Menlu Retno Marsudi menyebut ada kejanggalan dalam kasus dugaan penyelundupan senjata di Sudan. (CNN Indonesia/Safir Makki)
Jakarta, CB --
Menteri Luar Negeri Retno Marsudi mengatakan
dirinya gencar berkomunikasi dengan sejumlah pihak demi mendapatkan
akses masuk bantuan hukum dari Indonesia untuk pasukan perdamaian
Indonesia yang ditahan di Al-Fashir, Sudan. Alasannya,
ia menemukan sejumlah kejanggalan atas dugaan penyelundupan senjata
yang dituduhkan. Namun, ia enggan menyebutkan kejanggalan itu.
Menurutnya, informasi itu akan diverifikasi dulu. "Kami
menekankan secepat mungkin agar cepat bertemu dengan kontingen kita
karena ada beberapa kejanggalan," kata Retno di Kompleks Istana
Kepresidenan, Rabu (25/1).
Ia mengatakan, proses normal perizinan masuk daerah Al- Fashir
memerlukan waktu sekitar seminggu. Retno menyatakan, ia sudah meminta
bantuan pemerintah dan otoritas Sudan untuk memberi izin masuk bantuan
hukum Indonesia. Namun, langkah itu
dirasa belum cukup. Sehingga, Retno menuturkan, ia akan berkomunikasi
dengan Dubes Sudan di Jakarta dan Menteri Luar Negeri Sudan demi
mempercepat keluarnya izin masuk bantuan hukum ke Sudan. Sebelumnya,
Menko Polhukam Wiranto juga menyatakan, tuduhan penyelundupan senjata
terhadap pasukan perdamaian Indonesia tidak lazim. Sejumlah kejanggalan
dinilai terjadi dalam perkara ini, seperti munculnya peti berisikan
senjata dengan tag berbeda dari kepunyaan Indonesia.
Hal serupa
disampaikan Kapolri Jenderal Tito Karnavian. Ia mengatakan, tim
investigasi akan dikirimkan ke Sudan malam ini. Tim nantinya
berkoordinasi dengan PBB, pemerintah, dan otoritas setempat.
Credit
CNN Indonesia
Kompolnas: Polri Tak Terlibat Penyelundupan Senjata di Sudan
Satgas Garuda Bhayangkara II–Formed
Police Unit 8 memperagakan yel saat mengikuti upacara pemberangkatan ke
Sudan, di Rupatama Mabes Polri, Jakarta, Kamis (17/12) tahun lalu.
(ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja)
Jakarta, CB
--
Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) meyakini
anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) tak terlibat dalam
upaya penyelundupan sejumlah senjata dan amunisi saat bertugas menjaga
perdamaian di Sudan.
Komisioner Kompolnas Poengky Indarti mengatakan, pihaknya baru
saja menyelesaikan supervisi terhadap pasukan Polri yang tergabung dalam
Garuda Bhayangkara II –
Formed Police Unit (FPU) 8 di El Fasher, Darfur, Sudan, bulan lalu.
Menurutnya,
Kompolnas menemukan fakta bahwa tidak ada personel Polri yang
ditangkap. Poengky mengatakan, yang terjadi hanya penundaan kepulangan
dalam rangka membantu Misi Perdamaian PBB di Darfur (
United Nations Missions in Darfur-UNAMID), PBB, dan Pemerintah Sudan.
Barang-barang yang berisi senjata ilegal tersebut bukan milik Polri ataupun pasukan FPU 8.
"Senjata
itu tidak menggunakan label atau tanda identitas pasukan FPU 8, bahkan
tidak ada dalam manifes barang pasukan FPU 8," kata Poengky dalam
keterangan tertulis yang diterima
CNNIndonesia.com, Selasa (24/1).
Poengky
menambahkan, Kompolnas mendukung seluruh pihak agar objektif,
profesional, bertanggung jawab, akuntabel, dan transparan mengungkap
kasus tersebut.
