sebuah lokasi yang diketahui oleh seluruh rakyat Iran."
Reza Shah, Iran
Reza Shah adalah pendiri dinasti Pahlavi yang memerintah Iran selama 50 tahun lebih mulai tahun 1925. (Getty Images)

Reza Pahlavi juga membantah laporan-laporan yang menyebutkan keluarga Pahlavi sudah memindahkan jenazah Reza Shah.
Kepala Komite Warisan Budatya Teheran mengatakan kepada kantor berita semi-pemerintah ISNA, Senin (24/04), bahwa 'kemungkinan' bahwa jenazah itu merupakan mantan pemimpin walau beberapa media di Iran mempertanyakan.
Tidak jelas di mana sekarang jenazah tersebut.
Siapakah Reza Shah?
Sebagai pemimpin militer yang melancarkan kudeta tahun 1921, Reza Shah adalah pendiri dinasti Pahlavi yang memerintah Iran selama 50 tahun lebih mulai tahun 1925.
Walau dipuja oleh banyak pihak karena pengaruhnya atas modernisasi Iran, Reza Shah juga dikecam karena menyerang agama dan dugaan melanggar hak asasi manusia.
Dia meninggal dunia di Afrika Selatan tahun 1944, tiga tahun setelah dipaksa untuk menyerahkan takhta kepada putranya oleh pasukan Inggris dan Rusia.
Awalnya dia dimakamkan dan dibalsem di Mesir namun beberapa tahun kemudian jenazahnya dipindahkan ke Iran.
Akan tetapi mausoleum tempat Reza Shah itu dimakamkan dirusak setelah revolusi Islam Iran tahun 1979, yang juga menggulingkan putranya penerus kekuasaan, Mohammad Reza Shah.





Credit  detikNews / Bbc-world /

Mumi Diduga Mendiang Shah Iran, Reza Pahlavi Ditemukan di Teheran 



https: img-k.okeinfo.net content 2018 04 25 18 1891222 mumi-diduga-mendiang-shah-iran-reza-pahlavi-ditemukan-di-teheran-IUJcpNzRyG.jpg
Reza Shah Pahlavi saat penobatannya.

TEHERAN – Jasad mendiang Pemimpin Iran Reza Shah Pahlavi yang dimumifikasi telah ditemukan dalam sebuah penggalian di sebuah kuil Syiah di selatan Iran.
Pahlavi berkuasa di Iran selama Perang Dunia II sebelum digantikan oleh putranya, Shah Iran terakhir, Mohammad Reza Pahlavi pada 1941. Reza Shah Pahlavi meninggal dunia pada 1944 dan dimakamkan di sebuah mausoleum yang kemudian dihancurkan oleh Pemerintah Revolusi Iran. Jasad Reza Shah Pahlavi tidak pernah ditemukan di dalam puing-puing mausoleum dan hilang selama beberapa dekade.

Kepala Komite Pariwisata dan Peninggalan Budaya Dewan Kota Teheran , Hassan Khalilabadi mengatakan kepada kantor berita IRNA bahwa ada kemungkinan jasad yang ditemukan di Kuil Syiah Abdul Azim adalah jasad Reza Pahlavi. Pihak berwenang mengatakan, mereka akan melakukan tes DNA untuk mengonfirmasi bahwa jasad tersebut memang jasad Pahlavi.
Keturunan Shah Iran, cucu Reza Pahlavi mengatakan bahwa dia mengikuti dengan seksama laporan mengenai penemuan tersebut. Dia juga mengingatkan Pemerintah Iran untuk transparan dalam menangani jasad tersebut.
Namun, juru bicara dari Kuil Shah Abdol Azim mengatakan bahwa jasad yang ditemukan bukanlah jasad Pahlavi.
"Semua rumor di media sosial yang mengklaim tubuh mumi ini milik Reza Shah salah dan tidak memiliki kebenaran apa pun," ujarnya sebagaimana dilansir RT, Rabu (25/4/2018).

Pahlavi mengambil alih kekuasaan Iran pada 1920 sebelum dipaksa melepaskan tahta untuk putranya pada 1941. Pahlavi yang lebih muda kemudian mengonsolidasikan kekuasaannya dalam kudeta yang didukung Amerika Serikat untuk menggulingkan pemerintahan Perdana Menteri Mohammad Mosaddegh yang terpilih secara demokratis pada 1953.

Para anggota dinasti Pahlavi telah menjadi tokoh kultus di Iran setelah sejumlah protes anti-rezim digelar dalam beberapa tahun terakhir. Pada 2017, para demonstran dilaporkan mendengar slogan-slogan berteriak mendukung "Reza Shah" selama protes yang meluas untuk menentang para pemimpin ulama Iran.          




