‘’Khidmad.’’ Itulah kata yang tepat untuk menggambarkan
nuansa yang tercipta ketika mengunjungi kompleks makam Bung Hatta
(lengkapnya Mohammad Athar/Hatta). Ingar-bingar jalan Tanah Kusir yang
sepanjang waktu selalu ramai dan di siang hari hingga malam selalu
macet, tak berpengaruh pada situasi area makam yang berada di tengah
kompleks kuburan rakyat biasa itu.
‘’Bung Hatta berpesan agar
tidak di makamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata. Bila meninggal
beliau ingin dimakamkam di kuburan biasa. Alasannya, agar selalu dekat
dengan rakyat,’’ begitu kalimat penyiar TVRI ketika menyiarkan secara
langsung upacara pemakaman sang proklamator pada awal tahun 1980 (14
Maret 1989). Media massa cetak pun ikut memberitakan wasiat Bung Hatta
ini.
Dan kenangan masa kanak ini melekat kuat, karena pada saat
itu banyak orang tua dan dewasa yang menangis ketika menonton siaran
itu. Di layar televisi hitam putih yang pasokan daya listriknya masih
memakai aki bekas truk itu, terlihat kerumunan masa yang berjajar di
tepi jalanan ibu kota hingga ke arah jalan pemakaman umum ‘Tanah Kusir’
yang saat itu tempatnya bisa dikatakan berada di pinggiran Jakarta.
Selama sepekan Indonesia menyatakan berduka dan bendera dikibarkan
setengah tiang.
Keharuan yang sama pun segera menyergap saat
kemarin sore mendatangi pemakaman itu. Di bandingkan dengan suasana
pemakaman pasangan proklamatornya, Bung Karno, tak ada keriuhan yang
terdengar di area makam cucu ulama besar 'Nagari Minangkabau', yakni
Syekh Abdurrahman atau Syekh Batu Hampar itu . Tak ada kerumunan
peziarah, atau pasar suvenir yang ramai menjual aneka pernak-pernik
barang kerajinan tangan yang mengesankan mengkultuskannya
Selain
itu tak ada penjagaan yang ketat. Situasi ini jangan dibandingkan dengan
kompleks mausoleum Ho Chi Minh di Hanoi Vietnam atau makam filsuf
sekaligus bapak bangsa Pakistan M Iqbal di Lahore. Di dua makam orang
penting’ penjagaan luar biasa ketat.
Di makam Iqbal yang
lokasinya berada di dalam benteng kuna dan di samping Masjid Badhsahi
peninggalan Kesultanan Mughal India, area makamnya dijaga selama 24 jam
oleh tentara bersenjata dan berseragam lengkap. Yang akan masuk ke makam
harus berbaris dan satu persatu berdoa di pinggir makam. Di atas pusara
Iqbal selalu diletakan seikat kembang. Dan di batu nisan tertulis:
makam pemikir besar maulana M Iqbal.
Tapi hal itu tak ditemui
pada makam Bung Hatta yang bersisian dengan makam sang isteri tercinta,
Ibu Rachmi Hatta. Penjagaan terasa longgar dan pada siang hari kompleks
makam selalu terbuka untuk dikunjungi.
Sedangkan, di atas nisan
hanya tertulis kalimat pendek namanya lengkap dengan gelar haji dan
kesarjanannya. Dan di bawah tulisan itu tertulis kata proklamator dan
wakil presiden Indonesia. Di jendela kaca yang ada di bagian belakang
makam hanya tergores tulisan kaligrafi bergaya kufi.
Pada waktu
kemarin sore (25/5) ada seikat kembang yang ditaruh di atas nisan.
Taburan bunga berwarna merah dan putih juga ikut terlihat di sana. Dan
bila melihat kondisi kelopak bunganya yang masih segar, maka bunga itu
belum terlalu lama ditaburkan.
Tampaknya, pemilihan lokasai
makam di ‘tempat biasa’ atau bukan taman makam pahlawan memang tepat.
Bung Hatta paham kalau makamnya berada di tempat khusus maka rakyat
biasa akan susah menziarahinya.
Kesederhanaan itulah yang
membuat batin 'rakyat biasa' terasa mantap dan khidmat ketika
memanjatkan doa, membacakan Surat Al Fatikhah, maupun sekedar menabur
bunga di atas pusaranya.
Mohamad Hatta bersama Sukarno di Yogyakarta pada 21 Desember 1949. (foto:gahetna.nl)
Ada Apa Dengan Demokrasi Kita?
Hentakkan ingatan soal sosok Bung Hatta kembali menyentak ke benak publik, ketika Senin malam lalu (24/5), di salah satu talks show televisi
Guru Besar Fakultas Hukum UII Yogyakarta, Prof Moh Mahfud MD, kembali
menyitir tulisan Bung Hatta yang berjudul ‘Demokrasi Kita’ yang terbit
pada tahun 1960 dan dimuat pertama kali oleh Majalah Panji Masyarakat.