Poengky mengatakan, Kompolnas merekomendasikan
pemerintah Indonesia dan Polri agar memberikan pendampingan dan
asistensi kepada pasukan FPU 8, baik dalam bentuk pendampingan bahasa,
konseling, serta hukum.
Ia juga mengusulkan kepada Polri untuk
turut serta membantu kepolisian Sudan dan UNAMID dengan menyediakan
bantuan sumber daya manusia serta sarana dan prasarana untuk melakukan
investigasi ilmiah (
scientific investigation).
"Kompolnas
menunggu hasil investigasi menyeluruh dari permasalahan tersebut, untuk
itu Kompolnas mendukung semua investigasi yang dilakukan oleh
Government of Sudan, UNAMID dan UN Headquarter," tutur Poengky.
Pasukan
Indonesia sebelumnya dikabarkan telah ditahan saat hendak pulang usai
menyelesaikan operasi di Sudan. Mereka diduga berupaya menyelundupkan
sejumlah senjata dan amunisi yang terdiri dari 29 senapan Kalashnikov,
empat buah senjata api, enam buah GM3, dan 61 jenis senjata lain.
Atas
kejadian ini, pihak PBB segera melakukan investigasi setelah memperoleh
informasi penahanan itu. Tim Polri juga dikabarkan segera bertolak ke
Sudan untuk memberikan bantuan hukum dan mencari kejelasan dari
permasalahan tersebut.
Di Sudan, terdapat dua misi perdamaian di bawah bendera PBB, yaitu UNAMID dan FPU.
UNAMID
mengerahkan pasukan ke Darfur sejak Desember 2007 silam untuk membantu
menghentikan kekerasan yang menargetkan warga sipil di Sudan bagian
Barat.
UNAMID merupakan salah satu pasukan penjaga perdamaian
internasional terbesar. Anggaran tahunan mereka mencapai sekitar US$1,35
miliar. Pada 2012, Dewan Keamanan PBB memutuskan untuk menurunkan
kekuatan komponen militer dan polisi dengan total personel 23 ribu
orang.
Credit
CNN Indonesia
Polri Sebut Salah Paham soal Senjata Selundupan di Sudan
Sebanyak 140 personel Kepolisian
Negara Republik Indonesja (Polri) yang tergabung dalam pasukan Garuda
Bhayangkara II Kontingen Formed Police Unit (FPU) IX resmi
diberangkatkan ke Darfur, Sudan. (CNN Indonesia/Martahan Sohuturon)
Jakarta, CB
--
Sebanyak 139 anggota Kepolisian RI ditahan di Sudan.
Mereka dituding berupaya menyelundupkan senjata ketika hendak pulang ke
Indonesia. Mabes Polri menduga ada kesalahpahaman atas kejadian itu dan
segera membantah tuduhan tersebut.
Kepala Bagian Penerangan Umum
Divisi Humas Polri Kombes Martinus Sitompul membenarkan anggotanya
ditahan otoritas hukum Sudan. Mereka adalah pasukan perdamaian PBB yang
tergabung dalam
Formed Police Unit (FPU) 8. Tugas mereka selesai sejak akhir Desember 2016.
"Ada
tuduhan kepada FPU 8 ingin menyelundupkan senjata. Menurut Komandan
Satgas FPU 8, AKBP Jhon Huntalhutajulu, itu bukan milik mereka," kata
Martinus di Mabes Polri, Jakarta, Senin (23/1).
Dia mengatakan, Polri akan mengirim personel ke Sudan untuk mendalami
kasus ini. Pihaknya akan berkomunikasi dengan otoritas hukum setempat.
Kedubes RI di Sudan juga akan membantu memulangkan para personel Polri.
Martinus
meluruskan informasi terkait penangkapan sejumlah pasukan Indonesia di
Sudan, lantaran diduga menyelundupkan senjata. Dia menyebut ratusan
anggota Polri itu bukan ditangkap, melainkan tertahan sementara.
"Saya tegaskan, mereka bukan ditangkap tapi tertahan kepulangannya," kata Martinus.