Credit  okezone.com




Suriah Peroleh Rudal Tomahawk saat Serangan, Bisa Permalukan AS



Suriah Peroleh Rudal Tomahawk saat Serangan, Bisa Permalukan AS
Kementerian Pertahanan Rusia pamerkan foto rudal Tomahawk Amerika Serikat (AS) dan kepingan rudal lain yang diperoleh pasukan Suriah saat agresi. Foto/REUTERS/Igor Ermachenkov


MOSKOW - Rusia memamerkan beberapa foto peluru kendali (peluru) termasuk Tomahawk nyaris utuh yang diklaim diperoleh pasukan Suriah saat serangan Amerika Serikat (AS) dan sekutunya pada 14 April lalu.

Analis keamanan berpendapat, Rusia dan Suriah bisa untung besar untuk mempermalukan AS karena bisa mempelajari rudal Tomahawak yang diperoleh.

Beberapa foto peluru kendali canggih yang nyaris utuh itu dipamerkan Kementerian Pertahanan Rusia pada hari Rabu. Selain foto Tomahawk, ada satu lagi rudal jelajah canggih yang tidak disebutkan namanya.

Kementerian tersebut mengatakan, pihaknya berencana untuk mempelajari kedua rudal jelajah tersebut untuk lebih meningkatkan kemampuan sistem pertahanan udara Rusia. Tak dijelaskan bagaimana rudal-rudal canggih Barat itu bisa diperoleh pasukan Suriah saat serangan beberapa waktu lalu.

Tindakan kementerian itu mamamerkan foto-foto rudal jelajah AS dan sekutunya yang "ditangkap" pasukan Suriah juga untuk menepis klaim Presiden AS Donald Trump dan berbagai pejabat militer AS yang menyombongkan bahwa total 105 rudal yang ditembakkan ke Suriah mencapai target.

Moskow menegaskan, hanya ada 25 serangan rudal yang berhasil selama agresi singkat beberapa pekan lalu. Sedangkan sebagian besar ditumbangkan oleh sistem pertahanan udara Suriah atau memang tidak berfungsi.

Charles Shoebridge, analis keamanan dan mantan perwira militer Inggris, mengtakan agresi AS, Inggris dan Prancis sebenarnya berisiko mengobarkan senjata canggih Barat kepada Rusia. Sebab, kata dia, serangan itu tidak memberikan manfaat nyata di lapangan.

"Akan menjadi sumber keprihatinan besar bagi pihak Amerika, Inggris dan Prancis," kata Shoebridge kepada Russia Today, yang dilansir Kamis (26/4/2018).

"Tidak banyak manfaat nyata di lapangan, mengingat bahwa ini adalah sasaran sipil atau sebagian besar area kosong yang terkena, sementara Rusia telah memperoleh pengetahuan teknis tentang sistem senjata yang sebenarnya dikorbankan oleh tiga kekuatan ini," ujarnya.

Shoebridge menunjukkan bahwa klaim Amerika tentang akurasi pemboman 100 persen kemungkinan besar tidak realistis. "Dengan sejumlah besar senjata yang ditembakkan dan tembakan anti-pesawat diarahkan pada mereka, Anda akan mengharapkan, setidaknya, sebagian kecil dari mereka (rudal-rudal AS dan sekutu) tidak lolos," katanya.

Analis ini memilih berhenti mendukung klaim Rusia maupun AS soal efeketvitas agresi singkat di Suriah."Beberapa tokoh di antara...mungkin kebenaran, mungkin bohong," ujarnya.

"Bahkan dari serangan yang sukses, Anda akan menemukan beberapa fragmen dari senjata yang digunakan, tetapi biasanya tidak dalam ukuran yang kami bicarakan di sini," ujar Shoebridge. "Tapi yang pasti keberadaan fragmen seperti ini bisa menunjukkan fakta bahwa beberapa rudal tidak berfungsi, ditembak jatuh atau hanya mendarat di tempat yang salah."

Ketika ditanya tentang kemungkinan reaksi AS terhadap diperolehnya rudal jelajah Tomhawak oleh pasukan Suriah, dia mengatakan bahwa itu akan ditangani secara publik. "Cara itu biasanya ditangani, yang entah akan diabaikan atau think tank dan yang disebut para ahli akan diberi tugas untuk mengejek laporan Rusia ini," paparnya.  

Juru bicara Pentagon Eric Pahon mengatakan, pernyataan Kementerian Pertahanan Rusia "tidak masuk akal"."(Itu) contoh lain dari kampanye disinformasi Rusia," katanya.

