Sebanyak
20-an warga Sabu dan keluarga memperingaati tragedi perebutan kapal
perang Belanda, De Seven Provincien di TMP Kalibata, Jumat (5/2)
khususnya Pahlawan Nasional asal Sabu Provinsi NTT, Marthin M. Paradja.
FOTO: Timor Express/JPNN.com
Tanggal 4 Februari adalah tanggal
terjadinya tragedi perebutan kapal perang Belanda, De Seven Provincien.
Pemimpin pasukannya Marthin M. Paradja, pria asal Sabu Raijua, Provinsi
Nusa Tenggara Timur (NTT).
Untuk memperingati peristiwa itu,
puluhan warga asal Sabu di Jakarta, nyekar dan tabur bunga di Taman
Makam Pahlawan (TMP) Kalibata, tempat Paradja dimakamkan.
Kebanyakan masyarakat Provinsi NTT tidak
begitu mengenal pahlawan nasional, salah satunya Martijn M. Paradja.
Walau tidak dikenal, negara tetap mengakui perjuangannya, dalam melawan
penjajah Belanda, dan hingga tewas bersama 20 rekan lainnya di Laut
Jawa. Siapa gerangan Martijn M. Paradja?
Perjuangan memerdekakan Indonesia dari
penjajahan Belanda, menimbulkan korban jiwa dan harta benda yang tak
terhitung nilainya. Patriotisme dan keinginan bebas dari penjajah
menjadi modal bersama menentang kolonialisme Belanda. Walau dengan
kemampuan dan peralatan seadanya, pahlawan Indonesia, mampu memerdekan
negara Indonesia tercinta pada 17 Agustus 1945 silam.
Dalam perjuangan itu, seluruh rakyat
Indonesia, termasuk NTT yang merasa senasib dan sepenanggungan, angkat
senjata demi membebaskan negara ini. Salah satu pejuang dan pahlawan
nasional yang turut ambil bagian yakni Martijn Marseha Paradja.
Pejuang asal Sabu Raijua itu, tercatat
dalam sejarah bangsa yang lebih dikenal sebagai pejuang Kapal Tudjuh (De
Seven Provincien). Untuk mengenang dan menapaktilasi perjuangan seorang
Martijn Paradja, Kamis (4/2) Keluarga Besar Sabu diaspora Jakarta,
dipimpin Imanuel Gunung Toebe dan Peter A. Rohi serta sejumlah keluarga
terkait lainnya, nyekar dan menabur bunga di pusara 21 pahlawan Kapal
Tudjuh, termasuk Martijn Paradja.
Pantauan media ini, kedatangan keluarga
Sabu, NTT, diawali dengan penghormatan terhadap seluruh Pahlawan
Nasional yang berada di Taman Makam Pahlawan Nasional Utama Kalibata,
Jakarta Selatan. Usai penghormatan terhadap 9.071 pahlawan, dilanjutkan
dengan nyekar di makam Martijn Paradja dan rekan-rekanya.
Sebanyak 20-an warga Sabu dan keluarga
Kawilarang, mengawali dengan doa, dan dilanjutkan dengan penuturan
sejumlah catatan sejarah pahlawan nasional itu dan diakhiri dengan tabur
bunga.
Wartawan Senior dan pemerhati Sejarah
asal NTT, Peter A. Rohi dalam penuturannya mengatakan, pidato Bung
Karno di Surabaya, pasca keluar dari Penjara Sukamiskin tahun 1932,
membakar jiwa nasionalis pemuda-pemuda pribumi yang menjadi anggota
Marine Belanda.
Kebangkitan nasionalisme para marine
pribumi, mendapatkan momentum ketika beberapa bulan kemudian, setelah
Pemerintah Hindia Belanda mengumumkan penurunan gaji para pelaut.
Demontrasi dilakukan di Surabaya untuk
memprotes rencana pemerintah Belanda itu. Larangan demonstrasi dilanggar
dan tak dapat dihentikan. Emblem Merah Putih bergambar Soekarno dan yel
yel revolusi dikumandangkan.
Pada 3 Februari 1933, katanya, seorang
Marine, Julian Henderik (Ludji He) memimpin teman-teman di sebuah gedung
bioskop di Ulehle, Kotaradja (Banda Aceh), dengan izin melakukan halal
bihalal, usai Idul Fitri 29 Januari. Tapi pada acara itu, mereka
membahas taktik perebutan kapal.
Dalam rapat kedua yang lebih rahasia,
yang dihadiri suku-suku seperti Madura, Bugis Makassar, Pelembang,
Padang, Ambon dan Sunda Kecil.