Saat ini mereka tinggal sementara di
Transit Camp. Sedangkan
Garuda Camp yang sebelumnya mereka tempati telah diisi oleh pasukan FPU 9 yang baru tiba dari Indonesia.
Kronologi KejadianMartinus
menjelaskan kronologi kepulangan FPU 8 hingga muncul tudingan
penyelundupan senjata. Setelah menyelesaikan misi perdamaian di Sudan,
seluruh anggota tim FPU 8 mulai bersiap kembali ke Indonesia pada 15
Januari 2017.
Sabtu, 21 Januari 2017, semua barang milik pasukan
telah dikemas dan dibawa dalam dua kontainer dari Garuda Camp ke
Bandara Al Fashir, Sudan. Dua kontainer itu dikawal 40 personel Polri.
Sesuai rencana, pada hari itu ada serah terima pasukan FPU 8 dan 9 di
Sudan.
"Pada Sabtu pagi, mereka sudah dilakukan pengecekan oleh
Unamid. Barang-barang sudah dicek, diteliti dan dimasukkan ke kontainer,
lalu ke Bandara," katanya.
Setelah tiga jam perjalanan,
kontainer tiba di bandara. Begitu pun dengan anggota Polri yang
tergabung dalam tim FPU 8. Para pengawal kontainer ikut menurunkan
barang. Seperti biasa, semua barang bawaan diperiksa dengan mesin x-ray
sebelum masuk ke bandara.
"Lewat semua (dari mesin x-ray).
Barang-barang disusun jadi satu semuanya. Tapi 10 meter dari tumpukan,
ada tumpukan lain," kata Martinus.
Seorang petugas bandara
kemudian bertanya kepada personel Polri perihal barang yang letaknya
dekat dengan koper-koper milik anggota Polri.
"Ini Indonesia
punya? Dijawab bukan. Ditanya lagi, dijawab bukan. Sampai tiga kali
bertanya, memang bukan karena kopernya berbeda tidak ada label
Indonesia, warnanya berbeda," katanya.
Ilustrasi prajurit wanita dari Trimatra TNI mengikuti misi perdamaian PBB. (Antara Foto/Indrianto Eko Suwarso)
|
Seorang petugas lainnya kemudian memasukkan koper mencurigakan tersebut
ke mesin x-ray. Barulah diketahui koper yang dipertanyakan itu ternyata
berisi senjata.
"Kopernya kan sama, kalau berangkat kayak jemaah
haji. Dipastikan itu bukan berasal dari pasukan Indonesia menurut
komandan satgas FPU 8," kata Martinus.
Sebelumnya, pasukan
Indonesia dikabarkan telah ditahan saat hendak pulang usai menyelesaikan
operasi di Sudan. Mereka diduga berupaya menyelundupkan sejumlah
senjata dan amunisi yang terdiri dari 29 senapan Kalashnikov, empat buah
GM3, dan 61 jenis senjata lain.
Atas kejadian ini, pihak PBB
segera melakukan investigasi setelah memperoleh informasi penahanan ini.
Tim Polri juga dikabarkan segera bertolak ke Sudan untuk memberikan
bantuan hukum dan mencari kejelasan dari permasalahan ini.
Di Sudan, terdapat dua misi perdamaian di bawah bendera PBB, yaitu
United Nations Missions in Darfur (Unamid) dan
Formed Police Unit (FPU).
Unamid
mengerahkan pasukan ke Darfur sejak Desember 2007 silam untuk membantu
menghentikan kekerasan yang menargetkan warga sipil di Sudan bagian
Barat.
Unamid merupakan salah satu pasukan penjaga perdamaian
internasional terbesar. Anggaran tahunan mereka mencapai sekitar US$1,35
miliar. Pada 2012, Dewan Keamanan PBB memutuskan untuk menurunkan
kekuatan komponen militer dan polisi dengan total personel 23 ribu
orang.