Justin Bronk, ahli tempur udara di Royal United Services Institute mengatakan kepada Business Insider bahwa Rusia dan Suriah kemungkinan hanya memiliki potongan Tomahawk yang diledakkan. Menurutnya, potongan senjata itu tidak akan berguna banyak.

"Saya tidak tahu apakah Rusia atau Suriah telah 'menangkap' Tomahawk, meskipun saya yakin mereka memiliki banyak potongan untuk dipelajari dari senjata yang mencapai targetnya," kata Bronk.

Menurutnya, tak seperti bidang teknologi lainnya di mana Rusia tertinggal jauh di belakang AS, rudal jelajah Rusia sebenarnya cukup mumpuni. Moskow telah menggunakan rudal jelajah yang ditembakkan dari kapal angkatan laut dan kapal selam untuk menyerang sasaran di Suriah sebelumnya, dan mereka menunjukkan kisaran dan kemampuan yang sama dalam melakukannya.

"Rudal-rudal jelajah itu tidak persis daerah di mana Moskow sangat membutuhkan akses ke teknologi Barat," kata Bronk. "Meskipun Rusia akan akan senang untuk memeriksa Block 4 Tomahawk utuh untuk memiliki sensor dan paket panduan yang tetap," ujarnya.

"Klaim Rusia adalah mungkin hanya berpura-pura dalam kasus ini untuk mencoba dan mempermalukan AS," imbuh dia.





Credit  sindonews.com



Prancis Pernah Minta AS Tidak Mengebom Pabrik Semennya di Suriah



Prancis Pernah Minta AS Tidak Mengebom Pabrik Semennya di Suriah
Prancis pernah meminta AS untuk tidak mengebom pabrik semennya di Suriah. Foto/Istimewa


PARIS - Prancis ternyata pernah meminta Amerika Serikat (AS) untuk tidak mengebom pabrik semen Lafarge di Suriah utara yang saat itu dikuasai oleh ISIS. Demikian bunyi email yang merupakan bagian dari penyelidikan atas operasi perusahaan semen Prancis itu di Suriah.

Kejaksaan Prancis tahun lalu meluncurkan penyelidikan atas dugaan "perusahaan membiayai kelompok teroris" oleh perusahaan semen di Suriah. Perusahaan mengakui tahun lalu bahwa mereka telah membayar kelompok-kelompok bersenjata untuk menjaga pabrik beroperasi.

"Investasi Perancis ini harus dilindungi," utusan Suriah Perancis, Franck Gellet, yang berbasis di Paris, mengatakan dalam email 19 September 2014 kepada pejabat senior kementerian luar negeri, mengacu pada pabrik Lafarge sekitar 87 km dari Raqqa.

“Tampaknya sah bahwa kami meminta Washington untuk tidak melakukan apa-apa tentang situs ini tanpa memeriksa kami terlebih dahulu,” kata Gellet di email, yang menyertakan koordinat GPS pabrik seperti dikutip dari Reuters, Kamis (26/4/2018).

Email tersebut berada di antara dokumentasi korespondensi yang dikirim oleh Gellet, kepala keamanan Lafarge, Jean-Claude Veillard dan pejabat Prancis lainnya, yang didapatkan oleh Reuters.

Gellet sendiri tidak dapat dihubungi untuk dimintai komentar terkait temuan ini.

Temuan ini datang ketika pemimpin Prancis Emmanuel Macron membahas Suriah dengan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump, menekan rekan Amerika-nya untuk mempertahankan pasukannya di Suriah untuk memastikan ISIS tidak bangkit kembali.

Email lain yang tertanggal 2 Oktober 2014, juga merupakan bagian dari penyelidikan yudisial, menunjukkan bahwa permintaan tersebut telah dikirimkan ke pejabat AS.

"Ini untuk mengonfirmasi bahwa situs yang disebutkan oleh teman bicara Anda disebutkan oleh militer kami kepada rekan-rekan mereka di AS dan sekarang terdaftar dalam daftar yang sesuai," bunyi email yang dikirim ke Gellet.

Lafarge bergabung dengan perusahaan Swiss, Holcim pada 2015 untuk menjadi LafargeHolcim.

Jaksa tahun lalu menempatkan beberapa mantan manajer senior Lafarge dan LafargeHolcim di bawah penyelidikan resmi.

LafargeHolcim sendiri menolak memberikan komentar.

Kementerian Luar Negeri Prancis menolak berkomentar ketika ditanya tentang permintaan itu dan apakah pemerintah menyadari Lafarge membayar kelompok-kelompok bersenjata. 
Sumber diplomatik Prancis mengatakan beberapa diplomat ditanyai sebagai saksi tentang kontak mereka dengan Lafarge pada saat itu.