Jermias Kawilarang diminta mengomandani kapal perang itu, sementara pemimpin pergerakan diserahkan kepada Martijn M. Paradja.Credit JPNN
Kisah Heroik Orang NTT Merebut Kapal Perang Belanda
Pada 4 Februari 1934, ketika Komandan
Eikenboom dan perwira Belanda sedang berpesta dansa di darat, mereka
mulai bergerak sesuai tugas yang ditunjuk. Para pelaut dibawa pimpinan
Martijn Paradja melucuti senjata dan Martijn Paradja kemudian membongkar
gudang senjata dan menyiapkan peluru meriam. Pasukan lain, menghidupkan
mesin kapal dan akhirnya kapal berhasil dibawa meninggalkan pelabuhan.
Tabur Bunga di Pusara Makam Pahlawan Nasional asal NTT di TMP Kalibata, Martijn Paradja. FOTO: Timor Express/JPNN.com
Komanda Eikenboom tidak percaya akan hal
itu, karena para pahlawan tidak tahu menakhodai kapal. Namun, sadar
kapal perang telah dibawa Martijn Paradja dan Kawilarang. Gubernur
General Hindia Belanda, De Jonge yang mendapat laporan, memerintakan
Eikenboom menggunakan kapal Aldibaren mengejar Kapal De Seven Provincien
yang sudah direbut marine pribumi.
Sejumlah Kapal seperti De Java dan Soemba
juga dikerahkan mengejar dan mengepung kapal De Seven Provincien. Seruan
menyerah mereka abaikan.
“Jangan mendekat. Kami akan berlayar ke
Surabaya untuk membebaskan teman-teman yang sudah ditahan. Itu tujuan
kami. Sampai disana kami akan menyerahkan kembali kapal kepada tuan
Eikenboom,” ucap Martijn Paradja ketika itu seperti dilansir Timor
Express (Grup JPNN).
Ketika berada di Laut Jawa, sebuah pesawat
donier menjatuhkan bom seberat 50 kg, di atas geladak Kapal De Seven
Provincien. Martijn Paradja dan 20 marine lainnya tewas. Mereka
dimakamkan di satu liang kubur di Pulau Kelor, Gugusan Pulau Seribu.
Kejadian itu, dimuat harian Soeara Oemoem di Surabaya, dan media itu
dibredel dan Pemrednya, Tjindarboemi dipenjarakan.
Salah satu Tokoh Sabu Jakarta, Imanuel
Gunung Toebe mengatakan, dirinya tidak mengenal Marthin Paradja secara
langsung. Namun dirinya mengenal keluarga Pahlawan Nasional itu.
Ayahnya Paradja merupakan seorang guru di
Sabu. Berdasarkan sejumlah cerita, Martijn Paradja bersekolah pada
sekolah pelayaran di Makassar, dan akhirnya menjadi pelaut. Dalam
perjuangan, dia bersama Kolonel Kawilarang melawan Belanda, hingga tewas
dibom.
Sementara itu, Yoseph Ully mengutarakan,
Pahlawan Nasional, Marthijn Paradja sangat membanggakan orang NTT.
Karena dari pulau kecil, kemudian menjadi pahlawan karena melawan
penjajah.
Orang NTT, paparnya, bukan warga negara
kelas dua, namun warga negara utama, karena orang NTT berkontribusi
besar terhadap kemerdekaan. Kedepan, dia berharap Pemerintah Provinsi
NTT, menyusun satu buku, terkait pahlawan di NTT.
“Pahlawan kok tidak ada nama kapal perang. Harusnya salah satu kapal perang diberi nama Kapal Perang Martijn Paradja,” katanya.
Pada bagian yang sama, Harry Kawilarang
menuturkan, meneliti pejuang Kapal Tudjuh, antara orang Timor dan
Minahasa sangat akrab. Marthen dan Josias Jermias Kawilarang merupakan
pejuang yang patut dihormati. Pasca Paradja tewas, Kawilarang divonis
penjara 17 tahun, dan meninggal dunia pada 1960.
Sementara itu, menantu Josias Jermias
Kawilarang, Soedarno Gino mengatakan, menantunya meninggal pada tahun
1960, di Pusara Bakti, Tanjung Pinang, dengan nomor ke 15. Kawilarang
meninggalkan 2 putri.
Kawilarang dan Paradja, kata dia, merupakan pejuang luar biasa. Besar harapan jiwa nasionalis tetap tumbuh dalam sanubari kita.Credit JPNN