Credit
CNN Indonesia
TNI Bantah Terlibat Penyelundupan Senjata di Sudan
Ilustrasi prajurit TNI ikut misi perdamaian PBB. (ANTARA FOTO/Indrianto Eko Suwarso)
Jakarta, CB
--
Kepala Pusat Penerangan Mabes TNI Mayor Jenderal
Wuryanto membenarkan kabar penangkapan sejumlah pasukan Indonesia yang
tergabung dalam Misi Perdamaian PBB di Darfur, Sudan. Namun Wuryanto
membantah ada anggota TNI yang ikut ditangkap dalam upaya penyelundupan
senjata di Sudan.
"Kejadian tersebut benar, pada saat pemeriksaan
ditemukan beberapa senjata dan amunisi, tapi sekali lagi tidak ada
keterlibatan anggota satgas United Nations Mission in Darfur (Unamid).
Silakan konfirmasi ke pihak terkait dalam penugasan ini," kata Wuryanto
saat memberikan keterangan pers di Mabes TNI, Cilangkap, Jakarta Timur,
Senin (23/1).
Dia memastikan kabar tersebut setelah mengecek
langsung ke beberapa pejabat yang berwenang dalam penugasan itu. Tiga
pejabat yang dikonfirmasi di antaranya adalah Komandan Pusat Misi
Pemeliharaan Perdamaian (PMPP) TNI Brigadir Jenderal Marzuki yang berada
di New York, Komandan Sektor Unamid Brigadir Jenderal Nur Alamsyah di
Sudan, serta Komandan Satgas Batalyon Komposit TNI Kontingan
Garuda XXXV-B Unamid di Dafur Letnan Kolonel (Inf) Singgih Pambudi
Arianto.
Sebelumnya beredar kabar terkait anggota misi perdamaian UNAMID yang
ditangkap di Bandara Al Fashir, Sudan, pada 20 Januari lalu. Mereka
mencoba menyelundupkan senjata dan amunisi pada saat akan kembali ke
Indonesia usai menyelesaikan tugas.
Wuryanto menyampaikan, saat ini satgas UNAMID masih berada di Sudan. Mereka akan kembali ke Indonesia pada Maret mendatang.
"Yang
jelas satgas kontingen garuda XXXV-B di Sudan. Saat ini masih
melaksanakan penugasan sampai Maret. Peristiwa terjadi saat pemulangan
satgas yang lain karena selesai melaksanakan tugas," katanya.
Kementerian
Luar Negeri RI juga membenarkan informasi penangkapan sejumlah pasukan
Indonesia yang tergabung dalam Unamid di Sudan, lantaran diduga
menyelundupkan senjata pada Jumat pekan lalu.
"Kami sudah mendapatkan laporan mengenai ini. Duta Besar RI di Khartoum
juga sudah di lokasi memberikan pendampingan kepada pasukan polisi
Indonesia tersebut," ujar juru bicara Kemlu RI, Arrmanatha Nasir ketika
dikonfirmasi
CNNIndonesia.com hari ini.
Diberitakan
Sudanese Media Center,
pasukan Indonesia itu ditahan saat hendak pulang setelah menyelesaikan
operasi di Sudan. Mereka diduga berupaya menyelundupkan sejumlah senjata
dan amunisi yang terdiri dari 29 senapan Kalashnikov, empat buah GM3,
dan 61 jenis senjata lain.
Arrmanatha mengatakan, pihak PBB
segera melakukan investigasi setelah mendapatkan informasi mengenai
penangkapan ini. Tim Polri juga dikabarkan segera bertolak ke Sudan
untuk memberikan bantuan hukum dan mencari kejelasan dari permasalahan
ini.
Unamid mengerahkan pasukan ke Darfur sejak Desember 2007
silam untuk membantu menghentikan kekerasan yang menargetkan warga sipil
di Sudan bagian Barat.
Unamid merupakan salah satu pasukan
penjaga perdamaian internasional terbesar. Anggaran tahunan mereka
mencapai sekitar US$1,35 miliar. Pada 2012, Dewan Keamanan PBB
memutuskan untuk menurunkan kekuatan komponen militer dan polisi dengan
total personel 23 ribu orang.
Credit
CNN Indonesia