Mahfud dalam talk show yang
menyoal ‘Kontroversi Pemberian Gelar Pahlawan Kepada Suharto’ itu
kembal menukil tulisan tersebut yang diantaranya menyebut soal frasa
'kudeta' dan 'diktator' yang menjadi ancaman demokrasi saat kekuasaan
negara berubah menjadi otoriter.
Mahfud mengingatkan agar
sejarah dan politik tidak dilihat dalam kaca mata hitam-putih. Apa yang
terjadi di masa lalu hendaknya jadi pelajaran hidup.
‘’Mungkin
banyak yang tidak tahu ketka Bung Karno mengeluarkan dekrit membubarkan
DPR, Badan Konstituante, Bung Hatta menuis buku ‘Demokrasi Kita’. Di
situ Bung Hatta pun mengatakan Bung Karno itu (melakukan,red) kudeta.
Artinya, kalau ada yang mengatakan Suharto melakukan kudeta, maka
sebelumnya pun sama, sebelumnya pun sama,’’ kata Mahfud yang mencoba
menjelaskan asal usul hadirnya rezim otoritarian di Indonesia.
Dan
bila kemudian menukil tulisan Bung Hatta yang saat itu dimuat di
Majalah Panji Masyarakat maka itu memang merupakan kritikan yang keras
atas situasi negara meski dilakukan dengan pilihan kalimat yang santun.
Akibatnya, tak beda dengan era rezim Orde Baru, pada saat itu rezim
Sukarno yang tengah berada pada puncak kekuasaan menjadi gerah, Majalah
Panji Masyarakat pun terkena breidel.
Berikut ini cuplikan dari
tulisan Bung Hatta dalam buku ‘Demokrasi Kita’ yang menyebut soal
‘kudeta’ dan ‘diktator’ seperti yang disebut Mahfud dan ramai
dibincangkan dalam talk show yang digawangi wartawan senior Karni Ilyas itu:
........
Kemudian Presiden Soekarno membubarkan konstituante yang dipilih oleh
rakyat, sebelum pekerjaanya membuat Undang-undang Dasar baru selesai.
Dengan suatu dekrit dinyatakannya berlakunya kembali Undang-undang Dasar
tahun 1945. Sungguhpun tindakan Presiden itu bertentangan dengan
Konstitusi dan merupakan suatu coup d’état (kudeta,red), ia dibenarkan
oleh partai-partai dan suara yang terbanyak didalam Dewan Perwakilan
Rakyat.
Tidak lama sesudah itu Presiden Soekarno melangkah selangkah
lagi, setelah timbul perselisihan dengan Dewan Perwakilan Rakyat tentang
jumlah anggaran belanja. Dengan suatu penetapan Presiden, Dewan
Perwakilan Rakyat dibubarkan dan disusunnya suatu Dewan Perwakilan
Rakyat baru menurut konsepsinya sendiri. Dewan Perwakilan Rakyat baru
itu anggotanya 261 orang, separoh terdiri dari anggota anggota partai
dan separoh lagi dari apa yang disebut golongan fungsionil, yaitu buruh,
tani, pemuda, wanita, alim-ulama, cendekiawan, tentara dan polisi.
Semua anggota ditunjuk oleh Presiden.
Perkembangan politik yang berakhir dengan kekacauan, demokrasi
yang berakhir dengan anarki membuka jalan untuk lawannya diktatur.
Seperti diperingatkan tadi, ini adalah hukum besi dari pada sejarah
dunia. Tetapi sejarah dunia memberi petunjuk pula bahwa diktatur yang
bergantung kepada kewibawaan orang seorang tidak lama umurnya. Sebab itu
pula sistim yang dilahirkan Soekarno itu tidak akan lebih panjang
umurnya dari Soekarno sendiri.
Umur manusia terbatas. Apabila Soekarno sudah tidak ada lagi,
maka sistimnya itu akan rubuh dengan sendirinya seperti satu rumah dari
kartu.....
Akhirnya enam tahun kemudian apa yang ditulis Bung Hatta terbukti....!
Makam Bung Hatta di Tanh Kusir.
Pergi Haji dengan Ongkos Pribadi
Sebagai cucu ulama
besar, Hatta jelas paham mengenai apa yang dimaksud dengan istilah kata
‘wara’ dan ‘zuhud’ itu. Dua istilah ini sangat dikenal di dunia sufi
atau tarikat serta dipakai untuk menyebut sebuah pribadi insan yang
saleh secara pribadi dan soal, tidak tergia-gila gemerlap dunia, dan
hidup sederhana.