"Kami memberikan otoritas peradilan semua informasi atau dokumen yang mereka minta kepada kami," kata sumber itu, menambahkan kementerian luar negeri dan para pejabatnya tidak dituduh melakukan kesalahan.

File investigasi menunjukkan Veillard mengatakan kepada hakim bahwa dia secara teratur memberikan informasi kepada dinas intelijen Prancis.

"Segera setelah saya mendapat informasi tentang orang-orang ini, saya akan meneruskannya ke intelijen. Saya mengirimkan mereka informasi mentah," katanya.

Pengacara Veillard menolak berkomentar.

Satu dokumen memerinci transkrip seorang hakim yang meminta Veillard jika dia memberi tahu dinas intelijen tentang pembayaran kepada kelompok bersenjata yang mengendalikan daerah itu.

Dokumen tersebut menunjukkan Veillard menjawab: "Saya tidak menyaring informasi yang saya berikan ke dinas intelijen, saya menceritakan semuanya kepada mereka."

Pengacara hak asasi manusia pada bulan Desember mengatakan Lafarge membayar hampir 13 juta euro untuk kelompok-kelompok bersenjata termasuk militan ISIS untuk tetap beroperasi di Suriah dari 2011 hingga 2015.

Mantan CEO LafargeHolcim, Eric Olsen, mengundurkan diri tahun lalu setelah perusahaan itu mengakui telah membayar kelompok-kelompok bersenjata untuk menjaga pabrik tetap beroperasi.




Credit  sindonews.com



Rusia Klaim Serangan Rudal AS di Suriah Gagal Total


Rusia Klaim Serangan Rudal AS di Suriah Gagal Total
Rusia menyebut serangan rudal besar-besaran yang dilakukan AS dan sekutunya ke Suriah gagal total. Foto/Istimewa
MOSKOW - Kepala Direktorat Operasional Utama Rusia Sergei Rudskoi mengatakan bahwa serangan rudal Amerika Serikat (AS) dan sekutunya terhadap lokasi-lokasi senjata kimia Suriah menemui kegagalan. Menurutnya, rudal-rudal yang diluncurkan AS, Prancis, dan Inggris berhasil dihancurkan oleh sistem pertahanan Suriah.

Rudskoi mengklaim bahwa dua rudal, termasuk Tomahawk, rudal jelajah Angkatan Laut AS, gagal mencapai target. Rudal-rudal tersebut telah dikirim ke Moskow untuk membantu Rusia meningtkan sistem senjata mereka seperti dikutip dari Business Insider, Kamis (26/4/2018).

Rudskoi juga merevisi kliam awal Rusia yang menembak jatuh 71 dari 105 rudal yang ditemkan AS dan sekutunya. Ia menyebut angka 83 rudal berhasil ditembak jatuh, dan hanya 22 yang mencapai target mereka.

Ia juga mengatakan Rusia akan mengirim sistem pertahanan rudal S-300 ke Suriah dalam waktu dekat yang akan memperkuat sistem pertahanan negara itu.

Menanggpi hal itu, petinggi Pentagon Mayor Josh T. Jacques mengatakan, Rusia seharusnya mengirimkan bantuan kemanusiaan ke Suriah bukan persenjataan.

Sementara juru bicara Pentagon, Eric Pahon membantah klaim Rusia atas kegagalan rudal AS dalam serangan ke Suriah dan Rusia mendapatkan rudal yang jatuh.

"Kedua klaim itu sepenuhnya dan sama sekali tidak benar," tegas Pahon.

Pahon mengatakan Rusia belum menghasilkan bukti foto yang kredibel tentang rudal Tomahawk yang jatuh di Suriah.

Omar Lamrani, seorang analis militer di Stratfor, sebuah perusahaan konsultan geopolitik, mengatakan bahwa ia melihat tidak ada bukti apapun bahwa rudal-rudal itu ditembak jatuh atau dikuasai.

Foto-foto dari serangan menunjukkan pertahanan udara Suriah kemungkinan menembak membabi buta tanpa mengenai apa-apa. Pentagon menyatakan bahwa tidak ada rudal Suriah yang mencegat rudal AS atau sekutunya, dan sebagian besar pertahanan udara Suriah ditembakkan setelah serangan itu terjadi.

Pentagon juga mengatakan Suriah menembakkan 40 pencegat rudal, yang berarti hampir tidak mungkin 71 rudal jatuh, karena dibutuhkan setidaknya satu pencegat untuk menembak jatuh misil.

Justin Bronk, ahli tempur udara di Royal United Services Institute, mengatakan dia meragukan klaim Rusia. "Pernyataan itu mungkin hanya berpura-pura dalam kasus ini untuk mencoba dan mempermalukan AS," imbuhnya. 



Credit  sindonews.com