Hal ini biasanya merujuk kepada kehidupan Nabi Muhammad SAW yang jauh
dari suasana gemerlap. Rumah nabi di Madinah hanya berukuran 3X4
(seluar kamar kontrakan di Jakarta), hanya punya dua pasang pakaian,
tidur dengan dipan pelepah kurma, kerap tak punya makanan atau
meneruskan berpuasa setelah sebelumnya berbuka dengan tiga butir kurma
dan meminum air putih, tak mengenakan perhiasan emas dan sutra (Rasul
hanya memakai cincin besi dan berpakaian dari kain kasar), serta hanya
memakan gandum olahan yang juga kasar.
Nah, dalam kehidupan nyata, kebiasaan pengikut ‘tarikat’ ini
dijadikan acuan oleh Bung Hatta. Hingga wafat tak ada skandal yang
pernah dia lakukan. Tak ada uang negara yang dipakai tanpa hak. Bahkan
saking hati-hatinya, Hatta kerap harus menabung bila ingin membeli
sesuatu, seperti misalnya keinginannya membeli sepatu Bally yang saat
itu merupakan sepatu favorit dan berharga mahal.
Bila mengunjungi rumahnya yang berada di Jl Diponegoro (di seberang
kantor DPP PPP atau di samping kediaman Kedubes Palestina) tak ada hal
yang mewah yang akan dilihat. Dekorasi rumahnya sederhana. Yang ada
hanya perabot biasa dan lemari berisi buku. Halamanya pun sempit dan tak
ada taman atau pendopo yang luas atau bangunan garasi yang bisa dimuati
banyak mobil.
Bahkan, beberapa tahun silam ada kehebohan yang muncul. Sang menantu
Bung Hatta, Prof DR Sri Edi Swasono sempat menyatakan ada tangan jahil
yang menukar lukisan pemandangan yang ada di dinding ‘rumah tua’ itu.
Menurut Edi, ada orang yang diam-diam menukar lukisan pemandangan
karya pelukis kondang Basuki Abdullah. Indikasinya, setelah diperhatikan
dengan seksama tiba-tiba terasa ukuran lukisan tersebut mengecil. Maka
ia pun mencurigai ada pihak yang jahil pada karya lukis itu.
Kisah ini kemudian bersesuaian dengan cerita mengenai sikap Bung
Hatta yang memilih pergi haji dengan cara membayar sendiri ongkosnya
dari royalti penjualan buku karangannya.
Padahal saat itu status Hatta adalah wakil presiden. Bahkan,
Presiden Sukarno pun sudah menyediakan pesawat khusus serta memberkan
semua fasilitas kendaraan yang diperlukan Bung Hatta untuk menunaikan
rukun Islam yang kelima itu. Namun, tawaran Presiden Sukarno pun dia
tolak.
Menurutnya. urusan naik haji bukanlah urusan seorang pejabat negara
dengan Allah, melainkan itu urusan seorang insan manusia biasa yang
pergi ke Tanah Suci.
Maka, bila dirinya menunaikan ibadah haji ke Makkah itu merupakan
kepergian ibadah sebagai seorang Mohammad Hatta pribadi, bukan sebagai
seorang wakil presiden.
Alhasil, apakah masih ada pejabat negara seperti itu sekarang?
Jangankan bisa sedikit meniru sosok kesederhanaan hidup Nabi Muhammad
SAW, mampu mengikuti jejak perilaku Bung Hatta saja kini merupakan hal
yang langka.
Dalam soal urusan naik haji misalnya, sudah dimahfumi bila banyak
cerita yang beredar bahwa pejabat negara acapkali meminta jatah kursi
kuota haji ke menteri agama. Di forum pengadilan kasus korupsi haji di
KPK misalnya, soal bagi-bagi kursi haji untuk pejabat negara di periode
pemerintahan sebelumnya. sudah banyak yang menyebut.
Selain itu, juga bukan rahasia umum bila begitu banyak pejabat negara
masa kini yang hidupnya bergelimang dalam kemewahan, kaya raya
layaknya ‘raja-raja kecil’ di abad pertengahan Eropa Rumahnya seperti
istana, mobilnya berjibun, dana deposito serta uang yang tersimpan
rekening banknya menumpuk bahkan kerap disebut ‘meluber’ sampai ke luar
negeri.
Apakah zaman sudah berubah dan apakah akan datang Hatta-Hatta baru di negeri tercinta ini? Jawabnya: ya entahlah!
Namun yang pasti, almarhum Bung Hatta telah membuktikan bila sosok
orang saleh bukan hanya ada di dalam cerita komik, tapi benar-benar
terjadi di kehidupan yang nyata.
Credit
republika.co.id